1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu manusia memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan hasil alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup mereka. Pada awal kehadiran manusia, secara alamiah mereka akan berusaha untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan alam. Sisasisa pemanfaatan binatang dapat dilihat dari temuan tulang-tulang binatang, tumpukan cangkang kerang, alat tulang dan kerang serta artefak lain yang terbuat dari sisa binatang. Pemanfaatan tumbuhan dapat diketahui antara lain dari sisa tumbuhan (makrofosil) atau melalui analisis phytolith atau pollen. Pada situs-situs tertutup seperti gua atau ceruk pemanfaatan hewan sebagai sumber makanan dapat dilihat dari temuan-temuan tulang di dalam gua. Tulang yang merupakan sisa dari makanan memiliki ciri tersendiri, yang tentunya berbeda dengan ciri tulang hewan yang mati secara alami atau dimangsa oleh predator. Selain itu sisa hewan yang dijadikan alat tulang juga memiliki bentuk, ciri dan bekas pengerjaan sehingga bisa dibedakan dari tulang hewan nonartefaktual. Alat tulang memiliki bentuk yang khas seperti jarum, sendok (spatula), pisau atau lancipan dan biasanya pada permukaannya memiliki bekas pengerjaan seperti goresan, garis-garis dan kilapan (Sutton & Arkush, 1996: 137). Munculnya ide pembuatan atau pemanfaatan artefak tulang bersamaan dengan kegiatan berburu binatang. Untuk mendapatkan sumsum yang lezat 1
diperlukan pemecahan tulang dan dibutuhkan juga alat untuk mengoreknya, sehingga akhirnya manusia menemukan cara untuk membuat alat tulang. Pada perkembangan lebih lanjut dilakukan pemanfaatan dan penyeleksian setiap tulang dari hewan buruan untuk dikerjakan sebagai alat (Wirawan, 1981 dalam Yondri, 2009). Alat-alat tulang biasanya ditemukan di gua atau ceruk bekas permukiman manusia, terutama terletak di kawasan karst. Di pulau Jawa alat tulang telah ditemukan di gua-gua di Gunungkidul, Pacitan dan Ponorogo. Beberapa tahun belakangan ini dilaporkan mengenai temuan yang berasal dari Gua Pawon yang terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Gua Pawon adalah gua yang secara administratif berada di Desa Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, kurang lebih 25 km di sebelah barat Kota Bandung. Jenis gua ini menurut aspek geologisnya adalah termasuk gua tebing dan berada pada ketinggian ± 716 mdpl. Gua Pawon sendiri merupakan gua yang terbentuk di kawasan bertopografi karst, terletak dalam kawasan perbukitan formasi Rajamandala (Yondri, 2009:17) dan termasuk di antara jajaran perbukitan gamping Citatah (Yuwono, 2005:1). Kawasan karst Citatah- Rajamandala merupakan perbukitan yang memanjang ke arah timurlaut ke Tagogapu, utara ke Padalarang, baratdaya ke daerah Saguling dan arah selatan ke daerah Rajamandala. Perbukitan ini merupakan hasil lipatan dari batuan marine tersier dan terdiri dari batu lempung Formasi Batuasih, batu gamping Formasi Rajamandala, batu pasir-batu lempung Formasi Citarum, dan breksi Formasi Saguling (http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/3572-karstrajamandala-miliki-nilai-geologis-tinggi-.html). Gua Pawon merupakan satu-satunya gua hunian di wilayah Jawa Barat yang temuannya mencakup artefak-artefak yang usianya cukup tua. Dari artefak- 2
artefak yang ditemukan di gua ini, diperkirakan gua ini sudah dihuni sejak Masa Mesolitik hingga sekitar Neolitik (Yondri, 2009). Keberadaannya dihubungkan juga dengan kebudayaan Danau Bandung Purba yang memiliki kekhasan tersendiri, yaitu alat-alat batu yang terbuat dari obsidian. Tersingkapnya keberadaan dan temuan-temuan di Gua Pawon ini memberikan angin segar pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan di area Danau Bandung Purba, karena sebelumnya belum pernah diketemukan situs yang diperkirakan merupakan permukiman dari manusia pendukung kebudayaan Danau Bandung Purba (Yondri, 2009 ; Swadesi, 2011). Temuan di Gua Pawon sangat beragam, mulai dari temuan artefaktual hingga temuan nonartefaktual. Temuan artefaktual pun beragam mulai dari alat yang berumur tua hingga yang berumur agak muda. Pada bulan Juli dan Oktober 2003, Mei dan April 2004 telah dilakukan ekskavasi oleh Balai Arkeologi Bandung yang bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Peninggalan Purbakala, Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Jawa Barat. Dalam kegiatan tersebut telah dibuka enam kotak galian dengan metode selective excavation. Dari kegiatan ekskavasi tersebut diperoleh banyak temuan artefaktual, baik alat batu, alat tulang, maupun fragmen gerabah. Alat batu yang ditemukan kebanyakan berupa alat serpih, lancipan, beliung persegi, serta beberapa sisa industri litik yang berupa batu inti, serpih dan tatal. Alat tulang yang terdapat di sana (termasuk tanduk rusa dan gigi binatang) terdiri dari lancipan, spatula dan perhiasan. Dari pengamatan awal yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung diketahui ada sejumlah alat tulang berbahan dasar tulang Macaca sp. 3
Macaca merupakan anggota dari famili Cercopithecidae dari ordo Primata yang sering disebut sebagai Old World Monkey dan umum ditemukan dalam situs arkeologi (Radiansyah, 2010: 57). Situs lain yang memiliki kandungan temuan tulang Macaca yang banyak adalah Song Terus, Song Keplek dan Gua Braholo (Prasetyo & Simanjuntak, 2002 ; Candravardhani, 1997). Dalam famili Cercopithecidae terdapat beberapa sub-famili, namun yang banyak ditemukan di Indonesia adalah sub-famili Cercopithecinae dan Colobinae. Genus yang termasuk sub-famili Cercopithecinae diantaranya adalah genus Macaca, sedangkan yang termasuk sub-famili Colobinae adalah genus Presbytis, Nasalis, Trachypithecus (Veevers-Carter, 1979: 9-15). Contoh-contoh hewan dari genus Macaca di Indonesia yang hidup pada saat ini adalah Macaca fascicularis (kera ekor panjang biasa, hidup di Sumatra, Jawa, Bali), Macaca nemestrina (pig-tailed macaque, hidup di Sumatra, Bangka, Kalimantan), Macaca nigra (Yaki, hidup di Sulawesi), Macaca nigrescens (Gorontalo), dan Macaca pagensis (beruk Mentawai). Contoh genus Presbytis (langur), diantaranya ada Presbytis aygula (surili, hidup di Jawa, Kalimantan, Sumatra), P. melalophos (simpai), P. potenziani (hidup di Mentawai), dan P. thomasi. Contoh dari genus Nasalis adalah Nasalis larvatus yang dikenal dengan nama lokal bekantan dan hanya hidup di Kalimantan. Terakhir adalah dari genus Trachypithecus, diantaranya adalah T. auratus (lutung Jawa) dan T. cristatus (lutung kelabu) (Veevers-Carter, 1979: 9-15). Di Gua Pawon ditemukan banyak tulang-tulang nonartefaktual dari jenis Macaca sp., yang merupakan hasil dari ekskavasi yang dilakukan dari tahun 2003-2005. Dari sini dapat terlihat bahwa Macaca termasuk jenis hewan yang 4
sering ditemukan di setiap lapisan tanah. Salah satu jenis hewan yang kehadirannya juga hampir di setiap lapisan adalah famili Suidae (Yondri, 2005). Di Gua Pawon terdapat empat lapisan tanah, yang teratas adalah lapisan yang teraduk dengan ketebalan 20-35 cm dari permukaan tanah. Kedua adalah lapisan lempung pasiran berwarna kehitaman dan bercampur kerikil. Kemudian lapisan lapisan lempung pasiran berwarna agak kecoklatan bercampur dengan blok gamping dan fosfat. Lapisan akhir dari penggalian yang dilakukan oleh Balar adalah lapisan lempung halus berwarna kemerahan juga bercampur dengan bongkahan gamping (Yondri, 2009). Alat-alat tulang yang ditemukan di Gua Pawon kebanyakan berupa lancipan dan spatula. Beberapa alat tulang yang diindikasikan berasal dari tulang Macaca belum dianalisis, hanya pengamatan awal saja. Mengingat bahwa tulang Macaca merupakan salah satu jenis hewan yang ditemukan di Gua Pawon, maka penelitian ini ditujukan untuk mencari alasan dari pemilihan tulang Macaca sebagai bahan alat tulang dari Gua Pawon dilihat dari segi lingkungannya dan seperti apa kecenderungan pemanfaatan tulang Macaca sebagai bahan alat tulang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan, maka dapat disusun rumusan masalah, sebagai berikut: 5
1. Bagaimana kecenderungan bentuk alat, teknologi pembuatan dan pemilihan bagian tulang dalam pemanfaatan tulang Macaca sebagai bahan alat di Gua Pawon? 2. Mengapa tulang Macaca dipilih sebagai salah satu bahan untuk membuat alat tulang oleh manusia pendukung Gua Pawon? C. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai pemanfaatan tulang Macaca di Gua Pawon ini memiliki beberapa tujuan, antara lain: 1. Mengetahui kecenderungan pemanfaatan Macaca di situs Gua Pawon 2. Menganalisis bagaimana cara Macaca dimanfaatkan oleh manusia pendukung situs Gua Pawon 3. Mengetahui perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, terutama dalam hal peralatan. Penelitian ini juga sebagai sarana untuk menggali lebih dalam mengenai sisi kearkeologisan Gua Pawon, sehingga dapat memperkaya dan menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dari satu-satunya gua hunian yang sudah ditemukan di Jawa Barat ini. D. Batasan Penelitian Batasan penelitian dibuat agar penelitian tetap terfokus pada tujuan dan topiknya sehingga tidak terjadi perluasan pembahasan. Dalam penelitian ini akan ditentukan dua batas penelitian, yaitu ruang lingkup spasial dan ruang lingkup 6
objek penelitian. Ruang lingkup spasialnya adalah lingkungan Gua Pawon. Ruang lingkup objeknya adalah alat tulang yang berbahan Macaca. Temuantemuan alat tulang dari hewan lain akan digunakan sebagai pembanding dalam analisis dan penarikan kesimpulan. E. Tinjauan Pustaka dan Keaslian Penelitian Hanya sedikit penelitian yang membahas pemanfaatan tulang Macaca sp yang ditemukan di situs arkeologi. Salah satu kajian awal yang cukup baik telah dilakukan di Song Keplek dan Gua Braholo. Macaca sp. merupakan hewan yang banyak ditemukan di Song Keplek dan Gua Braholo dan memegang peran yang signifikan dalam kehidupan manusia pada saat itu. Ditemukan kurang lebih 9.534 bagian tulang Macaca di Song Keplek dari enam kotak ekskavasi, sedangkan di Gua Braholo dari empat kotak ekskavasi yang dibuka ditemukan 12.479 tulang Macaca. Intensitas eksploitasi Macaca di kedua situs ini hampir sama jika dilihat dari jumlah tulang yang didapat perlapisan. Temuan di lapisan paling bawah masih sedikit, tetapi berangsur meningkat di lapisan kedua serta mencapai puncaknya pada lapisan ketiga kemudian menurun lagi di lapisan atas. Dari temuan Macaca pada tiap lapisan ini dapat disimpulkan bahwa perburuan Macaca sangat intensif dilakukan pada 8.000-4.000 BP (Prasetyo, 2002:154-155). Sisa Macaca juga ditemukan melimpah dan berasosiasi dengan artefak litik di Song Terus. Temuan tulang-tulang Macaca yang berasal dari berbagai bagian tubuh ini berada pada lapisan yang sama dengan artefak berupa alat serpih, serut dari cangkang Molusca dan lancipan, spatula serta jarum yang 7
berasal dari hewan vertebrata. Semua temuan ini dianggap sebagai satu kesatuan dan dapat menunjukkan kegiatan subsistensi manusia pada waktu itu terutama mengenai perburuan Macaca. Kegiatan mencari makanan dapat dilihat dari adanya alat-alat yang ditemukan, kegiatan membagi makanan ditunjukkan dengan adanya fragmen tulang Macaca yang ditemukan dalam berbagai bagian, serta kegiatan mengolah makanan dapat dilihat dari adanya tulang yang terbakar (Mahareni, 2000). Beberapa tulisan dan penelitian mengenai pemanfaatan Macaca sebagai bahan makanan sudah pernah dilakukan sebagaimana dijelaskan di atas. Macaca memang jenis primata yang umum ditemukan pada situs-situs gua. Di beberapa gua, sisa hewan ini paling banyak ditemukan, seperti di Song Keplek, Song Terus dan Gua Braholo serta Gua Pawon. Penelitian Macaca sebagai hewan yang umum dimanfaatkan sebagai bahan makanan, sudah cukup banyak tetapi pemanfaatan Macaca sebagai alat dengan bahasan yang lebih mendalam belum pernah dilakukan. Pemanfaatan sisa hewan menjadi sebuah alat setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ukuran, bentuk dan kekerasan merupakan syarat yang umum sehingga tulang bisa dimanfaaatkan sebagai alat (Nugroho, dalam Candravardani, 1997). Selain itu pemilihan tulang juga bergantung pada fungsi alat tulang tersebut dan dihubungkan pula dengan bentuk, ukuran dan kekerasannya. Seperti misalnya tulang yang dimanfaatkan sebagiai spatula adalah tulang yang secara fisik berukuran besar dan tebal (Riani, 2007). Apakah hanya memang hal itu yang menjadi dasar pemilihan tulang Macaca sebagai alat tulang? Beberapa faktor lain juga bisa sangat menentukan seperti misalnya ketersediaan bahan. Mungkin saja ketika ada satu hewan yang mudah diperoleh 8
dan dimanfaatkan menjadi sumber bahan makanan, maka hewan itu juga paling tidak akan dimanfaatkan lagi menjadi bahan alat tulang. Candravardani juga mengemukakan dalam penelitiannya bahwa alat-alat tulang yang ada di Gua Lawa, Gua Petpuruh, Gua Sodong dan Song Keplek berbahan sama dengan jenis fauna yang dimakan yang tentu saja jenis-jenis fauna ini memang yang hidup di lingkungan gua-gua tersebut. Beberapa penelitian arkeologis pernah dilakukan di situs Gua Pawon, terutama yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung. Situs ini pernah diekskavasi pada Juli dan Oktober 2003, Mei dan April 2004 serta menghasilkan beberapa laporan, seperti temuan artefaktual (secara umum) yang ditemukan di Gua Pawon, ragam alat litik di Gua Pawon dan potensi Arkeologis di Kompleks Gunung Pawon. Penelitian arkeologis lain yang bersifat akademis berupa skripsi atau tesis juga sudah pernah dilakukan. Dimas Setyo Saputro (Arkeologi Universitas Indonesia), dalam skripsinya yang berjudul Jejak Pakai pada Alat Tulang di Gua Pawon menjelaskan tentang penggunaan alat tulang di Gua Pawon berdasarkan jejak pakainya. Alat tulang dari Gua Pawon ditinjau kembali berdasarkan laporan yang ada, menurut peninjauan kembali tersebut alat tulang yang ditemukan di Gua Pawon berjumlah 174 buah. Dalam skripsi tersebut sudah dideskripsikan mengenai jenis alat tulang, asal (kotak, spit, kedalamannya), bentuk, ukuran dan jejak pemakaiannya, serta letak bagian tajaman tulang. Metode yang digunakan adalah metode yang dipakai oleh Kasman Setiagama (2006), yang diambil dari Camps-Fabrer (1974) (Saputro, 2010). Pembahasan dari Saputro akan berbeda dengan yang akan dijelaskan dalam karya ini. Bentuk analisisnya akan berbeda karena di sini akan ditekankan mengenai bahan dari alat tulang tersebut. Selain 9
itu juga teknologi yang digunakan dari semua alat tulang yang berbahan Macaca sp. Skripsi lain tentang Gua Pawon berjudul Gigi Hewan dari Situs Gua Pawon (Jawa Barat): Identifikasi Hewan, Habitat dan Pemanfaatan yang ditulis oleh Danny Radiansyah (Arkeologi Universitas Indonesia) pada tahun 2010. Skripsi ini membicarakan tentang analisis taksonomis dan anatomis dari gigi-gigi hewan yang ditemukan di Gua Pawon, serta membicarakan tentang penggunaan gigi-gigi tersebut sebagai artefak, yang kebanyakan berupa perhiasan. Penggunaan gigi hewan sebagai objek penelitian untuk mengetahui keragaman hewan sampai ke tingkat taksa, sehingga karakteristik dan ciri khusus yang berhubungan dengan habitat bisa diketahui. Gigi hewan dapat memperlihatkan kehadiran hewan dalam tiap lapisan, meskipun dari segi kuantitas tidak terlalu membantu. Dari penelitian di atas penulis bisa menggunakan data mengenai keragaman hewan yang ada di Gua Pawon dan kemungkinan hewan-hewan lain yang dimanfaatkan sebagai alat selain tulang Macaca sp. Pada tahun 2005, Lutfi Yondri juga melakukan penelitian di Gua Pawon untuk tesisnya yang berjudul Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon, Desa Gunung Masigit, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat: Sumbangan Data Bagi Kehidupan Prasejarah di Sekitar Tepian Danau Bandung Purba. Tesis ini sangat berfokus pada bahasan manusia serta kuburnya. Penelitian mengenai pemanfaatan tulang Macaca sebagai bahan alat di Gua Pawon sendiri belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian lain yang bersifat geologis juga pernah dilakukan di Gua Pawon. Salah satunya adalah survei dan pemetaan geologis yang dilakukan oleh 10
Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) pada tahun 1999. Kegiatan ini dilanjutkan dengan survei geomagnetik di Gua Pawon oleh KRCB pada Oktober 2000 (Tim Peneliti, 2004). Sebuah penelitian mengenai geoarkeologi Gua Pawon dengan pemaparan mengenai potensi arkeologi di kompleks Gua Pawon juga sudah dilakukan oleh J.S.E. Yuwono pada tahun 2005. Penelitian ini akan memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan di Gua Pawon. Analisis yang diterapkan pada alat tulang akan menggunakan ilmu osteologi, untuk mengetahui asal hewannya. Alat tulang Macaca yang sudah teridentifikasi akan dikategorikan lagi menurut jenis alatnya, serta asal tulangnya. Hasil analisinya akan membantu menghasilkan jawaban mengenai alasan mengapa tulang Macaca dipilih menjadi salah satu bahan alat. F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah tata cara dalam mencari data dan melaksanakan suatu penelitian. Dalam penelitian ini akan dipakai metode penelitian kualitatif. Penelitian dengan metode kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Dharminto, 2007). Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, karena berusaha untuk memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian dan mengutamakan kajian data daripada menerapkan konsep, hipotesis atau teori tertentu (Tanudirjo, 1989: 34) 11
Penalaran yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah adalah penalaran induktif. Pada dasarnya penalaran induktif berusaha menemukan sifatsifat umum atau kaidah tertentu dari kasus-kasus yang diamati (bisa benda atau peristiwa) atau hubungan antara beberapa gejala tertentu (Kelley & Hanen, 1990). Penelitian diawali dengan pengumpulan data tanpa menggunakan hipotesis. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan disintesiskan sehingga dapat ditarik kesimpulan atau generalisasi (Mundardjito, 1986). Tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah adalah sebagai berikut. 1. Tahap Pengumpulan Data a. Data Artefaktual Data yang akan dikumpulkan adalah berupa temuan keseluruhan alat tulang yang ditemukan di Gua Pawon dari hasil ekskavasi Balar Bandung. Dari data ini kemudian ditinjau ulang mana yang merupakan alat tulang dan bukan alat tulang. Hal ini dilakukan sebagai tinjauan ulang dan agar tidak tergantung pada hasil identifikasi dari Balar Bandung. Dari hasil tinjauan ulang tersebut, pertama dilakukan klasifikasi menurut bentuknya. Metode klasifikasi bentuk mengacu pada Achwan, 1985 dan Sutton & Arkush, 1996). Langkah pertama adalah memastikan kembali dengan cara memeriksa keberadaaan ciri-ciri tulang yang berupa alat atau bukan. Variabel yang dilihat, antara lain 1)permukaan yang halus dan rounded, 2)ujung yang mengalami penghalusan, 3)permukaan yang halus atau mengkilap, 4)goresan atau kerat-kerat bekas pembuatan, 5)adanya motif hias, 6)bagian proksimal dengan bekas pemotongan yang teratur (Sutton & Arkush, 1996: 139). 12
Dilanjutkan dengan mengklasifikasikan alat tulang menjadi sudip (spatula), lancipan, jarum dan alat tulang lain (Achwan, 1985). Penjelasan mengenai bentuk-bentuk alat tulang dapat dilihat di Bab II. Setelah dapat diklasifikasikan, dilakukan pengukuran metrik (meliputi diameter, panjang, lebar, tebal), identifikasi jenis tulang (misalnya femur, humerus atau fibula) dan genus (Sutton & Arkush, 1996:141). Alat-alat yang digunakan dalam klasifikasi ini adalah kaliper (jangka sorong) dan penggaris untuk mengukur aspek metriknya. b. Studi Pustaka Studi pustaka akan dilakukan pada sumber-sumber tertulis tentang penelitian mengenai alat tulang dan pemanfaatan fauna pada suatu situs yang pernah dilakukan sebelumnya, baik di Gua Pawon maupun di gua lainnya. Bentuknya bisa merupakan jurnal, laporan penelitian dan skripsi. 2. Tahap Analisis Data Dalam tahap ini akan dilakukan analisis terhadap temuan alat tulang di Gua Pawon. Pelaksanaanya memerlukan bantuan dari bidang ilmu lain, khususnya biologi. Hal ini sangat dibutuhkan dalam proses identifikasi bahan alat tulang yang ada di Gua Pawon, untuk mengetahui tulang ini berasal dari hewan apa dan dari bagian tulang yang mana. Untuk bagian ini, penulis perlu berkonsultasi dengan Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi UGM dan Laboratorium Paleoantropologi dan Bioarkeologi, FK-UGM. Analisis yang pertama adalah analisis mengenai bentuk tulang yang akan dilakukan terhadap alat tulang yang berbahan tulang Macaca. Bentuk tulang merupakan hal yang paling berpengaruh dalam pembuatan tulang (Candravardani, 1997:53). Dari pengelompokan alat tulang di bagian 13
pengumpulan data, akan didapat hasil mengenai jenis alat tulang yang berbahan Macaca serta berasal dari bagian tulang yang mana (femur, humerus, scapula, dll). Kemudian akan dilihat juga mengenai bekas-bekas pengerjaannya seperti pembakaran, penggosokan dan pengupaman. Teknik pembuatan juga akan dilihat dari setiap alat tulang yang terbuat dari tulang Macaca yang sudah diklasifikasikan. Proses selanjutnya adalah melihat temuan tulang nonartefaktual dari Macaca dan hewan lain. Sehingga didapat informasi mengenai jenis hewan apa yang biasa dikonsumsi oleh manusia pendukung Gua Pawon dan yang hidup di sekitar Gua. 3. Kesimpulan Tahap ini berupa interpretasi dari hasil pengumpulan dan analisis data sehingga dapat menjawab rumusan masalah. Dari bagian ini akan terlihat seberapa jauh pemanfaatan Macaca sebagai bahan alat tulang di Gua Pawon dan apa alasan pemilihannya dilihat dari ketersediaan bahannya. 14