BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri serta pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena (Yellon, 2009). Infeksi yang terjadi di dalam ruang potensial leher ini dapat saling terkait antara satu ruangan dengan lainnya, sehingga berpotensi menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi yang terjadi akibat abses leher dalam diantaranya: sumbatan jalan nafas, pneumonia, perikarditis, trombosis vena jugularis, mediastinitis dan erosi arteri karotis (Lee dan Kanagalingam, 2011). Diperkirakan kerugian pengeluaran akibat abses leher dalam di Amerika Serikat mencapai 200 juta dollar setiap tahunnya (Yellon, 2009). Angka kejadian abses leher dalam mulai menurun secara bermakna sejak era pemakaian antibiotik. Selain itu, kesehatan rongga mulut yang meningkat juga turut berperan dalam hal tersebut. Sebelum era antibiotik, sebanyak 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring serta tonsil ke parafaring. Saat ini, infeksi leher dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak dan infeksi gigi pada orang dewasa. Yang et al. (2008), melaporkan dari 100 kasus abses leher dalam yang diteliti mulai April 2001 hingga Oktober 2006 didapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2, dengan lokasi abses lebih dari satu ruang potensial sebanyak 29%, 1
2 ruang submandibula sebanyak 35%, ruang parafaring 20%, ruang mastikator 13%, ruang peritonsil 9%, ruang sublingual 7%, ruang parotis 3%, ruang infrahioid 26%, ruang retrofaring 13% dan ruang parotis 11%. Di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta sendiri selama tahun 2014, ditemukan 17 penderita abses leher dalam, didapatkan perbandingan antara laki laki dan perempuan 3:1, dengan lokasi abses tersering pada ruang submandibula yaitu sebanyak 64,70%, dengan patogenesis tersering adalah odontogenik 29,41%, dan komorbid tersering diabetes melitus 41,17% (Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito, 2014). Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Organisme aerob yang sering dijumpai antara lain : Streptococcus viridans, Streptococcus ß-haemoliticus, Staphylococcus, Klebsiella pneumoniae, sedangkan untuk bakteri anaerob adalah Bacteriodes dan Peptostreptococcus (Huang et al., 2005). Pada era sebelum penggunaan antibiotik, organisme yang sering dijumpai sebagai penyebab abses leher dalam adalah Staphylococcus aureus. Sejak dimulainya penggunaan antibotik, bakteri aerob Streptococcus dan anaerob menjadi predominan (Chang et al., 2003). Agen antimikrobial telah lama digunakan untuk mengobati infeksi bakterial sejak tahun 1970. Meskipun prevalensi infeksi leher dalam mulai menurun sejak berkembangnya obat-obatan antimikrobial, tetapi apabila kondisi ini berlanjut maka dapat meningkatkan morbiditas (Farmahan et al., 2014). Diabetes melitus merupakan penyakit sistemik yang paling sering berhubungan dengan infeksi leher dalam. Pasien abses leher dalam yang disertai dengan diabetes melitus, biasanya memiliki gambaran klinis yang berbeda jika
3 dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes melitus, sehingga memerlukan penanganan yang khusus (Huang et al., 2005). Pada beberapa penelitian yang dilakukan di negara Barat, Staphylococcus species merupakan bakteri patogen utama penyebab abses leher dalam, sedangkan jenis Klebsiella pneumoniae memiliki peran yang terbatas. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di negara Asia, yang lebih menekankan pentingnya Klebsiella pneumoniae pada abses leher dalam jika dibandingkan dengan Staphylococcus aureus, karena dijumpai hasil isolasi Staphylococcus aureus yang lebih rendah. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena tingginya angka kejadian diabetes melitus pada penduduk Asia (Lee dan Kanagalingam, 2011). Lee et al. (2007), dalam penelitiannya menunjukkan dari 10 pasien abses leher dalam yang ditemukan bakteri patogen Klebsiella pneumoniae, 7 pasien (70%) diantaranya menderita diabetes melitus. Hal tersebut diduga akibat virulensi Klebsiella pneumoniae yang sulit dikenali oleh fungsi makrofag dari pejamu, karena terganggunya fungsi makrofag akibat kondisi hiperglikemi (Lee et al., 2007). Selain itu, pasien dengan infeksi leher dalam yang pada kultur pusnya ditemukan Klebsiella pneumoniae, memiliki kemungkinan terjadinya infeksi berulang terutama pada pasien dengan diabetes melitus. Hal ini, ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Chang et al. (2003), menyebutkan 10 dari 48 pasien dengan infeksi leher dalam yang disertai diabetes melitus, pada pemeriksaan kultur pusnya dijumpai adanya Klebsiella pneumoniae, sepuluh pasien tersebut mengalami infeksi berulang. Pada pasien dengan diabetes melitus, terdapat gangguan fungsi neutrofil, seperti: kemotaksis, fagositosis serta fungsi bakterisidal,
4 dan diantara pasien diabetes melitus tersebut, prevalensi yang tinggi pada kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring memungkinkan sebagai faktor yang sangat penting berperan dalam peningkatan infeksi fokal (Chang et al., 2003). Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher, serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan, selain itu pengetahuan mengenai kuman yang terlibat dalam infeksi leher dalam merupakan kunci dalam pemilihan rejimen antibiotik yang efektif (Vi llarin et al., 2006). Selain drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap kuman. Namun pemeriksaan ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara empiris (Yang et al., 2008). Pemberian awal antibiotik empiris harus berdasarkan kuman penyebab infeksi paling umum. Penggunaan penisilin mengatasi sebagian besar kuman yang terlibat, sedangkan peningkatan keterlibatan kuman anaerob pada infeksi leher dalam memerlukan tambahan antibiotik golongan lain untuk mengatasi kuman tersebut, seperti diantaranya klindamisin atau metronidazole (Villarin et al., 2006). Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Yang et al. (2008), melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu: kombinasi penisilin G, klindamisin dan gentamisin; kombinasi ceftriaxone dan metronidazole; kombinasi cefuroxime dan klindamisin; kombinasi penisilin dan metronidazole; yang masing masing didapatkan angka
5 keberhasilan sebesar : 67,4 %, 76,4 %, 70,8 %, dan 61,9 % (Yang et al., 2008). Setelah didapatkan hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab, maka diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris jika terdapat perbaikan, maka pemberian antibiotik dapat dilanjutkan, tetapi jika tidak terdapat perbaikan maka antibiotik diganti sesuai dengan uji kepekaan (Johnson dan Rosen, 2014; Abshirini, 2010). Penelitian mengenai pola kuman pada abses leher dalam belum banyak dilakukan, terutama di bagian THT KL RSUP dr. Sardjito, sedangkan angka kejadian penyakit abses leher dalam di RSUP dr. Sardjito terus meningkat, dengan komorbid yang sering dijumpai adalah diabetes melitus. Adanya perubahan pola kuman dan resistensi kuman terhadap antibiotik diduga berpengaruh terhadap peningkatan kejadian abses leher dalam. B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Angka kejadian abses leher dalam semakin meningkat. 2. Diabetes melitus merupakan penyakit sistemik yang paling sering berhubungan dengan abses leher dalam. 3. Kondisi hiperglikemi pada pasien abses leher dalam yang disertai diabetes melitus menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun host dalam mengenali virulensi bakteri. 4. Abses leher dalam yang disertai dengan diabetes melitus, memiliki risiko komplikasi lebih tinggi serta dapat meningkatkan terjadinya rekurensi.
6 5. Pemilihan terapi antimikrobial pada pasien abses leher dalam yang disertai diabetes melitus harus lebih agresif, karena pada diabetes melitus terjadi penurunan fungsi bakterisidal. 6. Perubahan pola kuman dan resistensi bakteri terhadap antibiotik diduga berpengaruh terhadap peningkatan angka kejadian abses leher dalam. C. Pertanyaan penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: adakah perbedaan pola kuman antara penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus? D. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan pola kuman antara penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus, serta untuk mengetahui sensitivitas terhadap antibiotik ceftriaxone pada penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus. E. Manfaat penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk mengkaji perbedaan pola kuman antara penderita abses leher dalam yang disertai diabetes melitus dengan tanpa diabetes melitus, serta untuk mengetahui antibiotik yang masih sensitif, sehingga dapat membantu mengembangkan strategi dan penanganan yang optimal pada pasien abses leher dalam yang disertai diabetes melitus, serta dapat menjadi bahan pelengkap untuk penelitian selanjutnya.
7 F. Keaslian penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian. Peneliti (tahun) Judul Tujuan Hasil Lee dan Kanagalingam (2011) Bacteriology of deep neck abscesses: a retrospective review of 96 consecutive cases Menentukan mikrobiologi dari abses leher dalam. - Dari 96 kultur pus pasien abses leher dalam dengan hasil positif, sebanyak 22 pasien (50%) dari 44 pasien abses leher dalam dengan diabetes mellitus (DM) menunjukkan hasil bakteri patogen Klebsiella pneumoniae, hasil ini secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil kultur pus pasien abses leher dalam tanpa DM hanya sebanyak 4 pasien (7,7%). Huang et al. (2005) Deep neck infection in diabetics patients : Comparison of clinical picture and outcomes with nondiabetics patients Menunjukkan perbedaan gambaran klinis serta pola kuman pada pasien infeksi leher dalam yang disertai diabetes melitus dibandingkan tanpa diabetes melitus. - Angka komplikasi lebih tinggi pada pasien infeksi leher dalam yang disertai DM 19 pasien (33%) dari 56 pasien kelompok DM, dibandingkan dengan kelompok tanpa DM 11 pasien (8%) dari 129 pasien kelompok tanpa DM. - Rata-rata lamanya dirawat yang lebih panjang juga ditemukan pada pasien infeksi leher dalam dengan DM (19,7 ± 13,7), dibanding kelompok tanpa DM (10,2 ± 7,3).
8 Chang et al. (2003) Klebsiella pneumoniae fascial space infection of the head and neck in Taiwan : emphasis on diabetic patients and repetitive infections Mengetahui manifestasi klinis serta penatalaksanaan infeksi leher dalam pada pasien dengan infeksi Klebsiella pneumoniae dan tanpa Klebsiella pneumoniae, terutama pasien infeksi leher dalam dengan DM. - Hasil mikrobial yang tumbuh dari kultur pus 112 pasien infeksi leher dalam, 23 pasien dari kelompok DM (41 pasien) didapatkan hasil mikrobial terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae, sedangkan dari kelompok yang tidak disertai DM hanya sebanyak 15 pasien dari 71 pasien. - Dari 100 pasien dengan infeksi leher dalam, ditemukan sebanyak 48% bakteri patogen Klebsiella pneumoniae, dengan komorbid terbanyak DM sebanyak 39 (87,5%). - Manifestasi klinis yang ditemukan: durasi pemberian terapi antimikrobial serta lamanya perawatan yang lebih panjang pada pasien infeksi leher dalam dengan DM yang disebabkan Klebsiella pneumoniae (P = 0,007 dan P = 0,001), selain itu terjadinya infeksi berulang yang cukup signifikan pada infeksi leher dalam dengan DM yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae (P = 0,001). - Dari 31 pasien, sebanyak 27 pasien diberikan kombinasi generasi pertama dari sefalosporin dengan aminoglikosida, atau kombinasi dengan metronidazole pada 4 pasien sisanya.