PETUNJUK TEKNIS ANTARA DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DENGAN BADAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PAS-07.HM.05.02 TAHUN 2414 NOMOR : J U KNlSlO 1 llt,l201 4 BARESKRIM TENTANG PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN PEREDARAN GELAP NARKOBA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA JAKARTA, 11 MARET 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kerjasama dan koordinasi antara aparat penegak hukum bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi keduanya dalam upaya optimalisasi pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap Narkoba secara efektif dan efisien sesuai kewenangan masing-masing sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Kepolisian Negara Republik lndonesia merupakan Lembaga Negara Penegak Hukum yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban, melindungi dan melayani masyarakat. Dalam melaksanakan penegakan hukum Kepolisian negara Rl menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan, pengawasan dan pengendalian penyidikan, penyelenggaraan identifikasi, laboratorium forensik serta pengelolaan informasi kriminal nasional dilaksanakan oleh unsur pelaksana utama Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri). 3. Kementerian Hukum dan HAM Rl adalah institusi pemerintah yang benrenang dan bertanggung jawab dalam bidang Perawatan Tahanan, pembinaan Narapidana serta Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pemasyarakatan) secara fungsional bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. B. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana (Lembaran Negara Republik lndonesia tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1981 Nomor 3209; 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 361a); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against lllicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Subfances, 1988 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3673); 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 20A2 tentang Kepolisian Negara Republik lndonesia; 5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 5062); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 3874);
7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Republik lndonesia. c. D. E. F. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Petunjuk teknis ini adalah sebagai pedoman dalam rangka pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba dan enyelenggaraan pengamanan di Lapas dan Rutan di seluruh wilayah negara Republik lndonesia 2. Tujuan Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba dan penyelenggaraan operasional pengamanan di Lapas dan Rutan di seluruh wilayah negara Republik lndonesia Ruang Lingkup 1. Pertukaran informasi; 2. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia; 3. Pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba di Lapas dan Rutan; 4. Bantuan pengamanan di Lapas dan Rutan; 5. Penyelidikan dan penyidikan;dan 6. Peminjaman narapidana. Tata Urut 1. Pendahuluan 2. Pelaksanaan 3. Evaluasi 4. Pembiayaan 5. Ketentuan lain 6. Penutup. Pengertian 1. Penyalahgunaan Narkoba adalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat-obatan berbahaya lainnya tanpa hak atau dengan cara melawan hukum; 2. Peredaran gelap narkoba adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika, Psikotropika dan Obat-obatan berbahaya lainnya
BAB II PELAKSANAAN A. Pertukaranlnformasi 1. 2. Bareskrim dan Ditjen Pemasyarakatan saling memberikan data dan informasi mengenai narapidana dan tahanan yang diduga terlibat peredaran gelap narkoba di wilayah Lapas/Rutan atau hal-hal lain yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban; Bareskrim memberikan informasi secara tertulis atau lisan kepada Ditjen Pemasyarakatan tentang status narapidana dan tahanan dalam kedudukannya pada suatu jaringan peredaran narkoba di luar Lapas/Rutan secara mendetail guna pengawasan dan pencegahan peredaran Narkoba di dalam Lapas/Rutan; 3. Dirjen Pemasyarakatan memberikan data dan lnformasi tentang para narapidana dan tahanan khususnya narapidana Narkoba yang akan habis masa pidananya kepada Bareskrim; 4. Kabareskrim dan Dirjen Pemasyarakatan menunjuk pejabat yang diberikan kewenangan untuk memberikan data dan informasi sebagaimana dimaksud diatas. B. Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia 1. Ditjen Pemasyarakatan dapat meminta secara tertulis kepada Bareskrim tentang situasi perkembangan peredaran gelap narkoba di lndonesia sebagai bahan penambahan pengetahuan terhadap personil; 2. Peningkatan Sumber Daya Manusia guna meningkatkan kemampuan profesional personil petugas meliputi: a. Ceramah; b. Sosialisasi terhadap Peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan Narkoba; c. Pengiriman Petugas Lapas/Rutan untuk mengikuti Pelatihan khusus tentang Narkoba; 3. Materi dan waktu pelaksanaan tersebut pada angka 1 dan 2 diatur kemudian oleh Bareskrim dan Ditjen Pemasyarakatan. C. Pencegahan dan Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba di Lapas dan Rutan 1. Kegiatan Pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba terdiri atas: a. Operasi (kegiatan) Rutin; kegiatan operasi yang dilakukan secara berkala dan sudah direncanakan dalam tahun berjalan; b. Operasi (kegiatan) Khusus yang dilakukan secara insidentildan situasional; c. Operasi (kegiatan) Darurat yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan ancaman yang berkembang dari pelaksanaan Operasi Rutin maupun Operasi Khusus.
2. Operasi (kegiatan) sebagaimana dimaksud dalam angka (1) dapat dilaksanakan dengan metode : a. Terbuka, yang diarahkan pada upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaraan gelap Narkoba didalam Lapas/Rutan; b. Tertutup, yang diarahkan untuk mendeteksi dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran Narkoba didalam Lapas dan Rutan; 3. Dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sebagaimana dimaksud dalam angka (1), secara bersama-sama melaksanakan sweeping/razia (pemeriksaan khusus) di Lapas / Rutan dan dituangkan dalam Berita Acara (pemeriksaan khusus); 4. Selaku koordinator dan penanggung jawab kegiatan sebagaimana angka (1), (2) dan (3) diatas adalah PIHAK POLRI; 5. Datam hal operasi/khusus darurat sebagaimana dimaksud dalam angka t huruf b dan c, dilakukan koordinasi secara langsung antara Kabareskrim dengan Dirjen Pemasyarakatan. D. Bantuan Pengamanan di Lapas dan Rutan 1. Bantuan Pengamanan Kepolisian kepada Ditjen Pemasyarakatan pada situasi dan kondisi normal dalam bentuk : a. Mengadakan komunikasi melalui jaringan frekuensi yang ditentukan; b. Pengamanan dalam rangka mencegah timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban dari dalam dan luar Lapas atau Rutan; 2. Kepolisian dapat memberikan bantuan pengamanan kepada Ditjen Pemasyarakatan pada situasi kontijensi apabila terjadi : kerusuhan massal, pemberontakan, huru hara, kebakaran besar, penyanderaan petugas, penguasaan senjata api oleh narapidana dan atau tahanan, peristiwa bencana alam (force majore'5. E. Penyelidikan dan Penyidikan 1. Bareskrim dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan melakukan upaya paksa terhadap Narapidana, Tahanan dan Petugas di lingkungan Lapas dan Rutan yang diduga melakukan dan atau terlibat melakukan peredaran gelap narkoba, setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kepala Lapas dan Rutan; 2. Dalam hal diduga yang melakukan tindak pidana adalah Kepala Lapas dan Rutan koordinasi dilakukan dengan atasan Kepala LAPAS/RUTAN yang bersangkutan; 3. Dalam hal adanya indikasi Narapidana/Tahanan berperan dalam pengendalian peredaran gelap narkoba, Polri dapat melakukan penyelidikan dan Penyidikan di Lapas dan Rutan;
4. Bareskrim Polri dapat melakukan penyelidikan dan Penyidikan mengenai adanya indikasi pengendalian peredaran Narkoba di dalam Lapas/Rutan setelah terlebih dahulu di koordinasikan dengan Kalapas/ Karutan dan/atau Kakanwil; F. PeminjamanNarapidana 1. Peminjaman Narapidana oleh Bareskrim dapat dilakukan untuk kepentingan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (tahap ll) serta rekonstruksi, setelah mendapat ijin tertulis dari Kepala Lapas/ Rutan. 2. Dalam halterdapat keperluan lain diluar sebagaimana dimaksud pada angka (1) Narapidana hanya dapat dibawa keluar Lapas dan Rutan setelah mendapat ijin tertulis dari Dirjen Pemasyarakatan atau Kakanwil/Kalapas untuk dikewilayahan; 3. Keperluan lain sebagaimana dimaksud pada angka (2) adalah untuk pengembangan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus tertentu; 4. Jangka waktu Narapidana dapat dibawa keluar Lapas dan Rutan sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan (2), setiap kali paling lama 1 (satu) hari kerja atau tidak menginap. 5. Jangka waktu peminjaman sebagaimana dimaksud pada angka (4), apabila masih diperlukan Bareskrim dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada Dirjen Pemasyarakatan atau Kakanwil/Kalapas untuk dikewilayahan; 6. Keselamatan, keamanan dan kesehatan narapidana/tahanan menjadi Tanggung jawab dipihak peminjam. BAB III EVALUASI A. Evaluasi terhadap pelaksanaan Petunjuk Teknis dilakukan secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun B. Apabila diperlukan, pihak Ditjen Pemasyarakatan dan Bareskrim dapat mengadakan pertemuan secara insidentil. BAB IV PEMBIAYAAN Segala biaya yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan Petunjuk Teknis ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Masing-masing instansi secara proposional
BAB V KETENTUAN LAIN Juknis ini berlaku untuk Bareskrim kewilayahan dibawa hnya. dan Ditjen Pemasyarakatan serta satuan Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 11 Maret zam DIREKTUR JENDERAL