I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 22/Permentan/SR.130/4/2011 /Permentan/OT.14 0/ /2009 TENTANG

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

WALIKOTA PROBOLINGGO

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena pupuk kimia lebih mudah diperoleh dan aplikasinya bagi tanaman

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BLITAR WALIKOTA BLITAR,

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. bersubsidi. Pupuk yang ditetapkan sebagai pupuk bersubsidi adalah pupuk

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

EFEKTIVITAS DISTRIBUSI PUPUK BERSUBSIDI (Studi Kasus di Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang) PENDAHULUAN

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 54 TAHUN 2013

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

AGRITECH : Vol. XVIII No. 1Juni 2016: ISSN : ANALISIS TATA NIAGA PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN PURBALINGGA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR,

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi petani. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kualitas dan kuantitas produk pertanian yang dihasilkan. Peranan pupuk sangat signifikan dalam peningkatan produksi pangan dan kualitas hasil komoditas pertanian. Ketersediaan pupuk hingga tingkat petani penting untuk dilakukan dengan memenuhi azas enam tepat yakni, tepat waktu, jumlah, jenis, mutu, dan tepat harga agar petani dapat menerapkan teknologi pemupukan berimbang sesuai dengan rekomendasi pemerintah. Pengembangan penerapan pemupukan berimbang spesifik lokasi sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/SR.140/04/2007 tentang penyempurnaan revisi rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifikasi lokasi. Disamping itu, efektifitas penggunaan pupuk ditingkat petani juga dilakukan untuk mendorong pengembangan penggunaan pupuk organik (Rusadhi,1987). Pupuk bersubsidi merupakan salah satu sarana produksi yang ketersedian produknya disubsidi oleh pemerintah untuk petani. Dalam pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi telah diatur dengan peraturan Menteri Perdagangan No.15/M- DAG/PER/4/2013 menjelaskan bahwa pupuk bersubsidi adalah barang dalam pengawasan yang pengadaan dan penyaluranya mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan kelompok tani dan petani di sektor pertanian. Harga Eceran Tertinggi (HET) diatur dengan peraturan Menteri Pertanian No.130/Permentan/SR.130/11/2014 menjelaskan bahwa penetapan Harga Eceran Tertinggi pupuk urea sebesar Rp.1.800,- /kg, pupuk ZA sebesar Rp.1.400,-/kg, pupuk SP-36 sebesar Rp.2.000,-/kg, pupuk NPK sebesar Rp.2.300,-/kg dan pupuk organik sebesar Rp.500,-/kg. Pemberian pupuk bersubsidi oleh pemerintah guna mendorong peningkatan produktivitas mengingat pentingnya peran pupuk. Peranan pupuk yang penting sangat mempengaruhi produksi nasional guna mewujudkan program Ketahanan Pangan. Kariyasa (2007) menjelaskan bahwa secara historis kebijakan subsidi pupuk dapat dikelompokan kedalam empat periode yaitu (1) Periode 1960-1979 (2) Periode 1979-1998 (3) Periode 1998-2002 (4) Periode 2003-sekarang. 1

(1). Periode 1960-1979 pada periode ini untuk pertama kalinya pengadaan dan penyaluran pupuk diatur oleh Pemerintah. Ada subsidi pupuk bagi petani peserta Bimas dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setiap Badan Usaha. Sistem penyaluran pupuk kepada penyalur pengecer adalah secara kontinyu. Petani menebus pupuk dengan menggunakan kupon kepada penyalur sebagai pertanggung jawaban atas yang diterimanya secara kontinyu dari PT Pupuk Sriwidjaja Palembang tidak adanya ketentuan stok, sehingga tidak ada jaminan stok tersedia disetiap waktu. Kurangnya stok juga dipicu karena adanya pengembalian kredit yang macet dari petani dan di sisi lain pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk mengimpor pupuk. (2). Periode 1979-1998. Sampai tahun 1993 seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan di tataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT Pupuk Sriwidjaja Palembang ditetapkan prinsip 6 tepat dan ketentuan stok yang menjamin ketersediaan pupuk di Lini IV. Perkembangan berikutnya sejak tahun1993/1994 hanya pupuk urea untuk sektor pertanian yang disubsidi dan ditataniagakan. Pengadaan dan penyaluran pupuk urea bersubsidi dibawah tanggung jawab PT.PUSRI sedangkan untuk jenis yang lain tidak diatur. Sekalipun masih ada prinsip 6 tepat dan ketentuan stok untuk pupuk urea, namun tidak ada jaminan ketersediaan pupuk akibat adanya disparsitas harga antara pasar pupuk urea bersubsidi dan non subsidi. (3). Periode tahun 1998-2002 terhitung mulai 1 Desember 1998 sampai dengan 13 Maret 2001 pupuk tidak disubsidi dan menjadi komoditas bebas dimana berlaku mekanisme supply dan demand. Tidak ada prinsip 6 tepat lagi dan ketentuan stok sehingga sering terjadi fenomena kelangkaan pupuk ditandai dengan tingginya harga sehingga memberikan peluang bagi pupuk alternatif yang kulitasnya diragukan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengadaan penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian dengan SK Memperindag No.93/2001 tanggal 14 Maret 2001 yang mulai berlaku tanggal 14 Maret 2001. Pada dasarnya sebagian besar materi Kepmen ini hampir sama dengan ketentuan tataniaga sebelumnya (Keputusan Menteri Perdagangan No378/1998). Perbedaan yang mendasar adalah Keputusan Menteri Perdagangan No.93/2001 memberikan kesempatan bagi semua produsen pupuk untuk melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk urea ke subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat yang pada Kepmen sebelumnya hanya dilakukan 2

oleh PT.PUSRI. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa Kepmen No.93/2001 masih belum menjamin ketersediaan pupuk menurut prinsip 6 tepat. (4).Periode 2003-sekarang. Bedasarkan SK Menteri Perdagangan No.70/MPP/Kep/2003 bahwa sistem pendistribusian pupuk berdasarkan royonisasi dimana setiap produsen bertanggung jawab penuh untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi sendiri wajib melakukan kerjasama dengan produsen lain dalam bentuk kerja sama oprasional (KSO). Kelancaran dalam pemenuhan pupuk urea bersubsidi sangat penting namun sering terjadi justru petani kekurangan pasokan pupuk urea bahkan harga yang dibebankan kepada petani melebihi harga eceran tertinggi. Harga yang dibebankan petani dalam hal ini adalah biaya ongkos kirim. Hal ini yang bisa menyebabkan kurangnya pertumbuhan tanaman dan dapat mengancam penurunan produksi serta pembenahan untuk program ketahanan pangan nasional. Sistem distribusi pupuk di Indonesia selama ini diatur oleh Menteri Perdagangan. Peraturan sistem distribusi pupuk dengan harapan agar petani memperoleh pupuk dengan enam azas tepat, yaitu : tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi. Kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662.000 ton. Rencana kebutuhan per bulannya berkisar 5.000-8.000 ton. Rencana kebutuhan pupuk jenis ini tertinggi terjadi di Kabupaten Indramayu 65.000 ton dan terendah di Kabupaten Purwakarta sebesar 13.600 ton. Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk urea bersubsidi di Provinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74% dari rencana penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah mencapai sekitar 103,29% dari rencana penyaluran sampai bulan juni. Artinya, realisasi penyaluran pupuk secara keseluruhan di Jawa Barat sudah mencapai 3,29% di atas rencana. Kelebihan realisasi penyaluran pupuk masing-masing terjadi pada bulan Januari, April, Mei dan Juni yaitu dengan volume penyaluran berkisar 105,29 113,66 %. Realisasi penyaluran pupuk masih dibawah rencana hanya terjadi pada bulan Februari dan Maret, yaitu dengan penyaluran berkisar 85,21-92,56%. Realisasi penyaluran pupuk baik diatas 3

maupun di bawah rencana akan menyebabkan terjadi langka pasok dan lonjak harga baik antar musim maupun antar daerah ( Kariyasa dan Yusmichad, 2005). Sistem pendistribusian pupuk yang selama ini diterapkan selama ini belum cukup efektif dalam upaya memenuhi enam azas tepat yang selama ini menjadi target pemerintah dan para pelaku lainnya dalam mendistribusikan pupuk ke tingkat petani. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadi pendistribusian pupuk tidak sesuai dengan rencana. Pertama, pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemakaian pupuk urea yang dianjurkan pemerintah hanya sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani mengggunakan pupuk jenis ini berkisar 350 500 kg/ha. Penggunaan pupuk berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk laiinya seperti SP36,NPK, dan Pupuk Organik merupakan pupuk pelengkap ( Adnyana dan Kariyasa, 2000). Pupuk telah senantiasa berada di lini depan dalam usaha untuk meningkatkan produksi pangan dunia dan mungkin lebih dari pada jenis input yang lain, secara luas bertanggung jawab bagi keberhasilan pangan dunia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka selaras dengan meningkatnya permintaan akan pangan, namun hal ini menyebabkan muncul permasalahan baru yakni adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan pemenuhan kebutuhan akan pangan. Agar dapat meningkatkan produksi pangan tentu saja banyak faktor yang menjadi indikator keberhasilan dalam pencapaiannya. Salah satu nya penggunaan sarana produksi yang tepat. Salah satu sarana produksi yang memegang peranan sangat penting adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang tepat dan sesuai dosis anjuran tentu saja dapat meningkatkan produksi dan menekan biaya. Banyaknya ketidaktahuan petani dalam menggunakan pupuk berimbang. Dalam penggunaan pupuk yang tidak berimbang dan kerap menjadi akar dari permasalahan yakni penggunaan pupuk yang berlebihan tidak sesuai dengan alokasi menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk di beberapa daerah. Kebijakan subsidi dan sistem distribusi pupuk yang selama ini dibuat begitu amat komprehensif ternyata tidak menjamin adanya ketersediaan pupuk ditingkat petani khususnya pupuk bersubsidi sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi yang telah ditetapkan. Mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, penetapan Harga Eceran Tertinggi, besaran subsidi sampai distribusi sampai ke pengguna pupuk bersubsidi sepertinya telah 4

begitu baik dibuat, tetapi permasalahan langka pasok, lonjak harga termasuk didalamnya keinginan petani untuk menerima besaran Harga Eceran Tertinggi, besaran subsidi yang terlalu kecil dan pendistribusian pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran terus terjadi dan berulang setiap tahun. Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang tingginya HET di tangan petani menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk yang disebabkan karena sistem penditribusian pupuk bersubsidi jenis urea ini. Tingginya biaya produksi pendistribusian pupuk urea bersubsidi menyebabkan tingginya HET yang harus dibayar oleh petani diatas HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pasokan urea yang diproduksi oleh Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan domestik. Penetapan kebijakan sistem distribusi pupuk urea bersubsidi memberi dampak pada setiap peranan sektor pertanian karena pupuk urea bersubsidi menjadi faktor sarana produksi yang paling penting guna meningkatkan produktivitas. Hal ini tentunya selaras dengan tujuan pemerintah dalam program swasembada pangan. Dengan produktivitas yang memadai pasar domestik diharapkan Indonesia dapat menekan impor dan dapat melaksanakan swasembada pangan. Penetapan kebijakan sistem distribusi pupuk urea bersubsidi ternyata masih menimbulkan masalah-masalah dalam pendistribusian dari produsen sampai ke konsumen yakni petani. Hal ini tentu saja dapat menghambat dan menurunkan produktivitas serta tidak dapat terlaksanakannya program swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah. B. Rumusan Masalah Kabupaten Banjarnegara merupakan kabupaten yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian sebagai petani. Kebutuhan akan sarana produksi pupuk urea bersubsidi merupakan hal yang sangat vital. Dalam pemenuhan kebutuhan pupuk urea bersubsidi oleh petani telah dialokasikan subsidi untuk pupuk bagi petani yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam pendistribusian pupuk bersubsidi salah satunya urea telah diatur sedemikian rupa dari penyaluran, kebutuhan serta HET. Pada penyalaran pupuk urea bersubsidi melibatkan beberapa lembaga terkait yakni dari produsen sampai dengan konsumen. Dengan adanya lembaga yang terlibat 5

tentu saja mempengaruhi harga yang terbentuk ditingkat petani. HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan Keputusan Permentan Nomor 130/Permentan/SR.130/11/2014 tentang kebutuhan dan HET pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian, meskipun telah ditetapkan dengan HET, seringkali harga pupuk bersubsidi yang dibeli petani lebih tinggi dibandingkan dengan HET. Oleh karena itu, perlu dikaji keefektifan HET pupuk bersubsidi untuk melihat ketepatan harga yang diterima petani. Keefektifan HET dapat dilihat dari perbandingan harga pupuk yang dibeli oleh petani dengan HET lalu dinyatakan dalam persentase. Dengan terbentuknya harga di tingkat petani dapat dikaji dengan mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan harga yakni terdapat beberapa variabel independen yakni biaya transportasi, jarak, saluran distribusi dan jumlah pupuk urea bersubsidi. Dengan mengetahui faktor yang berpengaruh signifikan maka dapat diketahui faktor dalam terbentuknya harga pupuk urea bersubsidi. Pada penyaluran pupuk urea bersubsidi yang melibatkan beberapa lembaga tentu saja mempengaruhi marjin yang didapatkan oleh lembaga pemasaran tersebut serta dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui pula monopoli indeks lembaga disetiap saluran distribusi, oleh karena itu dapat diukur dan ditentukan dengan mengetahui tingkat keuntungan serta saluran distribusi yang memonopoli pasar. Beberapa hal yang dapat dikaji dalam pendistribusian pupuk urea bersubsidi adalah sistem yang telah diterapkan apakah sudah sesuai, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang telah sesuai, marjin pemasaran, tingkat monopoli masingmasing lembaga pemasaran, dan efisiensi pemasaran. Bedasarkan uraian diatas, maka dirasakan perlu dilakukan kajian tentang efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi dengan masalah yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah harga pupuk urea bersubsidi yang diterima petani sudah sesuai dengan HET? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga pupuk urea bersubsidi di tingkat petani? 3. Bagaimana marjin pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi? 4. Bagaimana tingkat monopoli pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi? 6

5. Bagaimana tingkat efisiensi pendistribusian pupuk urea bersubsidi? C. Tujuan Penelitian Bedasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui harga pupuk urea bersubsidi yang diterima petani sudah sesuai dengan HET. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga pupuk urea bersubsidi di tingkat petani yakni rata-rata biaya transportasi, jarak, jumlah pupuk urea bersubsidi, dan saluran distribusi. 3. Mengetahui marjin pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi. 4. Mengetahui tingkat monopoli pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi. 5. Mengetahui tingkat efisiensi pendistribusian pupuk urea bersubsidi. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1. Untuk peneliti, dapat sebagai sarana peningkatan ilmu pengetahuan dan peningkatan aplikasi ilmu di bidang agribisnis, dan untuk memenuhi persyaratan program sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. 2. Untuk pelaku distribusi pupuk urea bersubsidi dapat digunakan sebagai bahan informasi dan evaluasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Banjarnegara. 3. Bagi pembaca dan pihak lain dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan informasi serta tambahan pemahaman mengenai sistem distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Banjarnegara. 7