BAB IV ANALISIS STATUS PENISBATAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI MENURUT MASYARAKAT HADIPOLO DITINJAU DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

STUDI ANALISIS TERHADAP PASAL 105 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG PEMELIHARAAN ANAK YANG BELUM/SUDAH MUMAYYIZ

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu?

ANALISIS FIQH SIYASAH TENTANG PERAN BADAN ANGGARAN DPRD KOTA SURABAYA DALAM MEREALISASIKAN FUNGSI BUDGETING

NIKAH MUT AH. Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah :

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

A. Analisis Tentang Tata Cara Akad Manusia tidak bisa tidak harus terkait dengan persoalan akad

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENOLAKAN PETUGAS KUA ATAS WALI NIKAH MEMPELAI HASIL HUBUNGAN DI LUAR NIKAH

P E N E T A P A N Nomor 0026/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV PERNIKAHAN SEBAGAI PELUNASAN HUTANG DI DESA PADELEGAN KECAMATAN PADEMAWU KABUPATEN PAMEKASAN

Dunia telah menjadi DESA BESAR, Dunia tanpa Batas (pelaksanaan Haji, Pertandingan Sepak Bola dll, bisa dilihat secara langsung ASRORI, MA.

P E N E T A P A N Nomor 20/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

BAB IV. Analisis Hukum Positif Terhadap Pandangan Tokoh Masyarakat. Tentang Praktik Poligami Di Bulak Banteng Wetan Kecamatan. Kenjeran Kota Surabaya.

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM BUKU II SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN NIKAH TUMBUK DESA DI DESA CENDIREJO KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR

BAB IV. A. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim. dalam putusan No.150/pdt.G/2008/PA.Sda

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 0051/Pdt.P/PA.Gs/2010 TENTANG WALI ADLAL KARENA PERCERAIAN KEDUA ORANG TUA

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

ف ان ت ه وا و ات ق وا الل ه ا ن الل ه ش د يد ال ع ق اب

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS. Alamat : Jl. AES Nasution Gang Samudin Rt 11 Rw 02

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBULATAN HARGA

A. Analisis Tradisi Standarisasi Penetapan Mahar Dalam Pernikahan Gadis dan. 1. Analisis prosesi tradisi standarisasi penetapan mahar

YANG HARAM UNTUK DINIKAHI

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Oleh: Shahmuzir bin Nordzahir

SABAR ITU MAHAL. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PEMANFAATAN BARANG TITIPAN. A. Analisis Praktik Pemanfaatan Barang Titipan di Kelurahan Kapasari

ISLAM dan DEMOKRASI (1)

BAB IV ANALISIS MAṢLAḤAH TENTANG POLIGAMI TANPA MEMINTA PERSETUJUAN DARI ISTRI PERTAMA

KOMPETENSI DASAR INDIKATOR:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KETENTUAN PEMBIAYAAN KREDIT SINDIKASI

BAB IV ANALISIS HUKUM BISNIS ISLAM TERHADAP PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL DI BENGKEL PAKIS SURABAYA

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI HUTANG PUPUK DENGAN GABAH DI DESA PUCUK KECAMATAN DAWARBLANDONG KABUPATEN MOJOKERTO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KLAIM ASURANSI DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH

MANAJEMEN JATIDIRI ( MJ )

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

PERAYAAN NATAL BERSAMA

adalah suatu transaksi yang sering terjadi saat masyarakat membutuhkan adalah penjual mencari seorang pembeli melalui jasa makelar.

PENDAPAT IMAM ASY-SYÂFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM RAJAM BAGI PEZINA KAFIR DZIMMY

ج اء ك م ر س ول ن ا ي ب ي ن ل ك م ك ث ير ا م ما ك ن ت م ت خ ف و ن م ن ال ك ت اب و ي ع ف و ع ن ك ث ير ق د ج اء ك م م ن الل ه ن ور و ك ت اب

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana sempurnanya Islam. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA. A. Pengangkatan Anak Di Pengadilan Agama Bantul (Studi Kasus Penetapan

JABATAN PELAJARAN TERENGGANU SUMATIF 2 SIJIL PELAJARAN MALAYSIA 2013 PENDIDIKAN ISLAM

BAB IV. A. Penerapan Perda Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan

SULIT 1223/2 BAHAGIAN PENDIDIKAN ISLAM KEMENTERIAN PENDIDIKAN MALAYSIA PENDIDIKAN ISLAM SET 2 KERTAS 2 SATU JAM EMPAT PULUH MINIT

BAB IV ANALISIS AKAD IJA>RAH TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA TKI DENGAN PJTKI DI PT. AMRI MARGATAMA CABANG PONOROGO

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG TIDAK TERDAPATNYA PEMISAHAN YANG TEGAS ANTARA LEGISLATIF, EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM

HADITS TENTANG RASUL ALLAH

BUYUT POTROH SEBELUM PROSESI AKAD NIKAH DI DESA

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP SITA MARITAL ATAS MAS KAWIN PASCA PERCERAIAN. (Studi Penetapan Perkara Nomor 626/Pdt.G/2008/PA.

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas akhlak seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi iman dalam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG

PENEMPELAN PHOTO PADA MUSHAF AL-QUR AN (KEMULIAAN AL-QUR AN)

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan pada dasarnya merupakan perilaku makhluk ciptaan. TuhanYang Maha Esa yang tidak hanya terbatas pada diri seorang manusia

Siapakah Mahrammu? Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

s}ahibul ma>l. Yang digunakan untuk simpanan dengan jangka waktu 12 (dua belas)

BAB I PENDAHULUAN. berpedoman penuh pada Al-Qur an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang melandasi

Pengasih dan Pembenci, keduanya hukumnya haram. Pertanyaan: Apakah hukumnya menyatukan pasangan suami istri dengan sihir?

BAB I PENDAHULUAN. Matematika juga berkembang di bidang ilmu yang lain, seperti Kimia, Fisika, saat ini dengan penerapan konsep matematika tersebut.

BAB IV ANALISIS TERHADAP JUAL BELI IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN JATUH TEMPO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMILIHAN CALON SUAMI DENGAN CARA UNDIAN

1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam b. Semester : I c. Kompetensi Dasar :

BAB IV. PENYELESAIAN MASALAH PERJANJIAN KERJA ANTARA PEMILIK APOTEK DAN APOTEKER DI APOTEK K-24 KEBONSARI SURABAYA DAlAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN STANDARISASI TIMBANGAN DIGITAL TERHADAP JUAL BELI BAHAN POKOK DENGAN TIMBANGAN DIGITAL

Bersama : H. Ahmad Bisyri Syakur,Lc.MA.

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

Ma had Tarbawi Al-Hurriyyah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK KHIYA>R PADA JUAL BELI PONSEL BERSEGEL DI COUNTER MASTER CELL DRIYOREJO GRESIK

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN NAFKAH ANAK ATAS DASAR EX AEQUO ET BONO DALAM STUDI PUTUSAN No.1735/Pdt.G/2013/PA.

BAB IV ANALISA TERHADAP PEMBERIAN NAFKAH PARA NARAPIDANA KEPADA ISTERINYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dasar untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan berupaya

BAB IV ANALISIS JARI<MAH TA ZI<R TERHADAP SANKSI HUKUM MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN TANDA TANDA BATAS NEGARA DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PROSEDUR DAN APLIKASI PERFORMANCE BOND DI BANK BUKOPIN SYARIAH CABANG SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Diantara larangan Allah yang tertulis di Al-Qur an adalah tentang larangan

KRITERIA MASLAHAT. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 Tentang KRITERIA MASLAHAT

1223/2 SULIT BAHAGIAN PENDIDIKAN ISLAM KEMENTERIAN PENDIDIKAN MALAYSIA PENDIDIKAN ISLAM SET 5 KERTAS 2 SATU JAM EMPAT PULUH MINIT

ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN MAULANA MUHAMMAD ALI TENTANG KONSEP PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER SKRIPSI

MAHRAM. Pertanyaan: Jawaban:

BAB IV ANALISIS PENENTUAN NISBAH BAGI HASIL PEMBIAYAAN MUDHARABAH PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DI BMT BINTORO MADANI DEMAK

BAB I PENDAHULUAN. sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan. ekonominya berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT PARA KIAI DI DESA SIDODADI KECAMATAN BANGILAN KABUPATEN TUBAN TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARIS MELALUI WASIAT

BAB I PENDAHULUAN. mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu

Tafsir Depag RI : QS Al Baqarah 285

BAB I PENDAHULUAN. cikal bakal terbentuknya masyarakat luas. Keluarga adalah pemberi warna. masing-masing keluarga yang terdapat dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. bahagia dan sejahtera dalam rumah tangga Islam, sehingga terwujud sendi-sendi

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS STATUS PENISBATAN ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI MENURUT MASYARAKAT HADIPOLO DITINJAU DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Analisis Status Anak Hasil Perkawinan Sirri dalam Perspektif Hukum Islam Masyarakat Islam Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat yang memiliki keunikan dalam aspek hukum. Keunikan tersebut tidak lain karena adanya dua hukum yang menaungi kehidupan masyarakat. Pada satu sisi, sebagai konsekuensi dari status ke-islam-an, masyarakat dihadapkan pada produk hukum Islam asli yang bersumber pada sumber hukum Islam (al- Qur an dan al-hadits); sedangkan di sisi lain sebagai konsekuensi dari status kewarganegaraan Indonesia masyarakat dihadapkan pada produk hukum pemerintah Indonesia. Salah satu fenomena sumber hukum di kalangan umat Islam Indonesia adalah kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan produk hukum dari para ulama Indonesia melalui peran serta pemerintah di samping adanya hukum tertulis dalam al-qur an dan al-hadits. Meski dianggap sebagai fiqih Indonesia, keberadaan KHI tidak jarang menyebabkan timbulnya perbedaan hingga kontradiksi hukum dengan ketentuan dalam hukum dasar Islam. Salah satu hal yang dapat dijadikan contoh dalam masalah perbedaan hukum adalah masalah perkawinan sirri. Terkait dengan perbedaan hukum 61

62 serta berhubungan dengan penelitian yang penulis laksanakan, maka berikut ini akan penulis sajikan analisa hukum Islam terkait dengan status anak hasil kawin sirri yang dalam konteks ini meliputi hukum dasar Islam dan Kompilasi Hukum Islam. 1. Analisis Hukum Dasar Islam terhadap Status Anak Hasil Perkawinan Sirri Secara istilah umum, perkawinan sirri disebut juga dengan perkawinan yang diadakan di bawah tangan, maksudnya adalah perkawinan tersebut dilakukan tanpa berpedoman pada ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sedangkan dalam konteks hukum Islam tidak ada istilah perkawinan sirri. Pada dasarnya, penisbatan perkawinan pada istilah perkawinan sirri salah satunya dikarenakan adanya perkawinan yang tidak melibatkan elemen kenegaraan, dalam hal ini adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pada sebagian umat Islam, perkawinan sirri tidak jarang dilakukan. Hal ini tidak lain karena keabsahan status perkawinan dalam Islam hanya terpusat pada terpenuhinya rukun dan syarat yang mengikuti rukun tersebut. 1 Jadi selama perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat dalam hukum Islam, meskipun tidak didaftarkan secara legal dalam catatan sipil kenegaraan tetap dianggap sah, baik dalam tata cara maupun status hukumnya. Jadi secara dasar hukum, perkawinan sirri yang dilakukan oleh masyarakat Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus memiliki status sah dalam konteks hukum Islam. 1 Secara lebih jelas terkait dengan rukun dan syarat dalam perkawinan Islam dapat dilihat dalam Bab III skripsi ini.

63 Perkawinan sirri yang dilakukan seringkali adalah perkawinan yang kedua atau setelah adanya perkawinan yang sah menurut perundangundangan tidak menjadi masalah dalam menguatkan status legal formal dalam hukum Islam. Hal ini dapat terjadi karena dalam perkawinan lebih dari satu orang dalam hukum Islam hanya mensyaratkan tentang jumlah, perizinan istri sebelumnya, adil, dan berkemampuan ekonomi untuk mencukupi para istri dan anak-anaknya. Berdasarkan penelusuran penulis di lapangan, pihak suami yang berpoligami selama ini mampu memenuhi kriteria dari syarat poligami. Dengan demikian status hukum dari perkawinan sirri adalah sah menurut hukum Islam. Akibat dari keabsahan status perkawinan sirri dalam konteks hukum dasar Islam, maka anak yang terlahir dari perkawinan sirri juga memiliki status hukum yang sah sebagai anak-anak dari hasil perkawinan. Jadi secara hukum dasar dari status anak hasil perkawinan sirri dalam hukum Islam, anak-anak hasil perkawinan sirri masyarakat Desa Hadipolo adalah sah sebagai anak dari ayah dan ibu yang melahirkannya. Dengan demikian, adanya status keabsahan terhadap perkawinan sirri secara otomatis juga memberikan status sah kepada anak-anak hasil perkawinan sirri. Legalitas status anak secara tidak langsung juga menjelaskan dan menegaskan adanya hubungan nasab secara sah kepada ayahnya yang berarti anak tersebut berhak atas hak-hak dia sebagai anak seperti hak waris, hak dinikahkan, dan lain sebagainya.

64 2. Analisis Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap Status Anak Hasil Perkawinan Sirri Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang juga dikenal dengan sebutan fiqih Indonesia meskipun sama-sama memakai istilah Islam sedikit berbeda dalam memandang status perkawinan sirri dengan hukum dasar Islam. Jika dalam hukum dasar Islam menjelaskan tentang keabsahan perkawinan sirri berikut akibat-akibat yang dihasilkan oleh perkawinan sirri, maka dalam KHI tidak sepenuhnya mengesahkan perkawinan sirri namun juga tidak menolak sepenuhnya. Pengertian dari tidak menolak sepenuhnya dapat dilihat dalam ketentuan yang termaktub dalam Pasal 4 KHI yang menjelaskan bahwasanya sahnya perkawinan apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, perkawinan sirri yang dilakukan berdasarkan ketentuan ajaran agama Islam dianggap sah oleh KHI secara tata caranya. Sedangkan maksud bahwa KHI tidak tidak sepenuhnya mengesahkan perkawinan sirri dapat terlihat dalam ketentuan yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (2) berikut ini: (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum

65 Berdasarkan peraturan dalam dua pasal dalam KHI di atas, maka jelaslah apa yang dimaksud dengan KHI tidak menolak sepenuhnya dan tidak mengesahkan sepenuhnya. Maksudnya tidak lain bahwasanya perkawinan sirri hanya dianggap sah secara tata cara pelaksanaannya saja karena sesuai dengan ajaran agama Islam. Sedangkan dalam lingkup legalitas serta kekuatan hukum kenegaraan, KHI menganggap bahwa perkawinan sirri tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dilaksanakan di depan dan tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Meskipun memiliki keabsahan dalam tata laksananya, dengan ketiadaan kekuatan hukum maka akibat-akibat yang dihasilkan dari perkawinan sirri juga tidak memiliki kekuatan hukum. Termasuk di dalamnya status anak yang dihasilkan dari perkawinan sirri yang juga tidak memiliki kekuatan hukum akibat tidak adanya kekuatan hukum dari perkawinan yang merupakan cikal bakal dari kelahiran anak tersebut. Bahkan secara lebih tegas, anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak sah, dalam KHI, disebut juga sebagai anak yang tidak sah. Hal ini seperti yang telah diatur dalam Pasal 99 yang menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dihasilkan dalam dan atau akibat dari perkawinan yang sah. Dengan demikian, tidak adanya kekuatan hukum dalam perkawinan sirri, menurut KHI, berakibat pada tidak sahnya anak hasil perkawinan sirri tersebut.

66 Jadi dapat dijelaskan bahwasanya meskipun secara tata laksananya perkawinan sirri mendapat pengakuan sah dari KHI namun anak yang dihasilkan dalam perkawinan sirri tidak mendapatkan legalitas karena tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ketiadaan kekuatan hukum dalam perkawinan sirri. Status tidak sah terhadap anak hasil perkawinan sirri secara otomatis berakibat pada tidak adanya hak bagi anak untuk memperoleh garis nasab dari ayahnya melainkan hanya berhak atas garis nasab dari ibu yang melahirkannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak hasil perkawinan sirri masyarakat Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus menurut KHI adalah termasuk anak yang tidak sah karena dihasilkan dari perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak berhak mendapatkan garis nasab dari ayah melainkan hanya berhak mendapat garis nasab dari ibu yang melahirkannya. Terlepas dari fenomena status anak perkawinan sirri, perbedaan antara hukum Islam dasar dengan KHI dapat dicari solusinya. Menurut penulis, solusi tersebut dapat ditelaah dalam lingkup strata hukum dan ketaatan dalam konteks hukum Islam. Terkait dengan strata ketaatan hukum dalam Islam dapat dilihat dalam firman Allah surat an-nisa ayat 59 berikut ini: 2 ي ا أ ي ه ا ال ذ ين آ م ن وا أ ط يع وا الل ه و أ ط يع وا الر س ول و أ ولي الا م ر م ن ك م ف ا ن ت ن از ع ت م في ش ي ء ف ر د وه إ لى الل ه و الر س ول إ ن ك ن ت م ت و م ن ون ب الل ه و ال ي و م الا خ ر ذ ل ك خ ي ر و أ ح س ن ت ا و ي لا 2 Al-Qur an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al- Qur an, 1971 hal. 128

67 Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul(nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-qur an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Dalam firman tersebut sangat jelas bahwa ada tiga tingkatan ketaatan hukum yang harus ditaati oleh umat Islam, yakni: a. Ketaatan kepada Allah b. Ketaatan kepada rasul-rasul Allah c. Ketaatan kepada ulil amri (pemerintahan) Berdasar pada penjelasan tersebut, umat Islam harus menaati ulil amri sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah. Maksud dari ulil amri adalah suatu pemerintahan yang telah dipilih dan diberikan amanat oleh umat manusia. Salah satu bentuk ketaatan kepada ulil amri adalah dengan mematuhi dan menjalankan produk hukum yang ditetapkan oleh ulil amri selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. B. Analisis Status Penisbatan Anak Hasil Perkawinan Sirri dalam Perspektif Hukum Islam Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan

68 lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat al-qur'an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Jika dianalisis dalam pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan. 3 Selain berdasarkan pada perhitungan sejak masuknya pembuahan sel telur oleh sperma, penyematan status anak juga dapat dihitung berdasarkan lama waktu anak di dalam kandungan ibu yang mengandungnya. Hal ini seperti dijelaskan dalam dua firman Allah SWT yakni surat al-ahqaf ayat 15 dan surat Lukman ayat 14 sebagai berikut: حم ل ه و ف ص ال ه ث لا ث ون ش ه را (الا حقاف: 15) 3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, hlm. 224..,

69 Artinya: Mengandung dan menyapihnya itu selama tiga puluh bulan (QS. al-ahqaf: 15). 4 Selanjutnya di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman: و و ص ي ن ا الا نس ان ب و ال د ي ه حم ل ت ه أ م ه و ه نا ع ل ى و ه ن و ف ص ال ه في ع ام ين أ ن اش ك ر لي و ل و ال د ي ك إ لي ال م ص ير (لقمان: 14) Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-ku lah kembalimu (QS. Luqman: 14). 5 Berdasarkan dua firman di atas, maka dapat diketahui bahwasanya anak yang sah adalah anak yang berada dalam kandungan ibunya selama 30 bulan 24 bulan = 6 bulan setelah adanya perkawinan yang sah. Jadi apabila anak tidak berada dalam kandungan atau berada dalam kandungan namun kurang dari lama waktu enam bulan dapat disebut sebagai anak yang tidak sah. Kembali kepada masalah dalam penelitian ini masalah penisbatan anak hasil perkawinan sirri kepada istri yang dikawin secara sah penulis akan memaparkan hal-hal yang penting dalam permasalahan ini sebagai berikut: 4 Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-qur an, op.cit., hlm.824. 5 Ibid., hlm. 654.

70 ANAK Status Ayah Ayah yang sah dari anak Status Ibu Kandung Ibu yang dikawin sirri oleh ayah yang sah dari anak Dinisbatkan kepada Istri yang dikawin secara sah menurut hukum positif oleh ayah sah dari anak Status Anak Sebagai anak kandung dari ayah yang sah dari si anak dengan istri yang dikawin oleh ayah secara sah berdasarkan hukum positif Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwasanya anak yang dinisbatkan kepada istri yang dikawin secara sah masih merupakan anak yang sah dari suami dari istri tersebut yang juga ayah kandung dari anak yang dinisbatkan. Status anak yang dinisbatkan tersebut tentu akan sangat membingungkan. Status anak yang dinidbatkan tersebut tidak dapat disebut dengan anak kandung karena tidak diperoleh sebagai hasil perkawinan antara ayah dan ibu yang dinisbatinya. Hal ini seperti telah dijelaskan hukum Islam dalam konteks hakekat anak kandung dan hakekakt ibu kandung. Seperti telah dijelaskan di atas, hakekat anak kandung adalah anak yang berada dalam kandungan ibu selama minimal enam bulan dari perkawinan. Pada kasus di Hadipolo, anak yang dinisbatkan tidak dikandung oleh ibu yang dinisbatinya. Begitu pula dalam konteks ibu kandung yang memiliki arti ibu yang melahirkan anak dari kandungannya sendiri. Dengan demikian, jelas bahwa anak hasil perkawinan sirri di Desa Hadipolo dalam konteks hukum Islam tidak dapat disebut sebagai anak kandung karena bertentangan dengan hakekat anak kandung dan ibu kandung.

71 Begitu pula ditinjau dalam konteks anak asuh maupun anak pungut dalam hukum Islam. Anak asuh dan memungut anak diperbolehkan dalam hukum Islam dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Mengangkat anak asuh diperbolehkan dengan syarat utama bukan anak dari kerabat keluarga dan tidak mendapat hak sebagaimana anak kandung (hak penisbatan hingga hak waris). Dalam mengangakat anak sebagai anak asuh, nisbat anak masih dinisbatkan pada orang tua yang melahirkan anak tersebut. Sehingga dalam hal waris, anak asuh tidak berhak mendapatkan bagian. Namun demikian, anak asuh berhak menerima bagian harta dari orang tua asuhnya melalui jalur wasiat. 6 Sedangkan mengambil anak pungut lebih didasarkan pada keadaan anak yang tidak diketahui asal usul orang tuanya dan keadaan anak tersebut mengkhawatirkan. Sama halnya dengan anak asuh, anak pungut juga tidak memiliki hak nisbat kepada orang tua yang memungutnya serta tidak memperoleh hak waris melainkan hanya dapat menerima harta orang tua pungutnya melalui jalur wasiat. Berdasarkan penjelasan mengenai anak asuh dan anak pungut, maka status anak hasil perkawinan sirri yang dinisbatkan kepada isteri yang dikawin secara sah tidak termasuk di dalamnya. Disebut tidak termasuk anak asuh karena anak yang dinisbatkan tersebut masih merupakan kerabat dari ibu yang dinisbatinya. Bahkan kekerabatan tersebut sangat dekat karena anak yang dinisbatkan masih dari benih yang sama, yakni dari suami ibu yang melahirkan sekaligus menjadi suami dari ibu yang dinisbatinya. Dengan 6 Mengenai anak asuh dan anak pungut dapat dilihat secara jelas dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer I, editor: Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz A.A.Z., Jakarta: LSIK, 2002, hlm. 158-160.

72 demikian anak hasil perkawinan sirri yang dinisbatkan kepada isteri yang dikawin secara sah oleh ayah si anak tidak dapat disebut dengan anak asuh karena masih memiliki hubungan kerabat dengan ibu yang dinisbatinya dan bahkan masih anak kandung dari ayah yang juga suami dari ibu yang dinisbatinya. Sedangkan tidak dapat disebut sebagai anak pungut jelas karena status orang tuanya yang masih jelas keberadaannya. Kalaupun dipaksakan menjadi anak pungut, maka secara tidak langsung hal tersebut mengindikasikan bahwa orang tua dari si anak (ayah dan ibu kandungnya) tidak diketahui keberadaannya. Hal ini tentu bertentangan sendiri dengan penisbatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa hadipolo karena dalam penisbatan tersebut ayah pungut dari si anak tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Dengan demikian, status anak hasil perkawinan sirri yang dinisbatkan kepada isteri yang dikawin secara sah oleh ayah kandung si anak tidak dapat disebut sebagai proses pemungutan anak. Masih ada satu lagi status anak yang mungkin dapat menjadi perbandingan dengan keadaan yang terjadi di Desa Hadipolo, yakni status anak angkat. Meskipun dalam hukum Islam proses ini dilarang, penulis akan mencoba untuk menjadikannya sebagai bahan perbandingan terhadap status anak hasil perkawinan sirri yang dinisbatkan kepada isteri yang sah dari ayah kandung si anak. Pada dasarnya, Islam melarang pengambilan anak angkat karena dalam proses anak angkat, hubungan nasab dengan orang tua si anak

73 harus terputus dan digantikan dengan nasab orang tua yang mengangkatnya. 7 Dalam prakteknya, penisbatan anak hasil perkawinan sirri di Desa Hadipolo juga tidak dapat disebut dengan proses anak angkat karena tidak adanya keterputusan hubungan nasab anak angkat dengan orang tuanya. Memang dari garis ibu telah terputus dengan adanya penisbatan kepada ibu yang baru namun dari garis ayah belum terputus karena ayah angkat dari anak tersebut tidak lain adalah ayah kandung si anak. Selain keempat status di atas, status anak hasil perkawinan sirri yang dinisbatkan pada isteri yang dikawin secara sah menurut hukum positif dari ayah kandung si anak juga tidak dapat disebut sebagai anak zina maupun anak li an. Pengertian dari anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Sedangkan pengertian anak li'an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami istri saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas. 8 Tidak dapat disebut sebagai anak zina karena status perkawinan sirri dalam hukum Islam adalah sah karena memenuhi rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam. Sedangkan tidak dapat disebut sebagai anak l an karena kedua orang tua kandung dari si anak masih akur dan tidak berpisah karena pertengkaran akibat adanya tuduhan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa status penisbatan anak hasil perkawinan sirri kepada isteri yang dikawin secara sah menurut hukum positif oleh ayah kandung si anak yang dilakukan oleh 7 Terkait dengan anak asuh, dapat dilihat dalam Ahmad Asy-Syarbashi, Yas alunaka: Tanya Jawab Lengkap tentang Kehidupan, terj. Ahmad Supandi, Jakarta: Lentera, 1997, hlm.279-280; Problematika Hukum Islam Kontemporer I, loc. cit. 8 Fathurrahman Djamil, "Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya", dalam Problematika Hnkum Islam Komtemporer I, Ibid.

74 masyarakat Desa Hadipolo tidak memiliki kejelasan status dalam konteks hukum Islam. Bahkan secara substansial hukum, proses penisbatan tersebut cenderung melanggar ketentuan hukum Islam, khususnya mengenai hakekat perkawinan dalam hukum Islam. Disebut melanggar karena dengan adanya penisbatan tersebut secara tidak langsung telah mengingkari keabsahan perkawinan menurut hukum Islam karena perkawinan sirri dalam hukum Islam adalah sah. Keberadaan ibu kandung yang dalam konteks hukum Islam adalah sah digantikan oleh isteri ayah si anak yang bukan ibu kandungnya. Hal ini tentu akan menimbulkan keterputusan nasab anak dengan orang tua kandungnya (nasab kepada keluarga ayah maupun nasab kepada keluarga ibu). Bahkan proses penisbatan anak yang terjadi di Desa Hadipolo, menurut penulis, malah cenderung mengaburkan status anak hasil perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Akibat dari penisbatan tersebut, anak yang seharusnya sudah memiliki status yang sah sebagai anak kandung yang juga mempunyai hak nasab dan hak atas akibat dari adanya penasaban kepada ayah kandungnya menjadi tidak jelas statusnya karena adanya perpindahan statrus ibu; dari ibu kandung kepada ibu yang merupakan isteri yang dikawin ayah si anak secara sah menurut hukum positif. Hal ini semakin mempertegas bahwa kaburnya status anak akibat adanya penisbatan secara tidak langsung juga mengubur keberadaan ibu kandung dari si anak yang sebenarnya masih menjadi isteri yang sah menurut hukum Islam dari si ayah dan berhak atas status ibu kandung dari si anak.

75 Dengan demikian dapat diketahui bahwasanya penisbatan anak hasil perkawinan sirri kepada isteri yang dikawin secara sah menurut hukum positif ayah si anak dalam konteks hukum Islam telah membuat status anak menjadi kabur dan dan tidak jelas. Selain itu, adanya penisbatan secara tidak langsung juga mengubur keberadaan ibu kandung dari si anak yang sebenarnya masih menjadi isteri yang sah menurut hukum Islam dari si ayah dan berhak atas status ibu kandung dari si anak. C. Solusi atas Permasalahan Penisbatan Anak Hasil Perkawinan Sirri di Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus Apabila dikaji dalam konteks kemaslahatan, dengan adanya status bukan sebagai anak zina atau anak di luar perkawinan dan bahkan cenderung kepada status sah akibat perkawinan sirri tidak bertentangan dengan hukum Islam dasar, akan membuat umat Islam lebih memilih melakukan perkawinan sirri daripada perkawinan yang sah menurut hukum positif. Padahal dalam konteks hukum KHI, perkawinan sirri merupakan usaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam ilmu hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah "Penyelundupan Hukum", yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat menghindarkan

76 suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki. 9 Terlebih lagi dengan adanya penisbatan pada KHI, maka akan membuat umat Islam berfikir ulang untuk melakukan perkawinan sirri karena adanya asumsi anak yang dihasilkan adalah anak di luar perkawinan. Solusi terbaik dari fenomena yang terjadi di masyarakat Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus adalah dengan meng-itsbat-kan perkawinan sirri mereka pada Pengadilan Agama. Hal ini seperti telah diatur dalam KHI Pasal 7 ayat (3) sebagai berikut: Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. (b) Hilangnya Akta Nikah. (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan, (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan adanya upaya itsbat tersebut tentu sangat diharapkan terjadinya perubahan terhadap status perkawinan sirri menjadi sah yang sekaligus juga akan mengubah statu keabsahan anak. Dengan demikian suami istri yang sah tidak perlu lagi mengambil alih anak hasil perkawinan kedua dari suami. Sehingga kesatuan ibu dan anak tetap terjaga. 9 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, hlm. 240.