BAB 1 PENDAHULUAN. pergelaran dan siaran musik keroncong. Ketika itu ditampilkan lagu-lagu langgam 1

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU EBIT G. ADE SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasi diri (Chaer, 2007:33). Oleh karena itu, bahasa merupakan hal

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pengarang karya sastra tentu mempunyai berbagai ciri khas dalam

BAB I PENDAHULUAN. metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah tempat masyarakatnya secara

I. PENDAHULUAN. Dalam pembahasan bab ini, peneliti akan memaparkan sekaligus memberikan

BAB V PENUTUP. wahana kritik sosial. Kritik sosial dalam WLLC diwujudkan dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. keinginan, memberikan saran atau pendapat, dan lain sebagainya. Semakin tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi anggota

BAB 3 METODE PENELITIAN

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN GAYA BAHASA DALAM WACANA STIKER KENDARAAN BERMOTOR (TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK)

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi sehari-hari, tetapi juga digunakan untuk pembuatan lagu-lagu yang

ANALISIS DIKSI DAN GAYA BAHASA PADA NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO. Jurnal Publikasi Skripsi

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Analisis Gaya Bahasa pada Lirik Lagu Grup Band Noah dalam Album Seperti Seharusnya (Edi Yulianto, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangsari memiliki beberapa upacara adat Jawa, salah satu di

untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahasa adalah alat komunikasi manusia untuk

BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Hubungan bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk dapat berkomunikasi dan

Novel Selamat Tinggal Jeanette merupakan novel yang mempunyai latar belakang adatistiadat

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal yang lain (KBBI, 2003: 588).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU GRUP MUSIK WALI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DI SMA

BAB 2 GAYA BAHASA IKLAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang memperhatikan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, identifikasi

TEMA DAN GAYA BAHASA KARYA HAJI ABDUL MALIK

PEMANFAATAN GAYA BAHASA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU KARYA TERE LIYE. SKRIPSI Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari sastra. Pemakaian bahasa dalam karya sastra mempunyai

ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU GRUP MUSIK WALI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DI SMA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan

INTISARI A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

BAB II LANDASAN TEORI. curahan perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian (Moeliono (Peny.), 2003:

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan bahasa ringkas, pilihan kata yang konotatif, banyak penafsiran, dan

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan suatu hal yang sangat akrab dengan indera pendengaran

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poeima membuat atau

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan

BAB I PENDAHULUAN. Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMINTA DALAM INTERAKSI ANAK GURU DI TK PERTIWI 4 SIDOHARJO NASKAH PUBLIKASI

KONTRIBUSI MINAT BACA PUISI DAN PENGUASAAN GAYA BAHASA TERHADAP KETERAMPILAN MENULIS PUISI BEBAS SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 LEMBAH GUMANTI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama

KATEGORI DAN FUNGSI MAJAS DALAM LIRIK LAGU ALBUM BINTANG LIMA DEWA 19

ANALISIS MAKNA KIAS DALAM LIRIK LAGU IWAN FALS SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA KELAS X

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, harapan, pesan-pesan, dan sebagainya. Bahasa adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. manfaat, serta definisi operasional yang berkaitan dengan penelitian.

PENGGUNAAN GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN KATA KHUSUS PADA KUMPULAN PUISI KETIKA CINTA BICARA KARYA KAHLIL GIBRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Bahasa Karya Sastra

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berhubungan. (berkomunikasi), saling belajar dari orang lain, dan saling memahami orang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca,

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. tanpa harus bersusah payah. Dengan teknologi canggih dan cepat yang semakin

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

BAB I PENDAHULUAN. berupasistemlambangbunyiujaranyang kompleks dan aktif. Kompleks,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide,

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam tuturannya (Chaer dan Leoni. 1995:65).

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Berikut adalah metode dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. estetik dan keindahan di dalamnya. Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena

ANALISIS GAYA BAHASA IKLAN ELEKTRONIK PRODUK KOSMETIK. Fadlun Al fitri

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Pertama,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan

Penggunaan bahasa kias yang terdapat dalam novel AW karya Any Asmara

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaannya bilamana tidak saling menyerap tanda-tanda yang

BAB I PENDAHULUAN. pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik

VARIASI GAYA BAHASA REPETISI PADA WACANA KATA MUTIARA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

MACAM-MACAM MAJAS (GAYA BAHASA)

MAJAS DALAM KUMPULAN PUISI DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA. Oleh

BAB II KAJIAN TEORI. keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah teori pragmatik, aspek-aspek situasi

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB 5. KESIMPULAN dan SARAN. pemakaiannya. Bahasa juga kerap dijadikan media dalam mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sekolah, sidang di pengadilan, seminar proposal dan sebagainya.

GAYA BAHASA DALAM CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi mereka membentuk sebuah komunikasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. (Wijana, 2011:1). Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa peran

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan kunci utama dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

2015 RELEVANSI GAYA BAHASA GURIND AM D UA BELAS KARYA RAJA ALI HAJI D ENGAN KRITERIA BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA D AN SASTRA IND ONESIA D I SMA

BAB V KESIMPULAN. Campursari karya Manthous dapat hidup menjadi musik. industri karena adanya kreativitas dari Manthous sebagai pencipta

BAB I PENDAHULUAN. mengekspresikan tulisanya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesenian dan bahasa termasuk bagian dari tujuh unsur kebudayaan. Dalam teori kebudayaan, musik adalah perpaduan antara unsur seni dan bahasa sehingga eksistensinya tak lekang zaman. Salah satu genre musik yang menjadi identitas masyarakat Jawa adalah Campursari. Menurut Supanggah musik Campursari telah melekat dengan masyarakat Jawa sejak tahun 60an. Kelahirannya bermula dari pergelaran dan siaran musik keroncong. Ketika itu ditampilkan lagu-lagu langgam 1 Jawa yang berlaras pelog dengan melibatkan beberapa instrument gamelan seperti kendang, gender, dan siter (Supanggah 2003 dalam Wadiyo, 2011: 117). Pada umumnya Campursari merupakan musik gabungan antara musik diatonik pelog 2 maupun slendro 3 dengan musik non diatonik utamanya langgam dan pop (Wadiyo, 2011: 123). Lagu Campursari berhubungan dengan refleksi mentalitas masyarakat Jawa. Mentalitas masyarakat ada bermacam-macam. Ada yang tradisonal murni, ada yang modern betul, dan ada yang campuran antara tradisional dan modern (Wadiyo, 2011: 122). Alat musik yang digunakan dalam Campursari merupakan 1 model atau bentuk irama lagu 2 salah satu tangga nada karawitan yang nadanya terdiri atas lima nada pokok yang tidak sama dan beberapa nada sisipan atau terdiri dari panjang pendek. 3 salah satu tangga nada karawitan yang nadanya terdiri atas lima nada pokok

2 campuran antara musik tradisional seperti gamelan dengan alat musik modern seperti keyboard atau piano, gitar, bass, dan drum. Fenomena musik Campursari secara sosial menunjukkan mentalitas masyarakat yang dialektis antara mental tradisional dan modern. Dikatakan tradisional murni, mungkin tidak. Dikatakan modern, nyatanya juga masih menjunjung tinggi nilai-nilai lama (Wadiyo, 2011: 122). Dengan melihat jenis musik yang dijadikan sebagai sarana berkesenian oleh masyarakat, kita dapat melihat aspek fenomena sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Ciri khas lagu Campursari umumnya selalu menggunakan lirik berbahasa Jawa. Dalam penciptaan lirik lagu, penyair atau pencipta lagu menggunakan permainan kata-kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap lirik atau syairnya. Permainan bahasa dapat berupa permainan bunyi, gaya bahasa maupun penyimpangan makna kata. Permainan bahasa tersebut diperkuat dengan penggunaan melodi atau notasi musik yang disesuaikan dengan lirik lagunya sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan pengarangnya (Awe, 2003:51 dalam Sanjaya 2013: 186). Pada umumnya lagu-lagu Campursari bertemakan cinta dan kehidupan sehari-hari, tetapi tak jarang juga ada lagu-lagu Campursari yang bertemakan kritik sosial. Akan tetapi, lagu-lagu yang berisi kritik sosial cenderung sedikit. Pada umumnya bentuk tuturan yang berisi kritik sosial memiliki ciri khusus yang berbeda dengan bentuk tuturan lain. Biasanya kritik disampaikan dengan teknik atau kemasan tertentu agar tuturannya bersifat implisit sehingga kritikan tersebut tidak

3 dirasakan langsung oleh sasarannya. Salah satu kemasan yang cukup menarik sebagai media untuk mengkritik adalah melalui lirik lagu. Lagu merupakan suatu bentuk hiburan yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang memerlukan hiburan, manusia menuangkan kreativitasnya melalui lirik dengan diiringi nada-nada sehingga tercipta lagu yang dapat diperdengarkan untuk menghibur diri. Selain bertujuan untuk menghibur, ternyata lagu memiliki tujuan lain seperti mengungkapkan perasaan, memberi pesan moral, estetika, identitas, berkomunikasi, dan mengkritik. Wacana lirik lagu Campursari (WLLC) merupakan jenis wacana fiksi yang berbentuk puisi. Berdasarkan sifatnya, wacana dapat digolongkan menjadi dua, yaitu wacana fiksi dan wacana nonfiksi. Wacana fiksi adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi. Wacana fiksi dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu wacana prosa, wacana puisi, dan wacana drama. Sedangkan wacana nonfiksi atau wacana ilmiah adalah wacana yang disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah. Beberapa contoh wacana nonfiksi antara lain laporan penelitian, buku materi perkuliahan, buku petunjuk pemakaian, dan sebagainya (Mulyana, 2005: 54-55). Sebagai wacana fiksi yang berbentuk puisi, WLLC menggunakan bahasa estetis atau berorientasi pada kualitas estetika (keindahan). Keindahan bahasa dalam WLLC terletak pada penggunaan gaya bahasa. WLLC yang dimanfaatkan untuk tujuan mengkritik dimungkinkan menggunakan gaya bahasa dan kesopanan berbahasa pada setiap jenis tindak tutur. Tindak tutur yang bertujuan mengkritik tidak hanya terdapat

4 dalam jenis tindak tutur ekspresif saja, melainkan dapat memanfaatkan jenis tindak tutur lain sebagai strategi mengkritik. Tindak tutur, kesopanan, dan gaya bahasa memiliki hubungan yang erat. Ketiga aspek tersebut dapat dimanfaatkan sebagai strategi mengkritik dalam WLLC. Tindak tutur, kesopanan positif dan negatif, dan gaya bahasa merupakan kajian yang berada di ranah berbeda. Tindak tutur dan kesopanan merupakan kajian di bidang pragmatik, sedangkan gaya bahasa termasuk bagian dari kajian stilistika. Namun, ketiganya dapat dikolaborasikan untuk mengkaji wacana sastra yang bergenre puisi secara mendalam dengan pendekatan linguistik. Perpaduan antara teori-teori pragmatik dan stilistika menghasilkan teori stilistika pragmatik. Kajian stilistika pragmatik dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dari teori-teori pragmatik agar bisa menjelaskan aspek-aspek dari teks sastra yang membuat teori-teori pragmatik menjadi menarik untuk digunakan sebagai sarana penafsiran (Black, 2011: 336). Teori ini dipopulerkan oleh Elizabeth Black. Ia berpandangan bahwa kajian linguistik yang berorientasi pragmatik terhadap bahasa ternyata berguna bagi pemahaman teks fiksi atau karya sastra. Perspektif tersebut bisa menjadi sebuah dimensi dalam pembacaan karya sastra. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa karya sastra niscaya berakar dari wacana keseharian walaupun wacana sastra berbeda dari wacana keseharian. Penelitian ini menganalis tentang pemanfaatan tindak tutur, kesopanan positif dan negatif, dan gaya bahasa dalam WLLC. Tindak tutur, kesopanan, dan gaya bahasa

5 merupakan hal yang paling menarik untuk dikaji dalam wacana yang bergenre puisi. Ada beberapa alasan yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Pertama, dalam WLLC terdapat berbagai strategi mengkritik terkait dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pengarang menggunakan strategi mengkritik tertentu dengan memanfaatkan aspek stilistika pragmatik yang bertujuan untuk mengurangi ketajaman kritik. Salah satu aspek pragmatik yang dapat dimanfaatkan sebagai strategi mengkritik adalah tindak tutur. Pemanfaatan tindak tutur dimungkinkan dapat menghasilkan strategi mengkritik secara langsung (on record) maupun tidak langsung (off record). Selain itu, pemanfaatan tindak tutur sebagai strategi mengkritik dapat menghasilkan kritik sosial yang menarik dan tidak monoton. Pada umumnya kritik disampaikan dengan tindak tutur ekspresif. Kritik yang disampaikan dengan tindak tutur ekspresif memiliki karakter yang berbeda dengan kritik yang disampaikan dengan tindak tutur direktif. Karakteristik kritik yang disampaikan dengan tindak tutur direktif cenderung tidak hanya untuk mengkritik tetapi juga memerintahkan sasaran kritik untuk melakukan perbaikan sesuai dengan perintah yang terkandung dalam kritikannya. Dengan demikian, pemanfaatan jenis tindak tutur sebagai strategi mengkritik memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda. Hal itu tentu menarik untuk dikaji secara mendalam. Perhatikan penggalan lirik lagu Campursari berikut:

6 (1) Jaman saiki jarene jaman reformasi Para mahasiswa sabĕn dina bĕrdemonstrasi Yen mĕnggelar orasi ora ana sing nyĕneni Sing ngati-ati aja nganti dadi anarki Zaman sekarang katanya zaman reformasi Para mahasiswa setiap hari berdemonstrasi Jika menggelar orasi tidak ada yang memamarahi Berhati-hatilah jangan sampai menjadi anarki. (Jaman Edan, B4:L1-4). Kritik sosial pada data (1) disampaikan dengan tindak tutur ekspresif mengkritik. Tindak tutur untuk mengekspresikan kritikan yang disampaikan pada data (1) terkait dengan demonstrasi yang sering dilakukan oleh mahasiswa sejak era reformasi. Melalui tuturan pada data (1) pengarang atau penutur (O1) ingin mengkritik para mahasiswa yang kerap melakukan demonstrasi. Hendaknya para mahasiswa berhati-hati ketika berdemonstrasi supaya tidak terjadi tindakan anarki, seperti kasus demonstrasi yang disertai dengan kekerasan, perkelahian antara mahasiswa dengan aparat, bakar ban, memblokir jalan, hingga dapat menyebabkan kematian. Hal itu perlu dikritik agar terjadi perbaikan atau untuk menyadarkan para mahasiswa untuk tidak bertindak anarki dalam berdemonstrasi. Kritik sosial tidak hanya diungkapkan dengan tindak tutur ekspresif, tetapi juga dapat diungkapkan dengan menggunakan tindak tutur direktif. Kritik sosial yang disampaikan dengan tindak tutur direktif memiliki karakteristik tersendiri. Perhatikan potongan lirik lagu Campursari berikut: (2) Klonthang-klanthung kowe ora kĕrja Arĕp nglamar aku mĕngko mangan apa?

7 Mondar-mandir kamu tidak bekerja Mau melamar aku nanti (akan) makan apa? (Cemburu, B5:L5-6). Data (2) merupakan ungkapan untuk mengekspresikan kritikan terhadap pria pengangguran yang akan melamar seorang wanita. Seharusnya sebelum melamar wanita, pria memiliki pekerjaan sebagai bentuk tanggung jawab. Tuturan kritik sosial terhadap pengangguran pada data (2) termasuk tindak tutur direktif yang disampaikan dengan strategi tindak tutur tidak langsung, karena menggunakan kalimat tanya untuk memerintah. Dengan strategi ini tuturan kritik yang berisi perintah terkesan lebih sopan karena tidak disampaikan dengan tuturan imperatif, melainkan interogatif. Tuturan kritik tersebut terkesan seolah-olah bertanya kepada seorang pria yang tidak bekerja, tetapi sudah berani melamar wanita. Tuturan pada data (4) tidak sekedar bertanya, tetapi juga bermaksud untuk mengkritik dengan cara memerintahkan si pria supaya bekerja atau mempunyai pekerjaan terlebih dahulu sebelum melamar atau menikah. Menikah memerlukan biaya, selain itu suami juga wajib menafkahi istri secara material. Pemanfaatan tindak tutur direktif sebagai strategi mengungkapkan kritik sosial berfungsi untuk menciptakan kritikan yang disertai perintah melakukan sesuatu secara tidak langsung (off record). Dengan demikian, sasaran kritik tidak merasa bahwa dirinya sedang dikritik dan diperintah. Hal ini tentu dapat membuat perasaan sasaran kritik tidak tersakiti dan menghindari terjadinya konflik. Penyampaian kritik

8 seperti ini sangat sesuai dengan latar belakang kebudayaan Jawa yang cenderung tidak tegas dalam mengkritik orang lain. Kedua, tindakan mengkritik yang dilakukan oleh pengarang dalam WLLC tidak hanya menggunakan strategi mengkritik secara langsung (on record) maupun tidak langsung (off record), tetapi juga memanfaatkan aspek pragmatik lain berupa strategi kesopanan berbahasa. Strategi kesopanan yang digunakan sebagai strategi mengkritik dalam WLLC adalah kesopanan positif dan negatif. Keduannya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kritikan yang tidak mengancam muka positif maupun muka negatif sasaran kritik. Berikut ini contoh pemanfaatan kesopanan positif sebagai strategi mengkritik dalam penggalan lirik lagu Campursari berjudul Manis. (3) Manis dhik kowe pancen manis Tambah manis kowe yen ora lamis Manis dik engkau memang manis Kamu semakin manis jika tidak hanya baik secara fisiknya saja (Manis, B1:L1-2) Tuturan pada data (3) mengkritik sifat seorang wanita yang lamis hanya tampak baik secara fisik saja. Dengan tuturan kritik tersebut pengarang berharap supaya wanita itu tidak hanya mengandalkan kecantikan fisiknya saja, tetapi juga memiliki kepribadian yang baik. Kritik pada data (3) ditandai dengan tuturan Tambah manis kowe yen ora lamis Kamu semakin manis jika tidak hanya baik secara fisiknya saja. Tuturan itu

9 mengkritik atau menyindir wanita yang hanya baik secara fisiknya saja. Sebelum mengkritik, pengarang terlebih dahulu memuji sasaran kritiknya yaitu tampak pada tuturan Manis dhik kowe pancen manis Manis dik engkau memang manis. Pujian itu merupakan bagian dari strategi mengkritik yang dilakukan oleh penutur. Pemanfaatan pujian sebagai strategi mengkritik dengan kesopanan positif pada data (3) berfungsi untuk mengkritik secara sopan tanpa mengancam muka positif sasaran kritik. Ketiga, sebagai wacana yang bergenre puisi, wacana lirik lagu Campursari memiliki ciri khas pada gaya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa yang digunakan pada lirik lagu berbeda dengan wacana percakapan sehari-hari. Gaya bahasa dalam lirik lagu cenderung berorientasi pada estetika bahasa. Jika gaya bahasa dimanfaatkan sebagai strategi untuk menyampaikan kritik sosial, maka dimungkinkan dapat memperindah kritik yang disampaikan. Kritik sosial yang disampaikan dengan gaya bahasa tentu berbeda dengan kritik dalam percakapan sehari-hari yang tidak menggunakan gaya bahasa. Pemanfaatan gaya bahasa sebagai strategi mengkritk dalam WLLC yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Berikut ini contoh pemanfaatan gaya bahasa ironi sebagai strategi mengkritik dalam penggalan lirik lagu Campursari berjudul Louhan Menor. (4) Dandan moblong-moblong kaya bintang Hongkong Dandan sangat menor seperti bintang Hongkong (Louhan Menor, B1:L2)

10 (5) Lipĕnnya mĕrangsang kaya bibir louhan Lipstiknya merangsang seperti bibir louhan (Louhan Menor, B2:L2) Tuturan pada data (4) dan (5) berisi kritikan terhadap wanita tua yang berpenampilan tidak sepantasnya. Kritik disampaikan secara deskriptif, sehingga terkesan seperti sedang menyindir. Pengarang berharap dengan kritikannya pada data (4) dan (5) sasaran kritik merasa tersindir dan terjadi perbaikan penampilan. Gaya bahasa ironi pada data (4) dan (5) tampak pada ketidaksesuaian antara perkataan dan kenyataan. Harapan dan kenyatan dalam gaya bahasa ironi cenderung berlawanan. Implikasi yang terkandung dapat dipahami dengan baik jika pendengar memahami konteks dalam tuturan itu. Pada data (4) terdapat ketidaksesuaian makna antara dandan moblong-moblong dandan berlebihan dengan kaya bintang Hongkong seperti bintang Hongkong. Artis Hongkong biasanya cantik alami tanpa dandan atau make up yang berlebihan. Tuturan itu digunakan untuk menyindir sasaran kritik untuk tidak berdandan secara berlebihan. Ketidaksesuaian makna juga terdapat pada data (5) yakni antara lipennya merangsang lipstiknya merangsang dengan kaya bibir louhan seperti bibir louhan. Bibir louhan cenderung besar dan bentuknya dower atau memble, sehingga tidak sesuai jika disamakan dengan bibir yang merangsang. Bibir yang merangsang bukan bibir yang dower, tetapi bibir yang seksi dan indah dipandang (nggula satemlik). Pemanfaatan gaya bahasa ironi dalam WLLC sebagai strategi mengkritik pada data (4) dan (5) berfungsi untuk menciptakan

11 kritik tidak langsung (off record), sehingga tidak terlalu menyakiti perasaan sasaran kritik. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada bagian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada: 1. Bagaimana pemanfaatan tindak tutur dan fungsinya sebagai strategi mengkritik dalam WLLC? 2. Bagaimana pemanfaatan kesopanan positif dan negatif sebagai strategi mengkritik dalam WLLC? 3. Bagaimana pemanfaatan gaya bahasa sebagai strategi mengkritik dalam WLLC? 1.3 Tujuan Penelitian berikut: Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai 1. Mendeskripsikan pemanfaatan tindak tutur dan fungsinya sebagai strategi mengkritik dalam WLLC. 2. Mendeskripsikan pemanfaatan kesopanan positif dan negatif sebagai strategi mengkritik dalam WLLC.

12 3. Mendeskripsikan pemanfaatan gaya bahasa sebagai strategi mengkritik dalam WLLC. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian mengenai strategi mengkritik dalam WLLC dengan kajian stilistika pragmatik ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu linguistik kajian stilistika pragmatik. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti selanjutnya sebagai referensi dalam melakukan penelitian linguistik. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai strategi atau cara menyampaikan kritik secara benar dengan memanfaatkan aspek stilistika pragmatik, sehingga kritik yang disampaikan lebih menarik dan estetis tanpa menyakiti sasaran kritik. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini melingkupi analisis stilistika pragmatik terhadap tiga puluh WLLC yang bernuansa kritik sosial dari berbagai penyanyi maupun pengarang yang diunggah di website: www.youtube.com berupa video sebagai data utama dan beberapa lagu berupa mp3 dari berbagai situs di internet sebagai data tambahan. Adapun kajian stilistika pragmatik dalam penelitian ini dibatasi pada pemanfataan tindak tutur, kesopanan positif dan negatif, serta gaya bahasa sebagai strategi

13 mengkritik. Hal itu didasari atas pertimbangan bahwa WLLC dapat digunakan sebagai wahana kritik sosial dengan memanfaatkan berbagai jenis tindak tutur, kesopanan positif dan negatif, dan gaya bahasa sebagai strategi mengkritik. Sebagai sebuah wacana yang berorientasi pada tujuan (yaitu mengkritik), WLLC terdiri atas tuturan-tuturan tunggal. Setiap tuturan memiliki fungsi masing-masing. Kesopanan positif dan negatif dimungkinkan dapat dimanfaatkan sebagai strategi untuk menyampaikan kritikan secara sopan dan tidak menyakiti sasaran kritik. Sebagai sebuah wacana bergenre puisi, WLLC dimungkinkan memanfaatkan gaya bahasa untuk mendukung tujuan tutur mengkritik tersebut. 1.6 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik dalam penelitian ini telah banyak dilakukan, diantaranya adalah: Puspitasari (2010) dalam skripsinya berjudul Kritik Sosial dalam Lirik Lagu (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Lirik Lagu Besar Kecil Karya Iwan Fals). Penelitian tersebut mengkaji pemaknaan lirik lagu besar kecil karya Iwan Fals yang kental dengan nuansa kritik dengan menggunakan teori semiotik. Analisis semiotik yang dilakukan meliputi struktur kata, frasa, dan kalimat. Secara garis besar penelitian tersebut mengungkapkan bahwa lirik lagu besar kecil karya Iwan Fals berisi tentang kritikan terhadap pemerintahan pada masa orde baru khususnya pemilu

14 yang diselenggarakan tidak berdasarkan demokrasi Indonesia yang berazazkan pancasila. Sanjaya (2013) menulis makalah yang dimuat di Jurnal ejournal Ilmu Komunikasi Volume 1, Nomor 4, 2013: hal. 183-199. Makalah tersebut berjudul Makna Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Bento Karya Iwan Fals. Penelitian tersebut mengkaji secara semiotika terhadap lagu Bento karya Iwan Fals. Analisis pemaknaan meliputi makna denotatif dan konotatif. Secara denotatif Bento adalah nama pengusaha sedangkan secara konotatif Bento merupakan representasi dari pemerintahan orde baru. Berdasarkan cara penyampaian kritik, lirik lagu Bento karya Iwan Fals menggunakan cara tidak langsung. Kritik sosial yang dilakukan secara tidak langsung berupa pilihan kata dan bahasa simbolis yang menyiratkan penilaian maupun kecaman masyarakat terhadap penguasa pada masa orde baru. Meskipun sama-sama mengkaji kritik sosial, tetapi penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada data dan kajiannya. Data dalam penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari dan Sanjaya berupa lirik lagu karya Iwan Fals, sedangkan data dalam penelitian saya berupa lirik lagu Campursari. Kajian pada kedua penelitian tersebut menggunakan analisis semiotika sedangkan penelitian yang saya lakukan menggunakan analisis stilistika pragmatik.

15 Kritik sosial dalam wacana lirik lagu selain pernah dianalisis secara semiotik, juga pernah dianalisis dengan kajian stilistika dan pragmatik, seperti yang pernah dilakukan oleh Sukma (2012) dalam skripsinya berjudul Wacana Lagu Haddad Alwi penelitian tersebut memberikan referensi tambahan mengenai lirik lagu yang dianalisis dalam bidang linguistik. Kajian dalam penelitian ini sangat luas karena mengkaji lirik lagu dari unsur fonologi sampai gaya bahasa. Penelitian ini menghasilkan beberapa aspek kebahasaan pada wacana lagu Haddad Alwi, yang meliputi fonologi dengan penghilangan fonem, persajakan, asonansi, dan proses aliterasi. Morfologi dengan proses penghilangan afiks, reduplikasi, dan pemajemukan. Sintaksis dengan kalimat inversi, kalimat majemuk tanpa hubung, partikel-lah, penggunaan kalimat tanya beserta jawaban pada satu bait. Semantik dengan penggunaan antonim dan sinonim dalam satu bait. Selain aspek kebahasaan, penelitian ini juga membahas pilihan kata, gaya bahasa, dan tema. Gaya bahasa lebih menekankan pada gaya bahasa berdasarkan kalimat, gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa retoris, serta penggunaan bahasa asing, sedangkan tema dijelaskan pada bab tersendiri yang menghasilkan beberapa tema sebagai hasil penelitian terhadap wacana lagu Haddad Alwi. Tema yang berhasil diungkapkan adalah tema pujian, tema pengetahuan terhadap bulan, tema pengharapan, dan tema nasihat. Penelitian secara pragmatik terhadap lirik lagu pernah dilakukan oleh Hermintoyo (2012) yang menulis sebuah artikel berjudul Implikatur Metafora dalam

16 Lirik Lagu Indonesia Populer (Suatu Kajian Semiotik-Pragmatik) kajian dalam penelitian ini mendeskripsikan implikatur metafora dalam lirik lagu Indonesia popular. Data penelitian berupa seratus teks lirik lagu yang dipilih secara acak dari sepuluh penyanyi solo atau grup. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode pustaka dengan teknik simak baca, dengar, dan catat. Data kemudian diklasifikasi dan didentifikasi sesuai jenis, dan isinya. Analisis data dilakukan dengan bacaan heuristik, dan hermeunitik. Berdasarkan analisis data yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa implikatur metafora dalam lirik lagu Indonesia populer dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu metafora serenada, metafora elegi, metafora ode, metafora satir, metafora himne, dan metafora pasturale. Adapun penggunaan impikatur metafora paling banyak ditemukan pada data yang berupa serenada (percintaan) dan satir (sindiran). Berdasarkan kajian terhadap pustaka-pustaka sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai strategi mengkritik dalam WLLC belum pernah dikaji secara stilistika pragmatik. Kajian-kajian sebelumnya menggunakan data berupa lirik lagu berbahasa Indonesia, sedangkan data dalam penelitian ini berupa WLLC berbahasa Jawa yang dianalisis secara stilistika pragmatik. Penelitian secara stilistika pragmatik dalam WLLC belum pernah dilakukan, padahal dalam lirik lagu juga terdapat berbagai aspek-aspek kebahasaan yang selalu menarik untuk dikaji secara stilistika pragmatik. Dengan demikian, penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian-

17 penelitian sebelumnya dan penelitian ini merupakan hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. 1.7 Landasan Teori Berbagai teori digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah kritik dan strategi mengkritik, tindak tutur, kesopanan positif dan negatif, serta gaya bahasa. Berikut adalah penjelasan masing-masing teori tersebut. Kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya (KBBI, 1990: 466). Mengkritik merupakan salah satu tujuan atau fungsi dalam tindak tutur. Tujuan tutur mengkritik ditengarai lewat tanda (clue) berupa tuturan yang menyatakan kelemahan atau keburukan. Suatu tuturan dapat dikategorikan mengkritik apabila terdapat tuturan yang menunjukkan kesalahan, keburukan, atau tindakan dan keadaan yang negatif (Subagyo, 2014: 77). Tujuan mengkritik adalah untuk memperbaiki kesalahan atau permasalahan. Dengan demikian, kritik sosial dapat disimpulkan sebagai tindakan untuk memberikan komentar, baik berupa pendapat, saran, masukan, maupun sanggahan terhadap suatu kesalahan, keburukan, atau permasalahan sosial di masyarakat dengan tujuan untuk memperbaikinya.

18 Kana (1982: 31) dalam Nadar (2009: 183) melihat kesulitan penutur Jawa untuk mengungkapkan kritik karena dalam budaya setempat membuat kritik membawa resiko terganggunya keharmonisan hubungan. Beberapa karakteristik budaya Jawa cukup menonjol dan mempengaruhi pembuatan kritik. Wierzbicka (1991: 128) menyebutkan bahwa dalam budaya Jawa dianggap tepat untuk menyembunyikan keinginan dan niat seseorang, khususnya jika mereka bertentangan dengan harapan atau keinginan orang lain. Dengan demikian, terkait dengan ungkapan kritik, seorang penutur yang berlatar belakang budaya Jawa akan berusaha sekuat tenaga agar ungkapan kritiknya tidak terlalu kentara bagi lawan tuturnya (Nadar, 2009: 184). Dalam mengungkapkan kritik diperlukan strategi agar sasaran kritik tidak tersakiti. Teori kesopanan Brown dan Levinson (1987) dapat diterapkan sebagai strategi mengkritik. Teori tersebut sesuai dan dapat diterapkan untuk menjelaskan berbagai strategi mengkritik dalam WLLC. Brown dan Levinson mengklasifikasikan lima strategi kesopanan untuk melaksanakan tindak tutur mengkritik sebagai berikut: 1). Melaksanakan tindak tutur secara langsung atau apa adanya (bald on record) maksudnya, mengkritik langsung tanpa basa-basi. 2). Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesopanan positif (on record with positive politeness) maksudnya, mengkritik dengan memperhatikan minat lawan tutur, melebih-lebihkan rasa ketertarikan, meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur, menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri,

19 mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur, menghindari pertentangan, menimbukan persepsi sejumlah persamaan antara penutur dan lawan tutur, membuat lelucon, menunjukkan rasa optimisme, melibatkan lawan tutur dan penutur dalam kegiatan bersama, memberikan dan meminta alasan, menawarkan suatu tindakan timbal balik, dan memberi rasa simpati. 3). Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesopanan negatif (on record with negative politeness) maksudnya, mengungkapkan kritik dengan menggunakan ungkapan tidak langsung yang sesuai konveksi, menggunakan pagar, bersikap pesimis, mengurangi daya impositif, memberi penghormatan, menggunakan permohonan maaf, tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur secara gamblang, pernyataan yang mengancam muka dinyatakan sebagai ketentuan sosial yang berlaku, menominalkan pernyataan, dan menyebutkan secara jelas bahwa lawan tutur telah memberikan kebaikan. 4). Melaksanakan tindak tutur secara off record, sehingga tidak terdengar sedang mengkritik. Cara mengungkapkan kritik secara off record adalah dengan memberikan petunjuk yang berupa asosiasi, memberikan presuposisi, understate, overstate, menggunakan tautologi, menggunakan kontadiksi, menggunakan ironi, menggunakan metafora, menggunakan pertanyaan retorik, memberikan pernyataan ambigu, memberikan pernyataan yang kabur, over generalisasi, tidak menunjuk pada penutur secara langsung, dan menggunakan elipsis.

20 5). Tidak melakukan apapun. Strategi ini merupakan strategi yang paling tidak langsung untuk mewujudkan suatu tujuan dengan cara memberikan gesture ataupun tanda nonverbal lainnya dengan harapan tanda-tanda tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Salah satu aspek pragmatik yang dapat dimanfaatkan sebagai strategi mengkritik dalam WLLC adalah tindak tutur. Tindak tutur merupakan suatu analisis yang bersifat pokok dalam kajian pragmatik (Levinson dalam Suyono 1990:5 ). Pendapat tersebut berkaitan dengan objek kajian pragmatik yang sebagian besar berupa tindak tutur dalam peristiwa komunikasi. Dalam analisis pragmatik, objek yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi, yaitu berupa ujaran atau tuturan yang yang diidentifikasikan maknanya dengan menggunakan teori pragmatik. Sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (Austin dalam Ibrahim 1992:106). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa ujaran juga dapat disebut sebagai tindakan. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Austin mengungkapkan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.

21 Aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan tindak tutur atau tindak ujar (Rustono, 1999: 24). Ujaran dapat berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakup : penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai hasil tindakan bertutur. Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain: (1) tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, dan (3) tindak perlokusi. Searle menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:

22 1) Asertif (Assertives) adalah bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. 2) Direktif (Directives) adalah bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan. 3) Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. 4) Komisif (Commissives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. 5) Deklaratif (Declaratives) adalah bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Menurut Leech (1983: 328-329) kategori Searle yang kelima, yaitu deklaratif tidak memiliki daya ilokusi, tetapi merupakan tindak ujar konvensional yang memperoleh dayanya dari peranannya dalam suatu kegiatan. Selain lima jenis tindak tutur yang dikemukakan Searle, masih terdapat satu tindak tutur yang belum dikelompokkan, yaitu tindak tutur rogatif. Tindak tutur rogatif adalah bentuk tuturan yang mengawali pertanyaan, seperti meminta (ask), bertanya (inquire), menyangsikan (query), dan mempertanyakan (question). Tindak tutur ini sulit dimasukkan ke dalam salah satu kategori tindak tutur Searle, walaupun sering dianggap sebagai salah satu subkelas direktif. Namun, karena tindak tutur ini mempunyai sifat yang khusus, yaitu memiliki suatu pertanyaan yang tak langsung sebagai komplemen, Leech

23 memasukkan rogatif sebagai kategori tindak tutur kelima dengan alasan sintaktik dan semantik. Sebagai bagian dari pragmatik, tindak tutur dapat dikaji secara mendalam dengan memanfaatkan aspek situasi tutur. Pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi tutur (Leech 1983 dalam Wijana 1996: 9). Dalam rangka studi pragmatik ada lima aspek situasi tutur, yaitu: 1) Penutur dan lawan tutur. Konsep penutur dan lawan tutur juga mencakup pencipta lagu (pengarang) dan pendengar dalam media musik. Lawan tutur merupakan orang yang menjadi sasaran tuturan penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, namun bukan orang yang disapa. Aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat kekerabatan, dan sebagainya. 2) Konteks tuturan. Konteks ini mencakup semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan yang bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks, sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. 3) Tujuan tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama

24 atau sebaliknya. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. 4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. 5) Tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik seperti dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak verbal. Kesopanan baik positif maupun negatif merupakan salah satu aspek pragmatik yang dapat dimanfaatakan sebagai strategi mengkritik dengan sopan. Teori kesopanan yang diacu dalam penelitian ini adalah teori kesopanan Brown dan Levinson (1987). Mereka berasumsi bahwa setiap orang memiliki konsep muka atau face. Pada hakikatnya setiap orang selalu berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut setiap orang senantiasa menjaga dan bekerjasama untuk menghormati muka masing-masing (Nadar, 2009: 161). Menurut Brown dan Levinson (1987) muka face dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu muka positif dan negatif. Muka positif adalah keinginan seseorang agar dirinya dapat diterima oleh pihak lain, sedangkan muka negatif adalah keinginan seseorang agar tindakannya tidak dihalang-halangi oleh pihak lain. Agar kritikan tidak mengancam muka positif sasaran kritik, pengarang atau penutur menggunakan strategi kesopanan positif, sedangkan untuk kritikan yang mengancam muka negatif sasaran kritik, pengarang atau penutur akan menggunakan strategi kesopanan negatif.

25 Selain memanfaatkan tindak tutur dan strategi kesopanan baik positif maupun negatif sebagai strategi mengkritik, WLLC dimungkinkan dapat memanfaatkan gaya bahasa untuk memberikan kesan estetis pada setiap tindak mengkritik. Gaya bahasa merupakan salah satu aspek dalam stilistika. Kridalaksana (2001: 202) mendefinisikan stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Penemu stilistika adalah Charles Bally, seorang linguis Perancis (Hough, 1972: 25). Sebenarnya, stilistika tidak dimaksudkan sebagai studi sastra, tetapi untuk studi bahasa (linguistik) yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Stilistika merupakan bagian lingustik seperti yang dikemukakan oleh Turner (1977: 7). Meskipun kesusastraan (ilmu sastra) dapat memanfaatkan hasil studi linguistik dalam penelitian sastra, tetapi kesusastraan berbeda dengan lingusitik sebab objeknya berbeda. Objek studi linguistik adalah bahasa, sedangkan objek studi kesusastraan adalah karya sastra yang mempunyai konvensi sendiri. Oleh karena itu, ada usaha studi stilistika yang berkecenderungan pada ilmu sastra dan penelitian stilistika yang dipusatkan pada karya sastra sebagai sumber gaya dan penggunaan bahasa yang kompleks. Junus (1989) memusatkan penelitian gaya bahasa pada karya sastra. Hakikat stilistika adalah pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra, tetapi kesadarannya muncul dalam linguistik. Oleh karena itu, stilistika dipahami sebagai ilmu gabung antara linguistik dan ilmu sastra (Pradopo, 1996: 3-4).

26 Pada tataran analisis, gaya bahasa adalah objek, sedangkan stilistika adalah ilmu untuk memecahkan objek tersebut (Ratna, 2014: 169). Sebagai objek, gaya bahasa adalah cara bertutur tertentu untuk mendapatkan efek estetik atau efek kepuitisan (Pradopo, 2000: 265), sedangkan menurut Sudjiman (1993: 50) gaya bahasa atau majas adalah peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra dengan berbagai macam penyiasatannya dapat menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetis karya sastra, bahkan sering kali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya (Pradopo, 2000: 263). Secara tradisional gaya bahasa dapat disamakan dengan majas. Majas adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh keindahan. Sebaliknya, menurut teori sastra kontemporer majas hanyalah sebagian kecil dari gaya bahasa. Dengan singkat, ruang lingkup gaya bahasa lebih luas, sebaliknya, majas lebih sempit, sehingga majas bersifat membantu gaya bahasa (Ratna, 2014: 164). Peneliti dalam penelitian ini menganut pandangan tradisional yang menyatakan bahwa gaya bahasa sejajar dengan majas. Gaya bahasa yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas pada penggunaan majas saja. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa majas lebih banyak berkaitan dengan aspek kebahasaan yang dapat dimanfaatkan sebagai strategi menciptakan atau menyampaikan kritik sosial dalam wacana lirik lagu Campursari.

27 Tarigan membagi gaya bahasa secara umum menjadi empat kelompok besar, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan (perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pelonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi atau prolepsis, dan koreksio), (2) gaya bahasa pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteon, hipalase, sinisme, dan sarkasme), (3) gaya bahasa pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton), dan (4) gaya bahasa perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis). 1.8 Metode Penelitian Sudaryanto (1993: 5) berpendapat bahwa suatu penelitian dilakukan dengan tiga tahapan metode. Tiga tahapan metode itu adalah metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. 1.8.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak atau observasi. Teknik yang digunakan dalam pemerolehan data adalah teknik catat yang merupakan teknik lanjutan. Teknik catat dilakukan dengan mencatat, mengkategorisasi dan mengklasifikasikan data yang diperoleh (Mahsun, 2005: 91).

28 Data dalam penelitian ini berupa tuturan yang terdapat dalam WLLC. Data tersebut berformat video dan audio. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data utama dari rekaman lagu Campursari yang diunggah di www.youtube.com dan data tambahan dari beberapa sumber lain di internet. 1.8.2 Metode Analisis Data Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini WLLC dikaji dengan pendekatan stilistika pragmatik yang merupakan perpaduan antara pendekatan pragmatik dan stilistika. Sehubungan dengan hal itu, metode analisis data yang diterapkan dalam kajian ini mencakup metode padan pragmatik yang digagas Sudaryanto. Metode padan pragmatis adalah metode yang alat penentunnya adalah mitra bicara. Metode padan pragmatis digunakan dalam penelitian kebahasaan untuk mengidentifikasi satuan kebahasaan menurut reaksi mitra tutur pada satuan kebahasaan khususnya mengenai bahasa yang dapat menimbulkan efek tertentu. Prosedur analisis data penelitian ini yaitu mencatat dan mengklasifikasikan tuturan dalam WLLC yang bernuansa kritik sosial, pengklasifikasian tersebut berdasarkan pada strategi mengkritik yang digunakan dalam WLLC. Setelah data diklasifikasikan prosedur selanjutnya adalah menganalisis tindak tutur, kesopanan berbahasa, dan gaya bahasa yang digunakan sebagai strategi mengkritik dalam

29 WLLC, sehingga dapat diketahui strategi atau cara pengarang menyampaikan kritik sosial dalam WLLC. 1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Sudaryanto (1993: 145) menjelaskan bahwa metode penyajian analisis data dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Hasil analisis data penelitian ini secara umum disajikan secara informal yakni dengan menggunakan kata-kata biasa bukan dengan lambang. 1.9 Sistematika Penyajian Penulisan penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, yaitu: bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian; bab II menyajikan pemanfaatan tindak tutur dan fungsinya sebagai strategi mengkritik dalam WLLC; bab III menyajikan pemanfaatan kesopanan positif dan negatif sebagai strategi mengkritik dalam WLLC; bab IV menyajikan pemanfaatan gaya bahasa sebagai strategi mengkritik dalam WLLC; dan bab V penutup berisi kesimpulan dan saran.