IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
terhadap impor dalam kelompok perdagangan nonmigas yang meningkat menandakan bahwa peranan migas di dalam ekspor total nasional semakin kecil.

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) PROVINSI RIAU. Eriyati Rosyeti. Abstraksi

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM. hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) PROVINSI RIAU. Eriyati Rosyetti. Abstraksi

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Bagi perekonomian Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jurnal Ekonomi Volume 17, Nomor 3 Desember 2009 PERANAN SEKTOR PERTANIAN DI PROPINSI RIAU. Nursiah ChaUd

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Komoditi Unggulan Perkebunan Provinsi Riau Perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan pertanian baik pada tingkat nasional maupun regional. Perkembangan kegiatan perkebvman di Provinsi Riau menunjukkan trend yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya lahan pericebunan dan meningkatnya produksi rata-rata per tahun, dengan kombditas utama kelapa sawit, kelapa, karet, kakao dan tanaman lainnya. Peluang pengembangan tanaman perkebunan semakin memberikan harapan, hal ini berkaitan dengan semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha perkebunan rakyat, tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku dari produk peikebunan dan semakin luasnya pangsa pasar produk perkebiman. Khususnya \mtuk Provinsi Riau, subsektor perkebun menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah luas areal komoditi unggulan pericebunan Provinsi Riau, yakni pada tahun 2004 seluas 2.433.871 ha meningkat menjadi 2.696.302 ha pada tahun 2007, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 3,51 %. Untuk lebih jelas perkembangan luas areal perkebunan Provinsi Riau menurut jenis komoditi unggulan perkebunan Riau pada tahun 2004-2007 dapat dilihat pada Tabel 3 :

34 Tabel.3 Luas Areal Komoditi Unggulan Perkebunan di Daerah Riau Tahun 2004-2007 (HaA^ahun) Tahun Komoditi Kelapa Sawit Karet Kelapa 2004 1.340.036 543.783 550.052 2005 1.424.814 528.734 546.938 2006 1.530.150 514.469 551.612 2007 1.611.381 532.900 552.021 Pertumbuhan (%) 6,1% -0,68% 0,15 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau Tahun 2008 Komoditi kelapa sawit Provinsi Riau pada tahun 2004 seluas 1.340.036 ha, berkembang menjadi 1.611.381 ha pada tahun 2007 dengan pertumbuhan rata-rata per tahim sebesar 6,1 %. Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau membuktikan bahwa masyarakat Riau sangat antusias untuk berusahatani kelapa sawit. Disamping itu kondisi daerah juga sangat mendukung berkembangnya usahatani kelapa sawit. Luas areal perkebunan karet Provinsi Riau mengalami penurunan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007. Perkebunan kelapa Provinsi Riau mengalami sedikit perluasan selama periode 2004 sampai dengan 2007 sebesar 0,15% per tahun. Penurunan luas areal komoditi karet disebabkan oleh berkurangnya penggarapan lahan perkebunan karet dan masyarakat lebih cenderung lari ke perkebunan kelapa sawit. Namim dengan teijadinya peningkatan luas areal pada semua jenis komoditi unggulan perkebunan pada tahun 2007, subsektor perkebunan tetap mampu menjadi penyumbang terbesar bagi nilai ekspor dari sektor non migas. Selanjutnya perkembangan produksi komoditi unggulan perkebunan Riau dari tahun 2004-2007 disajikan pada Tabel 4:

35 Tabel.4 Produksi Komoditi Unggulan Perkebunan di Daerah Riau Tahun 2004-2007 (Ton/Tahun) Tahun Komoditi Kelapa Sawit Karet Kelapa 2004 3.386.801 305.644 572.624 2005 3.406.394 396.290 451.060 2006 4.659.263 415.905 554.589 2007 Pertumbuhan (%) 5.111.337 14,55% 392.124 8,64% 563.095-0.53% Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2008 Pada tahim 2004 jumlah produksi komoditi unggulan perkebunan Provinsi Riau sebesar 4.265.069 ton. Pada tahun 2005 jumlah produksi komoditi unggulan mengalami penurunan menjadi sebesar 4.253.744 ton yang disebabkan oleh menurunnya produksi hasil perkebunan kelapa Provinsi Riau menjadi sebesar 451.060 ton. Selama periode tersebut pertumbuhan produksi perkebunan daerah Riau sebesar 12,46% pertahun. Tingginya pertumbuhan produksi perkebunan Riau lebih disebabkan berkembangnya produksi kelapa sawit yakni rata-rata per tahun 14,55%. Pada tahun 2006 jumlah produksi komoditi unggulan perkebunan Riau mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar 5.629.757 ton. Hal ini disebabkan karena teijadinya peningkatan produksi oleh komoditi kelapa sawit, karet dan kelapa. Hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan luas areal perkebunan tersebut di Provinsi Riau. Selanjutnya pada tahun 2007 jumlah produksi tetap mengalami peningkatan yaitu sebesar 6.066.556 ton. Pada tahun ini komoditi kelapa sawit dan kelapa mengalami pemngkatan produksi sedangkan karet mengalami penurunan produksi menjadi sebesar 392.124 ton.

36 4.1.1 Kelapa Sawit Pada tahun tahun 2007 luas perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 1,61 juta ha atau sekitar 27 persen dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta ha. Komoditas kelapa sawit pada masa yang akan datang tetap mempunyai prospek yang baik seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak dan lemak dunia, serta d^at digunakannya minyak sawit sebagai siunber energi terbaru (biojuels). Selain sebagai sumber energi, kelapa sawit juga dapat menghasiikan produk tunman (industri hilir) yang sangat beragam dan mempunyai nilai tambah lebih tmggi dibandingkan dengan CPO. Beberapa industri hilir yang potensial untuk dikembangkan di Riau adalah industri minyak goreng, margarine, serta industri bahan-bahan untuk sabun dan kosmetik, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Peluang pengembangan industri hilir kelapa sawit di Riau sangat besar karena didukung oleh sumber bahan baku yang ciikup dan letak geografis yang sangat strategis bagi pengembangan mdustri berorientasi ekspor. Produk mmyak kelapa sawit daerah Riau berpotensi besar untuk dijadikan andalan ekspor di luar minyak dan gas bumi, dan dapat menggeser posisi ekspor hasil kayu yang kini sedang mengalami perlambatan, Produk kelapa sawit saat ini menjadi komoditi imggulan daerah Riau selain karet dan kelapa (kopra). Dari sisi penawaran, ekspor minyak kelapa sawit (CPO) mengalami peningkatan yang sangat pesat sekali selama 10 tahun terakhir.

37 Berdasarkan data di atas, dengan meliliat pada luas kebun, potensi lahan/daya dukung wilayah, keperluan minyak dan lemak dunia, berkembangnya teknologi untuk memanfaatkan minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan, serta banyaknya jenis industri yang dapat dikembangkan dari minyak sawit, maka prospek perkebunan dan industri kelapa sawit khususnya di Riau masih sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan industri hilir kelapa sawit salah satu jalan meningkatkan nilai tambah prodaksi kelapa sawit bagi perekonomian daerah/nasional, dan mengurangi dampak gejolak harga CPO terhadap kegiatan perkebunan sawit (khususnya pendapatan petani), mengingat barang-barang hasil industri hilir diperkkakan tidak akan mengalami peningkatan/penurunan yang tajam seperti CPO. Oleh karena itu, dalam rangka menarik investor di industri tersebut pemerintah pusat dan daerah perlu membuat kebijakan yang mendukung dan memberikan insentif, serta memfasilitasi ketersediaan infrastruktur. Selanjutnya perkembangan ini tentunya akan meningkatkan ekspor hasil perkebiman kelapa sawit dalam rangka menunjang peningkatan daya saing ekspor non migas Riau. 4.1.2 Karet Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra bam di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Karet merupakan komoditas ekspor yang mampu hiemberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia, ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan.

38 Volume impor karet alam ke Indonesia relatif sangat kecil, dan terbatas dalam bentuk lateks pekat yang dibutuhkan oleh industri barang jadi lateks dalam negeri. Sementara itu volume ekspor karet alam mencapai lebih dari 90% dari total produksi karet nasional dengan negara tujuan utama USA, China, Smgapura, Jepang dan Jerman, sedangkan sisanya (7-10%) diserap oleh industri dalam negeri. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan Malaysia, dimana industri hilir di dalam negeri mampu menyerap sekitar 70% dari total produksi negara tersebut. Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. Pada kenyataaimya koordinasi vertikal dari hulu (on farm) ke hilir (pengolahan dan pemasaran) dalam sistem agribisnis karet di Indonesia belum optimal. Sebi^ai salah satu komoditas pertanian, produksi karet sangat tergantung pada teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk mdustri perkebunan karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah. Status industri perkebunan Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah menjadi pemasok barang jadi atau setengah jadi yang bemilai tambah lebih tinggi yang berarti kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dari produk akan meningkat. Kesemuanya ini memerlukan dukungan teknologi yang lengkap, yang diperoleh melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal ini telah memiliki lembaga penelitian karet yang mempunyai sejarah sangat panjang (sejak 1930-an) dalam menyediakan ihnu pengetahuan, teknologi dan inovasi di bidang perkaretan.

39 Karet merupakan salah satu komoditi non migas yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian daerah Riau. Peranan penting itu antara lain sebagai sumber perolehan devisa negara, penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan bagi petani karet maupun bagi pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan ataupun perdagangan karet. Salah satu komoditi unggulan sektor perkebunan Riau ini selama lima tahun terakhir telah mengalami peikembangan luas areal maupun produksi. Sehingga peluang untuk pengembangan usaha agribisnis karet cukup terbuka pada hampir semua subsistem, baik pada subsistem agribisnis hulu (on farm), maupun subsistem hilir. Selain itu j^bisnis karet di daerah Riau memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang berpotensi untuk ditingkatkan menjadi keunggulan bersamg (competitive advantage). Besamya potensi sumberdaya yang duniliki, seperti sumberdaya alam (lahan dan iklim yang sesuai), teknologi, tenaga ahli, serta plasma nutfah bahan tanaman yang cukup memadai akan meningkatkan peluang tersebut. Dengan demikian perkembangan usaha perkebiman karet di daerah Riau, baik yang dilakukan masyarakat maupun perusahaan swasta dan BUMN akan membantu penerimaan daerah yang berasal dari ekspor sektor non migas. Pasar karet Riau memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan ekspor, selain juga memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tingginya kebutuhan akan karet menunjukkan bahwa permintaan bahan baku karet baik di pasar lokal maupun intemasional memiliki prospek yang sangat baik untuk terus dikembangkan di pasar komoditi baik dalam negeri maupun luar negeri.

40 4.1.3 Kelapa Kelapa merupakan komoditas yang paling luas penyebarannya di wilayah Nusantara. Kelapa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dengan peran yang berbeda-beda, mulai dari untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan budaya sampai untuk kepentingan ekonomi, sehingga dijxiluki tree of life, pohon kehidupan. Status yang demikian membuat bentuk usaha tani kelapa yang berkembang di masyarakat berbeda-beda pula, bergantung pada tujuan yang mendasarinya. Agroindustri kelqia di provinsi Riau sudah baik, ditandai dengan te^adinya perkembangan pada luas areal dan produksi yang dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Namun perkebunan kel^a masih belum mampu meningkatkan pendapatan petani kelapa. Produktivitas aktual perkebunan kelapa masih sangat rendah karena diusahakan secara tradisional. Perkembangan usaha tani kelapa sangat lambat atau tidak ada perkembangan sama sekali. Ini terlihat dari laju pertumbuhan luas areal kelapa sebesar 0,15% pertahim selama periode tahun 2004-2007. Lambatnya perkembangan usaha tani kelapa bukanlah disebabkan tidak tersedianya teknolo^, tetapi lebih ditentukan oleh status petani dan status kelapa itu sendiri. Pengusahaan kelapa yang dilakukan oleh petani dari dahulu sampai sekarang tidak mengalami perkembangan yang berarti dibandingkan dengan perkembangan teknologi. Berbagai teknologi budidaya dan pengolahan hasil telah tersedia. Belum terserapnya teknologi tersebut tidak terlepas dari masalahmasalah intemal kelapa itu sendui, mulai dari aspek produksi, pengolahan.

41 pemasaran sampai dengan kelembagaan. Hal tersebut terlihat selama periode tahun 2004-2007 teqadi penurunan produksi sekitar -0,53% per tahun. Oleh karena itu, untuk merangsang berkembangnya agroindustri diperlukan ketersediaan dan penataan berbagai kelembagaan yang secara efektif dapat meredam berbagai risiko serta memungkinkan pelaku-pelakunya, termasuk petani, dapat memperoleh keuntungan atau manfaat yang optimal. Secara umum produk-produk kele^a yang diekspor sebagian besar adalah produk tradisional seperti kopra, minyak kelapa, bungkil, dan tepung kel^)a. Produk-produk ini di pasar intemasional menghadapi porsaingan yang ketat. Peluang peningkatan baik dari jenis maupun ragam produk yang dapat diekspor sebenamya sangat besar sehingga perlu dilakukan usaha untuk menggali nilai ekonomis dari hasil perkebunan kelapa Riau agar mampu bersaing dan dapat diserap oleh pasar sekaligus mampu menyerap tenaga keqa. 4.2 Perkembangan Ekspor Non Migas Provinsi Riau Perekonomian Riau berdasarican PDRB tanpa Migas dalam tiga tahun terakhir (2005-2007) mengalami pertumbuhan rata-rata 8,48 persen per tahun. Sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman pangan, perkebunan, petemakan, kehutanan, dan perikanan, mempakan sektor yang mempunyai pangsa terbesar. Pada 2007 pangsa sektor pertanian mencapai 37,25 persen, diikuti industri pengolahan 30,16 persen, dan perdagangan (perdagangan, hotel, dan restoran) 12,02 persen, sedangkan sisanya berada di enam sektor lainnya. Pangsa terbesar dari sektor pertanian berada pada sub sektor perkebunan dan kehutanan yaitu masing-masing sebesar 19,02 persen dan 11,88 persen.

42 Secara umum perkembangan ekspor Riau dari tahim 1996 sampai dengan tahun 1997 cukup baik yaitu tahun 1996 US $ 8.661,64 juta, naik menjadi US $ 9.236,50 juta pada tahun 1997, Pada tahun 1998 mengalami penurunan dibanding dengan tahun 1997. Nilai ekspor tahun 1998-2000 mengalaimi kenaikan masmg-masing sebesar US$ 7 165,3 juta, US$ 8.820,7 juta dan US$ 11.012,2 juta. Sementara itu pada tahun 2007 mengalami peningkatan nilai dibanding dengan tahun 2005 sebesar 21,53 persen. Nilai ekspor tahun 2007 merupakan ekspor terbesar sejak tahun 1996 yang bemilai US$ 11.080,52 juta (Badan Pusat Statistik Provmsi Riau, 2007). Pada bulan Januari 2008 negara tujuan ekspor non migas Riau terbesar adalah China sebesar US$ 161,6 juta, diikuti India sebesar US$ 139,1 juta dan Amerika Serikat sebesar US$ 98,7 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 50,56 pers^. Dari 10 negara tujuan utama ekspor non migas, tujuh negara mengalami penurunan nilai ekspor non migas bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Ekspor ke India turun sebesar US$ 124,4 juta, diikuti Pakistan turun US$ 104,6juta, Belanda US$ 51,3 juta, Malaysia US$ 28,7 juta, Chma US$ 19,5 juta, Bangladesh US$ 4,6 juta, dan Iran turun US$ 1,7 juta. Sebaliknya, ekspor non migas ke Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Saudi Arabia mengalami peningkatan masing-masing sebesar US$ 34,9 juta, US$ 15,0 juta, US$ 10,8 juta (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2008). Selanjutnya ekspor non migas bulan Desember 2008 mencapai US$ 571,34 juta atau turun 32,51 persen dibanding ekspor non migas bulan November 2008, sedangkan selama Januari-Desember 2008 ekspor non migas mencapai

43 US$ 12.834,73 juta atau meningkat 100,97 persen dibanding periode yang sama tahun 2007. 4.2.1 Perkembangan Volume Ekspor Komoditi Unggulan Perkebunan Riau Perkembangan luas areal dan produksi komoditi unggulan perkebunan Riau sangat mempengaruhi perkembangan volume ekspor Riau khususnya ekspor yang berasal dari komoditi imggulan perkebunan. Untuk mengetahui besamya volume ekspor komoditi unggulan perkebunan Provinsi Riau yang berapa hasilhasil pericebunan kelapa sawit, karet dan kelapa dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel.5 Volume Ekspor Komoditi Unggulan Pericebunan Provinsi Riau Tahun 2004-2007 (Ton/Tahun) Tahun Komoditi Jumlah Kelapa Sawit Karet Kelapa 2004 3.863.599,50 7.509,28 47.642,58 3.918.751,36 2005 2006 4.641.501,09 5.729.720,42 8.890,94 8.611,22 63.390,04 68.196,67 4.713.782,07 5.806.528,31 2007 Pertumbuhan (%) 5.998.918,33 15,87% 7.917,83 1,62% 62.171,85 9,14% 6.069.008,01 15,61% Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (Riau Dalam Angka 2008) Volume ekspor komoditi unggulan perkebunan mengalami peningkatan dari tahun 2004 sebesar 3.918.751,36 ton sampai dengan tahun 2007 sebesar 6.069.008,01 ton. Selama periode tersebut pertumbuhan rata-rata volume ekspor sebesar 15,61% per tahun, Pada tahun 2004 volume terbesar berasal dari ekspor hasil perkebunan kelapa sawit sebesar 3.863,599,50 ton. Begitu pula untuk tahuntahun selanjutnya ekspor hasil perkebunan kelapa sawit mengungguli dan mengalami kenaikan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 15,87%.

44 Selanjutnya perkembangan volume ekspor Riau semakin mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 volume kembali meningkat dengan jumlah sebesar 4.713.782.07 ton. Pada tahun ini komoditi karet dan kelapa juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi untuk tahim 2006 komoditi karet mengalami penurunan volume ekspor. Penurunan ini terjadi karena melemahnya permintaan dunia untuk produk dari hasil peikebunan karet Namun total volume ekspor komoditi unggulan perkebunan Riau tetap mengalami peningkatan karena volume ekspor hasil perkebunan kelapa sawit dan kelapa yang tetap mengalami peningkatan. Tahun 2007 volume ekspor komoditi unggulan perkebunan Riau tetap mengalami peningkatan dengan total volume sebesar 6.069.008,01 ton. Namun pada tahun ini komoditi karet mengalami penurunan kembali sehingga menjadi 7.917,83 ton. Penurunan uii disebabkan karena pada tahun 2007 komoditi karet mengalami penurunan jumlah produksi dibandingkan tahun sebelumnya. Namun untuk komoditi karet selama periode tahun 2004-2007 menunjukkan trend perkembangan yang meningkat, dengan pertumbuhan rata-rata 1,62% per tahun. Komoditi kelapa pun turut mengalami penurunan volume ekspor dengan jumlah sebesar 62.171,85 ton pada tahun 2007. Penurunan mi disebabkan oleh melemahnya permintaan dunia terhadap produk hasil perkebunan kelapa Volume ekspor komoditi unggulan perkebunan Riau yang mengalami peningkatan cukup baik dari tahun 2004-2007 menunjukkan bahwa sektor perkebunan pada khususnya mampu meningkatkan produknya untuk dijadikan komoditi ekspor. Dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif di pasar bebas serta dalam menghadapi krisis global, Provinsi Riau hams mampu

45 menciptakan produk yang berdaya saing dan memenulii kebutuhan pasar sehingga akan tetap mampu bertahan dan bersaing dengan produk yang berasal dari daerah maupun negara lainnya. 4.2.2 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Perkebunan Riau Seiring dengan meningkatnya volume ekspor komoditi unggulan perkebunan Riau, nilai ekspor komoditi perkebunan juga mengalami peningkatan. Peningkatan nilai ekspor disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu pertama meningkatnya harga ekspor komoditi pertanian dan kedua meningkatnya volume ekspor. Perkembangan nilai ekspor komoditi unggulan Provinsi Riau pada tahun 2004-2009 dapat dilihat sebagai berikut: Tabel.6 Nilai ekspor Komoditi Unggulan Perkebunan Provinsi Riau Tahun 2004-2007 (Juta/MiUion US$) Tahun Komoditi Jumlah Kelapa Sawit Karet Kelapa 2004 1.512,11 7,81 4,07 1.523,99 2005 2006 1.726,16 2.329,54 10,82 16,66 5.85 3,86 1.742,83 2.350,05 2007 Pertumbuhan (%) 3.939,50 37,7% 15,85 26,47% 6.74 18,30% 3.962.09 37,40% Suffibef: Badan Pusai Statistik Provinsi Riau (Riau Dalam Angka 2008) Pada tahun 2004 total nilai ekspor komoditi unggulan perkebunan Provinsi Riau yang berupa hasil-hasil peikebunan kelapa sawit, karet dan kelapa sebesar 1.523,99 juta US$, dengan pertumbuhan rata-rata selama periode tahun 2004-2007 sebesar 37,40% per tahun. Pada tahun 2005 nilai ekspor komoditi unggulan perkebunan Provinsi Riau kembau mengalami peningkatan dengan total nilai sebesar 1.742,83 juta US$, dimana pada tahun ini masing-masing komoditi

46 unggulan perkebvman juga mengalami peningkatan nilai ekspor dibandingkan tahun sebelumnya. Tahim 2006 dan 2007 total nilai ekspor komoditi unggulan perkebunan Provinsi Riau tetap mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2006 komoditi kelapa mengalami penurunan nilai. Hal ini disebabkan oleh turunya harga ekspor hasil perkebunan kelapa yang diakibatkan oleh lemahnya permintaan. Lemahnya permintaan disebabkan karena hasil perkebunan kelapa yang di ekspor belum mampu memenuhi permintaan pasar ekspor. Selanjutnya pada tahun 2007 nilai ekspor kelapa meningkatnya nilai ekspor komoditi kelapa yang bemilai 6,74 juta US$ dan mempakan nilai tertinggi dalam Uma tahun terakhir. Maka selama periode 2004-2007 komoditi kelapa mengalami perkembangan yang meningkat ditandai dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 18,30%. Komoditi karet juga mengalami penir^katan selama periode tahun 2004-2007 dengan pertumbuhan rata-rata 26,47% per tahun. Berdasarkan dari data diatas maka nilai ekspor hasil perkebunan komoditi kel^a sawit dalam lima tahun terakhh terns mengalami peningkatan dan memiliki nilai yang lebih besar dari pada nilai karet dan kelapa Hal ini menunjukkan bahwa hasil perkebunan kelapa sawit mempakan komoditi primadona Riau yang mampu memberikan kontribusi yang besar bagi Provinsi Riau serta mampu bersaing dengan hasil perkebunan lainnya. 4.3 Analisis Daya Saing Ekspor a. Export Performance Ratio (EPR) Total ekspor non migas Provinsi Riau pada tahun 2004 sebesar 2.518,51 juta US$, dimana total nilai tersebut mengalami penurunan dibandingkan pada

47 tahun 2003. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 terjadi pemekaran Provinsi Riau menjadi Provinsi Kepulauan Riau sehingga mempengaruhi nilai ekspor non migas Riau. Total ekspor non migas Indonesia yaitu sebesar 55.939,30 juta US$ maka dapat dilihat pada Tabel 7 menghasiikan EPR Provinsi Riau untuk komoditi kelapa sawit sebesar 17,40, karet sebesar 0,07 dan kelapa 0,11. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa komoditi kelapa sawit memiliki indeks daya saing yang lebih besar dari pada satu (>1), yang berarti ekspor hasil perkebiman kelapa sawit Riau mempunyai keunggulan komperatif rata-rata di Indonesia dan mampu bersaing. Artinya pada tahun tersebut komoditi kelapa sawit merupakan yang terbaik dibandingkan dengan komoditi lainnya, baik dilihat dari perkembangan indeks RCA-nya maupun pertumbuhan rata-rata dan pangsa pasamya. Indeks daya saing ekspor kelapa sawit yang tinggi juga didukung oleh luas areal dan produksi yang memiliki perkembangan baik di Provinsi Riau. Indeks daya saing yang tinggi memberikan dampak yang positif berupa meningkatnya ekspor kelapa sawit yang menyebabkan meningkatnya PDRB, sehingga menaikkan jumlah output dan selanjutnya juga menaikkan pendapatan per kapita. Indeks daya saing karet yang kurang dari satu (<1) berarti bahwa ekspor hasil perkebunan karet memiliki indeks daya saing yang rendah. Dunana komoditi karet di Provinsi Riau walaupun memiliki keunggulan absolut berupa lahan dan daerah yang cocok dalam melakukan perkebunan karet tetapi dari segi keunggulan komperatifiiya masih lemah, seperti mutu yang rendah serta belum adanya nilai tambah dalam produk-produk ekspor komoditi karet. Hal ini mengakibatkan komoditi karet kalah bersaing dengan produk-produk lainnya di pasar ekspor

48 dunia sehingga kunggulan kompetitifiiya masih lemah. Rendahnya daya saing tersebut juga diakibatkan menurunnya nilai dan volume ekspor hasil perkebunan karet pada tahun 2004 dibandingkan tahim sebelumnya. Begitu pula dengan indeks daya saing kelapa yang kurang dari satu (<1) yang berarti bahwa daya saing ekspor.hasil perkebunan kelapa Provinsi Riau memiliki keunggulan komperatif dibawah rata-rata di Indonesia. Artinya di Provmsi Riau kelapa memiliki keunggulan absolut dunana daerah Riau cocok dalam itnelakukan perkebunan kelapa didukung oleh lahan dan sumber daya alam Riau sehingga kelapa memiliki keunggulan komperatif dengan mutu produk berupa minyak kelapa. Namun daya saing secara keunggulan kompetitifiiya masih rendah, disebabkan karena harga minyak kelapa yang tinggi dan bersaing dengan harga minyak sawit. Oleh karena itu minyak kelapa digantikan dengan minyak sawit yang mengakibatkan harga minyak kelapa turun dan tidak mampu berkompetitif di pasar ekspor. menjadi Pada tahun 2005 total ekspor non migas Riau mengalami peningkatan 3.142,66 juta US$ dan total ekspor non migas Indonesia menjadi 66.428,40 juta US$. Hasil EPR Provinsi Riau pvin mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang mana didapat indeks daya saing komoditi unggulan kelapa sawit sebesar 17,97, karet sebesar 0,08 dan kelapa sebesar 0,12. Tabel.7 Export Performance Ratio (EPR) Provinsi Riau Tahun 2004-2007 Komoditi Export Performance Ratio (EPR) ProvhtstRlau 2004 2005 2006 2007 Kelapa Sawit 17,40 17,97 17,47 14,37 Karet Kelapa 0,07 0,11 0,08 0,12 0,07 0,08 0,04 0,06

49 Komoditi karet dan kelapa pada tahun 2005 mengalami peningkatan indeks daya saing ekspor. Pemngkatan ini dipengaruhi oleh meningkatnya volume dan nilai ekspor masing-masing komoditi walaupun pada tahun 2005 ini luas areal karet dan kelapa mengalami penurunan. Dari segi produksi komoditi karet mengalami peningkatan sedangkan komoditi kelapa menurun. Selanjutnya pada tahun 2006 total ekspor non migas Riau kembali meningkat menjadi sebesar 4.264,49 juta US$ sedangkan total ekspor non migas Indonesia juga mengalami peningkatan menjadi sebesar 79.589,10 juta US$. Hasil analisis EPR imtuk komoditi unggulan Provinsi Riau pada tahun ini memberikan hasil masing-masing untuk komoditi kelapa sawit sebesar 17,47, karet 0,07 dan kelapa 0,08. Di tahun 2006 ini indeks daya saing ekspor hasil perkebunan kelapa sawit Provinsi Riau mengalami penurunan. Untuk luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit pada tahun ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya dan diikuti pula oleh peningkatan nilai dan volume ekspor. Penurunan indeks daya saing tersebut bisa terjadi karena mutu yang belum memenuhi permintaan pasar dan sistem pemasaran yang kurang mampu menguasai, kampanye negatif serta kebijakan pemerintah yang tidak tetap (Syah2a, 2004). Namim indeks daya samg kelapa sawit tetap lebih dari satu (>1), yang berarti kelapa sawit Riau tetap memiliki indeks daya saing yang tinggi. Dimana keunggulan absolut yang duniliki kelapa sawit dari segi kecocokan lahan dan sumber daya alam mendukung untuk melakukan perkebunan sawit di Provinsi Riau, namun penurunan tersebut diakibatkan keunggulan komperatif dari segi mutu dan harga

50 sehingga komoditi kelapa sawit kurang mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Komoditi karet juga mengalami penurunan indeks daya saing ekspor dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahim ini komoditi karet Riau memang mengalami penurunan luas areal tetapi produksi tetap mengalami peningkatan. Dalam hal volume ekspor hasil perkebunan karet Riau mengalami penurunan namun nilainya mengalami peningkatan. Tetapi peningkatan-peningkatan tersebut belum mainpu mempengaruhi daya saii^ ekspor komoditi karet secara keseluruhan karena indeks daya saing ekspor hasil perkebunan karet masih lemah atau rendah. Hal ini jt^a disebabkan sistem pemasaran yang kurang menguasai, masalah mutu dan masalah banyaknya petani karet yang berpindah menjadi petani kelapa sawit disebabkan karena kelapa sawit lebih memiliki keunggulan absolut dan komperatif yang tinggi sehingga mampu bersaing di pasar ekspor. Begitu pula dengan komoditi kelapa yang turut mengalami penurunan indeks daya saing ekspor dibandingkan pada tahun sebelumnya walaupun pada tahun ini luas areal dan produksi perkebunan kelapa di Riau mengalami peningkatan. Perkembangan baik ini juga diikuti oleh volume ekspor hasil perkebunan kelapa yang mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut tidak diikuti memngkatnya nilai ekspor hasil perkebunan kelapa yang pada tahun 2006 ini mengalami penurunan sehingga mengakibatkan indeks daya saing ekspor hasil perkebunan kelapa Riau mengalami penurunan dan tetap memiliki daya saing rendah. Penurunan indeks daya saing dipengaruhi oleh banyaknya petani kelapa yang berpindah menjadi petani kelapa sawit karena keunggulan komperatif

51 kelapa dari segi mutu, nilai tambah serta harga masih belum mampu bersaing dengan produk minyak kelapa sawit. Pada tahun 2007 total ekspor non migas Provinsi Riau tetap mengalami peningkatan menjadi sebesar 6.417,67 juta US$ dan total ekspor non migas Indonesia juga mengalami peningkatan menjadi sebesar 92.012,30 juta US$. Namun pada tahun ini analisis EPR masing-masing komoditi unggulan peikebunan Provinsi Riau mengalami penurunan. Indeks daya saing ekspor komoditi kelapa sav«dt 14,37, komoditi karet sebesar 0,04 dan kelapa menjadi sebesar 0,06 persen. Indeks daya saing ekspor hasil peikebiman kelapa sawit Riau mengalami penurun kembali pada tahun ini, meskipun dalam hal luas areal dan produksi serta volume dan nilai ekspor hasil perkebunan kelapa samt mengalami pemngkatan. Penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya produksi komoditi j^ung dan kedelai di Amerika Serikat sehingga banyak negara Eropa yang menggunakan produk-produk hasil komoditi tersebut sebagai pengganti minyak sawit. Hal ini mengakibatkan menurunnya permintaan dunia sehingga indeks daya saing menurun. Hal ini berarti keimggulan absolut dan kompertaif kelapa sawit tetjq) tinggi namun produk ekspor kelapa sawit tidak mampu bersamg dengan produkproduk lain disebabkan bersaingnya harga di pasar ekspor dunia Artinya keunggulan kompetitif kelapa sawit turun akibat persaingan harga dengan produkproduk seperti jagung dan kedelai. Namim ekspor hasil perkebunan kelapa sawit Riau tetap memiliki mdeks daya saing yang tinggi dilihat dari perkembangan indeks RCA nya.

52 Komoditi karet dan kelapa juga mengalami penurunan indeks daya saing dibandingkan tahun sebelumnya. Lideks daya saing komoditi-komoditi tersebut tetap rendah karena memiliki indeks daya samg ekspor yang kurang dari pada satu (<1). Perkembangan dari luas areal dan produksi serta volume ekspor dan nilai masing-masing komoditi turut mempengaruhi rendahnya indeks daya saing ekspor komoditi-komoditi tersebut. Penurunan indeks daya saing komoditi unggulan perkebunan juga dipengaruhi oleh teijadiaya impor yang ditandai dengan masuknya produk karet dari luar dan juga banyaknya petani karet dan kelapa yang berpindah menjadi petani kelapa sawit sehingga menyebabkan melemahnya daya samg komoditi-komoditi tersebut. b. Net Export/Total Trade Ratio (NE/TT) Pada Tabel 8, terlihat bahwa pada tahun 2004 NE/TT masing-masing komoditi unggulan perkebunan Provinsi Riau mengalami perkembangan yang baik. Ratio NE/TT komoditi kelapa sawit Provinsi Riau pada tahun ini sebesar 99,85. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 terjadi impor hasil perkebiman kelapa sawit dalam bentuk minyak biji kelapa sawit sebesar 2.850,00 ton ke Provinsi Riau. Namun rasio NE/TT perkebunan kelapa sawit tetap besar yang berarti semakin kuat tingkat daya saing perkebunan kelapa saviit dibandingkan dengan komoditi perkebunan laiimya di Provinsi Riau. Untuk komoditi karet dan kelapa memiliki ratio masing-masing 100, sehingga bisa dikatakan bahwa komoditi-komoditi tersebut memiliki daya saing yang tinggi karena mampu mencukupi kebutuhan daerah dan memiliki tingkat daya saing yang tinggi karena tidak teijadinya impor komoditi karet dan kelapa.

53 Tabel.8 Net Export/Total Trade Ratio (NE/TT) Provinsi Riau Taiiun 2004-2007 Komoditi Net Export/Total Trade Ratio (NE/TT) Provinsi Riau 2004 2005 2006 2007 Kelapa Sawit 99,85 100 100 100 Karet Kelapa 100 100 77,17 100 92,69 100 99,99 100 Pada tahun 2005 teqadi perubahan ratio NE/TT pada Icomoditi unggulan perkebunan Riau. Ratio NE/TT komoditi kelapa sawit mengalami peningkatan sehingga menjadi sebesar 100. Hal ini disebabkan karena tidak terdapatnya impor hasil perkebunan kelapa sawit ke Provinsi Riau sehingga kelapa sawit memiliki tingkat daya saing tinggi di provinsi Riau. Komoditi karet pada tahun ini mengalami penurunan ratio NE/TT menjadi sebesar 77,17. Hal ini diakibatkan karena pada tahun 2005 Provinsi Riau melakukan pengimporan hasil perkebunan karet berupa karet alam dan crumb rubber sebesar 1.145,50 ton per tahim yang berarti pada tahun mi daya saing karet melemah. Hal ini disebabkan mutu hasil perkebunan karet Provinsi Riau masih rendah dari segi mutu. Namun komoditi kelapa tetap memiliki ratio NEATT sebesar 100 yang berarti daya saing komoditi kelapa tetap tinggi di Provinsi Riau. Selanjutnya untuk tahun 2006 dan 2007 ratio komoditi kelapa sawit dan kelapa masih tetap sebesar 100, dimana berarti komoditi-komoditi tersebut tetap memiliki daya saing yang tinggi dan mampu bersaing di Provinsi Riau. Sedangkan komoditi karet pada tahun 2006 dan 2007 mengalami kenaikan ratio NE/TT masing-masing menjadi sebesar 92,69 dan 99,99. Pemngkatan ini terjadi karena berkurangnya jumlah hasil perkebunan karet yang di impor ke Provinsi Riau yaitu menjadi sebesar 326,58 ton per tahun pada tahun 2006 dan

54 menjadi 0,015 ton per tahun pada tahun 2007. Dengan menurunnya jumlah impor karet yang dilakukan oleh Provinsi Riau maka akan semakin memperkuat daya saing komoditi karet tersebut. Masih terdapatnya impor produk hasil perkebunan komoditi kelapa sawit dan kelapa ke Provinsi Riau menandakan bahwa terjadinya penurunan mutu produk sehingga kalah bersaing dengan produk dari luar. Sehingga tetap teijadi pengimporan produk kelapa sawit dan karet yang menyebabkan ratio tingkat daya saiog komoditi unggulan tersebut di provinsi Riau mengalami penurunan.