ANALISIS PUTUSAN HAKIM KASASI TERHADAP PENGABAIAN DALAM PERKARA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 190 K/PID.

dokumen-dokumen yang mirip
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

commit to user BAB I PENDAHULUAN

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGADILI PERMOHONAN KASASI PENGGELAPAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 373 K/Pid/2015)

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

P U T U S AN No. 949 K/Pid/2002 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

P U T U S AN No. 700 K/Pid/2003 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

P U T U S A N Nomor : 419/Pid.B/2013/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Imron Sholeh, Septian Danang dan Handhika Saputra FH UNS Surakarta

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

P U T U S A N Nomor : 223/Pid.B/2014/PN.BKN

P U T U S A N. Nomor 20/Pid.Sus-Anak/2014/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

P U T U S A N. Nomor : 529/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N N O M O R : 2253 K/PID/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

P U T U S A N NOMOR:784/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA : DIAN OCTO PRATAMA LUMBANTOBING;

P U T U S A N. Nomor : 22/Pid.Sus/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

P U T U S A N No. 1515K/Pid/2002 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

PENGADILAN TINGGI MEDAN

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 13/PID.B/2014/PN.SBG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

P U T U S A N. Nomor : 16/PID.SUS.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Nomor : 264/Pid.Sus/2013/PT.Bdg. Nama lengkap : H. SUJANA Bin EMAD ; Tempat Lahir : Sumedang ; Umur/tanggal lahir : 49 tahun / 17 Agustus 1963 ;

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS PUTUSAN HAKIM KASASI TERHADAP PENGABAIAN (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 190 K/PID.SUS/2007) PrigelWahyuCahyono, Rene Anggara, YupieCahya B Fakultas Hukum UNS Surakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengajuan kasasi oleh terdakwa atas dasar diabaikannya surat perdamaian dari korban oleh hakim pengadilan negeri jambi dalam perkara eksploitasi seksual anak dalam putusan mahkamah agung nomor 190 K/Pid.Sus/2007. Adapun kajian selanjutnya adalah untuk mengetahui bagaimanakah kesesuaian pengajuan kasasi oleh Terdakwa sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP. Adapun kajian selanjutnya mengenai dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus pengajuan kasasi sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normative atau biasa juga disebut penelitia nhukum doctrinal. Penelitian ini preskriptif dan terapan. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim serta bahan hokum sekunder yaitu tentang buku-buku teks yang ditulis oleh para pakar hokum dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penulisan hokum ini. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hokum yaitu studi kepustakaan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis bahan hokum dengan metode deduksi silogisme. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan suatu simpulan. Yang pertama bahwa salah dan tidak dibenarkan apabila Hakim Judex Factie mengabaikan surat perdamaian dari korban yang seharusnya menjadi pertimbangan Judex Factie untuk meringankan perbuatan Terdakwa bila mana terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana. Maka, benar apabila Terdakwa menjadikan pengabaian surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi sebagai alas an hokum dalam mengajukan permohonan Kasasi karena Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum. Alasan yang digunakanolehterdakwatersebuttelahsesuaidenganketentuanpasal 253 ayat (1) KUHAP yang mengatursecara limitative alasan-alasan pengajuan kasasi. Kedua, Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus pengajuan kasasi atas dasar diabaikannya surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam perkara eksploitasi seksual anak telah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP yang mengatursecara limitative alasan-alasan pengajuan Kasasi. Oleh karena itu, Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Terdakwa. Kata Kunci : Kasasi, Pertimbangan Hakim, Eksploitasi seksual Anak Jurnal Serambi Hukum Vol. 08 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 77

A. PENDAHULUAN Pasal 3 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 amandemen keempat menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai Negara hukum Indonesia tentu selalu menjunjung tinggi tegaknya hukum di Indonesia. Penegakan hokum merupakan tahapan setelah berakhirnya perbuatan hukum, sehingga yang dimaksud dengan penegakan hokum adalah pelaksanaan secara konkrit atas hukum yang telah dibuat kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Satjipto Rahardjo, 2006: 181). Hukum pada umumnya dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hokum itulah yang membuat hokum dinamis. Penegakan hukum(law enforcement) merupakan penerapan suatuu ndang-undang dengan maksud untuk menjaga keseimbangan antara hokum dan etika. Proses penegakan hokum juga merupakan penerapan diskresi yang berakibat pada jatuhnya putusan hakim yang didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Dengan demikian maka penegakan hokum dapat dilakukan oleh lembaga peradilan melalui suatu proses tertentu guna mencari keadilan yang diberikan kepada pencari keadilan atau ustitia belen (Achmad Ali, 1996:2). Salah satu wujud dari penegakanhukum di Negara Indonesia adalahundang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah salah satu perwujudan penegakan hukum di Indonesia yang merupakan suatu landasan yuridis dalam praktek beracara di pengadilan atas suatu tindak pidana demi terciptanya penegakan hokum dan keadilan. Munculnya KUHAP memberikan perlindungan terhadap harkat martabat tersangka dan terdakwa sebagai manusia yang diberikan secara hakiki oleh Tuhan Yang Maha Esa yaitu dalam bentuk hak asasi manusia. Menurut M. Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 78

Yahya Harahap, Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (M.Yahya Harahap, 2012: 1). Proses pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga atau patut diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari KUHAP yang merupakan sumber hukum pidana formil (hukum acara pidana) dalam sistem hukum pidana Indonesia. Hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana (Andi Hamzah, 1985:15). Perlu diketahui bahwa KUHAP menganut sistem yang disebut Integrated Criminal Justice System. Proses persidangan terdiri dari beberapa tahapan yang saling berkaitan dan semua tahapan tersebut memiliki esensi masing-masing yang berujung pada penjatuhan putusan oleh majelis hakim. Sesuai dengan ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang berlaku di Indonesia, maka penyelesaian suatu perkara pidana, meliputi beberapa tahapan diantaranya penyidikan (opsporing), penuntutan (vervologing), pengadilan (rechtspraak), pelaksaan putusan Hakim (executie), dan pengamatan putusan Hakim (HariSasangka, 2003:2). Hakim mempunyai tujuan menegakkan kebenaran dan keadilan serta dalam tugasnya wajib selalu menjunjung tinggi hukum (Tata Wijayanta dan Heri Firmansyah, 2011:42).Tugas yustisial hakim adalah memeriksa, mengadili, dan kemudian menjatuhkan putusan atas suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, dan yang pertama-tama menjadi pedoman bagi hakim dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan (Ahmad Rifai, 2011:135). Hakim dalam proses peradilan memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakat dalam melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan kepastian hukum dan keadilan, serta kemanfaatan sehingga peradilan menjadi tempat mengayomi harapan dan keinginan masyarakat. Oleh karena itu, seorang Hakim harus memiliki pemahaman yang sempurna mengenai hokum formil dan hokum materiil yang berlaku. Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 78

Pengabaian surat perdamaian dari korban oleh Hakim dalam perkara eksploitasi seksual anak merupakan akibat dari kekurang pahaman atau pun faktor lain yang berpotensimenghambat proses peradilanpidana (Integrated Criminal Justice System) di Indonesia. Salah satunya terkait asas penyelenggaraan Integrated Criminal Justice System bahwa dilaksanakan dengan cepat, biaya murah, dan sederhana. Pengabaian surat perdamaian dari korban oleh Hakim dalam perkara eksploitasi seksual anak berekses pada peluang diajukan upaya hukum oleh para pihak dalam hal ini dapat dilakukan oleh Penuntut Umum maupun terdakwa. Pengajuan upaya hukum yang dalam kasus ini adalah banding maupun kasasi jelas bertolak belakang dengan asas penyelenggaraan peradilan pidana yakni cepat, biayaringan, dan sederhana. Ketertarikan terfokus pada sebuah kasus mengenai pengabaian surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi yang berekses pengajuan kasasi oleh terdakwa dalam perkara eksploitasi seksual anak (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 190 K/Pid.Sus/2007). Mencermati putusan tersebut terdapat seorang Hakim Pengadilan Negeri Jambi yang seharusnya dapat dianggap kompeten terutama dalam hal menyusun putusan serta menjatuhkan vonis terhadap terdakwa, namun ternyata ditemukan fakta bahwa terdapat kekeliruan berupa pengabaian surat perdamaian dari korban dalam perkara eksploitasi seksual anak. Dari uraian diatas penulis tertarik melakukan kajian yang mendalam terhadap putusan hakim dalam putusan Mahkamah Agung No.190 K/Pid.Sus/2007 tentang perkara eksploitasi seksual anak apakah telah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP. B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian hokum doktrinal. Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus yang dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hokum dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap (Peter Mahmud Marzuki, 2013 :134). Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 79

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sementara itu bahan hokum sekunder meliputi hasil karya ilmiah dan penelitian-penelitian yang relevan atau terkait dengan penelitian ini termasuk diantaranya skripsi, tesis, disertas imaupun jurnal-jurnal hokum serta kamus-kamus hokum dan buku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (PeterMahmud Marzuki, 2013 : 195-196). C. PEMBAHASAN 1. Kasus Posisi Pada sekira bulan Mei 2005 Terdakwa Huzaimah alias Nani datang kerumah saksi Poniyem yang merupakan nenek saksi korban Rini di Jl. JendralSudirman Rt. 01 Kelurahan Jogoboyo, Kecamatan Lubuk Linggau Utara II Sumatera Selatan dengan maksud hendak mengajak saksi korban Siti Hotimahalias Sinta alias Rini binti Suprayitno ke Jambi untuk dipekerjakan sebagaipengasuh anak Terdakwa, pada saat itu Terdakwa meminta ijin kepada saksiponiyem agar diperbolehkan membawa saksi korban ke Jambi, pada awalnya saksi Poniyem tidak mengijinkan Terdakwa, akan tetapi karena Terdakwa terus membujuk saksi Poniyem dan memberikan uang sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) kepada saksi Poniyem, akhirnya saksi Poniyem mengijinkan Terdakwa membawa saksi korban Rini ke Jambi untuk dipekerjakan sebagai pengasuh anak Terdakwa, sesampainya di Jambi saksi korban tinggal di rumah Terdakwa dan bekerja sebagai pengasuh anak, akan tetapi pekerjaan tersebut hanya dijalani saksi korban selama kurang lebih 3 (tiga) minggu karena saksi korban tidak betah dan mendapat kabar bahwa saksi Poniyem yang merupakan nenek saksi korban sakit, akhirnya saksi korban pulang kembali ke Lubuk Linggau, dan sekira bulan Mei 2006 saksi korban yang sedang main kerumah Mariana kembali dijemput oleh Terdakwa Huzaimah Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 80

alias Nani binti Dungcik dansaksi Alfian bin Ismail, untuk dipekerjakan kembali di Jambi sebagai pengasuh anak Terdakwa, dan saksi korban menyanggupi ajakan Terdakwa tersebut, selanjutnya saksi korban langsung pergi bersama Terdakwa dan saksi Alfian ke Jambi tanpa ijin terlebih dahulu dengan saksi Poniyem, dan sesampainya saksi korban di rumah Terdakwa di Jl. Syailendra Gg. 8 Rt. 05 Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi saksi korban tidak dipekerjakan sebagai pengasuh anak melainkan menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) di Cafe Leo 88 milik Terdakwa, semula saksi korban menolak untuk dijadikan WTS akan tetapi kemudian saksi korban tidak diberi makan oleh Terdakwa, dan Terdakwa selalu mengancam saksi korban dengan mengatakan tidak akan memberikan makan apabila saksi korban menolak untuk melayani tamu yang datang ke Cafe Leo 88, sehingga saksi korban selanjutnya terpaksa melayani tamu yang datang ke Cafe Leo 88 milik Terdakwa dan sejak saat itulah saksi korban menjadi wanita tuna susila di Cafe Leo 88 yang bertugas melayani para tamu yang sedang minum-minuman keras, menemani tamu yang berjoget dan bernyanyi dan bersetubuh dengan tamu yang datang, perharinya saksi korban rata-rata melayani 2 3 orang tamu dengan bayaran yang saksi korban terima kurang lebih Rp 70.000,- s.d. Rp 100.000,- per tamu dan setiap setelah menerima bayaran dari tamu saksi korban langsung menyerahkan uang bayaran tersebut kepada Terdakwa, selanjutnya Terdakwa mencatat uang yang disetor oleh saksi korban dan namanama tamu yang saksi korban layani tersebut, kemudian setelah terkumpul selama satu bulan uang bayaran saksi korban yang diserahkan kepada Terdakwa tersebut dipotong 50 % untuk Terdakwa, sedangkan sisanya 50 % milik saksi korban dikurangi lagi oleh Terdakwa untuk biaya kamar dan makan saksi korban serta potongan utang saksi korban, setelah Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 81

semua pengurangan tersebut barulah sisanya Terdakwa serahkan kepada saksi korban, dan karena tidak tahan dengan perlakuan Terdakwa maka sekira tanggal 4 September 2006 saksi korban pergi dari Cafe Terdakwa ke rumah saksi Budi, pada saat itu Terdakwa langsung menjemput saksi korban di rumah saksi Budi, akan tetapi saksi korban menolak untuk kembali ke rumah Terdakwa, kemudian Terdakwa mengatakan kepada saksi Budi bahwa saksi korban masih mempunyai utang kepada Terdakwa sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) lalu saksi Budi membayarkan utang saksi korban tersebut kepada Terdakwa sebesar Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan sejak saat itulah saksi korban tinggal di rumah saksi Budi hingga sekira hari Kamis tanggal 14 September 2006 sekira pk. 15.00 WlB sewaktu saksi Lili Rubianti yang merupakan bibi saksi korban yang sedang menemani saksi Dewi menagih uang pinjaman koperasi di Cafe Sakdia mengenali saksi korban sedang duduk di dekat Cafe Sakdia tersebut, selanjutnya saksi Lili mengajak saksi korban untuk pulang ke ruman saksi Lili, saat itu juga saksi Lili langsung bertemu dengan saksi Budi dan mengatakan akan membawa saksi korban pulang ke rumahnya, kemudian saksi Budi meminta agar saksi Lili membayarkan utang saksi korban yang telah dibayarkannya kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah), setelah membayarkan utang saksi korban tersebut, saksi Lili dan saksi korban pulang ke rumah saksi Lili, selanjutnya saksi Lili melaporkan perbuatan Terdakwa kepada pihak Kepolisian di Polsekta Kota Baru Jambi. 2. Identitas Terdakwa Nama Lengkap : Huzaimah alias Nani binti Dungcik. Tempat Lahir :Lahat. Umur/Tanggal Lahir :40 tahun / 28Juni 1966. Jenis Kelamin : Perempuan Kebangsaan : Indonesia Tempat Tinggal: Syailendra Gg.8 RT. 05 kelurahan Rawasari, Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 82

Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi. Agama : Islam. Pekerjaan : Mucikari 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya mengajukan dakwaan terhadap terdakwa Huzaimah alias Nani binti Dungcik dengan dakwaan sebagai berikut : Pertama: Pasal 88 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sindiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahundanataudenda paling banyak Rp. 200.000.000,- Kedua: Pasal 296 KUHP Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian dan atau kebiasaan, di ancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah 4. Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum Negeri Jambi mengajukan tuntutannya terhadap terdakwa yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : a. Menyatakan Terdakwa HUZAIMAH alias NANI binti DUNGCIK terbukti bersalah melakukan tindak pidana "Mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain",sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 88 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam dakwaan alternatif pertama ; b. Menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dengan dikurangkan sepenuhnya selama Terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) subsi dari 3 (tiga) bulan kurungan ; c. Menghukum Terdakwa membayar ongkos Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 83

perkara sebesar Rp 5.000,- (limaribu rupiah) ; 5. Kesesuaian pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus pengajuan kasasi atas dasar diabaikannya surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam perkara eksploitasi seksual anak dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaaan pihak yang mengajukan kasasi. Pemeriksaan kasasi dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir. Adapun dalam menjatuhkan putusan, Hakim akan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus alasan kasasi Terdakwa dalam perkara eksploitasi seksual anak, untuk mengetahui kesesuaian pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam menilai dan memeriksa alasan kasasi Terdakwa tersebut, maka perlu diperhatikan pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 253 ayat (1) KUHAP : Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan : 1) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang; 3) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Pasal 254 KUHAP : Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 84

Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246,. Dan Pasal 247, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Pasal 255 a. Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut. b. Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya. lagi mengenai. bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. c. Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut. Mencermati ketentuan Pasal 245 ayat (1) KUHAP, yaitu permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi diberitahukan kepada Terdakwa. Yang dimaksud dengan pemohon disini adalah orang yang dapat mengajukan permohonan kasasi, yang diantaranya adalah Terdakwa maupun Penuntut Umum. Berangkat dari ketentuan Pasal 254 KUHAP, dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 85

dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246,. Dan Pasal 247, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Mengabulkan permohonan kasasi dalam praktek peradilan sering juga disebut menerima atau membenarkan permohonan kasasi. Putusan yang mengabulkan atau membenarkan permohonan kasasi, kebalikan dari putusan yang menolak permohonan kasasi. Berarti putusan pengadilan yang dikasasi dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas alasan putusan pengadilan yang dikasasi mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 591). Begitu pada prinsipnya, setiap pengabulan permohonan kasasi dengan sendirinya diiringi dengan pembatalan putusan pengadilan yang dikasasi. Akan tetapi ada juga penyimpangan atas prinsip tersebut. Adakalanya pengabulan permohonan kasasi tidak selamanya mesti diiringi dengan tindakan pembatalan, karena apa yang dikabulkan tidak sampai bersifat membatalkan putusan, tapi cukup diperbaiki oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus seperti ini, bisa saja keberatan kasasi yang diajukan pemohon memang dapat dibenarkan Mahkamah Agung, karena ternyata putusan pengadilan yang di kasasi benar mengandung kekeliruan penerapan hukum atau cara melaksanakan peradilan tidak menurut ketentuan undangundang. Cuma intensitas kekeliruan dan kesalahan itu, tidak membatalkan putusan (M. Yahya Harahap, 2012: 591). Membahas mengenai intensitas kekeliruan dan kesalahan yang dibahas pada paragraf sebelumnya, selanjutnya M. Yahya Harahap membahas pengabulan permohonan kasasi yang mempunyai intensitas dan kualitas membatalkan putusan pengadilan. Artinya, kesalahan yang terdapat dalam putusan pengadilan yang dikasasi itu, tidak bisa diperbaiki. Akan tetapi meski dibatalkan karena kesalahan Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 86

yang terdapat didalamnya sedemikian rupa beratnya, dan satu-satunya cara untuk meluruskan kesalahan itu hanya dengan jalan membatalkan. Tentang alasan pembatalan yang dijadikan Mahkamah Agung titik tolaknya adalah ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP. Apabila putusan yang dikasasi secara nyata mengandung pelanggaran terhadap salah satu alasan yang terperinci dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, sudah cukup alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan (M. Yahya Harahap, 2012: 592). Kemudian Penulis mencoba mencermati isi dari Pasal 253 ayat (1) KUHAP, dimana dalam pasal tersebut diatur secara limitative alasan-alasan pengajuan kasasi. Seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, dalam kasus eksploitasi seksual anak benar apabila Terdakwa menjadikan kesalahan hakim dalam pengabaian surat perdamaian dari korban sebagai alasan hukum dalam mengajukan permohonan kasasi karena Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum. Alasan yang digunakan oleh Terdakwa tersebut telah sesuai dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP. Kemudian Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus pengajuan kasasi atas dasar diabaikannya surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam perkara eksploitasi seksual anak telah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP yang mengatur secara limitative alasan-alasan pengajuan Kasasi. Oleh karena itu, Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Terdakwa. Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 87

D. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya terdapat dua kajian yang dapat disimpulkan di dalam bab ini, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: a. Salah dan tidak dibenarkan apabila HakimJudex Factie mengabaikan surat perdamaian dari korban yang seharusnya menjadi pertimbangan Judex Factie untuk meringankan perbuatan Terdakwabilamana terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana. Maka, benar apabila Terdakwa menjadikan pengabaian surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi sebagai alasan hukum dalam mengajukan permohonan Kasasi karena Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum. Alasan yang digunakan oleh Terdakwa tersebut telah sesuai dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP yang mengatur secara limitative alasan-alasan pengajuan kasasi. b. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus 2. Saran pengajuan kasasi atas dasar diabaikannya surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam perkara eksploitasi seksual anak telah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 KUHAP yang mengatursecara limitative alasanalasanpengajuankasasi. Olehkarenaitu, Hakim MahkamahAgungmengab ulkan permohonan kasasi dari Terdakwa. Berkaitan dengan pembahasan mengenai tinjauan tentang pengajuan kasasi oleh terdakwa atas dasar diabaikannya surat perdamaian dari korban oleh Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam perkara eksploitasi seksual anak maka penulis menyarankan sebagai berikut: Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 88

a. Peningkatan akan pemahaman dan profesionalitas bagi para hakim dalam menangani berbagai macam perkara supaya tidak terjadi kesalahan dalam penerapan hokum yang berujung kepada terhambatnya proses peradilan pidana. b. Tindakan yang mengarah kepada kekeliruan dan ketidak pahaman oleh para penegak hokum khususnya Hakim mengenai pemerikaan suatu perkara seharusnya dihindari. Mengingat Hakim dalam proses peradilan memiliki tanggungjawab yang sangat besar kepada masyarakat dalam melahirkan putusanputusan. Oleh karena itu, seorang hakim harus memiliki pemahaman yang sempurna mengenai hokum formil dan hokum materiil yang berlaku. Buku : DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis. Jakarta : Candra Pratama. Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hari Sasangka. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: CV Mandar Maju. M. Yahya Harahap. 2013. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Satjipo Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. MakalahdanAr tikelilmiah : Tata Wijayanta dan Heri Firmansyah. 2011. Perbedaan Pendapat Dalam Putusan- Putusan di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Sleman. Jurnal Mimbar Hukum. Vol 23 Nomor 1.Yogyakarta : FH UGM. Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 89

Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Acara Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Putusan Mahkamah Agung Nomor 190 K/Pid.Sus/2007 Jurnal Serambi Hukum Vol. 12 No. 02 Agustus 2014 Januari 2015 Page 90