PELAYANAN RISET DI BIDANG LEGISLATIF DALAM KERANGKA PENINGKATAN KINERJA LEMBAGA HUKUM* Oleh: Prof. Dr. Mohamad Askin, S.H.** PENDAHULUAN Sesuai dengan asal kata parlemen yaitu parle, yang artinya berbicara, maka kedudukan seorang anggota parlemen adalah berbicara yang menjadi kewenangannya. Di era reformasi saat ini seorang anggota parlemen dituntut untuk dapat berbicara dengan benar dan untuk dapat seorang anggota parlemen berbicara dengan benar tentu diperlukan sejumlah data dan informasi dari hasil riset tertentu, sehingga ketika seorang anggota parlemen berbicara harus sudah berdasarkan data dan informasi yang diperoleh berdasarkan riset yang telah dilakukan. Tentu saja untuk mendapatkan data dan informasi dari hasil riset, pekerjaan ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang anggota parlemen, karena pada umumnya anggota parlemen memiliki sejumlah staf atau parlemen suatu negara memiliki suatu lembaga riset untuk mendukung eksistensi dari anggota parlemen dalam menjalankan fungsinya. Eksistensi lembaga riset bagi anggota parlemen Indonesia menjadi semakin dominan dengan adanya perubahan kewenangan pembentukan Undang-undang yang saat ini berada di tangan DPR-RI sejak adanya Perubahan Pertama UUD Negara RI Tahun 1945, yang pada Pasal 20 Ayat (I) menyebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang sehingga dari ketentuan Pasal 20 Ayat (I) ini telah memposisikan kewenangan pembentukan Undang-undang menjadi tanggung jawab DPR-RI. * "'* Makalah yang disampaikan dalam Pra Seminar Hukum Nasional. Jakarta I November 2002 diselenggarakan olch Badan Pcmbinaan Hukum Nasional Departcmcn Kehakiman dan HAM dan Komisi Hukum Nasional. Anggota Fraksi Reformasi, anggota Komisi VIII DPR-RI dan anggota Badan Lcgislasi DPR-RI. 16
Upaya atas kewenangan DPR dalam hal pembentukan Undangundang, sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1990, ketika itu DPR melalui Sekretariat Jenderal telah membentuk lembaga riset yang bertugas untuk membantu dalam pelayanan riset, termasuk pelayanan riset legislatif dan baru di tahun 1994 diadakan reorganisasi Sekretariat Jenderal DPR-RI melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1994 jo. Surat Keputusan Sekretaris Jendera1 DPR-RI Nomor 175/Sekjen/1994 jo SK Sekretaris Jenderal DPR-RI Nomor 340/Sekjen/2000 dan baru pada tahun 1994 resmi1ah berdiri badan riset DPR-RI yang dinamakan Pusat Pengkajian dan Pe1ayanan Informasi (P3I) 1 Melalui 1embaga P31 ini1ah yang diharapkan dapat membantu kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi DPR di bidang anggaran, pengawasan dan pembentukan Undangundang. Selain lembaga riset P3I, unsur pelayanan riset di bidang legislasi, juga dilakukan oleh Asisten Sekretaris Jenderal DPR-RI (Asses I) bidang Perundang-Undangan, yang bertugas membantu DPR dalam menyiapkan bahan te1aahan yang berkaitan dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang dan pemantauan pelaksanaan Undang-Undang. Untuk mensinergikan mekanisme kerja antara P3I dan Asses I. maka dibentuklah Unit Pendukung Perancang Undang-Undang" yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Sekjen Nomor 46/Sekjen/200 I. Melalui unit pendukung 1111 diharapkan kinerja DPR dalam bidang legislasi dapat ditingkatkan. Pentingnya pelayanan riset di bidang legislasi menjadi semakin berat terutama setelah adanya Perubahan Pertama UUD Negara RI Tahun 1945 dan adanya hasil pembahasan MPR terhadap laporan pelaksanaan tugas DPR pada Sidang Tahunan 2001 dan 2002, di mana MPR telah memberikan mandat atas tugas DPR di bidang legislasi yang antara lain disebutkan bahwa fungsi legislasi perlu ditingkatkan produktivitasnya dalam hal pembuatan Undang-undang. Fungsi legislasi sendiri juga berhubungan dengan program legislasi nasional (prolegnas) sebagai suatu strategi pokok pembangunan. Keberadaan I. P31 tcrdiri dari 40 orang peneliti yang terbagi atas bidang I) Hukum. 2) Politik Dalam Negeri, 3) Ekonomi, 4) Hubungan lnternasional dan 5) Kesejahteraan Sosial. Model kerja P31 diambil dari The Conggresional Research Service pacta Parlemen Amerika Serikat. 2. Unit Perancangan Undang-Undang merupakan jawaban atas amanat yang diberikan oleh MPR kepada DPR untuk meningkatkan fungsi legilasi. 17
prolegnas sendiri sudah diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagaimana diperintahkan dalam Ketetapan MPR-RI Nom or IV /MPR/ 1999. Dalam kerangka pembentukan undang-undang, maka fungsi legislasi harus terintegrasi dengan ketentuan program legislasi nasional sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. PERANAN DPR DALAM PENINGKATAN KINERJA LEMBAGA HUKUM Upaya DPR dalam rangka peningkatan kinerja fungsi legislasi, maka telah disusun oleh Badan Legislasi DPR rangkaian Undang Undang yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja lembaga hukum. Adapun rancangan undang-undang yang akan dibentuk dalam kerangka peningkatan kinerja lembaga hukum, adalah antara lain: I. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI. RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 1999. 3. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. 4. R UU ten tang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 ten tang Peradilan Tata Usaha Negara. 5. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Agung. 6. Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. 7. Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Diharapkan ketujuh RUU di atas dapat dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah pada masa sidang II dan masa sidang III DPR RI. Upaya untuk membentuk Undang-Undang di ata<>, baik Undang Undang yang bersifat perubahan/amandemen atau undang-undang yang haru (RUU tentang Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi), selain sejalan untuk melahanakan ketentuan peraturan perundang-undangan 18
yang lebih tinggi tingkatnya 3, upaya ini sejalan dengan tujuan untuk mendemokratisasikan negara yaitu dengan melakukan penegakan hukum di setiap bidang kehidupan manusia. Walaupun dalam pelaksanaan tugas kami selama ini, orang sering mempertanyakan keberadaan pelaksanaan fungsi DPR, apakah pelaksanaan fungsi DPR selama ini lebih menitikberatkan segi-segi politis semata saja. Kekawatiran masyarakat tidak dapat dipersalahkan, karena DPR adalah lembaga politik, maka segi-segi politis tentu saja menjadi titik sentral bagi lembaga parlemen. Dalam kerangka peningkatan kinerja hukum maka tanggung jawab DPR di bidang legislasi, hanya terbatas kepada materi muatan undangundang, sedangkan terhadap tanggung jawab atas pelaksanaan suatu undang-undang, menjadi tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Apabila di kemudian hari terjadi penyimpangan atas pelaksanaan suatu Undang-Undang, DPR terlebih dahulu mengkaji atas kekurangan/kelemahan atas suatu undang-undang, jadi DPR tidak serta merta melakukan penggantian atas undang-undang tersebut. Pengkajian atau kekurangan/kelemahan pelaksanaan suatu undang-undang juga telah dilakukan melalui serangkaian riset yang dilakukan oleh P3I, yang hasil risetnya dipakai untuk kepentingan anggota DPR dalam menjalankan fungsinya. Selain itu untuk mengetahui kekurangan dan/atau kelemahan dalam pelaksanaan penegakan hukum, DPR dapat menggunakan fungsi pengawasan, melalui fungsi pengawasan ini, DPR dapat memanggil instansi penegak hukum untuk mengetahui alasan tidak berjalannya kinerja lembaga hukum tersebut. PENGGUNAAN DATA DALAM TUGAS LEGISLASI Dalam kerangka pembentukan undang-undang, maka kebutuhan akan data dan informasi dari hasil riset, merupakan hal yang sangat berperan penting bagi setiap anggota DPR, tanpa adanya ketiga hal tersebut, maka sangat mustahil seorang anggota DPR dapat menjalankan 3. RUU tentang Mahkamah Konstitusi dan RUU tentang Komisi Yudisial merupakan amanat Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 19
fungsi legislasinya. Pada umumnya jenis dari data dan informasi yang dibutuhkan oleh seorang anggota DPR dalam menyusun RUU adalah data dan informasi yang mudah dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengingat bahwa pada umumnya seorang anggota DPR adalah anggota yang bersifat generalis, jarang ada anggota DPR yang menguasai masalah teknis tertentu (spesialis). Seorang anggota DPR yang generalis karena anggota DPR tersebut hanya memahami permasalahan secara umum saja, sehingga ketika seorang anggota parlemen dituntut untuk memahami hal yang bersifat teknis dalam hal pembahasan RUU, maka adanya data dan informasi dari hasil riset legislatif yang bersifat teknis, dapat membantu ketika anggota DPR harus memahami permasalahan teknis yang diatur dalam materi muatan suatu RUU. Walaupun demikian juga ada seorang anggota parlemen yang bersifat spesialis di bidang tertentu, tapi ketika seorang anggota parlemen tersebut dituntut untuk memahami bahasa hukum yang terkandung dalam RUU atau ketika memasuki tahapan teknis perundang-undangan, eksistensi data dan informasi dari hasil riset legislatif di bidang teknik perundang-undangan, menjadi kebutuhan bagi setiap anggota parlemen. Upaya yang dilakukan oleh anggota DPR dalam mendapatkan informasi adalah antara lain dengan memanggil orang atau pihak-pihak tertentu yang menguasai secara teknis atau mempunyai pengalaman empiris atas suatu RUU. Pemanggilan ini dilakukan dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dalam RDPU, pada umumnya anggota akan menggali secara mendalam hal-hal yang akan diatur dalam suatu RUU. Selain itu pihak atau orang yang dipanggil dituntut untuk memberikan keterangan secara rinci dan hal-hal yang mendukung penjelasannya, misalnya praktek di luar negeri. Untuk mendukung fungsi legislasi ini, DPR JUga mengadakan tatap muka dengan kalangan perguruan tinggi. Pengalaman selama ini, ketika Baleg menyusun draft RUU, Baleg setiap masa reses mengadakan kunjungan ke perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Melalui tatap muka dan diskusi dengan para pakar perguruan tinggi ini akan didapatkan masukan yang sangat berarti dari kalangan intelektual. Hasil dari kunjungan tatap muka ke perguruan tinggi dan hasil dari diskusi dalam RDPU, dipakai sebagai informasi tambahan untuk memperbaiki 20
draft RUU yang sedang dipersiapkan oleh Tim Asistensi dan Tim Panja Baleg. Pengalaman praktek selama ini juga terlihat adanya peran serta dari masyarakat yaitu dengan memberikan informasi yang berhubungan dengan suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU. Hanya saja dari beberapa data dan informasi yang diterima ada data dan informasi yang dapat dikategorikan sebagai data informasi yang tidak dapat diterima, karena data dan informasi tersebut hanya mengkritik suatu masalah dan tidak memberikan alasan yang jelas dan tidak ada solusi terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU, selain itu banyak juga data dan informasi yang dianggap baik, karena memberikan penjelasan yang jelas dan memberikan solusi terhadap suatu masalah yang akan diatur dalam draft RUU. Data dan informasi ini juga tergantung dari draft RUU yang akan dibentuk oleh DPR, kalau RUU yang akan dibentuk adalah revisi, tentu saja informasi yang diperlukan ada alasan atau argumentasi mengapa suatu masalah tersebut akan direvisi, selain itu juga dilihat pengalaman empiris di lapangan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa masalah tersebut harus direvisi. Sebagai contoh adalah revisi terhadap UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal\ dalam draft RUU disebutkan bahwa RUU Pasar Modal yang baru harus memiliki ketentuan yang bersifat global. Untuk RUU yang masih dikategorikan baru pertama kali diatur, tentu saja informasinya lebih detil dan dicari pengalaman praktis atas masalah tersebut yang akan diatur di beberapa negara, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hal tersebut memang perlu diatur, sehingga Indonesia tidak tertinggal dibandingkan dengan pengaturan suatu masalah di luar negeri. Sebagai contoh draft RUU Perkreditan Perbankan 5 Data dan informasi dari hasil riset legislatif, dibuat secara sistematis oleh tim pendukung kami, sehingga dari data dan informasi 4. Draft RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. merupakan salah satu draft RUU yang sudah disiapkan oleh Badan Legislasi. 5. RUU tentang Perkreditan Perbankan sudah dipersiapkan oleh Badan Legilasi DPR dan saat ini sudah berada di Komisi IX DPR. 21
tersebut dapat ditarik benang merah yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam draft RUU yang sedang dibahas. Hal ini kami lakukan, karena tidak semua data dan informasi yang ada di atas, ada hubungannya secara Iangsung dengan permasalahan yang ada dalam draff RUU. Dari data dan informasi yang berhubungan langsung dengan materi muatan R UU, kami diskusikan dengan sesama anggota parlemen atau dengan pihak pemerintah dalam tahapan tingkat pembicaraan RUU. Dari kegiatan ini oleh DPR dan Pemerintah akan didapatkan rumusan tertentu yang dimasukkan sebagai materi muatan RUU. PENUTUP Anggota parlemen di satu sisi harus memenuhi tuntutan untuk melaksanakan fungsi legislasi dalam waktu tertentu, tapi di sisi lain anggota parlemen harus memperhatikan ketepatan substansi dari materi muatan RUU. Berhasil tidaknya pelaksanaan fungsi legislasi ini tergantung kepada kemampuan setiap anggota parlemen, karena disadari atau tidak adanya heterogennya anggota, karena pada umumnya anggota parlemen lebih bersifat generalis. Di sisi lain keberhasilan pelaksanaan fungsi legislasi juga tergantung kepada ketersediaannya data dan informasi dari basil riset legislatif yang dipersiapkan tim riset DPR. Sistem data dan informasi harus dapat mendukung kinerja DPR dalam pelaksanaan fungsi DPR. Dalam kerangka peningkatan kinerja lembaga hukum, tanggung jawab DPR di bidang legislasi hanya terbatas kepada materi muatan yang terkandung dalam suatu RUU. Upaya untuk mendukung kinerja lembaga hukum, selain didasarkan atas kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan, hal yang perlu diperhatikan adalah sampai berapa jauh suatu undang-undang dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat terutama kepatuhan atas pelaksanaan Undangundang oleh setiap orang, sesuai dengan prinsip equality before the law. 22