I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini tindak kejahatan tidak hanya terjadi pada kasus-kasus pembunuhan,

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

I. PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

I. PENDAHULUAN. semuanya mengingatkan sekaligus menginginkan agar masyarakat Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

I. PENDAHULUAN. bangsa, namun pada jaman globalisasi seperti sekarang ini terdapat banyak faktor

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PROBOLINGGO NO. 179/PID.B/PN.PBL TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

I. PENDAHULUAN. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I.PENDAHULUAN. perhatian di dalam kalangan masyarakat. Berita di surat kabar, majalah dan surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

I. PENDAHULUAN. mendapatkan suatu perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN PENCEMARAN NAMA BAIK, MELALUI INTERNET

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

I. PENDAHULUAN. suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut

I. PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. sedang mengalami kehancuran maka mulai timbul tindak pidana dengan modus

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah sumber daya alam yang sangat penting fungsinya untuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi keberlangsungan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Hutan memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik dilihat dari sisi ekologis maupun dilihat dari sisi sosial budaya. Bertolak dari fungsi dan manfaat hutan sebagaimana diuraikan diatas, maka hutan harus diurus, dikelola dan dilindungi serta dijaga kelestariannya agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tepatlah jika pemerintah melakukan berbagai kebijakan dalam rangka melestarikan hutan. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka melestarikan hutan adalah melakukan perlindungan hutan dan konservasi alam yang bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi hutan dapat tercapai secara optimal. Berkaitan dengan perlindungan hutan dalam rangka pelestarian hutan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur dengan tegas larangan-larangan bagi setiap orang

agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Laranganlarangan tersebut diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dapat dipatuhi dan tidak dilanggar oleh setiap orang, maka Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan tegas menentukan bahwa pelanggaran terhadap larangan yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan tindak pidana di bidang kehutanan yang sering disebut dengan istilah illegal logging. Dilihat dari doktrin pertanggungjawaban pidana, tindak pidana di bidang kehutanan yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78 ayat (5) dan Pasal 50 (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dalam hal pertanggungjawaban pidana menganut doktrin mens-rea (asas kesalahan), kerena menempatkan kesengajaan sebagai unsur utama delik. Roeslan Saleh (1982 : 20) menjelaskan bahwa doktrin mens-rea adalah adanya unsur subyektif adalah mutlak bagi pertanggungjawaban pidana. Artinya, pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi yang memaafkan. Dengan demikian, berdasarkan doktrin mens-rea, jika seseorang dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana, berarti orang tersebut benar-benar telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan lagi dan kepadanya harus dikenakan pidana sesuai dengan kesalahannya. Berkenaan dengan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dengan terjadinya tindak pidana, jika yang bersangkutan dengan terjadinya tindak pidana lebih dari satu orang, berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) terdapat 5 (lima) kategori pelaku tindak pidana, yaitu: 1. Pelaku Utama atau disebut orang yang melakukan (dader);

2. Pelaku yang menyuruh melakukan (doen plegen); 3. Pelaku yang turut melakukan (mede dader); 4. Pelaku yang sengaja membujuk melakukan (uitlooking); 5. Pelaku yang membantu melakukan (medeplichtige). Berdasarkan ketentuan Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), untuk menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang terhadap terjadinya tindak pidana, apakah sebagai dader; doen plegen; mede dader; uitlooking; atau medeplichtige. Pengadilan harus mendasarkan pada sekurang-kurangnya : 1. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; 2. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; 3. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; 4. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dengan pemidanaan atau tindak pidana yang dijatuhkan. Tindak pidana illegal logging merupakan salah satu kejahatan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan atau eksploitasi hutan secara berlebihan. Kerusakan tersebut menimbulkan dapak negatif terhadap kehidupan manusia seperti banjir, tanah longsor, dan kerugian materil lainnya. Illegal logging dilakukan dengan cara penebangan hutan atau pembalakan kayu hutan secara liar dan tidak bertanggung jawab, ancaman sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang

terhadap kejahatan tersebut berupa pidana penjara atau pidana denda. Larangan bagi setiap orang agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menimbulkan kerusakan hutan terdapat dalam Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diancam dengan pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah). Kenyataan menunjukan lain, Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam Putusannya Nomor : 997/Pid.B/2009/PN.TK telah menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan denda Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kepada terdakwa I, Suryani alias Nani Bin Santari; terdakwa II, Supriyadi Bin Satarip; dan terdakwa III, Karim Bin Jarian sebagai bentuk pertanggungjawaban ketiga terdakwa karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Merambah Hutan Dengan Melakukan Penebangan Pohon Serta Memungut Hasil Hutan Taman Raya Wan Abdul Rachman Di Gunung Pesawaran Tanpa Memiliki Hak Atau Izin Dari Pejabat Yang Berwenang. Jaksa Penuntut Umum hanya mendakwa dan menuntut ketiga terdakwa dengan satu tindak pidana, yaitu dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b,c,k jo Pasal 7 8 ayat (2),(5),(7),(10),(15) Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang jo Pasal 55 ayat (1). Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK tidak memenuhi suatu unsur keadilan substansif kerena hakim dalam memutus perkara tidak menggali dan

menemukan nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat seperti tidak diungkapkan peran para terdakwa dalam perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK. Terdakwa I, Suryani alias Nani Bin Santari sebagai pelaku utama ( dader), terdakwa II, Supriyadi Bin Satarip dan terdakwa III, Karim Bin Jarian sebagai pelaku yang membantu melakukan ( medeplichtige), namun pada putusan pengadilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, majelis hakim memberikan putusan yang sama. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK melalui penulisan skripsi yang berjudul Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran (Studi Kasus Putusan Pengad ilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK). B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK? 2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK? 2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada pembahasan terhadap penentuan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging yang didakwa dan dituntut sebagai pelaku tindak pidana illegal logging menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK di Bandar Lampung. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK? b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis : a. Kegunaan Teoritis Kegunaan secara teoritis adalah untuk pengembangan daya nalar dan daya pikir yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki khususnya pengetahuan akan hukum pidana guna

mendapatkan data secara obyaktif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap masalah yang ada khususnya masalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku illegal logging. b. Kegunaan Praktis Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya bagi para hakim dalam menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan (illegal logging). D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangkan acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensidimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 125). Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahawa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Menurut Tolib Setiady (2010 : 145 ) menjelaskan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Orang yang telah melakukan perbuatan pidana kemudian juga akan dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut pada dasarnya mempunyai kesalahan, pasti akan dipidana. Tetapi, jika seseorang tidak mempunyai kesalahan walaupun

telah melakukan perbuatan yang dilarang dan tercela, tentu tidak dipidana. Asas lex specialis generalis tiada dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat. Dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsurunsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Menurut Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moeljatno bahwa pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah : 1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat; Moeljatno (2008;37) menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal); b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak).

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai; Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu : a. Sengaja sebagai maksud ( opzet als oogmerk), definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya; b. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga; c. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Kealpaan ( culpa) adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :

a. Kealpaan yang disadari (bew uste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu; b. Kealpaan yang tidak disadari ( onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut. 3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (dua) jenis alasaan penghapus pidana, yaitu : a. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan; b. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisni ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana. Menurut Roeslan Saleh (Leden Merpaung, 2010 : 22) Orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi 3 (tiga) syarat antara lain : a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya;

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat; c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikenadaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Doktrin atau asas mens-rea ini penulis gunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini karena sesuai dengan doktrin atau asas pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menjadi pokok bahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu rumusan dengan sengaja yang merupakan salah satu unsur dari doktrin atau asas mensrea, yaitu kesalahan disamping perbuatan. Mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana ( Criminal Liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. (Sutan Remy Sjahdeni,2007:33). Hakim dalam menjatuhkan pidana banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang. Pertimbangan hakim di dalam Undang-Undang diatur

dalam Undang- Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004. Undang- Undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004, yaitu : Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal- hal sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Dasar 1945. karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dia memeperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang.

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim dapat menjatuhkan putusa terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum (Andi Hamzah, 1996:103). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada undang- undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yaitu Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132). Memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berhubungan dengan judul skripsi ini, maka di bawah ini akan dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi sebagai berikut: a. Analisis

Merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahaan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 32) b. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan seseorang wajib menanggung segala sesuatu yang ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat ( liability based on fault) dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana atau akibat perbuatannya dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya (Tolib Setiady, 2010 : 146) c. Pelaku Tindak Pidana Pelaku tindak pidana adalah (1) Pelaku utama atau disebut orang yang melakukan; (2) Pelaku yang menyuruh melakukan; (3) Pelaku yang turut melakukan; (4) Pelaku yang sengaja membujuk melakukan; (5) Pelaku yang membantu melakukan (Pasal 55 KUHP) d. Illegal Logging Rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan eksport kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusak hutan (IGM Nurjanah, Teguh Prasetyo dan Sukardi (2005 : 15) ) e. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman terletak di Kec. Tanjung Karang Barat, Kedodong, Gedong Tataan, Lampung. Kawasan konservasi ini menempati lahan seluas 22.244 hektar. Areal ini memperoleh status resmi sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) berdasarkan Kepmen Menhutbun No. 679/Kpts-II/1999, 1 September 1999.

E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluran. Sistematika penulisannya sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan, penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan dalam prakteknya. III.METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisan yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK dan doktrin pertanggungjawaban pidana yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana melakukan illegal logging dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK

V. PENUTUP Bab ini berisi mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.