BAB V PEMBAHASAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Berpikir Intuitif dalam Matematika. dengan bantuan intuitif untuk mencapai kesimpulan.

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Intuitif dalam Matematika. dipikirkan atau dipelajari. Resnick (Talia dan Star, 2002) menyatakan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika ISSN:

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Intuisi Siswa SMA Dalam Memecahkan Masalah Fisika Ditinjau Dari Kemampuan Fisika

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif, Gramatika, 2: 2, (Mei, 2011),

BAB V PEMBAHASAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. 1. Profil Metakognisi Siswa yang Bergaya Kognitif Refleksif

BAB V PEMBAHASAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

REKONSTRUKSI TINGKAT-TINGKAT BERPIKIR PROBABILISTIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyimpanan, pemanggilan kembali dan penggunaan pengetahuan. 15 Fischbein

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB V PEMBAHASAN

Intuisi Siswa SMK dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan dapat bersaing secara global. Sebagai suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar sampai perguruan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. SIMPULAN

RANI PRATIWI S

BAB V PEMBAHASAN. kognitif peserta didik kelas VIII materi pokok fungsi di MTs Darul Falah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

PROFIL PEMECAHAN MASALAH SPLDV DENGAN LANGKAH POLYA DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS MATEMATIS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Utama, 2008), hlm Bumi Aksara, 2008), hlm. 37

BAB I PENDAHULUAN Secara sederhana Flavell mengartikan metakognisi sebagai knowing

Liar Paradox Serta Contoh Persoalannya

GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP LIMIT MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA

INTUISI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 NGANJUK DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT (AQ)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penalaran merupakan salah satu kemampuan yang penting dalam

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. VII di MTs Jabal Noer Taman Sidoarjo, (2) Profil pengajuan masalah

PROFIL INTUISI SISWA SMP DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Melalui kegiatan memecahkan masalah, siswa dapat menemukan aturan baru

I. PENDAHULUAN. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus-menerus

ANALISIS KESULITAN SISWA SMK PADA MATERI POKOK GEOMETRI DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA. Oleh : Novila Rahmad Basuki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saputro (2012), soal matematika adalah soal yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah proses. pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya

Deskripsi Intuisi Siswa Berdasarkan Tingkat IQ Dalam Penyelesaian Masalah Matematika Pada Materi Geometri Kelas VII SMPN 6 Kediri

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Penalaran Proporsional Siswa Bergaya Kognitif Sistematis dalam Menyelesaikan Masalah Perbandingan

KARAKTERISTIK BERPIKIR INTUITIF SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

Bab 4 Pemecahan Masalah Matematika

PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII E DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA PADA MATERI PECAHAN DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS-MATEMATIS ABSTRAK

Karakteristik Intuisi Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Perbedaan Gender

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Felder (1994: 5) menjelaskan bahwa dalam strategi TAPPS siswa mengerjakan

PEMBUKTIAN, PENALARAN, DAN KOMUNIKASI MATEMATIK. OLEH: DADANG JUANDI JurDikMat FPMIPA UPI 2008

I. PENDAHULUAN. Saat ini usaha-usaha peningkatan mutu atau kualitas pendidikan terus

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat ditarik simpulan profil kesulitan mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Kata kunci: komunikasi matematis, perbedaan gender, faktor penyebab

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

KONSEPSI SISWA TENTANG SOAL-SOAL PEMECAHAN MASALAH DI SMA YPI TUNAS BANGSA PALEMBANG

BAB V PEMBAHASAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003),

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan dipandang sebagai sarana untuk melahirkan insan-insan yang cerdas, kreatif, terampil, bertanggung

Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB 1 PENDAHULUAN. Dr. Howard Gardner mengusulkan dalam bukunya, Frames Of Mind: The Theory Of. kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi berbagai masalah yang timbul di masa yang akan datang.

Peningkatan Keaktifan, Pemecahan Masalah dan Keterampilan Belajar Matematika Menggunakan Strategi Bermain Jawaban Berbantu Finding My Secret Word

BAB I PENDAHULUAN. ilmu-ilmu eksak. Suherman menjelaskan bahwa pelajaran matematika mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran matematika pada umumnya identik dengan perhitungan

Masfingatin dan Murtafi ah, Kemampuan Berpikir Logis Mahasiswa... 19

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

School of Communication Inspiring Creative Innovation. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Pertemuan ke-4

BAB I PENDAHULUAN. pelajaran sains yang kurang diminati dan membosankan. Banyak siswa yang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang tinggi untuk menghadapi tantangan tersebut. Salah

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNIPMA

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian yang telah dikemukakan pada babbab

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Dr. Howard Gardner mengusulkan dalam bukunya, Frames Of Mind: The Theory

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. terapan maupun aspek penalarannya mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

PROFIL BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UNCP YANG BERKEMAMPUAN LOGIKA TINGGI DALAM PEMECAHAN MASALAH OPEN ENDED

IDENTIFIKASI BERPIKIR LOGIS MAHASISWA TIPE CLIMBER DAN QUITTER DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI. FKIP, Universitas PGRI Madiun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rena Ernawati, 2013

BAB V PEMBAHASAN. A. Proses Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. kemudian dimodifikasi menjadi 7 tahap yaitu tahap penelitian dan

Paradigma dan Penyusunan Teori dalam penelitian kualitatif PERTEMUAN 3

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari seperti mengenal garis, bangun datar dan bangun ruang. Geometri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Febby Achmad Suryadipura, 2015

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP dalam Belajar Garis dan Sudut dengan GeoGebra

BAB II KAJIAN TEORITIK. komunikasi matematika, multiple intillegences dan gender. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kerangka Teoretis. 1. Hasil Belajar. a. Pengertian Hasil Belajar

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, salah satunya adalah kemampuan dalam bidang matematika.

Transkripsi:

BAB V PEMBAHASAN Pada bab V ini akan membahas dan mendiskusikan hasil penelitian. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan dari penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan mengenai profil berpikir intuitif siswa SMA yang memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika. Pembahasan hasil penelitian berdasarkan deskripsi dan analisis data pada bab sebelumnya. A. Profil Berpikir Intuitif Siswa yang Memiliki Gaya Kognitif Reflektif dalam Memecahkan Masalah Teka-Teki Matematika Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap kedua subjek penelitian yang memiliki gaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika, untuk indikator self evidence didapatkan bahwa kedua subjek yang memiliki gaya kognitif reflektif mampu menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan serta dapat mengemukakan informasi dari soal secara jelas. Subjek S 1 dan S 2 memahami masalah dengan menerima masalah secara langsung dan dapat diterima siswa tanpa pembuktian dan pengecekan lebih lanjut dapat dikatakan sebagai self evidence. Hal ini sesuai dengan teori intuisi Fischbein bahwa ketika subjek secara langsung mampu memahami masalah, dan dengan lancar dan jelas dapat menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan maka subjek menggunakan self evidence. Self evidence merupakan ciri intuisi yang menerima kognisi sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktiaan lebih lanjut 1. Selanjutnya untuk indikator intrinsic centainty diketahui bahwa Subjek S 1 dan S 2 sudah merasa yakin dengan semua informasi yang telah didapatkan dari masalah yang diberikan tanpa membutuhkan informasi lainnya seperti bertanya atau membuat ilustrasi. Penerimaan masalah tanpa membutuhkan info lain atau dengan kata lain dapat diterima secara pasti dapat dikatakan sebagai intrinsic certainty. Menurut teori intuisi Fischbein, intrinsik bermakna bahwa tidak adanya pendukung eksternal yang diperlukan 1 Rani Pratiwi, Tesis Magister: Profil Intuisi Siswa Kelas IX SMPN Salatiga Dalam Memecahkan Masalah Kesebangunan Ditinjau Dari Kecerdasan Matematis-Logis, Kecerdasan Linguistik, Dan Kecerdasan Visual Spasial. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2016), 114. 81

82 untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris) 2. Untuk Indikator coerciveness, peneliti mencoba mengkonfirmasi jawaban siswa dengan memberikan pernyataan yang berbeda dengan yang diberikan oleh subjek S 1 dan S 2, ternyata subjek S 1 dan S 2 mampu mempertahankan jawabannya dan dapat mengungkapkannya dengan jelas. Pernyataan mempertahankan jawabannya dan dapat mengungkapkannya dengan jelas dapat dikatakan kedua subjek menggunakan coerciveness. Hal ini sesuai dengan teori intuisi Fischbein bahwa coerciveness merupakan intuisi yang memaksa kearah sesuatu yang diyakini. Intuisi ini memaksa diri individu untuk lebih subjektif pada interpretasi atau representasi unik dari diri individu sebagai sesuatu yang mutlak. Berikutnya untuk indikator extrapolativeness diketahui bahwa Subjek S 1 dan S 2 meramal atau menduga bahwa bagian kebun nomer adalah bagian kebun yang harganya paling mendekati 25 juta. Subjek S 1 dan S 2 juga menduga tinggi dari bangun segitiga nomer, subjek S 1 menduga bahwa tinggi dari bangun segitiga nomor adalah 1 dari panjang AD sedangkan subjek S 2 menduga bahwa tinggi dari bangun segitiga nomer adalah 4 dari panjang alasnya, padahal subjek S 1 dan S 2 belum menemukan bukti pasti bahwa tinggi dari bangun segitiga nomer adalah 1 AD atau 4 dari panjang dari panjang alasnya. Rencana penyelesaian yang diungkapkan oleh subjek S 1 dan S 2 merupakan hasil menebak, sehingga dapat dikatakan subjek S 1 dan S 2 menggunakan extrapolativeness. Menurut Fiscbein extrapolativeness atau kemampuan meramal merupakan sifat penting dari kognisi intuitif karena kemampuan untuk meramalkan melampaui segala dukungan empiris 4. 2 Ibid Maryono, Skripsi Sarjana : Karakteristik Intuisi Siswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika Pada Pokok Bahasan Perbandingan Ditinjau Dari Gaya Kognitif Dan Perbedaan Gender. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2014), 94. 4 Ibid

8 Selanjutnya untuk indikator implicitness diketahui bahwa subjek S 1 hanya menghitung luas bagian kebun nomer saja tanpa mengetahui luas bagian kebun yang lainnya. Padahal untuk memastikan bahwa kebun nomor adalah jawaban dari masalah tersebut seharusnya semua bagian kebun pak Yunus baik itu nomor 1, 2, atau 4 dicari luasnya sehingga bisa dihitung harga masingmasing bagian kebun tersebut. Sedangkan subjek S 2 pada bagian menghitung luas bangun nomor 2 terlihat bahwa subjek S 2 langsung menuliskan bahwa luas bangun nomor 2 adalah 225 m 2 tanpa menuliskan proses mendapatkannya. Pada proses mendapatkan luas tersebut subjek S 2 hanya menghitung secara tidak teratur di kertas yang lain. Alasan subjek S 2 tidak menuliskannya pada lembar jawaban adalah untuk mempercepat proses pengerjaanya. Subjek S 1 dan S 2 membuat kebenaran pernyataannya secara tersembunyi dengan hanya menghitung luas kebun nomor saja dan dengan langsung menuliskan bahwa luas bangun nomor 2 adalah 225 m 2 sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S 1 dan S 2 menggunakan implicitness. Hal ini sesuai dengan pendapat Fischbein bahwa intuisi adalah proses mental (kognisi) segera yang disetujui secara langsung tanpa pembenaran dan bukti-bukti 5. Untuk indikator perseverance subjek S 1 dan S 2 langsung dapat menemukan cara untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan tanpa membutuhkan waktu yang lama atau tanpa melakukan proses berpikir yang dalam, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S 1 dan S 2 tidak menggunakan perseverance. Berikutnya untuk indikator theory status subjek S 1 dan S 2 tidak membuat atau menggunakan gambar, paradigma, analogi, dan lainlain dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Subjek S 1 dan S 2 mengetahui cara yang digunakan tanpa menggunakan ilustrasi setelah memahami masalah, sehingga subjek S 1 dan S 2 tidak menggunakan theory status. Berikutnya untuk indikator globality diketahui bahwa Subjek S 1 menyebutkan bahwa tinggi segitiga nomor adalah 1 dari panjang AD, tetapi subjek S 1 tidak menuliskan prosesnya dalam 5 Rani Pratiwi, Op. Cit., 1.

84 menentukan bahwa tinggi segitiga nomor adalah 1 dari panjang AD. Sedangkan subjek S 2 menyebutkan bahwa tinggi dari segitiga kebun nomor 1 adalah 18 m, kebun nomor adalah 9 m dan kebun nomor 4 juga 9 m, tetapi subjek S 2 tidak menuliskan prosesnya dalam menentukan tinggi-tinggi tersebut. Alasan subjek S 2 tidak menuliskan proses penentuan tinggi-tinggi tersebut karena dalam menentukannya subjek S 2 hanya memperkirakan saja dan tidak bisa menuliskannya secara rinci. Subjek S 1 dan S 2 hanya mampu menjelaskan atau menyajikan secara global terhadap langkahlangkah dalam menyelesaikan masalah yang diberikan, sehingga dapat dikatakan kalau subjek S 1 dan S 2 menggunakan globality. Hal ini sejalan dengan pendapat filosof Plato dan Aristoteles bahwa intuisi merupakan jenis berpikir yang prosesnya tidak berlangsung secara langkah demi langkah (non-discursive) 6. B. Profil Berpikir Intuitif Siswa yang Memiliki Gaya Kognitif Impulsif dalam Memecahkan Masalah Teka-Teki Matematika Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap kedua subjek penelitian yang memiliki gaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika, untuk indikator self evidence didapatkan bahwa kedua subjek yang memiliki gaya kognitif impulsif awalnya belum bisa memahami masalah secara keseluruhan. subjek S 4 belum bisa menyebutkan seluruh informasi yang terdapat pada soal yang telah diberikan. Subjek S hanya menyebutkan satu informasi saja yaitu Pak Yunus ingin menjual salah satu tanahnya yang mendekati harga 25 juta dan subjek S 4 hanya menyebutkan beberapa informasi saja seperti yang terlihat pada wawancara S 4.1.2 padahal ada informasi yang belum disebutkan seperti harga tanah dan apa yang ditanyakan. Subjek S dan S 4 tidak menerima masalah secara langsung dan membutuhkan pengecekan lebih lanjut untuk dapat memahami masalah yang diberikan sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S dan S 4 tidak self efidence. 6 Erdyna Dwi Etika, Tesis Magister : Intuisi Siswa Kelas VII SMPN 1 Nganjuk Dalam Pemecahan Masalah Matematika DitinjaubDari Adversity Quotient. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2015). 9.

85 Selanjutnya untuk indikator intrinsic centainty diketahui bahwa Subjek S dan S 4 masih butuh bantuan dari luar untuk memahami masalah yang diberikan terbukti dengan subjek S dan S 4 bisa menyebutkan informasi yang lain dengan pancingan pertanyaan dari peneliti. Karena subjek S dan S 4 masih butuh bantuan dari luar untuk memahami masalah yang diberikan maka dapat dikatakan bahwa subjek S dan S 4 tidak intrinsic certainty. Untuk Indikator coerciveness, peneliti mencoba mengkonfirmasi jawaban siswa dengan memberikan pernyataan yang berbeda dengan yang diberikan oleh subjek S dan S 4, ternyata subjek S dan S 4 mampu mempertahankan jawabannya dan dapat mengungkapkannya dengan jelas. Pernyataan mempertahankan jawabannya dan dapat mengungkapkannya dengan jelas dapat dikatakan kedua subjek menggunakan coerciveness. Hal ini sesuai dengan teori intuisi Fischbein bahwa coerciveness merupakan intuisi yang memaksa kearah sesuatu yang diyakini. Intuisi ini memaksa diri individu untuk lebih subjektif pada interpretasi atau representasi unik dari diri individu sebagai sesuatu yang mutlak 7. Berikutnya untuk indikator extrapolativeness diketahui bahwa Subjek S dan S 4 meramal atau menduga bahwa bagian kebun nomer 4 adalah bagian kebun yang harganya paling mendekati 25 juta. Subjek S 4 meramal atau menduga bahwa bagian kebun nomer 4 adalah bagian kebun yang harganya paling mendekati 25 juta. Subjek S dan S 4 juga menduga bagian lainnya, subjek S menduga bahwa harga keseluruhan tanah milik pak Yunus adalah 120 juta. Saat peneliti menanyakan darimana kamu menentukan harga 120 juta itu? subjek S menjawab sambil tersenyum sedikit ndak tahu pak insting aja. Sedangkan subjek S 4 menduga bahwa tinggi dari bangun segitiga nomer dan nomor 4 adalah 8 meter. Padahal subjek S 4 belum menemukan bukti pasti bahwa tinggi dari bangun segitiga nomer dan nomor 4 adalah 8 meter. Rencana penyelesaian yang diungkapkan subjek S dan S 4 merupakan hasil menebak, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S dan S 4 menggunakan extrapolativeness. Menurut Fischbein extrapolativeness atau kemampuan meramal merupakan sifat penting dari kognisi intuitif 7 Maryono, Op. Cit., 94.

86 karena kemampuan untuk meramalkan melampaui segala dukungan empiris 8. Selanjutnya untuk indikator implicitness diketahui bahwa subjek S dan S 4 hanya menghitung luas bagian kebun nomer dan 4 saja tanpa mengetahui luas bagian kebun yang lainnya. Padahal untuk memastikan bagian kebun mana yang menjadi jawaban dari masalah tersebut seharusnya semua bagian kebun pak Yunus baik itu nomor 1, 2, atau 4 dicari luasnya sehingga bisa dihitung harga masing-masing bagian kebun tersebut. Karena subjek S dan S 4 membuat kebenaran pernyataannya secara tersembunyi dengan hanya menghitung luas kebun nomor dan 4 saja maka dapat dikatakan kalau subjek S dan S 4 menggunakan implicitness. Hal ini sesuai dengan pendapat Fischbein bahwa intuisi adalah proses mental (kognisi) segera yang disetujui secara langsung tanpa pembenaran dan bukti-bukti 9. Untuk indikator perseverance subjek S dan S 4 mendapatkan hasil yang berbeda, Subjek S membutuhkan waktu untuk berpikir sejenak apa yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Subjek S memunculakan suatu pemikiran ketika sedang berusaha untuk memecahkan masalah memang dianjurkan karena akan membuat subjek menyadari konflik atau masalah yang oleh Fischbein disebut dengan perseverance 10. Sedangkan subjek S 4 langsung dapat menemukan cara untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan tanpa membutuhkan waktu yang lama atau tanpa melakukan proses berpikir yang dalam, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S 4 tidak menggunakan perseverance. Berikutnya untuk indikator theory status subjek S dan S 4 tidak membuat atau menggunakan gambar, paradigma, analogi, dan lain-lain dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Subjek S dan S 4 mengetahui cara yang digunakan tanpa menggunakan ilustrasi setelah memahami masalah, sehingga subjek S dan S 4 tidak menggunakan theory status. 8 Ibid 9 Rani Pratiwi, Op. Cit., 1. 10 Rani Pratiwi, Op. Cit., 120.

87 Berikutnya untuk indikator globality diketahui bahwa subjek S menyebutkan bahwa tinggi segitiga nomor dan 4 adalah 6 m, tetapi subjek S tidak menuliskan prosesnya dalam menentukan bahwa tinggi segitiga nomor dan 4 adalah 6 m. Sejalan dengan subjek S, subjek S 4 juga menyebutkan bahwa tinggi segitiga nomor dan nomor 4 adalah 8 meter, tetapi subjek S 4 tidak menuliskan prosesnya dalam menentukan bahwa tinggi segitiga nomor dan nomor 4 adalah 8 meter. Subjek S dan S 4 hanya mampu menjelaskan atau menyajikan secara global terhadap langkahlangkah dalam menyelesaikan masalah yang diberikan, sehingga dapat dikatakan kalau subjek S dan S 4 menggunakan globality. Hal ini sejalan dengan pendapat filosof Plato dan Aristoteles bahwa intuisi merupakan jenis berpikir yang prosesnya tidak berlangsung secara langkah demi langkah (non-discursive) 11. 11 Erdyna Dwi Etika, Op.Cit., 9.

88 Halaman Ini Sengaja Dikosongkan