IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Peta Kebon Duren, Depok, Jawa Barat. Skala : 1: 100. Sumber : http// jabodetabek/7/8/2009

METODOLOGI PENELITIAN

DEBIT REMBESAN PADA MODEL TANGGUL DENGAN MENGGUNAKAN UKURAN PARTIKEL TANAH MAKSIMUM 1 mm. Oleh : ERLY PRATITA F

POLA ALIRAN DI DALAM TUBUH MODEL TANGGUL MENGGUNAKAN UKURAN PARTIKEL TANAH MAKSIMUM 1 mm. Oleh : DEWI WULAN RATNASARI F

POLA PENYEBARAN REMBESAN PADA MODEL TANGGUL DENGAN SALURAN DRAINASE TEGAK UNTUK TANAH OXISOL DARMAGA, BOGOR. Oleh : ADAM SURYA PRAJA F

POLA ALIRAN DI DALAM TUBUH MODEL TANGGUL MENGGUNAKAN UKURAN PARTIKEL TANAH MAKSIMUM 1 mm DEW1 WULAN RATNASARI

JURNAL RONA TEKNIK PERTANIAN ISSN : Analisa Pola Penyebaran Aliran Air Tanah Pada Model Tanggul

BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN ANALISIS

ANALISIS DEBIT REMBESAN PADA MODEL TANGGUL TANAH. Oleh : MOHAMAD JAYADI F

POLA PENYEBARAN AIR REMBESAN DI DALAM TUBUH MODEL TANGGUL BERBAHAN TANAH GLEISOL. Oleh MARIE HANNASTRY F

PENGARUH PENAMBAHAN PASIR PADA TANAH LEMPUNG TERHADAP KUAT GESER TANAH

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Gleisol B. Sifat Fisik Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN. (undisturb) dan sampel tanah terganggu (disturb), untuk sampel tanah tidak

BAB IV HASIL PENELITIAN. dilakukan di laboratorium akan dibahas pada bab ini. Pengujian yang dilakukan di

PENGARUH PENAMBAHAN PASIR PADA TANAH LEMPUNG TERHADAP KUAT GESER TANAH

BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung anorganik yang. merupakan bahan utama paving block sebagai bahan pengganti pasir.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian sampel tanah asli di laboratorium didapatkan hasil :

POLA PENYEBARAN REMBESAN PADA MODEL TANGGUL DENGAN SALURAN DRAINASE TEGAK UNTUK TANAH OXISOL DARMAGA, BOGOR. Oleh : ADAM SURYA PRAJA F

BAB 4. HASIL DAN ANALISIS PENYELIDIKAN TANAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

ANALISIS DEBIT REMBESAN PADA MODEL TANGGUL YANG DILENGKAPI SALURAN DRAINASE KAKI UNTUK JENIS TANAH LATOSOL DARMAGA, BOGOR OLEH :

kelompok dan sub kelompok dari tanah yang bersangkutan. Group Index ini dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kadar air menggunakan tanah terganggu (disturbed), dilakukan

KARAKTERISASI BAHAN TIMBUNAN TANAH PADA LOKASI RENCANA BENDUNGAN DANAU TUA, ROTE TIMOR, DAN BENDUNGAN HAEKRIT, ATAMBUA TIMOR

UJI LABORATORIUM RESAPAN BERPORI SEBAGAI PENANGGULANGAN BANJIR DAERAH GENANGAN KOTA MAKASSAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENENTUAN KOEFISIEN PERMEABILITAS TANAH TAK JENUH AIR SECARA TIDAK LANGSUNG MENGGUNAKAN SOIL-WATER CHARACTERISTIC CURVE

STUDI POTENSI TANAH TIMBUNAN SEBAGAI MATERIAL KONSTRUKSI TANGGUL PADA RUAS JALAN NEGARA LIWA - RANAU DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT. G.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Soal Geomekanik Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi

I. PENDAHULUAN. beban akibat konstruksi di atasnya, maka diperlukan perencanaan yang

III. METODE PENELITIAN. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah lanau

I. PENDAHULUAN. tanggul, jalan raya, dan sebagainya. Tetapi, tidak semua tanah mampu mendukung

PERBAIKAN TANAH DASAR JALAN RAYA DENGAN PENAMBAHAN KAPUR. Cut Nuri Badariah, Nasrul, Yudha Hanova

TUGAS MEKANIKA TANAH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian sifat fisik tanah adalah sebagai pertimbangan untuk merencanakan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KORELASI CBR DENGAN INDEKS PLASTISITAS PADA TANAH UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

POLA ALIRAN DI DALAM TUBUH MODEL TANGGUL MENGGUNAKAN UKURAN PARTIKEL TANAH MAKSIMUM 1 mm. Oleh : DEWI WULAN RATNASARI F

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung yang berasal dari. daerah Karang Anyar, Lampung Selatan.

METODE PENGUJIAN KEPADATAN RINGAN UNTUK TANAH

PENAMBAHAN LEMPUNG UNTUK MENINGKATKAN NILAI CBR TANAH PASIR PADANG ABSTRAK

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

DEBIT REMBESAN PADA MODEL TANGGUL DENGAN MENGGUNAKAN UKURAN PARTIKEL TANAH MAKSIMUM 1 mm. Oleh : ERLY PRATITA F

PEMANFAATAN LIMBAH PLASTIK UNTUK STABILITAS LERENG

INFO TEKNIK Volume 8 No. 2, JULI 2007 ( Hubungan Teoritis Antara Berat Isi Kering dan Kadar Air untuk Menentukan Kepadatan Relatif

METODE PENELITIAN. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya : 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung yang berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Dalam pembangunan konstruksi sipil, tanah mempunyai peranan yang sangat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA PENGGUNAAN TANAH KERIKIL TERHADAP PENINGKATAN DAYA DUKUNG TANAH UNTUK LAPISAN KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN RAYA

KOMPOSISI TANAH. Komposisi Tanah 2/25/2017. Tanah terdiri dari dua atau tiga fase, yaitu: Butiran padat Air Udara MEKANIKA TANAH I

DAFTAR ISI. TUGAS AKHIR... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENGESAHAN PENDADARAN... iii. PERNYATAAN... iv. PERSEMBAHAN... v. MOTTO...

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Tanah memiliki peranan yang penting yaitu sebagai pondasi pendukung pada

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Lapisan bumi ditutupi oleh batuan, dimana material tersebut mengandung

PENGARUH PERSENTASE KADAR BATU PECAH TERHADAP NILAI CBR SUATU TANAH PASIR (Studi Laboratorium)

PENGGUNAAN LIMBAH BATU BATA SEBAGAI BAHAN STABILISASI TANAH LEMPUNG DITINJAU DARI NILAI CBR. Hairulla

Pengaruh Kandungan Material Plastis Terhadap Nilai CBR Lapis Pondasi Agregat Kelas S

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tahapan Penelitian

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. bangunan, jalan (subgrade), tanggul maupun bendungan. dihindarinya pembangunan di atas tanah lempung. Pembangunan konstruksi di

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Lampung yang telah sesuai dengan standarisasi American Society for Testing

III. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel tanah lempung berpasir ini berada di desa

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang diambil meliputi tanah terganggu (disturb soil) yaitu tanah

III. METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa tanah

UJI KOMPAKSI ASTM D698 DAN ASTM D1557

Dosen pembimbing : Disusun Oleh : Dr. Ir. Ria Asih Aryani Soemitro,M.Eng. Aburizal Fathoni Trihanyndio Rendy Satrya, ST.

BAB III. METODE PENELITIAN. pemodelan tanggul ini dibutuhkan peralatan yang telah dirancang sesuai

BAB V RESUME HASIL PENELITIAN

BAB III LANDASAN TEORI. saringan nomor 200. Selanjutnya, tanah diklasifikan dalam sejumlah kelompok

PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN CAMPURAN DENGAN KOMPOSISI 75% FLY ASH DAN 25% SLAG BAJA PADA TANAH LEMPUNG EKSPANSIF TERHADAP NILAI CBR DAN SWELLING

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di

TANYA JAWAB SOAL-SOAL MEKANIKA TANAH DAN TEKNIK PONDASI. 1. Soal : sebutkan 3 bagian yang ada dalam tanah.? Jawab : butiran tanah, air, dan udara.

BAB II HUBUNGAN FASE TANAH, BATAS ATTERBERG, DAN KLASIFIKASI TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENGGUNAAN ABU CANGKANG KELAPA SAWIT GUNA MENINGKATKAN STABILITAS TANAH LEMPUNG

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang diuji menggunakan material tanah lempung yang disubtitusi

2.8.5 Penurunan Kualitas Udara Penurunan Kualitas Air Kerusakan Permukaan Tanah Sumber dan Macam Bahan Pencemar

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Bendungan merupakan salah satu dari beberapa bangunan sipil yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tahapan Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

KORELASI ANTARA HASIL UJI KOMPAKSI MODIFIED PROCTOR TERHADAP NILAI UJI PADA ALAT DYNAMIC CONE PENETROMETER

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisik Tanah Pada penelitian ini, bahan utama yang digunakan dalam pembuatan model tanggul adalah tanah jenis Gleisol yang berasal dari Kebon Duren, Depok, Jawa Barat. Tanah yang digunakan untuk model tanggul tersebut yaitu tanah pada kedalaman 20-40 cm dan ukuran partikel tanah yang digunakan adalah tanah yang lolos saringan 4760 µm. Hasil penelitian sifat fisik tanah Gleisol tersebut seperti tertera pada Tabel 6, sedangkan hasil perhitungan sifat fisik tanah Gleisol ini selengkapnya tertera pada Lampiran 3. Tabel 6. Sifat-sifat fisik tanah Gleisol Karakteristik Satuan Nilai Berat isi kering g/cm 3 1.18 Liat % 45.00 Fraksi Debu % 30.83 Pasir % 24.17 Berat jenis tanah 2.69 Permeabilitas cm/jam 1.94 Porositas (n) (%) 62.44 Angka pori (e) 1.66 Potensial air tanah (pf) 2.59 Berdasarkan Tabel 6, tanah Gleisol tersebut dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi segitiga tekstur sistem USDA. Klasifikasi menurut segitiga tekstur sistem USDA didasarkan pada fraksi liat, debu dan pasir. Hasil penelitian menunjukkan tanah Gleisol tergolong dalam kelas liat seperti terlihat pada Gambar 16. Hal ini disebabkan karena tanah Gleisol tersebut komposisi liatnya lebih besar dibandingkan dengan debu dan pasir. 34

Contoh tanah Gambar 16. Klasifikasi tanah Gleisol berdasarkan sistem USDA Sifat-sifat fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi pola penyebaran aliran dan besarnya air yang mengalir dalam tanah. Besarnya nilai koefisien permeabilitas sangat dipengaruhi oleh angka pori (e) dan porositas (n) (Pratita, 2007). Semakin besar angka pori dan porositas suatu tanah maka tanah tersebut semakin mudah untuk meloloskan air. Nilai-nilai sifat fisik tanah Gleisol ini bila dibandingkan dengan tanah Latosol hasil penelitian Herlina (2003) seperti tertera pada Tabel 7, secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tanah Gleisol dan Latosol berada pada satu golongan kelas yang sama. Tabel 7. Sifat fisik tanah Latosol Karakteristik Satuan Nilai Berat isi kering g/cm 3 1.30 Liat % 62.13 Fraksi Debu % 12.94 Pasir % 24.93 Berat jenis tanah 2.64 Permeabilitas cm/jam 0.015 Porositas (n) (%) 61.00 Angka pori (e) 1.55 Sumber : Herlina (2003) 35

B. Sifat Mekanik Tanah a. Hasil Uji Konsistensi Tanah Uji konsistensi tanah Gleisol menggunakan ukuran partikel tanah yang lolos saringan 4760 µm. Uji konsistensi tanah ini dinyatakan dengan batas cair dan plastis (batas Atterberg). Hasil uji konsistensi tanah Gleisol tertera pada Tabel 8, sedangkan hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.e. Tabel 8. Hasil uji konsistensi tanah Gleisol Konsistensi tanah Nilai Batas cair (%) 74.44 Batas plastis (%) 42.66 Indeks plastisitas (%) 31.78 Berdasarkan Tabel 8, tanah Gleisol tersebut dapat diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi Unified. Sistem klasifikasi Unified didasarkan dari hasil analisis konsistensi tanah yaitu menggunakan batas cair dan batas plastis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah Gleisol tersebut memiliki nilai batas cair (LL) adalah sebesar 74.44 % dan batas plastis (PL) sebesar 42.66 %. Sedangkan nilai indeks plastisitas (PI) yang merupakan selisih dari batas cair dan batas plastis adalah sebesar 31.78 %. Nilai-nilai batas cair dan indeks plastisitas tersebut diplotkan ke dalam grafik klasifikasi tanah pada Gambar 17. Hasil dari plot tersebut didapatkan bahwa tanah Gleisol berada pada daerah MH yaitu lanau anorganik plastisitas tinggi (Craig, 1987). Pada penelitian sebelumnya untuk jenis tanah Latosol (Herlina, 2003) diperoleh batas cair sebesar 61.42%, batas plastis sebesar 41.36%, dan indeks plastisitas sebesar 20.06%. Hal ini dapat terlihat bahwa tanah Gleisol mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan tanah Latosol, dimana berdasarkan klasifikasi tanah berdasarkan Sistem klasifikasi Unified, baik tanah Gleisol maupun tanah Latosol termasuk ke dalam golongan kelas liat. 36

Contoh tanah Gambar 17. Klasifikasi tanah Gleisol berdasarkan sistem Unified b. Hasil Uji Pemadatan Uji pemadatan tanah dilakukan dengan uji pemadatan standar (uji proctor). Dari hasil uji pemadatan tersebut diperoleh kadar air optimum, berat isi kering, berat isi basah dan berat isi jenuh. Pada penelitian ini uji pemadatan dilakukan dua kali ulangan dan hasil pengujian tertera pada Tabel 9 dan 10. Tabel 9. Hasil uji pemadatan standar tanah Gleisol (ulangan 1) Kadar air (w, %) Berat isi basah ( t,g/cm 3 ) Berat isi kering ( d,g/cm 3 ) Berat isi jenuh ( dsat,g/cm 3 ) 21.85 1.35 1.11 1.69 24.16 1.38 1.11 1.63 27.48 1.40 1.10 1.55 31.50 1.46 1.11 1.46 *35.98 1.63 1.20 1.37 40.05 1.62 1.16 1.29 42.03 1.61 1.13 1.26 44.34 1.65 1.14 1.23 46.33 1.57 1.07 1.20 48.55 1.58 1.06 1.17 51.43 1.57 1.04 1.13 Keterangan : * = kadar air optimum 37

Tabel 10. Hasil uji pemadatan standar tanah Gleisol (ulangan 2) Kadar air (w, %) Berat isi basah ( t,g/cm 3 ) Berat isi kering ( d,g/cm 3 ) Berat isi jenuh ( dsat,g/cm 3 ) 15.16 1.24 1.07 1.91 18.47 1.27 1.07 1.80 22.20 1.33 1.09 1.68 25.45 1.38 1.10 1.59 27.48 1.41 1.11 1.55 28.93 1.47 1.14 1.51 31.15 1.51 1.15 1.46 31.76 1.55 1.18 1.45 *35.87 1.64 1.21 1.37 37.70 1.64 1.19 1.34 39.59 1.65 1.18 1.30 42.37 1.65 1.16 1.26 Keterangan : * = kadar air optimum Dari Tabel 9 dan 10, didapatkan rata-rata kadar air optimum adalah sebesar 35.92 % dan rata-rata berat isi kering maksimum ( dmax ) sebesar 1.20 g/cm 3. nilai kadar air optimum dan berat isi kering maksimum tersebut merupakan nilai uji pemadatan standar sebagai acuan untuk melakukan pemadatan, baik uji pemadatan di laboratorium maupun pemadatan di lapangan. Pada penelitian sebelumnya Herlina (2003) untuk jenis tanah latosol diperoleh kadar air optimum sebesar 33.50 %, berat isi kering sebesar 1.30 g/cm 3, berat isi basah sebesar 1.74 g/cm 3, dan berat isi jenuh sebesar 1.40 %, sedangkan dari penelitian Pratita (2007) diperoleh kadar air optimum sebesar 33.02 %, berat isi kering sebesar 1.26 g/cm 3, berat isi basah sebesar 1.68 g/cm 3, dan berat isi jenuh sebesar 1.41 %. Hal ini dapat terjadi karena disebabkan oleh jenis tanah yang digunakan berbeda dan juga dapat diakibatkan pada proses pemadatan yang tidak konsisten sehingga energi pemadatan yang diberikan dapat berkurang atau berlebih. Wesley (1973) menyatakan bahwa tanah yang dipakai untuk pembuatan tanggul, bendungan tanah, atau dasar jalan harus dipadatkan untuk menaikkan kekuatannya, memperkecil kompresibilitas, dan daya rembes air serta memperkecil pengaruh air terhadap tanah tersebut. Tujuan pemadatan tanah di lapangan yaitu memadatkan tanah pada keadaan kadar air optimumnya, sehingga tercapai keadaan yang paling padat. Dengan demikian tanah tersebut akan mempunyai kekuatan yang relatif besar, kompresibilitas kecil, dan memperkecil pengaruh air terhadap tanah. 38

Menurut Pratita (2007), tanah jika memiliki kadar air rendah maka tanah tersebut akan mengeras atau kaku dan sukar dipadatkan. Jika kadar air ditambahkan, maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah tersebut akan mudah dipadatkan dan ruang kosong antara butir menjadi lebih kecil. Pada kadar air yang lebih tinggi lagi, tingkat kepadatan tanah akan turun lagi (seperti terlihat pada Gambar 18) karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara pemadatan. Hasil perhitungan uji pemadatan standar selengkapnya pada Lampiran 4. Berat isi (g/cm 3) 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Kadar air (%) Berat isi kering 2 Berat isi jenuh 2 Berat isi kering 1 Berat isi jenuh 1 Gambar 18. Kurva hasil uji pemadatan standar tanah Gleisol c. Hasil Uji Tumbuk Manual Dari hasil uji pemadatan standar diperoleh kadar air optimum. Nilai tersebut digunakan sebagai acuan untuk melakukan uji pemadatan pada kotak (uji tumbuk manual) yang selanjutnya menjadi nilai perbandingan untuk melakukan pemadatan tanah pada model tanggul. Pemadatan dilakukan pada sebuah kotak berukuran (40 x 30 x 10) cm, dengan jumlah lapisan sebanyak 3 lapisan. Uji tumbuk manual dilakukan untuk menentukan berat isi kering. Selanjutnya dari berat isi kering tersebut didapatkan nilai kepadatan relatif (relative compaction RC ) berdasarkan persamaan 18. Menurut Bowles (1989) 39

nilai RC biasanya berkisar antar 90% - 105%. Hasil uji tumbuk manual tertera pada Tabel 11 dan hasil perhitungan selengkapnya pada Lampiran 5. Tabel 11. Hasil uji tumbuk manual Jumlah tumbukan/lapisan Tinggi jatuhan (cm) t (g/cm 3 ) d (g/cm 3 ) RC (%) 60 20 1.27 0.93 76.97 80 20 1.30 0.95 79.12 120 20 1.32 0.97 80.51 220 20 1.41 1.03 85.58 250 20 1.47 1.08 89.47 300 20 1.48 1.09 90.11 350 20 1.50 1.10 90.97 160 30 1.48 1.09 90.60 Pada penelitian ini, RC yang digunakan adalah sebesar 90.60% dengan jumlah tumbukan per lapisan sebanyak 160 tumbukan dan tinggi jatuhan sebesar 30 cm, tidak menggunakan RC 90.11% atau 90.97%. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pada saat melakukan pemadatan pada model tanggul dengan jumlah tumbukan yang terlalu besar dapat mengakibatkan kotak model tanggul mengalami kebocoran, rusak atau jebol. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis tanah Latosol, diperoleh hasil uji tumbuk manual yang berbeda. Dari penelitian Sari (2005) diperoleh RC sebesar 91. 44% dengan jumlah tumbukan sebanyak 75 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm, sedangkan dari Setyowati (2006) diperoleh RC sebesar 95. 38% dengan jumlah tumbukan sebanyak 100 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm, dan dari Pratita (2007) diperoleh RC sebesar 84. 13% dengan jumlah tumbukan sebanyak 150 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan kadar air optimum karena adanya perbedaan jenis tanah yang digunakan. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh energi yang diberikan pada saat penumbukan tidak konsisten sehingga energi banyak yang terbuang. Jumlah energi pemadatan pada uji tumbuk manual dihitung dengan menggunakan persamaan 19 dan diperoleh CE (energi pemadatan) adalah sebesar 241 326 kj/m 3. 40

Hasil yang didapatkan dari uji tumbuk manual ini selanjutnya dijadikan acuan perbandingan untuk melakukan pemadatan tanah pada model tanggul. Model tanggul yang dibuat terdiri dari 8 lapisan dengan masing-masing lapisan mempunyai ketinggian 2.5 cm dan dilakukan pemadatan dengan jumlah tertentu sesuai besarnya luasan tiap lapisan sesuai dengan persamaan 20. Semakin luas lapisan maka jumlah tumbukannya semakin banyak pula, seperti tertera pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah tumbukan pada tiap lapisan pada model tanggul Lapisan Panjang (cm) Lebar (cm) Luas permukaan (cm 2 ) Jumlah tumbukan 1 140 50 7000 933 2 119 50 5950 793 3 110 50 5500 733 4 93 50 4650 620 5 76 50 3800 507 6 63 50 3150 420 7 50 50 2500 333 8 33 50 1650 220 C. Hasil Uji Permeabilitas Tanggul Berdasarkan klasifikasi permeabilitas menurut Sitorus (1980) dalam Sumarno (2003), tanah Gleisol yang digunakan untuk pembuatan tanggul termasuk ke dalam kelas permeabilitas rendah yaitu antara 0.125 0.5 cm/jam. Nilai permeabilitas suatu tanah yang mengandung tekstur lempung lebih rendah daripada tanah yang memiliki tekstur kasar. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah persentasi dari pori-pori tanah, serta keseragaman penyebaran di dalam penampang tanah. Nilai permeabilitas akan semakin besar jika jumlah persentase pori-pori tanah dan kemampuan untuk meloloskan air semakin banyak serta kemampuan tanah untuk menyimpan air semakin kecil. Dalam keadaan jenuh, nilai permeabilitas tanah maksimum karena seluruh pori dalam tanah telah terisi oleh air. Pada penelitian ini didapatkan rata-rata nilai permeabilitas lapangan adalah sebesar 1.94 cm/jam, sedangkan hasil uji permeabilitas pada tanggul setelah 41

Kedalaman (m) (x 0.001) 3.8845e-009 dijenuhkan seperti tertera pada Tabel 13. Untuk hasil uji permeabilitas selengkapnya pada Lampiran 3.b & 6. Nilai permeabilitas pada tanggul dalam penelitian ini berbeda dibandingkan penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis tanah Latosol. Dari penelitian Sari (2005) diperoleh rata-rata permeabilitas sebesar 0.009 cm/jam, sedangkan dari Setyowati (2006) diperoleh rata-rata permeabilitas sebesar 0.008 cm/jam, dan dari Pratita (2007) diperoleh rata-rata permeabilitas sebesar 1.040 cm/jam. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan energi tumbukan yang diberikan pada saat pembuatan tanggul sehingga pemadatan tanah tidak seragam, selain itu dapat juga disebabkan karena perbedaan jenis tanah yang digunakan. Tabel 13. Hasil uji permeabilitas pada tanggul Nilai permeabilitas Ulangan (cm/jam) 1 0.190 2 0.100 3 0.101 Rata-rata 0.130 D. Garis Freatik (Phreatic Line) pada Tubuh Model Tanggul Garis freatik merupakan batas paling atas dari daerah di mana rembesan mengalir. Rembesan air berjalan sejajar dengan garis ini sehingga garis rembesan merupakan garis aliran (Wesley, 1973). Berdasarkan hasil analisis program Seep/w maupun pengambilan foto secara langsung dapat diketahui garis freatik pada tubuh model tanggul seperti terlihat pada Gambar 19 dan 20. Flux section (debit rembesan) Phreatic line (garis freatik) 200 150 100 50 1 (1.2250, 0.0625) 2 (1.4000, 0.0000) 18.44 0-50 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 Jarak (m) 42

Gambar 19. Garis freatik pada model tanggul berdasarkan program Seep/w Gambar 20. Garis freatik pada model tanggul melalui pengamatan langsung Dari gambar analisis program Seep/w dan pengamatan langsung pada model tanggul melalui pengambilan foto aliran, bentuk garis rembesan/garis freatik model tanggul dari hulu ke hilir tanggul akan semakin menurun. Garis freatik terbentuk karena adanya pergerakkan air di sebelah hulu menuju bagian hilir tanggul. Dengan adanya tekanan air di sebelah hulu maka akan ada kecenderungan terjadinya aliran air melewati pori-pori di dalam tubuh tanggul. Apabila gaya yang menahan lebih besar dari gaya yang mengalirkan maka aliran air tidak akan memotong tubuh tanggul, sebaliknya jika gaya yang menahan lebih kecil daripada gaya yang mengalirkan maka aliran air akan cepat sampai ke bagian hilir tanggul. Peristiwa ini dapat dicirikan dengan adanya lereng basah pada bagian hilir tanggul atau dikenal dengan panjang zona basah. Pada pengamatan langsung, rata-rata panjang zona basah aktual pada model tanggul adalah sebesar 22.11 cm. Pada penelitian Sari (2005) diperoleh panjang zona basah sebesar 16 cm dan dari Pratita (2007) sebesar 19.9 cm. Pada penelitian ini nilai panjang zona basah lebih besar, karena adanya perbedaan penggunan jenis tanah maupun ukuran partikel tanah yang digunakan. Hal ini dapat juga 43

diakibatkan karena pemadatan pada model tanggul tidak sama sehingga terjadi penyebaran air pada tubuh tanggul yang lebih besar dan mengakibatkan zona basah yang terbentuk menjadi lebih panjang. Menurut Pratita (2007), zona basah yang memotong tubuh tanggul akan menyebabkan terjadinya gejala piping. Jika hal ini dibiarkan terjadi maka debit rembesan melalui piping akan merusak tanggul. Salah satu upaya agar tanggul tetap stabil maka harus dibuat saluran drainase dan penggunaan filter pada tubuh tanggul tersebut. Rembesan air pada tubuh tanggul mengalir dari batas muka air ke dasar bagian tubuh tanggul. Rembesan air dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan kapilaritas. Meskipun pola aliran pada tanggul selalu bergerak menuju ke bagian dasar tanggul tetapi pengaruh dari kapilaritas tanah dapat terjadi seperti terlihat pada Gambar 21. Rembesan air (tubuh tanggul bagian atas terlihat basah) Gambar 21. Pengaruh kapilaritas pada tubuh model tanggul E. Debit Rembesan pada Tubuh Model Tanggul Dalam pembuatan bendungan atau tanggul perlu diperhatikan stabilitasnya terhadap bahaya longsor, erosi dan kehilangan air akibat rembesan melalui tubuh tanggul. Debit rembesan merupakan kapasitas rembesan air yang mengalir ke hilir tanggul (q out ). Debit rembesan yang terjadi pada sebuah tanggul diusahakan agar 44

tidak melebihi debit kritis (q c ), karena jika hal tersebut dibiarkan maka akan timbul erosi bawah tanah (piping). Besarnya q c adalah sekitar 5% dari debit ratarata yang masuk ke dalam tanggul (q in ). Untuk mengetahui besarnya debit rembesan (q out ) pada tanggul dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu : 1. Berdasarkan Pengukuran Langsung pada Model Tanggul Pengukuran debit rembesan secara langsung pada model tanggul dilakukan dengan mengukur besarnya debit outlet setiap 5 menit hingga didapatkan debit outlet yang konstan. Hasil pengukuran debit outlet seperti tertera pada Tabel 14, sedangkan hasil pengukuran selengkapnya pada Lampiran 7. Tabel 14. Hasil pengukuran debit rembesan (q out ) secara langsung Ulangan q in q c q out (ml/jam) (ml/jam) (ml/jam) Zona basah (a, cm) 1 329760 16488 2020 21.00 2 325080 16272 1115 23.19 3 290160 14508 1815 22.13 Rata-rata 315000 15756 1650 22.11 Dari Tabel 14 terlihat bahwa q out < q c, sehingga dapat dikatakan model tanggul tersebut masih aman dan tingkat kestabilan tanggul masih baik. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, debit rembesan pada penelitian ini memiliki perbedaan walaupun tidak terlalu jauh. Dari penelitian Sari (2005) diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 2794 ml/jam, dari Setyowati (2006) diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 5652 ml/jam, dan dari Pratita (2007) diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 18144 ml/jam. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis tanah yang digunakan. Selain itu juga dapat disebabkan karena faktor ketelitian dalam pengukuran, faktor pemadatan tanah yang diberikan pada tiap lapisan tanah dan jumlah energi yang diberikan pada tiap lapisan tidak sama sehingga nilai RC yang diperoleh berbeda. 2. Berdasarkan Program Seep/w 45

Data-data yang diperlukan untuk menganalisis besarnya debit rembesan dan panjang zona basah yaitu jenis bahan, tekanan, konduktivitas hidrolika (permeabilitas), tinggi tekan (pressure head) dan unit flux. Nilai permeabilitas diperoleh dari pengambilan contoh tanah pada tubuh tanggul (di bagian hilir tanggul) setelah dilakukan pengaliran. Hal ini dilakukan karena tanah di bagian hilir tanggul lebih jenuh karena adanya rembesan air yang mengalir ke bagian hilir tanggul. Nilai tekanan dan permeabilitas untuk setiap ulangan pada model tanggul selanjutnya menjadi data masukkan untuk analisis debit rembesan tersebut. Besarnya debit rembesan tertera pada Tabel 15, sedangkan langkah-langkah penggambaran pada program Seep/w selengkapnya pada Lampiran 10. Tabel 15. Hasil analisis debit rembesan dengan program Seep/w Ulangan Permeabilitas (cm/jam) Debit rembesan (ml/jam) 1 0.190 26.388 2 0.100 13.824 3 0.101 13.968 Rata-rata 0.130 18.060 Pada Tabel 15, terlihat bahwa rata-rata debit rembesan yang diperoleh adalah sebesar 18.060 ml/jam. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, nilai debit rembesan tersebut sedikit berbeda. Dari penelitian Sari (2005) diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 1396.800 ml/jam, dari Setyowati (2006) diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 0.767 ml/jam, dan dari Pratita (2007) diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 144.360 ml/jam. Perbedaan debit rembesan ini disebabkan karena adanya perbedaan nilai permeabilitas dengan penelitian sebelumnya yang diakibatkan oleh penggunaan jenis tanah yang berbeda, faktor pemadatan dan jumlah energi yang diberikan pada model tanggul yang dibuat. 3. Berdasarkan Rumus Empiris Berdasarkan metode Casagrande debit rembesan yang diperoleh adalah sebesar 0.157 ml/jam, sedangkan dengan metode Grafik (Taylor, 1948) diperoleh 46

sebesar 0.161 ml/jam, dan dengan metode Bowles sebesar 0.167 ml/jam. Debit rembesan yang diperoleh tertera pada Tabel 16, sedangkan perhitungan selengkapnya disajikan pada Lampiran 9. Tabel 16. Hasil perhitungan debit rembesan berdasarkan rumus empiris Permeabilitas Zona Metode (cm/jam) basah hitung (cm) q hitung (ml/jam) Casagrande 0.130 12.07 0.157 Grafik 0.130 12.36 0.161 Bowles 0.130 12.22 0.167 Dibandingkan dengan metode pengukuran langsung dan program Seep/w, debit rembesan berdasarkan rumus empiris menghasilkan debit yang jauh lebih kecil seperti tertera pada Tabel 17. Hal ini disebabkan karena pada metode empiris selain faktor permeabilitas dan dimensi tanggul, panjang zona basah juga mempengaruhi perhitungan. Sebaliknya, pada pengukuran secara langsung dan metode analisis dengan program Seep/w, debit rembesan hanya dipengaruhi oleh nilai permeabilitas, tinggi muka air dan dimensi tanggul, sedangkan panjang zona basah tidak berpengaruh. Tabel 17. Nilai debit rembesan dengan 3 metode Metode Debit rembesan (ml/jam) Pengamatan langsung 1650 Analisis Seep/w 18.060 Casagrande 0.157 Analisis rumus empiris Grafik 0.161 Bowles 0.167 47