BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

BAB IV ANALISIS FIKIH MURAFA AT TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TENTANG PENCURIAN HELM TOD YANG DIKENAKAN PASAL 362

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB IV PENUTUP. akhir penulisan hukum ini penulis akan menyampaikan simpulan dan saran.

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke- Empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak-hak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia di bidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Masalah hak asasi manusia adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Menurut Dilton Robero dan Valerio Mazzuoli dalam jurnalnya In general terms, human rights have three intrinsic elements, a right, a right holder and a right to claim yang artinya Secara umum hak asasi manusia memiliki tiga unsur intrinsic yaitu hak seseorang, hak untuk pemegang hak dan hak untuk mengklaim suatu hak seseorang.(vallerio Mazzuoli&Dilton Robero.2015:8). Dalam hal pemenuhan hak, manusia hidup tidak sendiri tetapi hidup bersosialisasi dengan orang lain. Manusia terkadang melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma maupun kaidah untuk menjamin hak-hak dan kewajiban masyarakat. Hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Penegakan terhadap pelanggaran hukum pidana, dengan menggunakan hukum acara pidana merupakan hak Negara melalui aparat penegak hukumnya untuk menindak seseorang yang diduga segagai pelaku tindak pidana. Adapun proses pidana melalui tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam sidang, dan pelaksanaan putusan hakim, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Tahap pemeriksaan dalam persidangan yang sangat penting adalah pembuktian, dimana pengertian pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Sistem pembuktian yang digunakan di Indonesi adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewisjttheori). Pasal 183 KUHAP memuat bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jenis alat bukti yang sah telah ditentukan secara limitatif baik hakim, penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum terikat dan hanya boleh mempergunakan alat bukti yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan pidana atau tidak, mengetahui apakah telah terjadi suatu perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa (Oktavianus Garry Runtuwene, Jurnal Lex Crimen, No.4, Oktober-Desember 2010:2). Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP mengatakan bahwa Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri dan ia alami sendiri. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi (Yahya Harahap, 2012:286). Semua orang atau siapa saja dapat didengar keterangannya atau menjadi saksi, kecuali sebagaimana dimaksud menurut Pasal 168 KUHAP bahwa yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan perkawinan dan anak-anak

saudara terdakwa sampai derajat ketiga, dan suami atau istri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Orang-orang tersebut berdasarkan Pasal 168 KUHAP, ialah yang dapat mengundurkan diri dari kesaksian, namun dapat memberikan kesaksian apabila menurut Pasal 169 ayat (1) KUHAP, apabila saksi itu menghendakinya sendiri dan penuntut umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya, maka dapat memberikan keterangan dengan sumpah, tetapi sebaliknya apabila penuntut umum dan terdakwa tidak menyetujuinya, maka menurut Pasal 169 ayat (1) KUHAP tetap diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah (Andi Sofyan,2014:241). Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian tersebut bahwa dasar penuntutan bagi jaksa penuntut umum harus berdasarkan alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Demikian juga hakim dalam memutus perkara pidana juga harus berdasarkan pada Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti yang ditetapkan juga harus sesuai dengan Pasal 184 KUHAP harus sesuai dengan fakta, artinya tidak ada rekayasa karena dalam praktiknya ada saja saksi yang memberikan keterangan bohong karena adanya hubungan pendekatan dari terdakwa dan hakim percaya saja akan keterangan saksi itu. (Djisman Samosir,2013:127). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP), mengatur tentang norma dan sanksi pidana terhadap penggolongan dua jenis tindak pidana yaitu menjadi dua golongan, yaitu golongan kejahatan dan pelanggaran. Salah satu tindak pidana kejahatan adalah kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Hal ini memicu pada kasus yang terjadi dalam perjalanan kehidupan di masyarakat, yang mengancam stabilitas berdirinya Negara yang aman sentosa. Seperti banyaknya kasus penculikan, menahan dan melarikan orang lain, yang hal ini sudah jelas meresahkan mayarakat dan tindakan yang melawan hukum. Menurut Herlita Eryke dan Dr. Herlambang, Dalam pembaharuan hukum pidana perampasan kemerdekaan selalu menempati posisi sentral di dalam stelsel sanksi pidananya, di samping itu pidana perampasan kemerdekaan yang ternyata sulit untuk dihapuskan begitu saja. Meskipun diadakan usaha pembaharuan dalam segi praktis maupun teoritis. Untuk mengurangi nilai ekonomis dari pidana perampasan kemeredekaan, namun merupakan kenyataan, bahwa di satu pihak pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada. (Herlita Eryke & Dr.Herlambang. 2013: 7) Salah satu jenis tindak pidana perampasan kemerdekaan seseorang yang diatur dalam KUHP, dirumuskan dalam Pasal 333 ayat (1) yang berbunyi Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana

penjara paling lama 8 tahun. Isi di dalam Pasal 333 yang dilindungi hanyalah kemerdekaan badan seseorang bukanlah kemerdekaan jiwa (geestelijke vrijheid), Jadi haruslah ada perbuatan yang menyentuh badan seseorang yang ditahan. Kehilangan kemerdekaan badan belum dapat dikatakan terjadi apabila orang tersebut baru dipegang kemudian dilepaskan karena pertolongan dari orang lain. Apabila orang itu tidak hanya dipegang tetapi sudah diikat tangannya sehingga sulit untuk bergerak maka ada suatu perbatasan antara menahan orang di satu pihak dan memaksa orang di lain pihak. Perbuatan mengikat ini ada kalanya merupakan penahanan orang dan ada kalanya merupakan pemaksaan orang (Wirjono Projodikoro,2002:85). Kasus ini bermula ketika Terdakwa Endy Natawijaya berkeinginan untuk menjual rumah yang dihuni dan dimiliki ayah kandung terdakwa yaitu saksi korban Yudi Natawijaya yang berada di jalan Hegarmanah Tengah Bandung. Terdakwa mempunyai niat untuk menjual rumah tersebut tetapi terhalangi oleh saksi korban Yudi Natawijaya yang secara fisik menguasai dan menempati rumah di jalan Hegarmanah Bandung, untuk memuluskan niat terdakwa untuk menjual rumah tersebut tanpa sepengetahuan Yudi Natawijaya, maka timbul niat Terdakwa yang beberapa kali mengancam ayahnya bahwa rumah tersebut akan segera di lelang oleh pihak Bank dan meminta saksi korban Yudi Natawijaya dengan jelas dan tegas menolak permintaan Terdakwa lalu selang beberapa waktu setidak-tidaknya pukul 11.00 WIB tanggal 15 Juli 2003 yang sebelumnya terdakwa telah menghubungi beberapa petugas Klinik Grahita Husada yang pada intinya mengatakan bahwa saksi korban mengalami gangguan kejiwaan dan meminta petugas untuk datang ke rumah yang dihuni oleh saksi korban dan segera dibawa ke klinik tersebut, sesampainya di Klinik Kejiwaan Grahita Husada milik saksi Dr.H.Sukarman, Sp.KJ yang telah dikontak sebelumnya oleh terdakwa. Terdakwa mengatakan kepada pegawai di klinik tersebut jangan sampai pak yudi dikeluarkan dan ada keluarga lain yang mengambil. Terdakwa menjelaskan bahwa saksi korban Yudi Natawijaya mengalami gangguan kejiwaan dan perlu mendapatkan perawatan, yang lalu saksi berada di Klinik tersebut selama 8 (delapan) hari dan selama itu terdakwa berusaha mendapatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa saksi Yudi Natawijaya ayah kandungnya mengalami gangguan kejiwaan sehingga dapat memuluskan niat nya untuk menjual rumah. Setelah dilakukan dilakukan pemeriksaan atas kejiwaan saksi korban Yudi Natawijaya oleh ahli jiwa Dr. Riza Putra,Sp.KJ yang sesuai surat keterangan psikiatri Rumah Sakit Jiwa Propinsi Jawa Barat Nomor:440.3/5774/VIII/2013 tertanggal 12 Agustus 2013 dengan hasil kesimpulan tidak diketemukan adanya gangguan jiwa yang nyata dan saksi korban selama beberapa hari tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari nya sampai dengan pihak keluarga mengeluarkan dari Klinik Grahita Husada. Perbuatan terdakwa diatas menunjukkan adanya

perbuatan perampasan kemerdekaan terhadap ayah kandung terdakwa yaitu Yudi Natawijaya. Berdasarkan penjelasan di atas penulis ingin menyusun penelitian hukum dengan judul TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN IBU DAN KAKAK KANDUNG TERDAKWA DAN PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERAMPASAN KEMERDEKAAN (Studi Putusan Nomor:1030/Pid.B/2014/PN.BDG)