BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di Departemen THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 Desember 2012

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, berdasar data Riskesdas tahun 2007, pneumonia telah menjadi

PROFIL ABSES SUBMANDIBULA DI BAGIAN BEDAH RS Prof. Dr. R. D. KANDO MANADO PERIODE JUNI 2009 SAMPAI JULI 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

Hasil Uji Kepekaan Bakteri Yang Diisolasi Dari Sputum Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Di Poliklinik BP 4 Medan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

Simposium dan Workshop Emergensi di Bidang Telinga Hidung dan Tenggorok

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. negara, dan Indonesia menduduki tempat ke-6, dengan jumlah kasus 6 juta kasus

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. dari saluran napas bagian atas manusia sekitar 5-40% (Abdat,2010).

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan menuju Indonesia sehat 2015 yang diadopsi dari

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

GAMBARAN TATA LAKSANA TERAPI PASIEN OSTEOMIELITIS DI RSUP SANGLAH APRIL OKTOBER

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri serta pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena (Yellon, 2009). Infeksi yang terjadi di dalam ruang potensial leher ini dapat saling terkait antara satu ruangan dengan lainnya, sehingga berpotensi menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi yang terjadi akibat abses leher dalam diantaranya: sumbatan jalan nafas, pneumonia, perikarditis, trombosis vena jugularis, mediastinitis dan erosi arteri karotis (Lee dan Kanagalingam, 2011). Diperkirakan kerugian pengeluaran akibat abses leher dalam di Amerika Serikat mencapai 200 juta dollar setiap tahunnya (Yellon, 2009). Angka kejadian abses leher dalam mulai menurun secara bermakna sejak era pemakaian antibiotik. Selain itu, kesehatan rongga mulut yang meningkat juga turut berperan dalam hal tersebut. Sebelum era antibiotik, sebanyak 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring serta tonsil ke parafaring. Saat ini, infeksi leher dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak dan infeksi gigi pada orang dewasa. Yang et al. (2008), melaporkan dari 100 kasus abses leher dalam yang diteliti mulai April 2001 hingga Oktober 2006 didapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2, dengan lokasi abses lebih dari satu ruang potensial sebanyak 29%, 1

2 ruang submandibula sebanyak 35%, ruang parafaring 20%, ruang mastikator 13%, ruang peritonsil 9%, ruang sublingual 7%, ruang parotis 3%, ruang infrahioid 26%, ruang retrofaring 13% dan ruang parotis 11%. Di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta sendiri selama tahun 2014, ditemukan 17 penderita abses leher dalam, didapatkan perbandingan antara laki laki dan perempuan 3:1, dengan lokasi abses tersering pada ruang submandibula yaitu sebanyak 64,70%, dengan patogenesis tersering adalah odontogenik 29,41%, dan komorbid tersering diabetes melitus 41,17% (Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito, 2014). Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Organisme aerob yang sering dijumpai antara lain : Streptococcus viridans, Streptococcus ß-haemoliticus, Staphylococcus, Klebsiella pneumoniae, sedangkan untuk bakteri anaerob adalah Bacteriodes dan Peptostreptococcus (Huang et al., 2005). Pada era sebelum penggunaan antibiotik, organisme yang sering dijumpai sebagai penyebab abses leher dalam adalah Staphylococcus aureus. Sejak dimulainya penggunaan antibotik, bakteri aerob Streptococcus dan anaerob menjadi predominan (Chang et al., 2003). Agen antimikrobial telah lama digunakan untuk mengobati infeksi bakterial sejak tahun 1970. Meskipun prevalensi infeksi leher dalam mulai menurun sejak berkembangnya obat-obatan antimikrobial, tetapi apabila kondisi ini berlanjut maka dapat meningkatkan morbiditas (Farmahan et al., 2014). Diabetes melitus merupakan penyakit sistemik yang paling sering berhubungan dengan infeksi leher dalam. Pasien abses leher dalam yang disertai dengan diabetes melitus, biasanya memiliki gambaran klinis yang berbeda jika

3 dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes melitus, sehingga memerlukan penanganan yang khusus (Huang et al., 2005). Pada beberapa penelitian yang dilakukan di negara Barat, Staphylococcus species merupakan bakteri patogen utama penyebab abses leher dalam, sedangkan jenis Klebsiella pneumoniae memiliki peran yang terbatas. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di negara Asia, yang lebih menekankan pentingnya Klebsiella pneumoniae pada abses leher dalam jika dibandingkan dengan Staphylococcus aureus, karena dijumpai hasil isolasi Staphylococcus aureus yang lebih rendah. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena tingginya angka kejadian diabetes melitus pada penduduk Asia (Lee dan Kanagalingam, 2011). Lee et al. (2007), dalam penelitiannya menunjukkan dari 10 pasien abses leher dalam yang ditemukan bakteri patogen Klebsiella pneumoniae, 7 pasien (70%) diantaranya menderita diabetes melitus. Hal tersebut diduga akibat virulensi Klebsiella pneumoniae yang sulit dikenali oleh fungsi makrofag dari pejamu, karena terganggunya fungsi makrofag akibat kondisi hiperglikemi (Lee et al., 2007). Selain itu, pasien dengan infeksi leher dalam yang pada kultur pusnya ditemukan Klebsiella pneumoniae, memiliki kemungkinan terjadinya infeksi berulang terutama pada pasien dengan diabetes melitus. Hal ini, ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Chang et al. (2003), menyebutkan 10 dari 48 pasien dengan infeksi leher dalam yang disertai diabetes melitus, pada pemeriksaan kultur pusnya dijumpai adanya Klebsiella pneumoniae, sepuluh pasien tersebut mengalami infeksi berulang. Pada pasien dengan diabetes melitus, terdapat gangguan fungsi neutrofil, seperti: kemotaksis, fagositosis serta fungsi bakterisidal,

4 dan diantara pasien diabetes melitus tersebut, prevalensi yang tinggi pada kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring memungkinkan sebagai faktor yang sangat penting berperan dalam peningkatan infeksi fokal (Chang et al., 2003). Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan, selain itu pengetahuan mengenai kuman yang terlibat dalam infeksi leher dalam merupakan kunci dalam pemilihan rejimen antibiotik yang efektif (Vi llarin et al., 2006). Selain drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap kuman. Namun pemeriksaan ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara empiris (Yang et al., 2008). Pemberian awal antibiotik empiris harus berdasarkan kuman penyebab infeksi paling umum. Penggunaan penisilin mengatasi sebagian besar kuman yang terlibat, sedangkan peningkatan keterlibatan kuman anaerob pada infeksi leher dalam memerlukan tambahan antibiotik golongan lain untuk mengatasi kuman tersebut, seperti diantaranya klindamisin atau metronidazole (Villarin et al., 2006). Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Yang et al. (2008), melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu: kombinasi penisilin G, klindamisin dan gentamisin; kombinasi ceftriaxone dan metronidazole; kombinasi cefuroxime dan klindamisin; kombinasi penisilin dan metronidazole; yang masing masing didapatkan angka

5 keberhasilan sebesar : 67,4 %, 76,4 %, 70,8 %, dan 61,9 % (Yang et al., 2008). Setelah didapatkan hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab, maka diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika terdapat perbaikan, maka pemberian antibiotik dapat dilanjutkan, tetapi jika tidak terdapat perbaikan maka antibiotik diganti sesuai dengan uji kepekaan (Johnson dan Rosen, 2014; Abshirini, 2010). Penelitian mengenai pola kuman pada abses leher dalam belum banyak dilakukan, terutama di bagian THT KL RSUP dr. Sardjito, sedangkan angka kejadian penyakit abses leher dalam di RSUP dr. Sardjito terus meningkat, dengan komorbid yang sering dijumpai adalah diabetes melitus. Adanya perubahan pola kuman dan resistensi kuman terhadap antibiotik diduga berpengaruh terhadap peningkatan kejadian abses leher dalam. B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Angka kejadian abses leher dalam semakin meningkat. 2. Diabetes melitus merupakan penyakit sistemik yang paling sering berhubungan dengan abses leher dalam. 3. Kondisi hiperglikemi pada pasien abses leher dalam yang disertai diabetes melitus menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun host dalam mengenali virulensi bakteri. 4. Abses leher dalam yang disertai dengan diabetes melitus, memiliki risiko komplikasi lebih tinggi serta dapat meningkatkan terjadinya rekurensi.

6 5. Pemilihan terapi antimikrobial pada pasien abses leher dalam yang disertai diabetes melitus harus lebih agresif, karena pada diabetes melitus terjadi penurunan fungsi bakterisidal. 6. Perubahan pola kuman dan resistensi bakteri terhadap antibiotik diduga berpengaruh terhadap peningkatan angka kejadian abses leher dalam. C. Pertanyaan penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: adakah perbedaan pola kuman antara penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus? D. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan pola kuman antara penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus, serta untuk mengetahui sensitivitas terhadap antibiotik ceftriaxone pada penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus. E. Manfaat penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk mengkaji perbedaan pola kuman antara penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus, serta untuk mengetahui antibiotik yang masih sensitif, sehingga dapat membantu mengembangkan strategi dan penanganan yang optimal pada pasien abses leher dalam yang disertai diabetes melitus, serta dapat menjadi bahan pelengkap untuk penelitian selanjutnya.

7 F. Keaslian penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian. Peneliti (tahun) Judul Tujuan Hasil Lee dan Kanagalingam (2011) Bacteriology of deep neck abscesses: a retrospective review of 96 consecutive cases Menentukan mikrobiologi dari abses leher dalam. - Dari 96 kultur pus pasien abses leher dalam dengan hasil positif, sebanyak 22 pasien (50%) dari 44 pasien abses leher dalam dengan diabetes mellitus (DM) menunjukkan hasil bakteri patogen Klebsiella pneumoniae, hasil ini secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil kultur pus pasien abses leher dalam tanpa DM hanya sebanyak 4 pasien (7,7%). Huang et al. (2005) Deep neck infection in diabetics patients : Comparison of clinical picture and outcomes with nondiabetics patients Menunjukkan perbedaan gambaran klinis serta pola kuman pada pasien infeksi leher dalam yang disertai diabetes melitus dibandingkan tanpa diabetes melitus. - Angka komplikasi lebih tinggi pada pasien infeksi leher dalam yang disertai DM 19 pasien (33%) dari 56 pasien kelompok DM, dibandingkan dengan kelompok tanpa DM 11 pasien (8%) dari 129 pasien kelompok tanpa DM. - Rata-rata lamanya dirawat yang lebih panjang juga ditemukan pada pasien infeksi leher dalam dengan DM (19,7 ± 13,7), dibanding kelompok tanpa DM (10,2 ± 7,3).

8 Chang et al. (2003) Klebsiella pneumoniae fascial space infection of the head and neck in Taiwan : emphasis on diabetic patients and repetitive infections Mengetahui manifestasi klinis serta penatalaksanaan infeksi leher dalam pada pasien dengan infeksi Klebsiella pneumoniae dan tanpa Klebsiella pneumoniae, terutama pasien infeksi leher dalam dengan DM. - Hasil mikrobial yang tumbuh dari kultur pus 112 pasien infeksi leher dalam, 23 pasien dari kelompok DM (41 pasien) didapatkan hasil mikrobial terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae, sedangkan dari kelompok yang tidak disertai DM hanya sebanyak 15 pasien dari 71 pasien. - Dari 100 pasien dengan infeksi leher dalam, ditemukan sebanyak 48% bakteri patogen Klebsiella pneumoniae, dengan komorbid terbanyak DM sebanyak 39 (87,5%). - Manifestasi klinis yang ditemukan: durasi pemberian terapi antimikrobial serta lamanya perawatan yang lebih panjang pada pasien infeksi leher dalam dengan DM yang disebabkan Klebsiella pneumoniae (P = 0,007 dan P = 0,001), selain itu terjadinya infeksi berulang yang cukup signifikan pada infeksi leher dalam dengan DM yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae (P = 0,001). - Dari 31 pasien, sebanyak 27 pasien diberikan kombinasi generasi pertama dari sefalosporin dengan aminoglikosida, atau kombinasi dengan metronidazole pada 4 pasien sisanya.