BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1998 menyatakan bahwa setiap perusahaan yang berbentuk perseroan terbuka, bidang usaha perseroan berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat, perseroan mengeluarkan surat pengakuan utang, serta memiliki jumlah aset lebih dari atau sama dengan Rp 50.000.000.000,00 wajib menerbitkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Menurut PSAK nomor 1 (revisi 2009), laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan pokok dari laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, dan perubahaan posisi keuangan suatu entitas yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah pemakai sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan sekaligus sebagai pertanggungjawaban manajeman atas sumberdaya yang dikelola atas keputusan pemegang saham. Laporan keuangan yang diberikan pada publik harus dapat diandalkan, dalam arti menginformasikan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya. Fungsi laporan keuangan ini tidak terlepas dari peranan akuntan publik atau auditor sebagai pemeriksanya. Publik mempercayakan auditor sebagai pihak independen yang memberikan penilaian berupa opini terhadap laporan keuangan perusahaan. 1
Dalam makna modern, audit adalah sebuah proses (yang dilakukan oleh seorang auditor), dengan mana akun dari entitas bisnis, termasuk perusahaan privat, badan amal, perserikatan, dan perusahaan profesional di teliti dengan cermat secara terperinci sebagai dasar pemberian opini oleh auditor dengan akurat, jujur dan wajar. Opini ini kemudian dituangkan kedalam sebuah laporan audit, ditujukan kepada pihak-pihak yang memerlukan, atau kepada pihak yang mana auditor bertanggung jawab (Wolf, Auditing Today, 1986). Menurut Auditing Standards Section 508, Laporan audit menyatakan informasi mengenai apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam semua pengakuan yang material, laporan keuangan entitas, hasil dari kegiatan operasi, dan arus kas dalam penyesuaiannya dengan GAAP (Generally Accepted Acounting Standards). Hasil audit itu sendiri dikomunikasikan melalui laporan auditor yang berisi opini audit berdasarkan prosedur audit yang telah dilakukan sebelumnya. Laporan audit adalah produk utama dari proses audit. Rata-rata proses audit menghabiskan waktu ratusan bahkan ribuan jam untuk diselesaikan, tetapi pada kenyataannya, pengguna laporan keuangan hanya memanfaatkan tiga paragraf pendek yang tercatum dalam laporan audit. Laporan ini berisi opini auditor terhadap jaminan kredibilitas sebuah laporan keuangan perusahaan (Guy, Alderman, & Winters, 1987). Opini merupakan bagian yang dinilai paling informatif bagi pengguna laporan audit. Opini audit selalu menjadi sorotan utama dalam sebuah laporan auditor, pada penelitan yang dilakukan oleh Gray, Turner, Coram dan Mock, terdapat temuan yang menyatakan bahwa sebagian besar pengguna laporan audit 2
menghargai/memanfaatkan laporan audit tetapi tidak membaca laporan audit tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain mereka hanya memperhatikan opini yang dinilai sebagai kesimpulan dari keseluruhan proses audit. Auditor harus melakukan prosedur audit sesuai dengan standar auditing yang berlaku untuk kemudian dapat mengeluarkan sebuah opini audit. Tetapi pada prakteknya masa kini, pengguna laporan audit sendiri belum mengerti secara jelas, apakah laporan audit bermaksud untuk mengkomunikasikan hasil audit, atau apa tingkat jaminan yang diberikan oleh laporan tersebut. Pernyataan Standar Auditing (PSA) no.31 yang disusun oleh IAI dan SAS 54 yang disusun oleh AICPA mewajibkan auditor dalam mengaudit laporan keuangan untuk mendeteksi kemungkinan adanya unsur pelanggaran hukum yang dilakukan oleh klien. Unsur pelanggaran hukum yang dimaksud disini adalah segala indikasi kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen atau karyawan perusahaan klien yang melanggar peraturan yang berlaku, pembayaran suap, pemberian kontribusi politik secara tidak resmi, penyelundupan atau melalaikan pajak adalah termasuk kedalam perbuatan melanggar hukum tersebut. Selain itu, SAS 53 mewajibkan auditor untuk merencanakan dan menyusun program auditnya sedemikian rupa sehingga memberikan jaminan yang memadai (reasonable assurance) atas terdeteksinya kekeliruan dan ketidakberesan yang mungkin atau telah terjadi. 3
Ketidakberesan (irregularities) tersebut menurut (Munawir, 1995) dalam Auditing Modern adalah : 1. Tindakan yang mengandung unsur manipulasi, pemalsuan atau pengubahan catatan akuntansi atau dokumen yang digunakan sebagai dasar pencatatan. 2. Penyajian yang salah atau menghilangkan informasi akuntansi, transaks, kejadian yang berhubungan dengan keuangan atau informasi penting lainnya dengan sengaja 3. Secara sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah yang berhubungan dengan jumlah, klasifikasi, pelaporan dan pengungkapan dalam laporan keuangan Hal ini berarti, adalah tanggungjawab auditor untuk menemukan atau mendeteksi adanya tindak kecurangan, kekeliruan, dan ketidakberesan tersebut. Seiring dengan perkembangan dunia perekonomian yang semakin kompleks, maka praktik fraud pun turut berkembang pula. Jenis fraud yang terjadi pada tiap negara dapat berbeda, karena dalam praktiknya kondisi hukum sebuah negara sangat berpengaruh terhadap fraud yang terjadi pada negara tersebut. Fraud juga dapat terjadi pada sektor swasta maupun sektor publik. Pada sektor swasta, banyak terdapat penyimpangan dan kesalahan yang dilakukan seseorang dalam menafsirkan catatan keuangan. Hal itu menyebabkan banyaknya kerugian yang besar bukan hanya bagi orang-orang yang bekerja pada perusahaan, akan tetapi pada investor-investor yang menanamkan dananya pada perusahaan tersebut. 4
Pada sektor publik di Indonesia, korupsi sudah bukanlah hal yang asing lagi, berkali-kali instansi pemerintahan secara bergantian terkena kasus korupsi. Lembaga pemerintahan seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), Inspektorat, KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan ICW (Indonesian Corruption Watch), bahkan dibuatnya UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum berhasil menuntaskan masalah korupsi yang merajalela. Pernyataan dan peraturan-pertauran yang telah dijabarkan sebelumnya, ternyata tidak sejalan dengan pernyataan pers oleh BPK yang diwakilkan oleh Biro Humas dan Luar Negrinya yang menyimpulkan bahwa opini WTP tidak menjamin pada sebuah entitas yang memperolehnya tidak terjadi tindak korupsi. Pihaknya juga menambahkan hal tersebut dikarenakan pemeriksaan laporan keuangan tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi adanya korupsi. BPK secara khusus mengeluarkan pernyataan ini berkaitan dengan para pengguna laporan keuangan seringkali mempertanyakan kredibilitas BPK selaku badan yang bertanggungjawab melakukan audit dan mengeluarkan opini terhadap lembaga pemerintah atau badan usaha milik pemerintah. Banyak lembaga pemerintah yang mendapatkan opini WTP tetapi kemudian terlibat kasus korupsi. Begitu juga pihak lembaga pemerintah yang sering memanfaatkan perolehan opini WTP sebagi perisai bahwa mereka tidak mungkin terlibat korupsi. 5
Masyarakat selama ini berpendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian yang diberikan oleh BPK atas pengelolaan keuangan suatu instansi pemerintah pusat maupun daerah, selayaknya menjamin bahwa pengelolaan keuangan instansi milik pemerintah tersebut telah dilaksanakan dengan tepat dan bebas korupsi. Pemberian opini oleh BPK mengacu pada tiga hal utama, yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, termasuk dengan kecukupan dalam pengungkapan laporan keuangan, penilaian mengenai Aparat Pengawas Internal Pemerintah, serta ketaatan terhadap perundang-undangan. Meskipun kriteria tersebut masih kurang, yaitu tindak lanjut instansi terhadap hasil penilaian dan rekomendasi oleh BPK, namun ketiga syarat utama tersebut, seharusnya mampu mendeteksi adanya fraud dalam sebuah laporan keuangan. Kasus-kasus korupsi, terkhususnya pada sektor pemerintahan, biasanya berbentuk penyelewengan penggunaan anggaran belanja dan anggaran pendapatan, kecurangan semacam ini seharusnya dapat terdeteksi sesuai dengan kriteria ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Kecurangan tersebut dapat terjadi karena lemahnya Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) instansi tersebut, namun hal tersebut seharusnya dapat diatasi mengingat kriteria kedua adalah penilaian kehandalan SPIP. Kemudian kriteria terakhir, kesesuaian dengan SAP dan kecukupan pengungkapan, seharusnya dapat mencegah atau mendeteksi penyalahgunaan dana melaui penyajian dan kecukupan pengungkapan yang tercapai. Jika dalam praktek auditnya BPK tidak menemukan kesalahan ataupun pelanggaran material akan ketiga kriteria tersebut, maka opini WTP yang diberikan 6
oleh BPK tersebut seharusnya sudah dapat memberikan jaminan yang layak bahwa pengelolaan keuangannya bebas korupsi, bukan hanya bebas dari salah saji saja. Pemeriksaan laporan keuangan tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi adanya korupsi. Namun demikian, BPK wajib mengungkapkan apabila menemukan ketidakpatuhan atau ketidakpatutan baik yang berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap opini atas laporan keuangan. 1.2. Rumusan Masalah Masyarakat secara umum sebagai pengguna laporan audit selalu beranggapan bahwa program audit seharusnya mampu mendeteksi fraud dalam laporan keuangan. Tetapi profesi audit selalu mengklaim bahwa pendeteksian fraud semata-mata bukan menjadi tujuan dan tanggung jawab auditor eksternal. Pembentukan opini publik atas tujuan audit bukan semata-mata tanpa latar belakang, sejarah perkembangan audit menjadi faktor yang cukup kuat pembentukan opini tersebut. 1.3. Batasan Masalah Tulisan ini berdasar pada dokumen-dokumen yang tersedia yang dapat diperoleh oleh penulis. Analisa yang dibahas dalam tulisan ini bertujuan untuk memperkaya dan sebagai wujud pemikiran kritis penulis terhadap rumusan masalah yang ada. Penulisan ini terbatas pada sumber-sumber pustaka yang dapat diperoleh penulis, serta karena sifatnya adlah kajian kritis, maka terbatas pada pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh penulis. Masalah auditor dan keterkaitannya dengan fraud disadari sangat luas dan dinamis dalam praktiknya. Fraud juga erat 7
kaitannya dengan ranah hukum, yang tidak menjadi perhatian khusus dalam studi ini. Keterbatasan-keterbatasan tersebut bisa menjadi acuan untuk penelitian berikutnya. 1.4. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan dan batasan masalah yang telah penulis jabarkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah memahami peran serta tanggung jawab auditor terhadap kecurangan pada laporan keuangan, dengan melihat sejarah perkembangan profesi audit serta regulasi yang mengaturnya. 1.5. Manfaat Penulisan Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi akademisi, tulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran terkait peran serta tanggung jawab auditor dalam mendeteksi fraud dalam laporan keuangan 2. Bagi para pengguna laporan auditor, dapat memahami sejauh apa peran serta tanggungjawab auditor dalam mendeteksi fraud dalam laporan keuangan, sehingga meminimalisasi adanya gap antara apa yang diharapkan oleh pengguna laoran audit dengan auditor sebagai penyedia laporan audit. 3. Saran dari tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi profesi, akademisi dan regulator dalam ranah audit. 1.6 Sistematika Penulisan Tulisan ini terdiri dari 5 bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : 8
1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang yang mendasari adanya permasalahan dalam penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan bagian tinjauan pustaka, berisi teori-teori yang melandasi studi dan menjadi dasar dalam kajian kritis ini. 3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas mengenai metodologi penelitian yang menjelaskan jenis dan ruang lingkup penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, serta metode analisisnya. 4. BAB IV PEMBAHASAN Bab ini merupakan bagian pembahasan, yang berisi analisis peran dan tanggung jawab auditor menurut artikel dan regulasi yang dapat dikumpulkan oleh penulis. 5. BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis pada bab sebelumnya, serta saran yang dapat diambil dari keseluruhan kajian ini dan untuk penelitian berikutnya. 9