BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian demam berdarah dengue (DBD) di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Data di seluruh dunia memperlihatkan bahwa kawasan Asia salah satu kawasan yang cukup tinggi angka kejadian DBDnya. Hal tersebut dikarenakan kawasan Asia mempunyai iklim tropis dan subtropis yang menunjukkan tempat pertumbuhan dari penyakit DBD tersebut. Di Asia sendiri tercatat sampai dengan tahun 2010 telah terdapat 204,4 juta kasus (Kompas, 2015). Salah satu negara di kawasan Asia yang memiliki angka kejadian DBD yang tinggi yaitu Indonesia yang termasuk dalam kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri juga tercatat setiap tahun terdapat peningkatan angka kejadian penyakit DBD. Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Buletin Jendela Epidemiologi, 2010). Indonesia juga sekarang merupakan salah satu dari 30 negara yang menjadi endemik DBD pada saat ini, selain Vietnam, Filipina dan Thailand. Di Indonesia sendiri masih menggalakan program pengendalian kasus penyakit menular yang mengalami peningkatan ditiap waktunya. Penyakit infeksi menular yang masih menonjol di Indonesia yaitu DBD yang menduduki peringkat keempat dalam tingkat angka kesakitannya. Angka kejadian tersebut masih sangat tinggi, yaitu sebesar 65,57 per 100.000 penduduk pada tahun 2010. Dan data terakhir pada pertengahan bulan Desember 2014 terdapat kasus DBD sebesar 71.668 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 641 kasus (Kompas, 2015). Dari hal tersebut tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut akan terus meningkat di Indonesia dalam kurun waktu yang singkat. Hampir diseluruh Provinsi bahkan Kota/Kabupaten di Indonesia memiliki masalah yang sama tentang penyakit DBD, tidak terkecuali di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi DIY memiliki 5 wilayah yang terbagi atas Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman. Dari tahun 2013 tercatat sebanyak 3000 kasus 1
DBD yang terjadi dan tahun 2014 terdapat 1776 kasus DBD, namun hingga awal bulan febuari 2015 terdapat 236 kasus DBD (Kedaulatan Rakyat,2015). Demam berdarah dengue (DBD) akan mudah dan banyak dijumpai di daerah dengan iklim tropis dan subtropis karena iklim tersebut cocok sebagai tempat tinggal vektor penyakit tersebut. Di Indonesia siklus terjadinya penyakit DBD terjadi setiap sembilan hingga sepuluh tahunan yang berarti hal tersebut juga dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau iklim didaerah tersebut yang secara langsung akan mempengaruhi pula siklus kehidupan dari vektor penyebab terjadinya penyakit DBD. Menurut Mc Michael (2006) dalam Buletin Jendela Epidemiologi (2010), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehtan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit DBD. Vektor penyakit DBD ini adalah nyamuk dari kelas Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang banyak berkembang biak di Indonesia. Nyamuk tersebut akan dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada kawasan yang mempunyai ketinggian ± 1.000 m di atas permukaan air laut, jika diatas ketinggian tersebut nyamuk ini tidak dapat berkembang biak. Oleh karena itu, penyakit DBD akan banyak dan mudah dijumpai di daerah yang jauh dari pegunungan. Selain dari faktor alam tersebut, faktor dari masyarakat sendiri yang kurang menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitarnya menjadi faktor yang dapat memperberat kejadian penyakit DBD tersebut. Nyamuk tersebut akan menggigit pucaknya terjadi pada sore dan malam hari. Selain itu, penyakit DBD juga masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius dan mengkhawatirkan di masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat di Indonesia yang kurang mengetahui bagaimana cara mencegah penyakit DBD ini khususnya masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu, masyarakat juga masih kurang pengetahuannya tentang tanda-tanda peyakit tersebut, sehingga kebanyakan kasus sudah mengalami fase yang membahayakan saat dibawa ke layanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Kasus DBD di Indonesia banyak ditemui pada anak-anak maupun 2
orang dewasa karena beberapa penyebab, untuk kasus DBD pada anak sendiri merupakan salah satu penyebab tingginya kasus kematian pada anak di Asia Tenggara tidak terkecuali di Indonesia. Faktor-faktor tersebut lebih dekat dengan pada anak-anak karena pada anak-anak masih rentan karena sistem kekebalan yang belum sempurna terutama pada anak yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang rendah akan mudah terjangkit beberapa penyakit salah satunya DBD. Kasus DBD di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok umur < 15 tahun, namun juga tidak menutup kemungkinan kejadian pada kelompok umur 15 tahun juga banyak terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Kasus DBD merupakan kasus yang mematikan apabila DBD tersebut tidak ditangani secara cepat dan tepat. Ketika hal tersebut terjadi maka diagnosis DBD akan memburuk dan menjadi diagnosis DSS ( Dengue Shock Syndrome ) atau demam berdarah dengue dengan syok. DSS adalah penyebab terbanyak kematian pada kasus DBD terutama pada pasien anak (Soedarto, 2012). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya DSS dan akhirnya menyebabkan angka kematian cukup tinggi. Kasus DSS tidak terlalu banyak dibandingkan dengan DBD tanpa syok, karena biasanya hanya ditemukan 20% kasus dari keseluruhan kasus DBD. Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang itu terjangkit DBD tanpa syok atau dengan syok serta tidak terjangkit DBD salah satunya dengan pemeriksaan darah rutin, yang di dalamnya akan di lihat jumlah trombosit. Jumlah trombosit tersebut sebagai salah satu indikator untuk menentukan penyakit DBD tanpa atau dengan syok. 1.2 Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian dengue shock syndrome/dss pada pasien anak? 1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian dengue shock syndrome/dss pada pasien anak. 3
1.4 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian terkait hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian Dengue Shock Syndrome (DSS) pada pasien anak, sebagai berikut : 1. Penelitian yang dilakukan oleh I Made Suganda Yatra (2015) yang meneliti terkait dengan faktor risiko kejadian DSS pada pasien DBD yang dirawat inap di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Hasil dari penelitian tersebut yaitu jumlah rata-rata trombosit pada kelompok kontrol (DBD) lebih besar dibandingkan dengan jumlah rata-rata trombosit pada kelompok kasus (DSS). Perbedaan dari penelitian ini terdapat pada variabel yang diteliti yang lebih banyak dan bervariasi, jenis atau desain penelitian yang digunakan dan perbedaan lokasi penelitian. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Ryanka R, Trusda SAD, Yuniarti L (2014), yang meneliti terkait dengan hubungan karakteristik pasien DBD dengan kejadian DSS pada anak. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut yaitu angka kejadian pasien yang memiliki jumlah <50.000 akan mengalami syok 7.439 kali lebih tinggi dibandingkan yang memiliki jumlah trombosit 50.000. Perbedaan dari penelitian ini terdapat pada variabel yang diteliti lebih bervariasi, jenis atau desain penelitian yang digunakan dan perbedaan lokasi penelitian. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Duwi Silvarianto (2013), yang meneliti terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Dengue Shock Syndrome (DSS) pada anak dengan demam berdarah dengue (DBD). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah ditemukannya hubungan antara jumlah trombosit < 50.000 dengan DSS, namun tidak terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin dengan DSS. Perbedaan dari penelitian ini yaitu variabel yang diteliti, jenis dan desain penelitian serta lokasi yang digunakan dalam penelitian tersebut. 4
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti, membantu untuk mengetahui adanya hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian DSS ketika mendapatkan kasus DSS di masyarakat. 2. Bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat membantu menekan angka kejadian dan angka kematian pada anak karena kasus DBD dengan syok/dss ataupun tanpa syok. 3. Bagi masyarakat, membantu memberikan informasi kepada masyarakat tentang adanya bahaya dari kejadian DBD yaitu kejadian DSS yang dapat menyebabkan kematian. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan-rujukan dalam pembuatan penelitian selanjutnya guna memberikan sumbangan ide dan pemikiran dalam pengembangan sesuatu hal yang baru. 5