BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Resiliensi yang berdasarkan (Benard, Bonnie 2004) dalam buku Resiliency : What

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu ilmu yang saat ini berkembang dengan pesat, baik secara teoritis

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Juga

BAB I PENDAHULUAN. (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit,

BAB I PENDAHULUAN. memerhatikan kesehatannya, padahal kesehatan itu penting dan. memengaruhi seseorang untuk dapat menjalani kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi

BAB I PENDAHULUAN. hatinya lahir dalam keadaan yang sehat, dari segi fisik maupun secara psikis atau

BAB I PENDAHULUAN. pula dengan individu saat memasuki masa dewasa dini. Menurut Harlock (1980),

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental dengan pengaruh perubahan perilaku yang tidak disadari. Pola

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah individu yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. Francisca, Miss Indonesia 2005 menganggap pendidikan adalah hal yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan oleh orang tua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman

BAB I PENDAHULUAN. adalah belajar/berprestasi, hormat dan patuh pada ayah-ibu. Jika peran setiap

BAB I PENDAHULUAN. suatu jenis penyakit yang belum diketahui secara pasti faktor penyebab ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dilihat berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

Social competence. Ps tinggi. W tinggi. Kyi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya yang tidak dapat mereka atasi. Masalah yang sering membuat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan penyakit tertua di dunia yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Semua orangtua berharap dapat melahirkan anak dengan selamat dan

BAB I PENDAHULUAN. negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan, yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bukunya Resiliency : What We Have Learned. Teori ini digunakan karena sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB 1 PENDAHULUAN. di kota-kota lain di Indonesia. Tidak memandang dari status sosial mana individu

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami istri, dengan harapan anak mereka akan menjadi anak yang sehat,

BAB I PENDAHULUAN. Ketika dua orang memasuki perkawinan, mereka mengikat komitmen untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. memasuki suatu era yang cukup memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan. Badan Pusat

BAB I PENDAHULUAN. yang menerjang sebagian besar wilayah pantai barat dan utara Propinsi Nanggroe

BAB I PENDAHULUAN. Banyak bermunculan fenomena perceraian yang terjadi, dimana tingkat perceraian di

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Masyarakat berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan tersebut agar

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit pemerintah, fungsi sosial inilah yang paling menonjol. Menurut WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia ke arah globalisasi yang pesat, telah menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. tidak berfungsi dan dapat menyebabkan kematian. Menurut Organisasi Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang tidak mencerminkan kehidupan keluarga yang utuh dan harmonis.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita

BAB I. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit sehingga membuat. banyak orang merasa cemas. Salah satu jenis penyakit tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dengan keberhasilan itulah, individu berharap memiliki masa depan cerah yang

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas individual

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang optimal. Menurut definisi yang dikembangkan oleh AAMD

BAB I PENDAHULUAN. dari panca indera lain. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Namun, terkadang terdapat keadaan yang membuat manusia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan bulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik dan mental

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya manusia akan tertarik baik secara fisik maupun psikis pada

BAB I PENDAHULUAN. lebih baik pula. Pendidikan memiliki peran penting bagi setiap bangsa, khususnya

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

Studi Deskriptif Mengenai Personal Strengths pada Siswa Miskin Kelas 2 SMAN 1 Margahayu Kabupaten Bandung

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kedua subyek sama-sama menunjukkan kemampuan problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan akhir kehidupan. Dalam proses tersebut, manusia akan mengalami tahap

BAB I PENDAHULUAN. kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja. Setiap tahapan tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia sebagian besar terletak di kawasan rawan bencana

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang memasuki tahap perkembangan dewasa awal yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. dibangun oleh suami dan istri. Ketika anak lahir ada perasaan senang, bahagia

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan populasi penduduk sebesar jiwa pada data

Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Warakawuri di Komunitas AW Bandung Descriptive Study about Warakawuri Resilience at AW Community in Bandung

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 2008, masalah kesehatan seringkali menjadi topik utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. optimal apabila besar bersama keluarga. Intinya dalam keluarga yang harmonis,

BAB I PENDAHULUAN. Syndrome atau yang dikenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan, keluarga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Semua ini bisa

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan bertambahnya usia. Semakin bertambahnya usia maka gerak-gerik, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Hal tersebut berdampak pada rendahnya angka partisipasi pendidikan (APK)

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dapat berubah melalui pendidikan baik melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya. Mereka yang telah selesai mengenyam pendidikan, akan melanjutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan pembelajaran,

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN PROTECTIVE FACTORS, BASIC NEEDS, DAN DERAJAT RESILIENSI PADA WARAKAWURI DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, masalah pun semakin kompleks, mulai

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sejak terbentuknya seorang manusia baru yakni sejak terjadinya konsepsi

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lebih kuat dan berkembang setelah melewati masa krisis. 2005) melalui model yang dibangunnya yang bernama the resilience

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap manusia akan memiliki ketertarikan seksual baik

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB I. Sehat adalah anugerah Tuhan yang tidak ternilai harganya dan tetap dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah teori Resiliensi yang berdasarkan (Benard, Bonnie 2004) dalam buku Resiliency : What We Have Learned dan Fostering Resilience in Kids : Protective Factors in the Family, School, and Community. Portland, OR : Northwest Regional Educational Laboratory. Teori resiliensi menurut Benard (2004), adalah kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik ditengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan. Resiliensi memiliki empat aspek yang dapat diukur dalam Personal Strenght yaitu Social Competence, Problem Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future. Personal Strength adalah karakteristik individual, yang berhubungan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup. Alasan peneliti menggunakan teori ini yaitu peneliti melihat dari fenomena yang terjadi di SLB Daruh Hidayah, para ibu yang memiliki anak tunagrahita terlihat memiliki upaya dan respon dalam menghadapi persoalan dalam mendidik, merawat, serta memberikan arahan kepada anaknya yang tunagrahita untuk memaksimalkan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Berbagai hal yang dihadapi ibu untuk menjalani kehidupannya. Peneliti melihat dari teori resiliensi yang memiliki empat aspek yaitu Social Competence, Problem Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future. 16

17 Berdasarkan keempat aspek ini, para ibu yang memiliki anak tunagrahita terlihat dapat menggambarkan upaya-upaya serta respon apa saja yang ditampilkan ibu dalam menjaga dan merawat anak-anaknya. 2.2 Resiliensi 2.2.1 Pengertian Resiliensi Menurut Benard (2004), resiliensi adalah kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik ditengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan. Benard (2004) mengungkapkan bahwa resiliensi mengubah individu menjadi Survivor dan mampu berkembang. Individu yang memiliki resiliensi mengalami penderitaan, namun mampu mengendalikan perilakunya sehingga yang keluar adalah Outcomes yang positif. Penelitian beberapa tahun yang lalu mengenai identifikasi Stress Resilient dan Stress Affected pada anak-anak membuktikan bahwa resiliensi bukanlah sesuatu yang diwariskan secara genetik (seperti warna kulit, warna mata), melainkan kemampuan yang dimiliki setiap orang sejak lahir dan perkembangannya tergantung dari pengalaman-pengalaman yang dialami di lingkungan tempat tinggalnya. Teori resiliensi dari Benard, Bonnie melalui penelitian Desmita yaitu Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah menjelaskan bahwa resiliensi pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang relatif baru dalam khasanah psikologi. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang

18 bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa dapat bangkit kembali dan bertahan dari kondisi stres, trauma, dan resiko dalam kehidupan mereka. Saat ini teori resiliensi telah diterima secara luas sebagai konsep psikologi yang sangat berguna, terutama bagi upaya membantu perkembangan anak dan remaja yang lebih baik serta dapat mengatasi stres sekolah yang banyak anak dan remaja alami. Sejumlah ilmuan, peneliti, dan praktisi di bidang sosial dan perilaku memandang pentingnya untuk membangun resiliensi. Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas, dan tidak ada Insight pada diri seseorang. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Resiliensi umumnya didefinisikan sebagai kapasitas individu untuk menghadapi berbagai tantangan dalam hidup, untuk pulih kembali (Bouncing Back) dari pengalaman tersebut, dan meneruskan hidup dengan normal (Gilgun, 1996, Bautista, Roldan & Garces-Bascal, dalam Benard : 2004). Penelitian mengenai resiliensi berkembang dari penelitian-penelitian yang berparadigma Risk-Focused, yaitu penelitian yang menekan pada penentuan faktor resiko yang memprediksikan psikopatologi. Paradigma ini memprediksikan bahwa individu dalam kelompok resiko rendah akan berkembang secara positif, dan individu dalam kelompok resiko tinggi akan mengalami penyimpangan dalam perkembangannya.

19 Faktor-faktor yang mendorong penyimpangan dalam perkembangan individu tersebut sebagai faktor resiko. Kemiskinan, pengalaman penganiayaan, cacat fisik, ataupun hidup dalam keluarga yang tidak harmonis adalah beberapa contoh dari faktor resiko atau kondisi yang tidak menguntungkan bagi perkembangan individu. Resiliensi dikaitkan dengan proses meningkatnya daya tahan individu terhadap tekanan hidup (Steeling Process), karena telah melalui pengalamanpengalaman sulit sebelumnya (Garmezy & Rutter, 1983). Resiliensi tidak dapat diartikan sebagai bagian dari kepribadian seseorang yang bersifat statik dan dimiliki oleh sekelompok orang tertentu saja. Resiliensi terbentuk sesuai dengan pengalaman-pengalaman individu dalam konteks lingkungannya (Masten, dalam Benard : 2004). 2.2.2 Faktor Resiliensi a. Risk Factor Merupakan faktor-faktor yang hadir dalam kehidupan individu yang meningkatkan kemungkinan adanya negative outcome (Richman and Fraster, 2003). Hal-hal yang termasuk Risk Factor adalah ketidakmampuan, budaya, ekonomi, atau kondisi medis yang meminimalkan kesempatan dan sumber data bagi individu dan menempatkannya dalam kondisi berbahaya karena gagal menjadi anggota yang bernilai di rumah, sekolah, dan lingkungan. b. Protective Factor Merupakan aspek penting dari lingkungan yang mendukung berkembangnya resiliensi pada individu disebut sebagai faktor protektif. Semakin banyak faktor

20 protektif yang bekerja, semakin tinggi kemungkinan bagi individu untuk bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dialaminya. Diperlukan sebagai kekuatan untuk meningkatkan perkembangan positif dan keluaran yang berhasil. Lingkungan (Family, Inwork, Community) memiliki peran besar dalam perkembangan Resiliency, yang dilakukan melalui sikap yang mendukung perkembangan resiliensi disebut sebagai Protective Factor. 1) Environmental Protective Factors Lingkungan yang memiliki peran penting dalam perkembangan Resiliency dari individu. Lingkungan yang dibutuhkan bagi kapasitas pengembangan kompetensi diri untuk menghasilkan perkembangan yang baik adalah lingkungan yang mendukung kebutuhan dasar dari bakat seseorang, dan terpenuhinya kebutuhan psikologis untuk saling memiliki yaitu afeksi, rasa kompetensi, rasa untuk mandiri, serta perasaan aman. Menurut Benard, ada tiga hal yang diberikan oleh lingkungan untuk meningkatkan resiliensi seseorang. Ketiga hal ini adalah relasi saling peduli atau saling menyayangi (Caring Relationship), lingkungan yang memiliki harapan yang besar (High Expectations), dan kesempatan yang diberikan lingkungan untuk berpartisipasi dan berkontribusi (Opportunities for Participation and Contribution) yang masing-masing terdapat di lingkungan keluarga, sekolah atau tempat kerja (Inwork), dan masyarakat atau komunitas. a) Caring Relationships Caring Relationships adalah menyampaikan dukungan dengan penuh cinta, sebuah pesan yang mengandung makna kepercayaan, dan cinta yang tidak bersyarat. (Higgins 1994, dalam Benard 2004).

21 b) High Expectations Inti dari Caring Relationships adalah High Expectations yang diartikan secara jelas, positif, dan berpusat pada harapan individu tersebut High Expectations, didasarkan pada kekuatan, minat, harapan, mimpi dari individu yang tidak berkaitan dengan apa yang lingkungan inginkan terhadap individu. c) Opportunities for Participation and Contribution Menciptakan kesempatan bagi individu untuk berpartisipasi dan berkontribusi, merupakan perkembangan hubungan berdasarkan Caring and High Expectation. 2) Family Protective Factors a) Caring Relationships in Families Gambaran tentang orang tua yang peduli seperti dukungan secara emosional dan responsif, mengasuh, kehangatan, empati, penerimaan, dan tanpa syarat dalam melakukan sesuatu. b) High Expectations in Families High Expectations dalam keluarga dapat dilakukan dengan menyediakan petunjuk yang berkontribusi untuk rasa aman remaja, dapat mengkomunikasikan sikap percaya mereka akan harga diri dan kompetensi, dan bisa sebagai katalisator untuk menolong individu dalam menemukan kekuatan mereka atau kelebihan mereka. c) Opportunities for Participation and Contribution in Families Dalam keluarga, partisipasi dan kontribusi tergantung pada kemampuan orang tua untuk dapat menyediakan tanggung jawab dan kemandirian bagi anakanaknya.

22 3) Community Protective Factors a) Caring Relationships in the Community Salah satu temuan utama dari Resiliency adalah kekuatan mentor informal, seperti tetangga, teman dari orang tua, guru atau siapapun yang memiliki waktu untuk peduli dengan orang lain merupakan Protective Factor dalam kehidupan seseorang. b) High Expectation in the Community High Expectation dalam komunitas berlangsung dalam beberapa tingkatan : komunitas secara umum, komunitas yang bergerak dalam pelayanan remaja dan komunitas yang diprakasai. High Expectation dalam komunitas, seperti kapasitas keyakinan remaja dan orang dewasa, harapan yang jelas dan panduan dalam tingkah laku, kegiatan serta pesan yang berorientasi pada kekuatan atau kelebihan yang ada pada seseorang tersebut. c) Opportunities for Participant and Contribution in the Community Dalam hal menyediakan kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi bagi remaja, komunitas berhasil mengorganisir tawaran kesempatan yang berkelanjutan untuk remaja dalam, (1) membangun kompetensi dan keterampilan mereka, melalui keterlibatan, tantangan, dan aktivitas yang menarik, termasuk Job Training dan magang untuk remaja yang lebih tua; (2) membangun kesetaraan melalui partisipasi yang aktif dalam kelompok dan dengan teman sebaya dalam kelompok kecil yang memiliki kesamaan minat; (3) membangun kekuatan dan rasa hormat melalui pemecahan masalah dan pengambilan keputusan;

23 (4) mencari Sense of Meaning melalui aktivitas yang menyertakan dialog dan refleksi disamping menyediakan layanan komunitas dan berkontribusi bagi orang lain, termasuk teman sebaya. 2.2.3 A Perspective on Strengths The Dynamic Quality of Strengths Resiliensi adalah sesuatu yang dinamik, kualitas adaptasi dari Resilience Strength menyadari bahwa mereka tidak memperbaiki sifat dan tingkah laku seseorang atau bahkan lebih banyak lebih baik. Faktanya, teori resiliensi melihat bahwa resiliensi tidak memperbaiki tingkah laku, tetapi sebagai sesuatu yang dinamik dan kontekstual, bahkan internal aset. Hal ini bisa berkurang apabila mengalami ketidakseimbangan. Personal strength juga berbeda-beda pada tiap budaya. The roll of psychological needs and intrinsic motivation Sesuatu yang muncul dan mengendalikan proses perkembangan manusia, resiliensi dan adaptasi adalah Internal Force. Manusia secara intrinsik termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis, termasuk di dalamnya adalah needs for belonging and affiliation, a sense of competence, feelings of autonomy, safety, dan meaning (Benard, 2004). Karena kebutuhan psikologis yaitu untuk adanya rasa dimiliki, individu akan mencari dan menjalin relasi dengan orang lain dan yang nantinya akan mengembangkan kemampuan Social Competence. Psikolog melihat hal ini sebagai dorongan atas affiliation atau belongingness system adaptation (Benard, 2004).

24 Kebutuhan psikologis individu untuk merasa kompeten mendorong individu untuk mengembangkan kemampuan Problem Solving Skills (Benard, 2004). Kebutuhan untuk merasa kompeten, digabung dengan kebutuhan untuk merasa Autonomous, membawa individu untuk mencari kesempatan bagi merasakan sensasi dari kekuatan dan pencapaian. Psikolog melihat ini sebagai mastery motivational system (Benard, 2004). Sistem motivasi keamanan individu memiliki kebutuhan untuk menghindari rasa sakit dan meningkatkan ketahanan fisik yang akan mendorong individu tidak hanya mengembangkan Problem Solving Skills, tetapi Social Competence, Autonomy, dan Purpose. Kebutuhan individu untuk mencari arti dari kehidupan memotivasi individu untuk mencari orang lain, tempat baru, dan Tranformational Experiences yang akan membuat individu merasakan bahwa memiliki Sense of Purpose, masa depan dan keterkaitan dengan kehidupan (Benard, 2004). 2.2.4 Personal Strengths Personal Strengths adalah karakteristik individual, yang disebut aset internal atau kompetensi personal, yang terkait dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup. Personal Strengths merupakan outcomes positif dari Resiliency yang dapat dilihat, diukur, dan diobservasi, serta memiliki empat aspek, menurut Benard (2004) terdapat empat kategori resiliensi antara lain (1). Social competence, (2). Problem solving skills, (3). Autonomy, dan (4). Sense of Purpose and Bright Future. Aspek-aspek tersebut adalah :

25 1. Social Competence Social Competence mencakup karakteristik, kemampuan, dan sikap yang diperlukan oleh individu untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif dengan orang lain. Social Competence meliputi empat sub aspek, yaitu : 1. Responsiveness Responsiveness merupakan aspek yang mempengaruhi Social Ability dengan memberikan respon yang positif kepada orang lain dan menyesuaikan perilakunya agar mendapatkan respons positif dari orang lain. (Wermer & Smith, dalam Benard : 2004) menemukan bahwa seseorang yang memiliki temperamen yang mudah dikontrol dan mood yang positif akan membuatnya bersikap responsive terhadap orang lain dan dapat memunculkan suatu adaptasi yang baik terhadap berbagai hal. 2. Communication Communication adalah kemampuan sosial menunjukkan semua proses yang berkaitan dengan hubungan interpersonal dan relasi sosial yang dibangun. Kemampuan berkomunikasi sosial dapat memudahkan hubungan interpersonal dan membangun hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini merupakan kemampuan untuk menyatakan dirinya tanpa menyakiti orang lain. Komunikasi sosial banyak membawa dampak positif dalam mengurangi konflik interpersonal. 3. Empathy and Caring Empati adalah kemampuan individu untuk memahami perasaan dan sudut pandang orang lain (Benard, 2004). Empati tidak hanya membantu

26 memudahkan perkembangan dalam hubungan dengan orang, namun juga dalam bentuk moral dan pengorbanan serta perhatian kepada orang lain. 4. Compassion, Altruism, and Forgiveness Compassion merupakan keinginan dan kemauan untuk memperhatikan dan menolong orang yang kesulitan. Altruism seringkali dianggap sebagai tindakan berempati. Altruism tidak berarti menolong, namun lebih tepat untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Altruism adalah suatu kemurnian tanpa keegoisan dalam menolong dan tidak mencari keuntungan sebagai penolong dan pertimbangan yang tinggi dari kompetensi social (Higgins,1994 ; Oliner & Oliner, dalam Benard : 2004). Forgiveness berarti individu dapat menerima kesalahan orang lain yang dilakukan terhadapnya dan memaafkannya. 2. Problem Solving Problem solving merupakan kemampuan individu untuk dapat membuat rencana dan tindakan yang akan dilakukan saat menghadapi masalah, dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi alternatif terhadap suatu masalah, dapat berpikir kritis dan analitis dalam mengerti suatu kejadian atau situasi. Problem solving dibangun oleh beberapa kemampuan yaitu kemampuan merencanakan, fleksibilitas, pemikiran kritis, dan Insight yang juga termasuk dalam empat sub aspek dari Problem Solving. 1. Planning Planning sebagai bentuk dari Problem Solving yang menghubungkan kemungkinan mengontrol dan merencanakan harapan masa depan.

27 Individu yang memiliki kemampuan merencanakan, berkaitan dengan keinginan untuk mengontrol dan memiliki harapan akan masa depannya. 2. Fexibility Fexibility merupakan kemampuan untuk melihat dan usaha untuk mencari jalan keluar, baik untuk masalah kognitif maupun sosial. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk mencari jalan lain dan tidak terpaku pada satu jalan ketika menghadapi masalah. 3. Resourcefulness Resourcefulness merupakan kemampuan untuk bertahan, termasuk di dalamnya adalah melibatkan sumber eksternal dan sekumpulan sumber dukungan. Kemampuan ini termasuk kemampuan mencari bantuan, berbagai sumber bantuan, dan `street smarts`. Istilah yang seringkali digunakan adalah `street smarts`. Istilah street smarts sendiri lahir dari studi mengenai resiliensi. Street Smarts dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk menggunakan berbagai strategi guna bertahan hidup ditengah berbagai tekanan yang harus dihadapinya, (Banaag, dalam Benard : 2004). Pada dasarnya, kemampuan untuk memecahkan masalah di dasarkan pada kemampuan individu untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Berpikir kritis di definisikan sebagai pola berpikir secara reflektif dan mendalam mengenai permasalahan yang sedang dihadapi, (Benard : 2004). 4. Critical Thinking and Insight Pemikiran kritis mengacu pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, kebiasaan menganalisis pemikiran yang terselubung, berusaha mengerti

28 arti dari suatu kejadian, dan pernyataan atau situasi. Insight adalah bentuk pemecahan masalah yang paling dalam, mencakup kesadaran atau intuisi akan tanda-tanda di lingkungam terutama pada bahaya. Insight membantu individu menginterpretasikan dan mempersepsikan kesulitan atau kesukarannya bahwa dapat diatasi dan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. 3. Autonomy Autonomy adalah kemampuan individu untuk bertindak dengan bebas dan kemampuan untuk dapat kontrol terhadap lingkungannya. Sub aspek dibawah ini dapat membantu menjelaskan lebih rinci mengenai aspek Autonomy, yaitu : 1. Positive Identity Merupakan identitas tentang diri sendiri yang positif dan kuat yang sering di sinonimkan dengan Self Esteem yang positif. Individu dengan tingkat Self Esteem yang tinggi menilai dirinya secara positif, memiliki pandangan yang positif mengenai lingkungannya maupun kemampuannya untuk menghadapi dan mengatasi masalah tantangan hidup. 2. Internal Locus of Control and Initiative Locus of control di definisikan sebagai persepsi seseorang mengenai kendali yang dimilikinya terhadap hasil dari tindakan-tindakannya. Individu dengan Internal Locus of Control meyakini bahwa ia dapat mengendalikan apa yang terjadi pada dirinya. Para peneliti Garmezy, Peng et al. Werner & Smith (Benard: 2004) mengidentifikasikan Internal Locus of Control sebagai karakteristik pada individu yang resilien. Inisiatif suatu konsep yang hampir bersinonim

29 dengan Locus of control, merupakan kemampuan untuk memotivasi diri dengan perhatian dan usaha langsung kearah tujuan, (Larson, dalam Benard : 2004). 3. Self-Efficacy and Mastery Self-Efficacy adalah keyakinan pada individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengatasi situasi secara positif. Hal yang berhubungan erat dengan Self-Efficacy adalah Mastery, yang merupakan salah satu dari pengembangan sense of efficacy yang paling efektif. Mastery merupakan suatu perasaan berkompeten dalam mencoba atau melakukan sesuatu. 4. Adaptive Distancing and Resistance Adaptive distancing meliputi kemampuan secara emosional untuk melepaskan dirinya dari orang tua, sekolah, atau komunitas yang buruk dan menyadari bahwa masa depannya tidak ditentukan oleh orang lain (Beardslee, 1997 ; Breadslee & Podorefsky, 1998 ; Chess, 1989 ; Rubin, 1996, dalam Benard : 2004). Resistance adalah salah satu bentuk dari Adaptive Distancing. Penolakan untuk menerima perkataan negatif tentang seseorang, gender, ras atau budaya merupakan pelindung yang kuat dalam Autonomy. 5. Self Awareness and Mindfulness Self Awareness and Mindfulness adalah individu mampu mengamati apa yang orang lain pikirkan, memperhatikan mood, kekuatan, dan kebutuhan yang tampak tanpa melibatkan emosi.

30 6. Humor Humor membantu seseorang mengubah kemarahan dan kesedihan menjadi kegembiraan dan membantu seseorang untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang menyedihkan dan kurang baik (Lefcourt, dalam Benard : 2004). Humor sebagai bentuk penyesuaian atau pertahanan yang kritis dari resilien individu sepanjang hidupnya. 4. Sense of Purpose and Bright Future Sense of Purpose diartikan sebagai keyakinan pada individu bahwa hidupnya memiliki makna dan tujuan, Benard (2004). Sense of Purpose merupakan kekuatan untuk mengarahkan tujuan secara optimis dan kreatif untuk mengerti dan berkaitan dengan kepercayaan yang mendalam tentang arti hidup dan keberadaan dirinya. Untuk melihat Sense of Purpose tersebut, terdapat beberapa sub aspek yang diungkapkan oleh Benard (2004), yaitu : 1. Goal Direction, Achievement Motivation, and Educational Aspirations Arah goal sama dengan kemampuan berencana. Motivasi berprestasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku dan tampilannya, yang juga berarti motivasi dalam menyikapi situasi dimana individu mampu menanggapi permasalahan yang ada, (Wigfield & Eccles, dalam Benard, 2004). 2. Special Interest, Creativity, and Imagination (Werner and Smith, dalam Benard, 2004), berpendapat bahwa individu yang memiliki ketertarikan khusus dan hobi akan memberikan

31 sebuah saluran kearah yang lebih positif bagi individu yang hidup di lingkungan yang penuh tekanan, membuat mereka memperhatikan, dan memahami untuk menguasai tugas mereka sebagai hasil dari resilientnya. Minat khusus ini sering muncul dalam beberapa wujud seni-seni kreatif. Memiliki minat khusus dan mampu menggunakan salah satu kreativitas atau imajinasi dapat menghasilkan aktualisasi diri dan pengalaman-pengalaman yang optimal. 3. Optimism and Hope Optimisme terkait dengan bagaimana individu mempersepsikan penyebab dari kejadian yang dialaminya. Optimis yang berhubungan dengan kepercayaan, pemikiran positif dan harapan yang di asosiasikan dengan emosi dan perasaan positif, (Benard, 2004). 4. Faith, Spirituality, and Sense of meaning Individu yang memiliki resiliensi menggambarkan kekuatannya dari agama, serta manfaat lain dari keyakinan atau spiritualitas yang lebih umum, dan mencapai rasa akan stabilitas dengan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan dan nilai diri mereka. 2.2.5 Perkembangan Resiliensi Kekuatan dari Protective Factor secara langsung berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia. Kapasitas dari perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam belajar dibawa sejak lahir pada setiap manusia. Ini merupakan perkembangan yang lahir secara alami memotivasi individu untuk memenuhi

32 kebutuhan dasar manusia akan rasa aman, di cintai, di hormati, mandiri, unggul, dan berarti. Ketika individu mendapatkan pengalaman di rumah, di sekolah dan komunitas yang memberikan Caring Relationship, High Expetation, dan Opportunities for Participation and Contribution maka kebutuhan dasar akan bertemu. Pada gilirannya, setelah kebutuhan tersebut terpenuhi secara alami meningkatkan resiliensi individu akan Social Competence, Problem Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future. Kekuatan individu ini menghasilkan peningkatan sosial, kesehatan, dan hasil akademik serta melindungi mereka dari keterlibatan dari perilaku yang beresiko terhadap kesehatan, seperti alkohol, tembakau, penyalah gunaan obat, kehamilan remaja, dan kekerasan, (Benard, 2004). 2.3 Tunagrahita 2.3.1 Pengertian Tunagrahita Anak tunagrahita adalah anak-anak yang kecerdasannya berada dibawah rata-rata dengan ditandai adanya keterbatasan intelegensi dan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Keterbatasan dalam kecerdasan ini mengakibatkan anak-anak tunagrahita sulit dalam mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal. Hal inilah yang menyebabkan anak tunagrahita membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan pada anak. Menurut American Association on Mental Deficiency atau AAMD (Moh. Amin, 2005 : 22), mendefinisikan bahwa tunagrahita sebagai kelainan yang

33 meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun. 2.3.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita Klasifikasi menurut AAMD (Moh. Amin, 1995: 22-24), yaitu : a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik) Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50-70 mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan semi trampil, dan pekerjaan sederhana. b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih) Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30-50 dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri (Self-Help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat, dan mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan. c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat) Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas. Sedangkan klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini (PP No 72/1999) adalah : a. Tunagrahita ringan IQ nya 50-70. b. Tunagrahita sedang IQ nya 30-50. c. Tunagrahita berat dan sangat berat IQ nya kurang dari 30.

34 Tabel 1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Pendidikan Sosial Media Mampu Didik Ringan Debil (Educabel) (mild morant) Mampu Latih Sedang Embical (Friable) (moderate) Perlu Rawat Berat/sangat berat Idiot yaitu : Berdasarkan hal ini, dapat di jelaskan bahwa klasifikasi anak tunagrahita, Anak tunagrahita (mampu didik) IQ 50/55-70/75 (debil), yaitu dapat di didik dalam bidang akademik, mampu menyesuaikan sosial dalam lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri, dan mampu melakukan pekerjaan sosial sederhana. Anak tunagrahita sedang (mampu latih) IQ 20/25 50/55 (Embicil), yaitu dapat mengurus dirinya sendiri, mampu melakukan pekerjaan yang perlu pengawasan ditempat terlindungi, dapat berkomunikasi, dan beradaptasi di lingkungan terdekat. Anak tunagrahita berat (mampu rawat) IQ 0 20/25 (Idiot), yaitu sepanjang hidupnya tergantung pada bantuan yang perawatan orang lain. 2.4 Kerangka Pemikiran Setiap orang tua memiliki keinginan serta harapan yang terbaik untuk anakanaknya. Pendidikan yang terbaik dan tumbuh kembang yang sehat untuk anaknya. Namun, pada kenyataannya segala sesuatunya tidak dapat di prediksi bahkan harus sesuai dengan yang diharapkan. Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk anak-anak yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata dan ketidakmampuan dalam

35 berinteraksi sosial dengan orang lain. Anak tunagrahita juga dikenal dengan istilah keterbelakangan mental. Hal ini dikarenakan keterbatasan kecerdasan yang mengakibatkan anak sulit untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal. Keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan pada anak. Ibu yang memiliki anak tunagrahita memiliki upaya yang cukup besar dibandingkan ibu yang memiliki anak yang normal. Hal ini dikarenakan, anak tunagrahita membutuhkan perhatian serta penanganan yang khusus dalam membantu aktivitas kesehariannya. Dengan pendidikan serta penanganan yang tepat, dapat membantu mengarahkan anak-anak tunagrahita untuk menjadi lebih mandiri dan dapat mengurus segala sesuatunya sendiri. Ibu yang memiliki anak tunagrahita pada awalnya, mengalami gangguan psikologis seperti, terkejut mengetahui anaknya berbeda dengan anak-anak pada umumnya, merasa tidak percaya dengan hasil diagnosis, tidak dapat menerima kondisi anaknya, bahkan putus asa dalam menangani anaknya. Sedangkan gangguan fisiologis yang terjadi pada ibu yaitu ibu merasa tidak bernafsu makan, perut serta pencernaan ibu merasa tidak enak, dan ibu sering merasakan sakit kepala. Ketika di lingkungan masyarakat, ibu terkadang merasa tidak nyaman. Ibu merasakan perilaku serta ekspresi orang lain ketika melihat kondisi anaknnya yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Bahkan ada beberapa individu yang merasakan bahwa anak tunagrahita dapat menular ke anak mereka. Sehingga mereka terlihat berusaha menjauhinya. Beberapa ibu yang memiliki anak tunagrahita merasa tidak nyaman mengajak anaknya keluar rumah untuk jalan

36 jalan, terkadang ibu merasa malu dengan kondisi anak yang seperti ini, ibu merasakan hal ini tidak adil baginya karena berdasarkan silsilah keluarganya hal ini tidak pernah terjadi. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, ibu-ibu yang menyekolahkan anaknya di SLB Darul Hidayah terlihat berusaha untuk beradaptasi dengan baik dan mampu berusaha di situasi yang sulit bahkan menekan serta adanya halangan dan rintangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang telah dilakukan ibu untuk anaknya yaitu, berusaha mencari tahu tentang keadaan anaknya, berusaha mencari solusi dari permasalahan yang terjadi pada anaknya dengan mencari informasi tentang karakteristik tunagrahita, dan ketika ibu merasa tidak nyaman serta merasa hal ini kenapa bisa menimpa dirinya terlihat bahwa ibu mencoba berusaha untuk berinteraksi serta menjalin relasi dengan orang lain. Walaupun terkadang ibu merasakan ada beberapa individu serta lingkungan yang terlihat menolak kondisi beliau yang memiliki anak tunagrahita. Dari segala situasi serta hambatan yang dialami ibu yang memiliki anak tunagrahita, ibu perlahan-lahan berusaha mengatasi hal ini dan mencoba menjalani kehidupannya serta mencoba untuk tidak larut dalam kesedihannya yang memiliki anak tunagrahita. Peran ibu yang memiliki anak tunagrahita sangat besar, yaitu dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita yang memiliki hambatan dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi serta dalam penyesuaian sosial. Ibu mempunyai peranan yang sangat penting dalam merawat anak, seperti membantu anak dalam berpakaian, mandi, makan, minum, dan sebagainya. Disamping itu,

37 anak yang memiliki keterbatasan intelektual, ibu diharapkan bersikap sabar baik dalam mengajari anak tentang aktivitas sehari-hari serta dalam merawat anaknya. Ibu yang memiliki anak tunagrahita terkadang mengalami penolakan sosial di lingkungannya, bahkan permasalahan ekonomi karena harus menyediakan biaya yang lebih untuk perawatan serta pendidikan pada anaknya. Perasaan ibu yang sedih, kecewa, putus asa karena memiliki anak yang tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini yang diperlukan oleh ibu yaitu kekuatan untuk bangkit dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada hidupnya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri secara positif yang berfungsi secara baik sebagai ibu yang berada dalam kondisi memiliki anak tunagrahita. Mampu serta berusaha untuk beradaptasi ditengah situasi yang menekan serta banyak halangan dan rintangan. Menurut Benard, (2004) resiliensi adalah kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik ditengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan. Dengan adanya resiliensi pada diri ibu, maka ibu akan dapat beradaptasi dengan keadaannya yang berubah semenjak adanya anak tunagrahita di kehidupannya. Ibu mampu beradaptasi dengan baik akan bisa merawat dan memberikan hal yang terbaik bagi anaknya, seperti memberikan pendidikan dan pelatihan kepada anaknya. Ibu juga sebagai seorang istri dan makhluk sosial harus tetap mampu menjalankan perannya tersebut meskipun waktunya banyak tersita untuk merawat anaknya. Seorang ibu pasti memiliki sifat-sifat keibuannya, yaitu bersangkutan dengan relasi ibu dan anaknya yang merupakan sebagai kesatuan fisiologis, psikis, dan sosial. Menurut Kartini Kartono (2007), relasi tersebut dimulai sejak janin ada

38 dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa masa kehamilan, kelahiran, periode menyusui, dan memelihara anaknya. Semua fungsi fisiologis memiliki komponen-komponen psikologis yang pada setiap individu memiliki khas dan sifat yang sama. Namun, secara individual, menunjukkan perbedaan karena sifat-sifat kepribadian setiap perempuan berbedabeda. Derajat resiliensi pada setiap ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB Darul Hidayah kota Bandung berbeda-beda, hal ini dapat dilihat melalui empat aspek resiliensi yang dapat diukur dalam Personal Strength, yaitu Social Competence, Problem Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future. Personal Strength adalah karakteristik individual, yang berhubungan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup. Ibu yang memiliki beberapa aspek dari resiliensi yang tinggi, akan dapat menjalin relasi yang baik dengan semua orang, serta dapat merencanakan apa saja yang dibutuhkan anaknya agar dapat mandiri dan memiliki keahlian tertentu. Ibu juga peka pada keadaan anaknya dan mampu memutuskan secara mandiri hal apa yang terbaik untuk anaknya serta mampu memfokuskan diri pada masa depan dirinya dan anaknya secara positif dan yakin akan kemampuannya dalam menghadapi anaknya. Ibu juga akan memiliki motivasi untuk membuat anaknya dapat mandiri dan memiliki masa depan. Ibu yang dapat bertahan akan memiliki kemungkinan untuk mencapai kondisi yang lebih baik, tenang, dan bijaksana dalam menghadapi tekanan dalam hidupnya. Ibu yang memiliki resiliensi rendah, akan kurang dapat menjalin relasi sosial, seperti ibu tidak perduli dengan lingkungan disekitarnya, ibu juga tidak

39 berusaha mencari tahu mengenai hal-hal yang dapat membantu anaknya, ibu hanya pasrah dengan keadaan yang menimpa anaknya, terdapat ketidakmampuan dalam mengambil keputusan dalam melakukan tindakannya. Selain itu ibu juga merasa kurang memiliki kesejahteraan hidup karena ibu malah larut dalam rasa malu dan penyesalan karena memiliki anak tunagrahita. Keadaan ibu yang tidak berusaha mencari jalan keluar yang terbaik bagi dirinya ataupun bagi anaknya yang membuat keadaan ibu menjadi semakin memburuk. Selain kemampuan yang dimiliki ibu, ibu juga membutuhkan dukungan dari lingkungannya baik dari keluarga terutama suami, teman, maupun orang-orang disekitarnya. Dukungan yang diperoleh dari lingkungan disebut Protective Factors. Dukungan-dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak membuat ibu menjadi lebih dapat menghadapi kondisi-kondisi menekan dan diharapkan ibu menjadi lebih dapat bertahan dan merawat anaknya tanpa menghambat perannya sebagai makhluk sosial. Ibu yang memiliki anak tunagrahita, dengan kemampuan Social Competence akan mampu berhubungan atau berelasi dengan orang sekitarnya seperti mampu memberikan respon positif terhadap orang lain dan menerima masukan dari orang lain, mampu mengungkapkan hal-hal yang dirasakan tanpa menyakiti orang lain dan mampu berkomunikasi dengan baik dalam berhubungan dengan orang lain, mampu mengerti dan memahami perasaan orang lain sesuai dengan hal yang telah dirasakan orang tersebut, dan mampu untuk memperhatikan dan menolong orang lain, mampu untuk memaafkan diri sendiri dan mampu memaafkan orang yang menyakiti hatinya.

40 Ibu yang memiliki Problem Solving Skills, pada saat menghadapi kenyataan bahwa memiliki anak tunagrahita, ibu akan mampu untuk mencari jalan keluar dari masalahnya, yaitu ibu mampu merencanakan langkah-langkah dalam menjalankan kehidupannya dan menetapkan tujuan hidupnya, ibu mampu mencari solusi atau alternatif terbaik dalam menghadapi tekanan hidupnya dan tidak menyerah saat mendapatkan hambatan dalam menjalankan kehidupannya, dan ibu mampu mengendalikan masalah sebagai tantangan, mampu mencari kesempatan agar dapat bertahan dalam menjalankan kehidupannya sebagai ibu yang memiliki anak tunagrahita, dan ibu mampu untuk mengambil pelajaran dari masalah yang dihadapinya. Ibu yang memiliki kemampuan Autonomy akan mampu mengembangkan dirinya untuk dapat bertindak secara mandiri dalam mengontrol lingkungan, yaitu ibu mampu untuk mengetahui identitas dirinya dan menghargai dirinya sendiri, ibu mampu mengontrol dirinya untuk berperilaku sesuai norma yang berlaku di masyarakat dan mampu memotivasi diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam hidupnya, ibu mampu dan yakin akan kemampuan dirinya dalam bidang tertentu, ibu mampu untuk tidak terpengaruh pada pengaruh buruk di lingkungan sekitar dan mampu untuk tidak tergantung orang lain, ibu mampu untuk mengontrol emosi dan tidak mudah terpancing emosi, dan ibu mampu untuk menciptakan suasana gembira dan mampu membangkitkan perasaan gembira. Ibu yang memiliki kemampuan Sense of Purpose and Bright Future mampu bertingkah laku menuju tujuan dengan rasa percaya diri, yaitu ibu mampu merencanakan dan mengarahkan tindakan untuk mencapai tujuan, ibu mempunyai ketertarikan terhadap minat atau hobi pada bidang tertentu, ibu yakin dan mampu

41 untuk mencapai harapan masa depan, dan ibu mampu untuk mendekatkan diri pada tuhan. Perkembangan resiliensi terbentuk dari pengaruh Protective Factor. Resiliensi yang dimiliki oleh para ibu berbeda-beda, hal ini terkait dengan adanya faktor yang mendukung dan memfasilitasi terbentuknya resiliensi yang disebut dengan Protective Factor. Protective Factor meliputi Caring Relationship, High Expectations, dan Opportunities for Participation and Contribution yang diberikan oleh keluarga, Inwork, dan komunitas ibu yang mempunyai anak tunagrahita. Ibu yang mempunyai anak tunagrahita SLB Darul Hidayah di kota Bandung dikatakan memiliki resiliensi apabila mampu berkomunikasi dan menjalin relasi sosial dengan percaya diri terhadap orang disekitarnya. Mengetahui hal yang harus dilakukan ketika terjadi suatu masalah. Ibu mampu bangkit kembali serta memiliki perasaan bahwa mereka mampu untuk melaluinya dari kondisi yang sulit. Ibu memiliki motivasi untuk memperbaiki permasalahan yang terjadi, optimis, dan memiliki harapan akan masa yang akan datang.

42 Skema Berpikir Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB Darul Hidayah kota Bandung. Perasaan ibu yang memiliki anak tunagrahita : 1. Sedih. 2. Kecewa. 3. Marah. 4. Putus asa. Mengalami kesulitan dalam mendidik dan merawat anak tunagrahita. Aspek Resiliensi : 1. Social Competence. 2. Problem Solving Skills. 3. Autonomy. 4. Sense of Purpose and Bright Future. Faktor Resiliensi : 1. Risk Factor : Ketidakmampuan, budaya, ekonomi, dan kondisi medis. 2. Protective Factor : Lingkungan yang mendukung, yaitu Family, Inwork, dan Community. Resiliensi ibu yang memiliki Tinggi anak tunagrahita di SLB Darul Hidayah kota Bandung Rendah