PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER (Reproductive Performance of Doe: Boer x Boer, Kacang x Kacang and Boer x Kacang) FERA MAHMILIA Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1, Sungei Putih, Galang 20585 ABSTRACT This study was conducted in Research Institute for Goat Production Sungei Putih. The aims of this research was to know performances reproduction of doe: Boer x Boer, Kacang x Kacang and Boer x Kacang. The result showed that accretion of body weight from marrying until 3 month of pregnant at Boer x Boer 4.54 ± 1.54 kg, do not showed differences (P > 0.05), Kacang x Boer 4.12 ± 1.95 kg, but differences (P < 0.01) with Kacang x Kacang 2.30 ± 0.48 kg. The weight of Boer while born higher (P < 0.01) with Kacang x Kacang, while with Boer x Kacang do not showed differences (P > 0.05). Time of pregnant, litter size and mortality between third type of doe is not different. Key Words: Crossbred, Reproduction, Litter Size, Time of Pregnant, Mortality ABSTRAK Penelitian ini telah dilakukan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sungei Putih. Penelitian bertujuan mengetahui penampilan reproduksi kambing induk; Boer yang dikawinkan dengan Boer, Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer dan Kacang yang dikawinkan dengan Kacang. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pertambahan bobot hidup dari kawin sampai bunting bulan ke-3 pada kambing Boer (4,54 ± 1,54 kg) tidak berbeda (P > 0,05) dengan kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer (4,12 ± 1,95 kg), namun berbeda nyata (P < 0,01) dengan kambing Kacang yang dikawinkan dengan kambing Kacang (2,30 ± 0,48 kg). Bobot saat beranak kambing Kacang yang dikawinkan dengan kambing Boer tidak berbeda (P > 0,05) dengan kambing Kacang yang dikawinkan dengan kambing Kacang, sedangkan dengan kambing Boer berbeda (P < 0,01). Lama kebuntingan, litter size dan mortalitas pada ketiga model perkawinan tersebut relatif sama. Kata Kunci: Persilangan, Reproduksi, Litter Size, Lama Bunting, Mortalitas PENDAHULUAN Kambing Kacang adalah salah satu kambing lokal Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi dan telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Secara umum kambing Kacang menunjukkan produktivitas yang relatif rendah. Beberapa hasil pengamatan menunjukan bahwa kambing Kacang mempunyai kemampuan reproduksi yang cukup baik dengan litter sizenya adalah 1,57 ekor (SETIADI, 2001). Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan memasukkan pejantan unggul dari luar, dengan cara kawin silang (INOUNU et al., 2002). Metode ini telah banyak digunakan dan umumnya berhasil cukup baik. Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih telah melaksanakan program persilangan kambing Kacang dengan kambing Boer. Karena Kambing Boer dianggap kambing unggul penghasil daging terbaik (ERASMUS, 2000). Ukuran kambing Boer yang dipelihara di Wurtemburg, Jerman menurut BIRNKAMMER (1986) berurut-turut pada jantan dan betina diantaranya; mempunyai bobot hidup dewasa 80 130 kg dan 50 75 kg, serta tinggi 485
pundak sekitar 50 75 cm dan 60 70 cm. Namun demikian kambing Boer untuk dipotong dengan bobot hidup sekitar 35 40 kg untuk jantan dan 30 35 kg untuk betina, dengan persentase karkas 50 55%. Menurut MASON (1981) rataan litter size kambing Boer adalah 1,7 ekor. Ditambahkan lagi, kambing Boer betina dapat dikawinkan pada umur 10 12 bulan, dengan selang beranak sekitar 8 bulan. Dilaporkan pula bahwa kejadian beranak kembar 2 sekitar 60% dan kembar 3 sekitar 15%. Hasil pengamatan ELIESER et al. (2005) didapatkan rataan bobot hidup jantan dan betina dewasa kambing Boer yang ada di Sei Putih masing-masing adalah 40,45 ± 13,78 kg kg dan 39,48 ± 8,78 kg. Dan dari persilangan antara betina Kacang dengan pejantan Boer dihasilkan kambing Boerka-1 (50B : 50K). Persilangan ini ternyata mampu meningkatkan bobot lahir Boerka-1 sebesar 21,64% dibandingkan dengan kambing Kacang (MAHMILIA et al., 2006). Penelitian ini bertujuan mempelajari penampilan reproduksi kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer, kambing Boer yang dikawinkan dengan Boer dan kambing Kacang yang dikawinkan dengan Kacang. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 101 ekor kambing induk yang terdiri dari: (1) 10 ekor kambing Boer yang dikawinkan dengan Boer (2) 54 ekor kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer (3) 37 ekor kambing Kacang yang dikawinkan dengan Kacang. Sumber makanan pokok bagi kambing induk adalah hijauan pakan ternak yang diambil dari lapangan dalam bentuk cut dan carry (± 10% dari bobot hidup). Pakan tambahan berupa konsentrat (± 1% bobot hidup) yang diberikan pada waktu pagi hari, sedangkan hijauan diberikan siang dan sore hari. Air minum disediakan ad libitum. Parameter yang diamati adalah kinerja reproduksi induk yang meliputi: pertambahan bobot hidup selama kebuntingan (dari kawin sampai bulan ketiga), bobot saat beranak, lama bunting, litter size dan mortalitas. Pengamatan ini dilakukan sepanjang tahun 2006. Seluruh parameter pengamatan dianalisis dengan uji rata-rata menggunakan metode linear dari paket SPSS versi 10 (SANTOSO, 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan bobot hidup selama kebuntingan Bobot kawin dari ketiga perkawinan ini adalah berbeda (P < 0,01), yaitu 35,2 ± 6,88 kg pada kambing Boer, 18,16 ± 2,19 kg pada kambing Kacang yang dikawinkan dengan Boer dan 21,55 ± 3,16 kg pada kambing Kacang yang dikawinkan dengan Kacang. Pertambahan bobot hidup kambing induk ; Boer yang dikawinkan dengan Boer, Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer dan Kacang yang dikawinkan dengan Kacang, dari kawin sampai bunting bulan ketiga berturutturut adalah: 4,54 ± 1,54 kg, 4,12 ± 1,95 kg dan 2,30 ± 0,48 kg, dengan pertambahan bobot hidup harian masing-masing: 43,70 ± 22,51 g/hari/ekor, 42,36 ± 24,42 g/hari/ekor dan 25,56 ± 5,37 g/hari/ekor. Pertambahan bobot hidup pada kambing Boer induk dan Kacang induk yang dikawinkan dengan pejantan Boer relatif sama sedangkan dengan Kacang induk yang dikawinkan dengan pejantan Kacang berbeda nyata (P < 0,01). Perbedaan pertambahan bobot hidup tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor pejantan yang digunakan. Dalam hal ini penggunaan pejantan Boer dan pejantan Kacang. Menurut BUDIARSANA et al. (2001), peningkatan bobot hidup selama kebuntingan terjadi karena progesteron akan merangsang terbentuknya sel-sel aveoli dalam meningkatkan tumbuh kembang kelenjar ambing dan juga merangsang pertumbuhan uterus untuk memelihara foetus. Secara alami kambing induk juga mengalami pertambahan bobot hidup untuk memperbaiki kondisi tubuh menjelang beranak. Jika dipersentasekan pertambahan bobot hidup selama 3 bulan kebuntingan, tertinggi terjadi pada kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer yaitu sebesar 22,69%, diikuti oleh kambing Boer 12,90 dan 10,67% pada kambing 486
Tabel 1. Bobot kawin dan bobot bunting bulan ke-tiga Uraian Perkawinan Boer x Boer KacangxBoer KacangxKacang Bobot kawin (kg) 35,2 ± 6,88 a 18,16 ± 2,19 b 21,55 ± 3,16 c Bunting bulan 3 (kg) 38,23 ± 9,52 a 22,24 ± 3,55 b 23,98 ± 3,02 b Pertambahan bobot hidup sampai 4,54 ± 1,54 a 4,12 ± 1,95 a 2,30 ± 0,48 b bunting bulan ke 3 (kg) PBHH sampai bulan ke 3 (g/hari/ekor) 43,70 ± 22,51 a 42,36 ± 24,42 a 25,56 ± 5,37 b abc Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) Kacang yang dikawinkan dengan Kacang. SETIADI et al. (2002) mengatakan bahwa pertambahan bobot hidup akan menggambarkan bobot janin, plasenta dan pertumbuhan induk. Sehingga pertumbuhan yang rendah menunjukkan bahwa janin yang dikandung relatif kecil. Bobot induk saat beranak Setelah beranak terjadi penurunan bobot hidup akibat kelahiran atau keluarnya anak bersama plasenta dan cairannya. Bobot saat beranak kambing Kacang induk yang dikawinkan dengan pejantan Boer adalah 21,70 ± 3,30 kg relatif sama dengan kambing Kacang induk yang dikawinkan dengan pejantan Kacang 20,74 ± 3,15 kg. Namun berbeda (P < 0,01) dengan kambing Boer yaitu 32,97 ± 4,02 kg. Banyak hal yang mempengaruhi bobot saat beranak ini, diantaranya rumpun/bangsa, tahun beranak dan paritas (INOUNU et al., 2002). Bobot induk saat beranak pada tipe kelahiran tunggal berbeda (P < 0,05) dengan kelahiran kembar. Dimana bobot induk pada tipe kelahiran kembar lebih tinggi (24,95 ± 4,33 kg) dibanding tipe kelahiran tunggal (21,80 ± 4,63 kg). Pada saat kelahiran terlihat bahwa rataan bobot induk pada kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer masih lebih tinggi (Tabel 2) dibandingkan dengan rataan bobot kawinnya (Tabel 1). Sedangkan pada kambing Boer dan Kacang tidak terlihat. Hal yang sama juga terjadi pada Kosta dan Gembrong (SETIADI et al., 2002). SOEBANDRIYO et al., (2002) menduga bahwa rataan bobot induk melahirkan masih lebih tinggi dari bobot kawinnya, menandakan terjadi pertumbuhan induk waktu kebuntingan, terutama pada induk-induk muda yang masih mempunyai peluang bertumbuh. Tabel 2. Bobot saat beranak dan lama bunting berdasarkan perkawinan dan tipe lahir Uraian Bobot saat beranak (kg) Lama bunting (hr) Perkawinan Boer x Boer Kacang x Boer Kacang x Kacang 32,97 ± 4,02 a 21,70 ± 3,30 b 20,74 ± 3,15 b 150,40 ± 6,45 149,25 ± 3,82 148,00 ± 1,11 Tipe lahir Tunggal Kembar 2 21,80 ± 4,63 (83) A 24,95 ± 4,33 (16) B 149,97 ± 3,88 147,55 ± 3,56 ab Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan sangat nyata (P < 0,01) AB Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P < 0,05) 487
Lama bunting Lama bunting pada ke tiga model perkawinan relatif sama yaitu 150,40 ± 6,45 hari pada kambing Boer, 149,25 ± 3,82 hari pada kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer, dan 148,00 ± 1,11 hari pada kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Kacang. Bila dilihat dari jumlah anak yang dilahirkan, lama bunting pada kelahiran kembar 2 (147,55 ± 3,56 hari) lebih singkat bila dibandingkan dengan kelahiran tunggal (149,97 ± 3,88 hari) walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Keadaan yang sama juga dilaporkan SETIADI et al. (2001), bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah anak yang dilahirkan, lama bunting cendrung lebih singkat. Kisaran lama bunting pada kambing berkisar antara 147 155 hari (SUTAMA, 2003). Litter size Rataan jumlah anak sekelahiran atau litter size pda ketiga model perkawinan relatif sama, yaitu 1,33 pada Boer, 1,19 pada Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer dan 1,31 pada Kacang yang dikawinkan dengan Kacang. Menurut SETIADI et al. (2002) jumlah anak yang dilahirkan kambing Kacang walaupun dikawinkan dengan pejantan lain ras (misalnya kambing Boer) tetap merupakan potensi reproduksi ras kambing betina dan belum merupakan bagian dari potensi genetik pejantan. Hal ini disebabkan jumlah anak yang dilahirkan tergantung pada jumlah sel telur yang diovulasikan, jumlah sel telur yang dapat dibuahi dan laju mortalitas embrional. Pengaruh potensi genetik pejantan baru akan terlihat pada keragaan reproduksi keturunannya. Mortalitas Kemampuan hidup kambing anak merupakan parameter yang penting dalam perkembangan produktivitas. KOSTAMAN dan SUTAMA (2005), melaporkan bahwa salah satu keuntungan yang didapat dari heterosis adalah meningkatnya kemampuan hidup. Tingginya kemampuan hidup dalam satu populasi ditunjukkan dengan rendahnya laju kematian. Laju kematian prasapih (0 90 hari) pada kambing Kacang (40,42%) lebih tinggi dibanding Boer dan Boerka-1, walau secara statistik tidak menunjukkan perbedaan. Dari jenis kelamin, mortalitas jantan dan betina juga relatif sama, yaitu 28,79 dan 29,31%. Hal ini disebabkan pemeliharaan dan manajemennya yang sama. Sehingga persentase mortalitas anak juga sama. Tabel 4. Mortalitas prasapih berdasarkan genotipe, jenis kelamin dan tipe lahir Uraian Mortalitas prasapih (%) Genotipe anak Boer 26,7 ± 45,77 Boerka-1 20,97 ± 41,04 Kacang 40,42 ± 49,60 Jenis kelamin Jantan 28,79± 45,62 Betina 29,31 ± 45,91 Tipe lahir Tunggal 23,59 ± 42,00 a Kembar 2 42,85 ± 50,00 b ab Superskrip berbeda pada kolom dan kelompok yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,05) Tabel 3. Rataan litter size dan % kelahiran pada Boer x Boer, Kacang x Boer dan Kacang x Kacang Uraian Perkawinan Boer x Boer Kacang x Boer Kacang x Kacang Litter size 1,33 ± 0,48 a 1,19 ± 0,39 a 1,31 ± 0,46 a Kelahiran (%) Tunggal Kembar 2 62,50 37,50 80,65 19,35 69,49 30,51 488
Pada kelahiran tunggal persentase mortalitas lebih rendah (P < 0,05) dibandingkan dengan kelahiran kembar. Kenyataan menunjukan bahwa persentase mortalitas prasapih cendrung meningkat dengan meningkatnya jumlah anak sekelahiran. Pada fase prasapih keberhasilan anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang sangat tergantung pada susu yang dihasilkan induk. Keterbatasan penyediaan air susu induk terutama untuk anak kembar menjadi penyebab utama tingginya kematian prasapih. Anak yang terlahir tunggal akan memperoleh susu dan perhatian yang lebih baik bila dibandingkan dengan anak yang terlahir kembar. Sehingga daya hidup meningkat. Menurut SETIADI et al. (2001) daya hidup prasapih tergantung pada litter size, produksi susu serta kemampuan induk merawat anaknya selama priode menyusui. KESIMPULAN Penampilan reproduksi induk berdasarkan: 1. Pertambahan bobot hidup sampai bulan ke- 3 kebuntingan antara Boer dengan kambing Kacang yang dikawinkan dengan pejantan Boer tidak berbeda. Sedangkan dengan Kacang yang dikawinkan dengan Kacang berbeda. 2. Bobot beranak Boer x Boer berbeda dengan Kacang x Boer maupun dengan Kacang x Kacang. 3. Lama bunting, litter size dan mortalitas antar ketiganya tidak berbeda. DAFTAR PUSTAKA BIRNKAMMER, H. 1986. The Boer goat a highly produtive meat type breed. CAB. pp. 87 89 (abstract). BUDIARSANA, I G.M., I K. SUTAMA, RINI DHARSANA, U. ADIATI, HASTONO, S. HIDAYAT, MULYAWAN, BACHTIAR dan RIAD SUKMANA. 2001. Siklus birahi dan fertilitas kambing PE pada perkawinan alami dan inseminasi buatan. Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor ELIESER. S., M. DOLOKSARIBU, F. MAHMILIA dan FITRA AJI PAMUNGKAS. 2005. Analisis Produktivitas dan Perbanyakan bibit unggul kambing persilangan. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian PAATP 2005. Sei Putih. ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various environments and resistance to disease of improved Boer goat. Small Rum. Res. 36: 179 187. INOUNU, I., N. HIDAYATI, A. PRIYANTI dan B. TIESNAMURTI. 2002. Peningkatan produktivitas domba melalui pembentukan rumpun komposit. T.A. 2001. Buku I. Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Bogor. KOSTAMAN, T. dan I-K SUTAMA. 2005. Laju pertumbuhan kambing anak hasil persilangan antara kambing Boer dengan Peranakan Etawah pada priode pra-sapih. JITV 10: 106 112. MASON, I.L. 1981. American Boer Goat Association. MAHMILIA, F., S. ELIESER, M. DOLOKSARIBU, F.A. PAMUNGKAS, M. HUTAURUK dan NASIB. 2006. Analisis produktivitas kambing potong hasil persilangan anatara kambing kacang (local) dengan kambing unggul Boer. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian PAATP 2006. Sei Putih. SANTOSO, S. 2002. SPSS versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Edisi ketiga. Gramedia, Jakarta. SETIADI, B. SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJAJA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, T. SARTIKA, B.TIESNAMURTI, K. DIWYANTO dan L. PRAHARANI. 2001. Evaluasi peningkatan produktivitas kambing persilangan. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm. 157 178. SETIADI, B., B. TIESNAMURTI, SUBANDRIYO, T. SARTIKA, U. ADIATI, D. YULISTIANI dan I. SENDOW. 2002. Koleksi dan evaluasi karakteristik kambing kosta dan gembrong secara ex-situ. Balai Penelitian Ternak, Bogor SUBANDRIYO, B. TIESNAMURTI, D. YULIASTIANI, U. ADIATI, M. SYAERI, S. AMINAH dan Z. LAYLA. 2002. Koleksi dan evaluasi karakteristik biologik domba prolifik dan ST. Croix secara ex-situ. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 2001. Balai Penelitian Ternak, Bogor. SUTAMA, I.K. 2003. Tantangan dan peluang peningkatan produktivitas kambing melalui inovasi teknologi reproduksi. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Puslitbang Peternakan, Bogor. 489
DISKUSI Pertanyaan: Bagaimana kondisi induk yang digunakan? Jawaban: Pengamatan menggunakan Boer induk dan Kacang induk yang dikawinkan dengan Kacang pada paritas 2 dan 3, sedangkan Kacang yang dikawikan dengan pejantan Boer pada paritas 1 dan 2, atau lebih muda dari Boer dan Kacang. 490