I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

dokumen-dokumen yang mirip
I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

Mengenal Satwa Liar dan Teknik Perlindungannya

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015. Kata kunci: Perlindungan hukum, hewan lindung.

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Perburuan satwa liar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB II LANDASAN TEORI

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, untuk itu perlu diadakan suatu usaha untuk melindungi satwa-satwa liar tersebut, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ( 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman kekayaan alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

PRODUKSI BARANG MEWAH DIBALIK PEMBUNUHAN HEWAN Oleh : Yerrico Kasworo* Naskah Diterima: 10 Juli 2017; Disetujui: 13 Juli 2017

BAB III HUBUNGAN HUKUM TURUT SERTA (DEELMENING) MEMBANTU DALAM TINDAK PIDANA PERJUDIAN

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

I. TINJAUAN PUSTAKA. Permasalahan dalam hukum pidana adalah mengenai perbuatan pidana, pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

Transkripsi:

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakaukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Untuk adanaya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan (Roeslan Saleh, 1983 :75). Dalam hukum pidana konsep responbility atau pertanggungjawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia. Syaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan

tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari perbuatan yang dilakukan seseorang akan dipertanggungjawabkan pidananya atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum. Selain unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana yang menentukan seseorang dapat dikenakan sanksi atau tidak adalah kesalahan. Seorang yang dapat dikatakan bersalah jika ia memenuhi unsur-unsur kesalahan. Adapun unsurunsur kesalahan adalah sebagai berikut : 1. Melakukan perbuatan pidana; 2. Mampu bertanggungjawab; 3. Dengan sengaja atau alpa; 4. Tidak ada alasan pemaaf; (Roeslan Saleh, 1983 : 11). Kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor, yang pertama faktor akal, yaitu membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kedua adalah kehendak, yaitu sesuai dengan tingkah lakunya dan keinsyafannya atas nama yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Seorang dikatakan mampu bertangungjawab, bila memenuhi tiga syarat yaitu : 1. Dapat menginsyafi makna dari pada perbuatan; 2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakuakan perbuatan. (Roeslan Saleh, 1983 : 80). Pasal 44 KUHP menentukan : (1) Barang siapa melakuakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, makan hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. B. Pengertian Pelaku Tindak Pidana Tindak pidana merupakan dasar dalam hukum pidana. Pebuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud dalam peraturan pidana. Dalam bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut dengan strafbaarfeit atau delict. Perbuatan pidana adalah Perbuatan yang bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum (Roeslan Saleh, 198 3 : 9). Menurut Wirjono Prododikoro, tindak pidana adalah : Suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2008 : 55). Berdasarkan pengertian tindak pidana tersebut diatas ada beberapa yang perlu diketahui mengenai arti tindak pidana menurut pendapat para sarjana. Menurut simon, tindak pidana

adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 2000 : 56). Menurut Van Hamel, tindak pidana adalah : kelakuan orang yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Moeljatno, 2000 : 56). Seperti yang kita lihat juga dalam ketentuan pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah memberikan penjelasan mengenai siapa yang dianggap sebagai pelaku suatu tindak pidana. Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menentukan : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjajikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbutan. (2) Tehadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Adapun definisi-definisi yang menjadi unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno yaitu : a. Perbuatan manusia; b. Memenuhi rumusan Undang-Undang (sayart formil : sebagai konsekuensi adanya asas legalitas);

c. Bersifat melawan hukum (syarat materil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat); d. Kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena ini terletak pada orang yang berbuat. Dilihat dari sudut pandang terjadinya suatu tindak pidana seseorang akan dipertanggungjawabkan pidananya atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum. Namun, bila dilihat dari kemampuan bertanggungjawab maka seseorang yang mampu bertanggungjawab dapat dipertanggungjawabkan. Selain adanya unsur pertanggungjawaban pidana maka terhadap seseorang terlebih dahulu adanya unsur kesalahan yang memenuhi rumusan undang-undang. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang- Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakkan oleh pihak ketiga. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi suatu rumusan delik (Barda Nawawi Arif, 2002 : 37). Melihat batasan dan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokkan kedalam beberapa macam : 1. Orang yang melakukan (dader plagen) Orang ini bertindak sendiri untuk mewujudkan segala maksud analis tindak pidana.

2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen) Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang, yakni orang yang menyuruh melakukan dan yang disuruh melakukan, jadi bukan pelaku utama yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yng hanya merupakan alat saja. 3. Orang yang turut melakukan (mede plagen) Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan ( dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen). 4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang dengan sengaja membujuk orang melakukan perbuatan (uitloker). Orang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedang hasutannya memakai cara-cara dengan memberikan upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain sebagainya. Kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah. Akibat dari tindak pelanggaran tersebut maka pelaku kriminal akan diberikan sanksi hukum atau akibat berupa pidana atau pemidanaan. Sanksi tersebut merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadap sipembuat. C. Pengertian Perdagangan Terhadap Satwa yang Dilindungi 1. Pengertian Satwa dan Satwa yang Dilindungi Pengertian perlindungan satwa liar tersebut sebelumnya diuraikan lebih lanjut, maka pertama sekali yang perlu diketahui ialah pengertian dari satwa liar karena tidak semua hewan dapat

dikategorikan sebagai satwa liar yang dilindungi. Pemakaian bahasa sehari-hari menunjukkan bahwa satwa dapat diistilahkan dengan berbagai kata yaitu hewan, binatang maupun fauna ataupun mahluk hidup lainnya selain manusia yang dapat bergerak dan berkembang biak serta memiliki peranan dan manfaat dalam kehidupan. Pengertian satwa itu sendiri menurut UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 5 menentukan : Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup didarat maupun diair. Penjabaran mengenai berbagai pengertian tentang satwa yang dilindungi seperti yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan kriteria satwa dan perlindungan seperti apa yang akan diberikan, dari berbagai uraian tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perlindungan satwa yang dilindungi ialah suatu bentuk perlindungan yang tidak hanya mencakup terhadap satwa yang masih hidup saja tetapi juga mencakup kepada keseluruhan bagian-bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari satwa liar tersebut seperti gading dengan gajahnya, cula dengan badaknya, harimau dengan kulitnya dan sebagainya. Perdagangan satwa yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun yang sudah mati ataupun bagian-bagian tubuhnya adalah merupakan suatu tindak pidana. Pasal 21 ayat (2) huruf d UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menentukan : Setiap orang dilarang untuk : Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan Memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

Perlindungan terhadap satwa tersebut umumnya ditujukan pada beberapa karakteristik tertentu dimana satwa-satwa tersebut terancam kepunahan yaitu : a. Nyaris punah, dimana tingkat kritis dan habitatnya telah menjadi sempit sehingga jumlahnya dalam keadaan kritis. b. Mengarah kepunahan, yakni populasinya merosot akibat eksploitasi yang berlebihan dan kerusakan habitatnya. c. Jarang, populasinya berkurang. Satwa di bagi menurut jenis dan juga keberadaannya. Tujuan dari membedakan jenis dari pada satwa ini adalah untuk melestarikan dan juga melindungi satwa. Tujuan dari pelestarian dan melindungi satwa bukan hanya untuk menyelamatkan spesies satwa dari ancaman, tetapi juga untuk menjamin keanekaragaman ekologi dan keseimbangan dari keseluruhan ekosistem yang telah mengalami gangguan atau yang akan dirusak perluasan aktivitas manusia merambah kawasan hutan alami yang menjadi habitat satwa (Departemen Kehutanan, 2007 : 172). 2. Perdagangan Satwa yang Dilindungi Bentuk-bentuk perdagangan satwa yang dilindungi seperti ini pada umunya ialah terhadap satwasatwa liar yang biasanya diperjualbelikan untuk dipelihara oleh manusia dengan harga tinggi. Satwa-satwa seperti ini kebanyakan ialah satwa langka dan untuk jenisnya kebanyakan ialah dari bangsa jenis burung-burungan (aves) seperti kakaktua raja, kakaktua jambul kuning, gelatik, burung bayan, burung alap-alap, burung hantu dan sebagainya maupun dari jenis mamalia atau primate seperti monyet hitam atau jenis lainnya yang kebanyakan dipelihara manusia sebagai unsur kesenangan terhadap hewan-hewan tersebut.

Satwa-satwa tersebut diburu dari alam kemudian diselundupkan untuk kemudian diperdagangkan diberbagai kota besar bahkan hingga kemancanegara. Satwa-satwa yang masih hidup ini pada umumnya diperdagangkan oleh para pelaku dengan menggunakan jalur pelabuhan laut. Satwasatwa tersebut dibius terlebih dahulu untuk kemudian diangkat dengan kapal yang pada akhirnya tidak jarang mengakibatkan satwa-satwa tersebut mati dalam perjalanan. 3. Konservasi Satwa Tujuan dari pelestarian dan perlindungan satwa bukan hanya untuk menyelamatkan spesies satwa dari ancaman kepunahan tetapi juga untuk menjamin keanekaragaman ekologi dan dan keseimbangan ekosistem yang telah mengalami gangguan yang akan dirusak akibat perluasan aktivitas manusia merambah kawasan hutan alami yang menjadi habitat satwa (Departemen Kehutanan, 2007 : 172). Demi keperluan usaha pengelolaan terhadap satwa untuk aspek perlindungan, pengawetan dan pelestarian serta pengembangan budi daya satwa maka di dalam buku Pedoman Pengelolaan Satwa Langka yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perlindungan dan Pelestarian Alam (sekarang Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan selanjutnya disingkat Ditjen PHKA) ditetapkan kategori satwa berdasarkan tingkat kelangkaannya. Kategori itu terdiri dari : 1. Kategori 1 yaitu satwa yang telah mendekati kepunahan atau nyaris punah (Endangered). 2. Kategori 2 adalah satwa yang populasinya jarang atau terbatas dan mempunyai resiko punah (Restricted/Rage). 3. Kategori 3 adalah satwa yang sedang mengalami penurunan pesat dari populasi di alam bebas (Deplectd/Vulnerable).

4. Kategori 4 yaitu yang terancam punah tetapi belum ditetapkan tingkat kelangkaannya, 1997 : 173). 4. Pengaturan Hukum tentang Konservasi Satwa Hukum pada dasarnya mengatur hubungan hukum dimana hubungan hukum terdiri dari ikatanikatan antar individu yang tercermin pada hak dan kewajiban. Dalam usahanya mengatur hukum menyesuaikan antara berbagai kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai sisi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaidahkaidah (Sudikno Mertokusumo, 1991 : 33). Penggunaan hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijaksanaan juga dikarenakan hukum memiliki kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional, integratif, memiliki legitimasi, didukung oleh adanya mekanisme pelaksanaan dan memiliki sanksi (Bambang Sunggono, 1994 : 78). Secara umum upaya konservasi satwa masuk dalam UUK yang merupakan penjabaran dari kebijakan dunia yaitu WCS yang dikeluarkan pada tahun 1980 oleh The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yaitu badan PBB yang khusus menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan konservasi alam dan sumber daya alam. Secara khusus upaya konservasi satwa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1999 tentang Perburuan Satwa Buru, Peraturan Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Keputusan Menteri Nomor 62/Kpts-11/1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Tata Usaha Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar serta Keputusan Menteri Nomor 479/Kpts-11/1998 Tanggal 8 Juni 1998 tentang Lembaga Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar. 5. Kewenangan Pemerintah dalam Upaya Konservasi Satwa Kewenangan pemerintah menurut pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah hak dan kekuasaan pemerintah untuk menentukan atau mengambil tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan konservasi satwa masuk dalam kewenangan bidang lain yaitu bidang kehutanan dan perkebunan yang terdiri dari : 1. Penetapan kriteria dan standar pengurusan kawasan konservasi. 2. Penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan dan penatagunaan kawasan konservasi. 3. Penetapan kriteria dan standar pembentukan kawasan konservasi. 4. Penyelenggaraan pengolahan kawasan konservasi. 5. Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan fauna, pemanfaatan kawasan konservasi serta usaha panengkaran satwa yang dilindungi.

6. Penetapan kriteria dan standar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari. 7. Penyelenggaraan izin pemanfaatan dan peredaran fauna yang dilindungi.