BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Penelitian ini menggunakan alat analisis kinerja keuangan yang digunalan untuk mengukur kinerja daerah dan desentralisasi fiskal dengan memfokuskan kepada tingkat kinerja Pemerintah Kota Yogyakarta periode 2009 sampai dengan 2013 yang idmaksudkan untuk menganalisis klinerja keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta dimana keuangan daerah merupakan salah satu indikator kinerja pembangunan yang sangat penting dalam kaitannya degan kebijakan desentralisasi daerah. Secara langsung desentralisasi daerah berimplikasi kepada pembagian sumber-sumber keuangan. Dampak langsung sangat terasa oleh pemerintah daerah adalah pada sisi penerimaan khususnya PAD, karena PAD merupakan sumber pendapatan yang objek penerimaanya berada di daerah yang besangkutan. Dengan kata lain, desentralisasi daerah berarti pembagian sumber PAD antara daerah induk dengan daerah yang baru sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kinerjanya. Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta periode 2009 sampai dengan 2013 adalah sebagoi berikut: 70
1. Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi, semakin tinggi derajat desentralisasi pemda dan daerah diharapkanmampu menghasilkan pendanaan dan pendapatan daerah itu sendiri. Kemandirian keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta masih rendah, yang dilihat dari prosentase PAD terhadap TPD rata-ratanya sebesar 25,21% menunjukkan pemerintah daerah masih sangat tergantung pada pemerintah pusat dengan PAD yang masih rendah Pemerintah Kota Yogyakarta belum mampu menyelenggarakan kegiatannya tanpa adanya transfer dari pemerintah pusat dan provinsi. Namun demikian PAD Kota Yogyakarta mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi kondisi ini Pemerintah Kota Yogyakarta perlu melakukan analisis potensi PAD dimana PAD suatu daerah sebagian berasal dari pajak-pajak daerah dan retribusi darah, dengan analisis PAD ini dapat diketahui jenis pajak daerah dan retribusi yang prima, berkembang, potensial maupun terbelakang. Untuk pajak daerah dan retribusi daerah yang termasuk dalam kategori potensial dan berkembang dapat dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi dan kategori yang terbelakang perlu dikaji ulang. Rata-rata persentase BHPBP terhadap TPD sebesar 6,78% menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal masuih cukup lemah. Proporsi dana perimbangan yang dikeluarkan pemerintah pusat selama periode tahun 2009 sampai dengan 2013 sebesar 56,63% masih lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan asli daerah menunjukkan kinerja keuangan Pemerintah 71
Kota Yogyakarta masih rendah terhadap pemerintah pusat yang cukup tinggi. Sedangkan dari rata-rata persentase SBD terhadap TPD sebesar 67,97%, hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap pemerintah pusat masih tinggi. Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu melaksanakan sosialisasi tentang pajak untuk meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Karena sesuai dengan peraturan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB sudah dilimpahkan sepenuhnya kepada pemerinatah daerah, yang kosekuensinya Pemerintah Kota Yogyakarta harus mengoptimalkan pajak teresebut sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut. Selain itu, Kota Yogyakarta juga dipandang mempunyai peluang untuk meningkatkan PAD melalui bidang pariwisata karena Kota Yogyakarta menjadi salah satu destinasi favorit bagi wisatawan baik lokal maupun mancanrgara. Selain itu wilayah Kota Yogyakarta juga banyak terdapat industri mulai dari skala kecil sampai besar. Hal ini tentun merupakan sumber pendapatan yang potensial bagi Pemerintah Kota Yogyakarta. 2. Kebutuhan Fiskal Kebutuhan Fiskal Kota Yogyakarta lebih besar dari standar kebutuhan fiskal Provinsi DIY rata-rata standar kebutuhan fiskal Kota Yogyakarta selama periode tahun 2009 sampai dengan 2013 sebesar 10 kali lebih besar dari rata-rata standar kebutuhan fiskal Provinsi DIY. 72
3. Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal atas dasar harga konstan hasilnya lebih besar jika dibandingkan dengan kapasitas fiskal standart Provinsi DIY. Besarnya kapasitas fiskal Kota Yogyakarta apabila dilihat dari selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal (celah fiskalnya) terdapat selisih kurang, sebesar 2 kali. Hal ini menunjukkan bahwa apabila dilihat dari metode penilaian yang digunakan oleh Hikmah (1999) Kota Yogyakarta sudah mandiri dengan asumsi bahwa rata-rata kapasitas fiskal Kota Yogyakarta lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan fiskalnya. Namun dari perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah, Kota yogyakarta dalam mencukupi tugas-tugas pemerintahan, pembagunan dan pelayanan masyarakat masih tergolong rendah (berada dalam rentang 25-50). Tingkat kemandirian tersebut menunjukkan bahawa pola hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat adalah hubungan konsultatif. 4. Upaya Fiskal (Tax Effort) Hasil perhitungan upaya fiskal Kota Yogyakarta dengan mencari koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB dengan rata-rata pertumbuhan selama kurun waktu tertentu menunjukkan bahwa dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan, laju pertumbuhan PDRB berpengaruh terhadap PAD yang berarti berati setiap kenaikan PDRB sebesar 1% maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat sebesar 4,53%. Sedangkan apabila menggunakan PDRB atas dasar harga berlaku, pengaruh laju 73
pertumbuhan PDRB terhadap peningkatan PAD adalah sebesar 2,31%, yang artinya apabiala PDRB naik 1 % maka PAD akan meningkat sebesar 2,31%. 5. Rasio Belanja Operasi terhadap Total Belanja Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebagaian besar dana yang dimiliki tidak diprioritaskan untuk kebutuhan belanja modal. Belanja operasional yang tinggi menggambarkan kekurangmampuan kapasitas keuangan untuk membangun infrastruktur, karena belanja operasional merupakan total belanja setelah dikurangi belanja modal. Dari rasio di atas diketahui bahwa rasio sebesar 90,68% dari total belanja, sehingga diketahui bahwa pemda masih memfokuskan alokasi belanjannya pada belanja operasional dan mengurangi belanja modal. 6. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Dari hasil perhitungan rasio belanja pegawai terhadap total belanja dapat diketahui bahwa rasio belanja pegawai terhadap total belanja selama tahun 2009 sampai dengan 2013 rata-ratanya adalah 62.78%. Sehinga dapat diketahui bahwa dari total belanja daerah Kota Yogyakarta lebih dari 50 % anggaran terserap untuk belanja pegawai. Dari tahun 2009 sampai dengan 2013 belanja pegawai terus mengalami peningkatan.dengan rata-rata kenaikan sebesar 10%. Di era otonomi daerah transfer uang dari pusat tujuannya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pengalokasian belanja pegawai terlalu besar sebagaimana terjadi di Kota Yogyakarta, anggaran pembangunan akan menjadi minim. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai 74
seperti belanja modal, barang dan jasa yang digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. 7. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Kota Yogyakarta hanya menganggarkan sebagian kecil APBD untuk diluar belanja pegawai khususnya belanja modal. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah diluar belanja pegawai, khususnya dalam pemerataan infrastruktur dan dalam mendukung pemenuhan pelayanan publik. Apabila ditinjau dari target yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bahwa persentase ratarata belanja modal terhadap total belanja daerah dari tahun 2009 sampai dengan 2013 Kota Yogyakarta masih belum memenuhi target yang ditetapkan pemerintah. 8. Rasio Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung Berdasarkan hasil yang diperoleh dari perhitungan rasio belanja langsung dan belanja tidak langsung Kota Yogyakarta pada perode 2009 sampai dengan 2013 terlihat bahwa belanja tidak langsung masih lebih besar daripada belanja langsungnya. Sesuai target pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 Kota Yogyakarta masih belum termasuk dalam daerah yang memiliki proporsi belanja langsungnya lebih besar dari belanja tidak langsung. 75
9. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Hasil perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan bahwa rasio kemandirian pada tahun 2009 sampai 2013 terus mengalami peningkatan dari 28.12% sampai 41.87% dengan tingkat pertumbuhan ratarata pertumbuhan 10.90%. Apabila dilihat dari pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan bantuan pemerintah pusat dan provinsi perbandingan rata-rata pertumbuhan adalah 19,94% dan 12,41%. Sehingga dari tahun 2009 sampai 2013 pertumbuhan PAD lebih besar dari pertumbuhan bantuan pemerintah pusat dan provinsi, hal tersebut menyebabkan rasio kemandirian daerah meningkat meskipun pola hubungan masih konsultatif tetapi di tahun terakhir tahun 2013 sudah mendekati pada pola hubungan partisipatif yaitu sebesar 41,81% mendekati 50%. Rata-rata tingkat kemandirian selama lima tahun adalah 36.56%. Walapun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kemampuan daerah dalam mencukupi tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat masih tergolong rendah (berada dalam rentang 25-50). Tingkat kemandirian tersebut menunjukkan bahawa pola hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat adalah hubungan konsultatif. Hal ini berarti campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi. 76
5.2 SARAN Berdasarkan hasil penerlitian menunjukkan bahwa kemanmpuan kinerja keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta masih rendah dan masih tergantung pada keuangan pemerintah pusat. Hendaknya pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan kinerjanya dan menggali potensi potensi yang ada yang berguna untuk meningkatkan PAD sehingga ketergantungan keuangan pada pemerintah pusat dapat dikurangi. Pemerintah daerh perlu segera melakukan berbagai upaya untuk menggali dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, sehingga dapat menjadi kompensasi terhadap hilangnya potensi yang perlu dioptimalkan tersebut terutama potensi yang dapat menarik investor, sehingga peningkatan pendapatan nantinya bukan berasal dari pembebanan terhadap masyarkat umum, melaikankan terhadap sektor usaha. 77