GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa pola pemanfaatan sumber daya alam dalam kegiatan penambangan di Jawa Timur dapat menimbulkan kerusakan lahan dan mengakibatkan menurunnya kemampuan daya dukung Iingkungan ; b. bahwa untuk melestarikan fungsi dan daya dukung lahan agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap usaha atau kegiatan penambangan ; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pad a huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Kriteria Kerusakan Lahan Penambangan Sistem Tambang Terbuka di Jawa Timur dengan Peraturan Gubernur ; : 1. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419) ; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) ; 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 1
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) ; 5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 8. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 9. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 555.K/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum; 10.Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum; 11.Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 43/MENLH/10/1996 Tahun 1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Dataran; 12.Keputusan Menteri Energi Dan Sumberdaya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pertambangan Umum; 13.Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 11 Tahun 1991 tentang Penetapan Kawasan Lindung di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Tahun 1993 Nomor 1 Seri C); 14.Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pengendalian Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pada Wilayah Sungai di Propinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur Tahun 2005 Nomor 1 Seri C); Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 2
15.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 Nomor 2 Seri E); 16.Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2006 tentang Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur. 2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 3. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Jawa Timur. 4. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. 5. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batu bara dan mineral ikutannya. 6. Tambang Terbuka adalah usaha penambangan dan penggalian bahan galian yang dilakukan di permukaan bumi. 7. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 8. Lahan Pertambangan adalah area penambangan yang diizinkan dalam Izin Usaha Pertambangan. 9. Kerusakan Lahan Penambangan adalah berubahnya karakteristik lingkungan penambangan, sehingga tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 10.Bahan GaHan Lepas adalah bahan galian yang mempunyai sifat dan jenis tanah. 11.Bahan Galian Kompak adalah bahan galian yang mempunyai sifat dari jenis tanah dan batuan. 12.Kriteria Kerusakan Lahan Pertambangan adalah batas kondisi lahan penambangan yang menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lahan. Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 3
BAB II KRITERIA KERUSAKAN LAHAN DAN PERUNTUKANNYA Pasal 2 Setiap usaha atau kegiatan penambangan sistem tambang terbuka berpotensi menimbulkan kerusakan lahan yang mempengaruhi tata keseimbangan tanah, air maupun permukaan lahan. Pasal 3 (1) Kriteria kerusakan lahan bagi usaha penambangan sistem tambang terbuka tercantum dalam Lampiran I. (2) Penjelasan teknis tata cara pengukuran kriteria kerusakan lahan bagi usaha atau kegiatan penambangan sistem tambang terbuka sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. Pasal 4 Kriteria kerusakan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan peruntukan lahan pasca penambangan untuk: a. kawasan pemukiman dan industri; b. kawasan hutan dan perkebunan; c. kawasan pertanian; atau d. kawasan pertanian lahan kering dan peternakan. Pasal 5 (1) Peruntukan lahan pasca penambangan disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Timur. (2) Apabila peruntukan lahan pasca penambangan belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan dalam IUP. (3) Apabila IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menetapkan peruntukan lahan pasca penambangan, maka peruntukan lahan pasca penambangan ditetapkan berdasarkan peruntukan lahan sebelum dilakukan penambangan. Pasal 6 (1) Kriteria kerusakan lahan bagi usaha atau kegiatan penambangan sistem tambang terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dicantumkan dalam IUP dan tidak boleh dilanggar oleh pemegang IUP. Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 4
(2) Kriteria kerusakan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku bagi IUP baru dan IUP perpanjangan. (3) Setiap pemegang IUP harus mematuhi kriteria kerusakan lahan yang tercantum dalam IUP. BAB III KEWAJIBAN PEMEGANG IUP Pasal 7 (1) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 harus menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pengelolaan lahan pertambangan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada: a. Gubernur; b. BupatilWalikota; c. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur; dan d. Badan/Dinas Pengelola Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota. (2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pengelolaan terhadap lahan pasca penambahgan sebelum IUP berakhir. (3) Pengelolaan lahan pasca penambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Timur. Ditetapkan di Surabaya Pada tanggal 12 Agustus 2010 DIUNDANGKAN DALAM BERITA DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR Tgl 12-8 - 2010 No. 63 Th 2010 / E1 GUBERNUR JAWA TIMUR ttd Dr. H. SOEKARWO Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 5
LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR : 62 TAHUN 2010 TANGGAL : 12 AGUSTUS 2010 KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR I. KRITERIA KERUSAKAN LAHAN ASPEK SIFAT FISIK DAN HAYATI LINGKUNGAN KAWASAN PEMUKIMAN DAN DAERAH INDUSTRI PERUNTUKAN LAHAN KAWASAN HUTAN DAN PERKEBUNAN KAWASAN PERTANIAN LAHAN BASAH KAWASAN PERTANIAN LAHAN KERING 1 2 3 4 5 1. TOPOGRAFI I.1 Lubang Galian a. Kedalaman Lebih dalam dari ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin usaha pertambangan. Lebih dalam dari ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin usaha pertambangan. Lebih dalam dari ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin usaha pertambangan. Lebih dalam dari ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin usaha pertambangan. b. Jarak terhadap usaha pertambangan b.1 Bahan Galian Lepas. < 5 meter dari < 5 meter dari < 5 meter dari < 5 meter dari b.2 Bahan Galian Kompak. < 2 meter dari < 2 meter dari < 2 meter dari < 2 meter dari I.2 Dasar Galian a. Perbedaan Relief Dasar Galian. > 1 meter > 1,5 meter > 30 cm > 30 cm b. Kemiringan Dasar Galian (%) > 8 % > 8 % > 3 % > 3 % I.3 Dinding Galian a. Tinggi Jenjang (meter) a. 1 Bahan Galian Lepas. - Dengan Cara Manual. - Dengan Alat Mekanik. - Dengan Alat Chamshell, Gragline, Bucket > 2,5 meter > 2,5 meter > 2,5 meter > 2,5 meter Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 6
Wheel, Excavator. a. 2. Bahan Galian Kompak. - Dengan Cara Manual - Dengan Alat Mekanik. b. Lebar Lantar Teras < 1,5 x Tinggi Jenjang < 1,5 x Tinggi Jenjang < 1,5 x Tinggi Jenjang < 1,5 x Tinggi Jenjang 2. TANAH Tanah yang dikembalikan sebagai tanah penutup : - untuk lahan dataran - untuk lahan perbukitan < 25 cm - < 50 cm - < 30 cm - < 30 cm - 3. VEGETASI 3.1. Tutupan tanaman budidaya / musiman < 20 % tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan 3.2. Tutupan tanaman tahunan / kayu < 50 % tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan 3.3. Tutupan tanaman lahan basah 3.4. Tutupan tanaman Lahan Kering / Rumput < 50 % tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan < 50 % tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan II. PENJELASAN TEKNIS DAN TATA CARA PENGUKURAN KRITERIA KERUSAKAN LAHAN A. TOPOGRAFI Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi, yaitu keadaan yang menggambarkan permukaan bumi. Bentuk akhir topografi lahan bekas penambangan merupakan salah satu factor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas penambangan bagi suatu peruntukan aspek-apek topografi yang dijadikan indikator daya dukung lahan bekas penambangan adalah lubang galian, dasar galian' dan dinding galian. 1. Lubang Galian. Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat kegiatan penambangan dengan system tam bang terbuka. Parameter lubang galian adalah jarak vertical Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 7
dari permukaan lahan hingga kedasar lubang galian. Permukaan adalah permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian. Dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam. Pemantauan batas kedalaman lubang galian dapat dilakukan secara regular sepanjang periode penambangan system terbuka. Penentuan batas kedalaman galian yang ditolerir untuk setiap peruntukan lahan ditentukan oleh letak muka air tanah. Muka air tanah adalah batas lapisan atas yang jenuh air dengan lapisan tanah yang belum jenuh air. Letak lapisan ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan musim. Di daerah dataran rendah muka air tanah umumnya dangkal, didaerah yang lebih tinggi letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada sumur gali permukaan lahan. Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan mengamati sumur gali dan sumur pemboran. Letak muka air tanah ditunjukkan oleh letak permukaan air sumur gali. Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan mengukur jarak permukaan air pada sumur gali permukaan lahan. Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh letak muka air tanah karena adanya persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan setiap peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Areal-areal yang memenuhi persyaratan kelayakan bagi peruntukan permukimanlindustri adalah areal yang bebas banjir dan masih dapat menyerap air, kedalaman galian dibatasi minimum 1 meter diatas muka air tanah pada musim penghujan. Areal bagi peruntukan lahan untuk tanaman keras/tahunan adalah areal berdrainase baik minimum sebatas wilayah perakaran tanaman tahunan. Kedalaman galian dibatasi minimum meneapai letak permukaan air tanah. Dengan adanya pengembalian tanah penutup kepermukaan lahan bekas tambang, maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran tanaman akan terpenuhi. Areal lahan bagi tanaman pangan lahan basah adalah areal yang berdrainase buruk tetapi sewaktu-waktu dapat dikeringkan, kedalaman galian dibatasi minimum 10 em dibawah permukaan air tanah dimusim hujan. Areal lahan bagi peruntukan tanaman lahan kering adalah areal berdrainase baik, minimum sebatas areal perakaran, kedalaman galian dibatasi minimum meneapai letak permukaan air tanah. 2. Jarak Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik terluar lubang galian dengan titik terdekat dari batas Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan diluar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Jarak minimal 5 meter dari batas SIPD merupakan batas aman untuk bahan galian lepas, sehingga tidak mengganggu areal diluar SIPD. Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari batas SIPD dilakukan seeara regular sepanjang periode penambangan. Jika ada dua atau lebih SIPD berdampingan, maka jarak lubang galian dimasing-masing SIPD dapat meneapai batas SIPD yang berdampingan / bersinggungan sedangkan jarak lubang galian pada batas SIPD yang tidak berdampingan / bersinggungan minimal 5 meter dari batas SIPD. 3. Dasar Galian Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter lubang galian ada dua yaitu: Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 8
a. Perbedaan relief dasar galian Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah rata, karena selalu terdapat tumpukan atau onggokan material sisa galian. Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan ketinggian permukaan tumpukan galian dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran dilakukan dengan mengukur kedua permukaan tersebut. Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan, tetapi penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. Adanya tumpukan tersebut akan menyulitkan pemanfaatan lahan, sesuai dengan peruntukannya, karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan relief tersebut dibatasi maksimum 1 meter. Tumpukan yang kurang dari 1 (satu) meter relatif mudah diratakanl disiapkan sehingga tidak menyulitkan dalam penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya. b. Kemiringan Dasar Galian Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan daya dukung lahan bagi suatu peruntukan. Persyaratan kelayakan lahan untuk permukiman/industri adalah tidak lebih dari 8 % sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8 %. Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan adalah tidak lebih dari 15 % sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 15 %. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah tidak lebih dari 3 % sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3 %. Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah tidak lebih dari 8 % sehingga untuk peruntukan tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8 %. Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan menggunakan levelling atau waterpass. Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan. 4. Dinding Galian Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50 % dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati. Tinggi tebing teras dibatasi maksimum 3 meter yang merupakan batas toleransi bagi keamanan lingkungan sekitarnya. Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 meter untuk mempertahankan agar kemiringan dinding galian tidak lebih dari 50 %. Pemantauan tebing dan dasar teras galian dapat dilakukan sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana penambangannya. Tetapi penentuan kemiringan akhir dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir penambangan. Pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan menggunakan meteran. Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 9
B. TANAH Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bagan organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan. Tanah yang dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah tanah yang sebelumnya terdapat di areal SIPD tersebut, yang dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang. Akan tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk buatan. Ketebalan tanah penutup akan bervariasi sesuai dengan persyaratan pada setiap peruntukan lahannya. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan permukiman dan industri ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup minimum 50 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan basah ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup minimum 25 cm. Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ternak adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup minimum 25 cm. Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup dapat dilakukan seeara periodik sesuai dengan reneana penambangan, tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan. C. VEGETASI Pertumbuhan vegetasi diatas lahan bekas penambangan menunjukan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut. Karena pertumbuhan vegetasi tidak hanya membuktikan adanya usaha reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa lahan tersebut dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya. Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau di areal permukiman adalah 20 %, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 % dari seluruh areal petambangan. Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 % merupakan indikator yang menjamin bahwa tanah yang dikembalikan sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukannya. Penanaman Vegetasi dilakukan di seluruh areal lahan bekas penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan dengan menghitung tanaman yang tumbuh diseluruh areal bekas tambang. Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi tersebut hanya dapat ditentukan akhir masa penambangan. Dok. Informasi Hukum - JDIH Biro Hukum Setda Prov Jatim 10
-8- III. PENGELOLAAN LAHAN PASCA PENAMBANGAN A. BENTUK AKHIR DAN PENGELOLAAN LAHAN BEKAS TAMBANG 1. Di Daerah Dataran Daerah dataran berubah bentuk cekungan atau lubang bekas galian. Contoh: Penambangan pasir darat (dataran banjir); Tanah Liat; Pasir Kwarsa; dan Trass. - -...... - - - ----- -.... ~ -... _.dj - Gambar 1 -- -...... --.-. - - :;;...,...= 2. Di Daerah Perbukitan Daerah Lembah, bukit berubah menjadi daerah yang relatif datar agak cekung. Contoh Penambangan Batu Gamping, Andesit, Sirtu, Pasir Kwarsa, Feldspar, Kaolin. Gambar 2 B. PENGELOLAAN
-9-8. PENGELOLAAN LAPISAN TANAH PENUTUP Untuk lokasi pertambangan yang memiliki tanah penutup, perlu direncanakan pengelolaan yang tepat. Pengelolaan meliputi bagaimana cara: - Menggali; - Memindahkan, mengamankan; dan memanfaatkan kembali. 1. Petunjuk Pengelolaan Tanah Pucuk: * Amankan Pindahkan tanaman produktif ke lokasi yang tidak ditambang. * 8ertahap Pengurasan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemajuan front penambangannya. * Pindahkan Pindahkan tanah penutup pada lokasi yang am an dari aktivitas penggalian. * Pisahkan Pisahkan tanah subur (top soil) dari timbunan tanah subsoil. * Hindarkan Hindarkan pengupasan tanah pada waktu basah untuk mencegah kerusakan struktur tanah. * 8ebas Erosi Selama tanah penutup belum dimanfaatkan amankan dari erosi. 2. Cara
- 10-2. Cara Penanganan Lapisan Penutup TANCeICl, *- - Keterangan: Gb.1 Gb.2 Gb.3 Penimbunan ditempat yang relatif miring (Iereng bukit) dengan pengamanan tanggul dan pembuatan saluran air Penimbunan topsoil dan subsoil didaerah datar dalam waktu yang tidak lama, dengan pemasangan tanggul. Penimbunan topsoil dan subsoil didaerah datar dalam waktu yang relatif lama, pengamanan dengan tanggul dan ditanami, guna pencegahan erosi. C. SUDUT
- 11 - C. SUDUT LERENG AKHIR PENAMBANGAN BERDASARKAN SIFAT/JENIS BATUAN 4. Sedimen Batuan(3(0) JENIS BATUAN '"1('(0) 60u 45u 3m 30u 8m 6m 2-3 1-2 Beku H (m) lepas kompak I Metamorf 45u 60u 75u SUDUT LERENG a (0) GambarlSketsa: Catatan: a Sudut Terras Penambangan ~ Sudut Lereng Akhir Penambangan "'6 Kemiringan Lantai Penggalian H Tinggi Terras/jenjang