BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama dalam proses pendidikan di sekolah. Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar yang dilakukan oleh siswa dan mengajar yang dilakukan oleh guru sebagai pengajar (pendidik). Belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa di saat pembelajaran matematika sedang berlangsung. Proses pembelajaran matematika bukan hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa, melainkan suatu proses yang dikondisikan atau diupayakan oleh guru, sehingga siswa aktif dengan berbagai cara untuk mengkontruksi atau membangun sendiri pengetahuannya, serta terjadi interaksi dan negosiasi antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa. Pembelajaran matematika yang dimaksud adalah pembelajaran matematika yang bermakna sehingga siswa mendapat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya setelah selesai pembelajaran. Agar tercipta suatu kondisi belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan bagi siswa, antara lain diperlukan penerapan pendekatan pembelajaran yang tepat. Untuk mencapai harapan tersebut, seorang guru harus terampil dalam memilih pendekatan yang tepat dengan pokok bahasan yang disajikan dan karakteristik siswa. Guru yang berpengalaman akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memilih pembelajaran yang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan dan kebutuhan siswa. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan matematis siswa. Hal ini sejalan 1
2 dengan tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas: 2006) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Senada dengan KTSP, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) merumuskan tujuan pembelajaran matematika yaitu (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication), belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection), dan belajar untuk merepresentasikan ide-ide (mathematical representation). Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dapat membantu siswa memahami konsep, menyelesaikan masalah sistematis, mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, dan dapat mengungkapkan ide-ide matematisnya dengan baik secara lisan maupun tertulis. Salah satu kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh siswa setelah melakukan pembelajaran matematika yaitu kemampuan representasi matematis. Kemampuan representasi matematis dapat membantu siswa dalam membangun
3 konsep, memahami konsep dan menyatakan ide-ide matematis, serta memudahkan siswa dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Sebagaimana diungkapkan Wahyudin (2008) bahwa representasi bisa membantu para siswa untuk mengatur pemikirannya. Pembelajaran yang menekankan representasi matematis adalah pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa secara optimal dalam memahami suatu konsep. Menurut Suparlan (Wahyuni: 2012) bahwa salah satu pencapaian dalam proses pembelajaran matematika hendaknya menjamin siswa dapat menyajikan konsep yang dipelajarinya ke dalam berbagai macam model matematika, agar dapat membantu mengembangkan pengetahuan yang lebih mendalam, dengan cara guru memfasilitasi siswa melalui pemberian kesempatan yang lebih luas untuk merepresentasikan gagasan matematisnya. Dalam pembelajaran matematika, kemampuan representasi matematis merupakan salah satu standar yang harus dicapai oleh siswa. Tetapi pelaksanaannya bukan merupakan hal yang mudah. Menurut Suparlan (Wahyuni: 2012) bahwa keterbatasan pengetahuan guru dan kebiasaan siswa belajar dengan cara konvensional belum memungkinkan menumbuhkan kemampuan representasi secara optimal. Kemampuan representasi matematis, khususnya siswa SMP, masih belum tertangani dengan baik. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kemampuan representasi matematis kurang berkembang dalam pembelajaran. Penelitian pendahuluan Hutagaol (Wahyuni: 2012) menyatakan kurang berkembangnya daya representasi siswa khususnya siswa SMP karena siswa tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan representasinya sendiri, tetapi harus mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh guru yang menyebabkan siswa tidak mampu merepresentasikan gagasan matematis dengan baik. Lebih jauh Amri (Wahyuni: 2012) menyatakan bahwa guru dalam pembelajaran matematika yang berhubungan dengan representasi masih menggunakan cara konvensional, sehingga siswa cenderung meniru langkah guru, siswa tidak pernah diberikan kesempatan untuk menghadirkan kemampuan representasi matematisnya yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika.
4 Selain kemampuan representasi matematis, kemampuan komunikasi matematis siswa pun sangat penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pentingnya kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari standar kemampuan komunikasi yang ditetapkan NCTM (2000) dan rumusan tujuan mata pelajaran matematika dalam KTSP (2006). Pentingnya kemampuan komunikasi matematis juga dikemukakan Jacob (Anggraeni: 2012), bahwa matematika sebagai bahasa, sehingga komunikasi matematis merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-acces matematika. Senada dengan Jacob, Pugalee (Anggraeni: 2012) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen untuk setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga proses pembelajarannya akan menjadi bermakna. Berdasarkan hasil PISA 2009, prestasi matematika siswa berada pada peringkat 61 dari 65 negara peserta dengan rata-rata skor 371 sementara rata-rata skor internasional adalah 496. Rata-rata skor 371 menunjukkan bahwa level kemampuan matematika siswa Indonesia berada pada level 1 (terbawah). Sementara hasil TIMMS 2011, prestasi matematika siswa kelas 8 berada pada peringkat 39 dari 41 negara peserta. Rata-rata prestasi matematika siswa kelas 8 selalu berada di bawah rata-rata internasional untuk semua standar internasional. Wardhani dan Rumiati (2011), menyatakan bahwa: (1) banyak kelemahan kemampuan matematika siswa Indonesia yang terungkap pada hasil studi PISA dan TIMSS. Secara umum kelemahan siswa kita adalah belum mampu mengembangkan kemampuan bernalarnya, belum mempunyai kebiasaan membaca sambil berpikir dan bekerja agar dapat memahami informasi esensial dan strategis dalam menyelesaikan soal, dan masih cenderung menerima informasi kemudian melupakannya, sehingga mata pelajaran matematika belum mampu menjadi sekolah berpikir bagi siswa; (2) hasil penilaian kemampuan matematika siswa Indonesia dalam studi PISA dan TIMSS pada intinya merekomendasikan agar: a) memperbaiki proses pembelajaran di sekolah dengan meningkatkan porsi bernalar, memecahkan masalah, berargumentasi dan
5 berkomunikasi; b) memperbaiki standar dan praktek penilaian hasil belajar siswa secara nasional dan sehari-hari di kelas dengan mengukur keterampilan teknis baku, kemampuan bernalar, pemecahan masalah dan komunikasi secara seimbang; dan c) mempelajari budaya dan menginternalisasi konteks budaya dalam pembelajaran agar wawasan siswa semakin luas. Kajian terhadap hasil PISA dan TIMSS menunjukkan bahwa kemampuan matematis siswa berada pada level rendah (level 1). Kemampuan komunikasi matematis adalah salah satu dari kemampuan-kemampuan matematis yang perlu untuk dikembangkan oleh siswa. Ini berarti bahwa kemampuan komunikasi siswa masih banyak kelemahan sehingga perlu untuk memperbaiki proses pembelajaran matematika, memperbaiki standar, dan praktek penilaian hasil belajar siswa di sekolah. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika belum ditangani secara optimal. Hal ini disebabkan siswa kurang difasilitasi melalui pembelajaran yang menarik dan menantang sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Persoalannya adalah bagaimana kita dapat menanamkan konsep sebaik-baiknya kepada siswa. Persoalan tersebut selalu relevan bagi semua pelaku pendidikan dalam menemukan sebuah model pembelajaran yang tepat digunakan. Model pembelajaran yang bukan semata-mata menyangkut kegiatan guru mengajar akan tetapi menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa, membantu siswa jika ada kesulitan atau membimbingnya untuk memperoleh suatu kesimpulan yang benar. Model pembelajaran yang dipilih diharapkan bermanfaat bagi usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran matematika guna meningkatkan kemampuankemampuan matematis siswa. Untuk itu diperlukan model pembelajaran yang mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki siswa sehingga dapat mencapai standar-standar kemampuan-kemampuan matematis. Model pembelajaran matematika yang diterapkan seharusnya memenuhi empat pilar pendidikan yang berorientasi pada masa mendatang bagi siswa, yaitu: 1) proses learning to know. Siswa belajar
6 untuk mengetahui/memahami secara bermakna fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model dan ide matematika, hubungan antar ide tersebut dan alasan yang mendasarinya, serta menggunakan ide itu untuk menjelaskan dan memprediksi proses matematika; 2) proses learning to do. Siswa belajar melakukan, didorong melaksanakan proses matematika (doing math) secara aktif untuk memacu peningkatan perkembangan intelektualnya; 3) proses learning to be. Siswa belajar menjiwai, menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan proses dan produk matematika yang ditunjukkan dengan sikap senang belajar, bekerja keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang tinggi, dan rasa percaya diri. 4) proses learning to live together in peace and harmony. Siswa belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam matematika, melalui bekerja/belajar bersama dalam kelompok kecil atau secara klasikal, saling menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat yang berbeda, belajar mengemukakan pendapat dan bersedia sharing ideas dengan sesama teman dalam kegiatan matematika. Model Pembelajaran Sinektik merupakan suatu model baru yang menarik guna mengembangkan kreativitas, dirancang oleh William J. J. Gordon dan kawan-kawannya. Mula-mula Gordon menerapkan prosedur sinektik guna keperluan mengembangkan aktivitas kelompok dalam organisasi industri, di mana individu dilatih untuk mampu bekerja sama satu dengan yang lainnya dan nantinya berfungsi sebagai orang yang mampu mengatasi masalah (problemslovers) atau sebagai orang yang mampu mengembangkan produksi (productsdevelopers). Model ini dikembangkan dengan maksud untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah (problem-solving), ekspresi kreatif (creative expression), empati, insight dalam hubungan sosial yang menekankan bahwa ideide yang bermakna dapat meningkatkan aktivitas kreatif melalui bantuan daya pikir yang lebih kaya. Menurut Joyce dan Weil (2009) Model Pembelajaran Sinektik secara umum cukup atraktif, dan memiliki kombinasi dalam meningkatkan pemikiran produktif, empati yang mendidik, dan kedekatan interpersonal menjadikannya dapat
7 diterapkan pada siswa di seluruh tingkatan umur dan semua bidang kurikulum. Kemudian Glynn (Joyce & Weil: 2009) melaporkan kajian dalam pengajaran sains dengan mengusulkan bahwa penggunaan analogi-analogi dalam materi pelajaran dapat meningkatkan pembelajaran jangka panjang dan jangka pendek. Terdapat 5 (lima) tahapan Model Pembelajaran Sinektik meliputi: Siswa diberi informasi tentang suatu topik dalam pembelajaran dan menanyakan apa yang mereka ingat tentang suatu konsep yang sudah dikenal (recognising the familiar); guru dan siswa mengeksplorasi persamaan dan perbedaan suatu konsep dengan melihat hubungan antara 2 konsep (direct analogy); Siswa didorong untuk mengidentifikasi ciri-ciri suatu konsep berdasarkan hubungan dengan konsep lain (personal analogy); siswa diminta untuk mendeskripsikan suatu konsep secara spesifik. (compressed conflict); dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan tentang konsep yang telah dieksplorasi (making the connections). Pada tahap recognising the familiar siswa dituntut untuk mengingat kembali suatu konsep yang sudah dikenal dikaitkan dengan topik baru yang diberikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan guru tentang konsep yang sudah dikenal. Pada tahap ini siswa memerlukan kemampuan representasi matematis untuk menggali pemahaman terhadap konsep yang sudah dikenal sehingga dapat menghubungkan dengan konsep baru yang akan dipelajari. Selain itu, siswa juga memerlukan kemampuan komunikasi agar mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dengan tepat. Pada tahap direct analogy dan analogy personal siswa dituntut untuk menggali informasi terhadap dua konsep melalui kajian terhadap hubungan kedua konsep tersebut. Proses-proses analogi lebih banyak memerlukan kemampuan representasi karena dalam analogi mengkaji persamaan dan perbedaan dua konsep. Selanjutnya pada tahap compressed conflict dan making the connections siswa dituntut untuk mampu mendeskripsikan dan menyimpulkan hasil kajiannya. Pada tahap ini siswa memerlukan kemampuan komunikasi agar mampu menuangkan semua ide dan gagasan matematisnya dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dengan alasan tersebut peneliti memilih Model Pembelajaran Sinektik
8 yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa perlu dikembangkan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul: Penerapan Model Pembelajaran Sinektik untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Sinektik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Sinektik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pembelajaran melalui Model Pembelajaran Sinektik terhadap peningkatan kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menelaah: 1. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Sinektik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Sinektik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
9 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Secara umum, penelitian ini menjawab masalah tentang rendahnya kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa melalui penerapan Model Pembelajaran Sinektik. 2. Bagi siswa: Siswa memperoleh pengalaman langsung berkaitan dengan kebebasan dalam belajar matematika secara aktif dan konstruktif melalui aktivitas Model Pembelajaran Sinektik sehingga dapat meningkatkan kemampuan representasi dan komunikasi matematis. 3. Bagi guru: dapat meningkatkan keterampilan dalam memilih alternatif model pembelajaran bervariasi yang dapat meningkatkan kemampuan representasi dan komunikasi matematis siswa sehingga dapat menghasilkan tujuan pembelajaran yang optimal, sebagai bagian dari upaya pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran matematika di sekolah. 4. Bagi peneliti: sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan meneliti dalam hal menerapkan strategi Model Pembelajaran Sinektik pada pembelajaran matematika. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya. E. Definisi Operasional 1. Kemampuan representasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan membuat gambar bangun geometri untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya; menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah; membuat persamaan atau ekspresi matematik dari representasi lain yang diberikan dan menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematik; dan menuliskan interpretasi dari suatu representasi. 2. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan; membaca dengan pemahaman suatu representasi
10 matematika tertulis; dan mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri. 3. Model Pembelajaran Sinektik adalah pembelajaran yang diberikan secara individu atau berkelompok dengan 5 (lima) tahapan pembelajaran yang meliputi: Siswa diberi informasi tentang suatu topik dalam pembelajaran dan menanyakan apa yang mereka ingat tentang suatu konsep yang sudah dikenal (recognising the familiar); guru dan siswa mengeksplorasi persamaan dan perbedaan suatu konsep dengan melihat hubungan antara 2 konsep (direct analogy); Siswa didorong untuk mengidentifikasi ciri-ciri suatu konsep berdasarkan hubungan dengan konsep lain (personal analogy); siswa diminta untuk mendeskripsikan suatu konsep melalui konflik kognitif secara spesifik (compressed conflict); dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan tentang konsep yang telah dieksplorasi (making the connections). 4. Pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang diberikan secara klasikal atau menyeluruh dan merata kepada semua siswa dalam kelas dengan tahapan pembelajaran yang dilakukan mayoritas meliputi pengenalan konsep dengan ceramah, lalu memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan guru menjawab, diakhiri dengan memberikan tes atau latihan soal-soal tentang materi pelajaran yang telah diajarkan.