BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman dimana segalanya telah menggunakan perangkat dan alat berteknologi canggih yang dapat menunjang berbagai kemudahan. Masyarakat lebih cendrung memilih pola kehidupan yang dimana segala keperluan dituntut serba cepat dan instan, khususnya kalangan masyarakat ekonomi menengah dan ekonomi atas. Untuk mengimbangi berbagai kegiatan yang serba cepat masyarakat otomatis akan memilih makanan instan atau cepat saji dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, makanan instan atau cepat saji memang merupakan salah satu terobosan pada saat ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan terutama bagi masyarakat yang memiliki kesibukan tinggi. Mengkonsumsi makanan cepat saji secara berlebihan juga tidak baik bagi kesehatan, dan dapat mendatangkan resiko yang buruk bagi kesehatan selain itu hal ini di dukung oleh pola hidup masyarakat yang kebanyakan menghabiskan waktu di ruangan tanpa melakukan aktivitas fisik seperti berolah raga atau sekedar meregangkan badan. Pola hidup yang demikian mengakibatkan tingginya peluang terkena penyakit seperti serangan jantung yang dapat terjadi kapan saja. Penyakit jantung terutama Jantung Koroner atau kardeovaskuler merupakan penyakit yang memiliki resiko kematian cukup tinggi dan dapat menyerang manusia pada berbagai golongan umur. Berdasarkan WHO (2011), penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian nomor satu di dunia http://www.who.int/countries/idn/en/. Menurut badan penelitian dan pengembangan kesehatan (Balitbankes). Di Indonesia sendiri penyakit jantung koroner menempati urutan ke dua penyebab kematian tertinggi pada tahun 2014 berikut adalah tabel yang menggambarkan penyebab kematian tertinggi di Indonesia tahun 2014 : 1
Gambar 1.1 Grafik Penyebab Kematian Tertinggi di Indonesia 2014 (data terbaru) Sumber : Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Berdasarkan data yang didapat dari tabel di atas penderita penyakit jantung koroner di Indonesia pada tahun 2014 menempati peringkat ke dua dengan 12,9% dari total 41.590 kematian, peringkat pertama dipegang oleh penyakit stroke dengan 21,1% kematian per tahun namun walupun menempati peringkat ke dua, penyakit jantung koroner memiliki kenaikan yang signifikan karena pada 6 tahun kebelakang penyakit jantung koroner hanya menempati peringkat ke 5 penyebab kematian tertinggi, kehidupan modern dan pola hidup yang kurang sehat di duga sebagai penyebab kenaikan tersebut http://www.litbang.kemkes.go.id/. Angka di atas cukup besar untuk menggambarkan berbahayanya penyakit jantung koroner di Indonesia. Berdasarkan data menurut pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI di tahun sebelumnya yaitu tahun 2013, berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit jantung koroner banyak di derita masyarakat Indonesia terutama masyarakat yang berusia 13 tahun keatas. Berikut adalah tabel estimasi penderita penyakit jantung koroner berdasarkan provinsi tahun 2013: 2
Gambar 1.2 Tabel Estimasi Penderita Penyakit Jantung Koroner pada usia >15 tahun menurut provinsi tahun 2013 (data terbaru) Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel di atas, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0.5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang. Berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1.5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang penderita. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0.5%), sedangkan provinsi Maluku utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 1.436 orang (0.2%). Info datin pusat data dan kesehatan RI situasi kesehatan jantung pdf www.depkes.go.id/download.php?file=download/.../infodatin/infodatinjantung.pdf. Di Indonesia, saat ini hanya ada tiga rumah sakit khusus jantung yang berlokasi di Jakarta dengan daya tampung yang sangat terbatas, salah satunya adalah Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang merupakan tempat rujukan tertinggi pelayanan penyakit jantung. Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat sekaligus provinsi yang memiliki jumlah penderita 3
penyakit jantung terbanyak seharusnya memiliki rumah sakit khusus yang melayani penyakit jantung dengan fasilitas pelayanan yang memadai namun sejauh ini provinsi Jawa barat belum memiliki Rumah Sakit khusus penyakit jantung. Adapun rumah sakit umum negeri di provinsi jawa barat yang fasilitas nya hampir mernyerupai rumah sakit khusus penyakit jantung adalah rumah sakit Hasan Sadikin Bandung yang juga telah ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan nasional berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/390/2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional. Rumah Sakit Hasan Sadikin sendiri memiliki 886 tempat tidur dengan 553 tenaga ahli yang diantaranya merupakan ahli bedah dan dokter spesialis penyakit jantung http://web.rshs.or.id/. Rumah sakit Hasan Sadikin sendiri memiliki berbagai macam fasilitas pelayanan medis yang diantaranya instalasi gawat darurat, instalasi rawat jalan, dan poliklinik spesialis. Selain itu rumah sakit Hasan Sadikin juga melayani pasien dengan kartu BPJS yang diperuntukan bagi pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah yang membutuhkan pelayanan medis. Dalam pelayananya RSHS memiliki kelas kelas tersendiri terutama dalam hal ruang inap bagi pasien yang membutuhkan perawatan lebih atau gawat darurat. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan anjuran bahwa setiap rumah sakit yang ada baik swasta maupun negri wajib melayani pasien tanpa memperdulikan status sosial ataupun status ekonomi, namun pada kenyataanya masih banyak rumah sakit yang menghiraukan anjuran tersebut. Hasilnya dibeberapa rumah sakit masih banyak pasien yang mengeluh akan kualitas pelayanan yang diberikan rumah sakit padahal, seharusnya setiap warga berhak mendapatkan pelayanan yang layak. Pelayanan kesehatan seperti itu telah menjadi fokus perhatian pemerintah yang dituangkan dalam kewajiban rumah sakit dan hak pasien (UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit). Pada pasal 29 UU tersebut dijelaskan bahwa rumah sakit berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit dan pada pasal 32 disebutkan bahwa pasien berhak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan 4
standar prosedur operasional serta memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit http://web.rshs.or.id/. Namun pada kenyataanya banyak rumah sakit yang menyampingkan hal tersebut dengan alasan ruangan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah pasien yang hendak dirawat dan terkadang pembagian kelas-kelas ruangan juga menentukan kualitas pelayanan yang di dapatkan oleh pasien. Kualitas pelayanan rumah sakit sangat erat kaitanya dengan komunikasi yang dilakukan oleh tenaga medis baik oleh dokter ataupun perawat yang melayani pasien, komunikasi medis yang dilakukan oleh paramedis atau perawat di sebut dengan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan dan kegiatanya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuan penyembuhan pasien. (Purwanto, 1994:136). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal, artinya komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal. (Mulyana, 2000:184). Dimana di dalamnya terdapat pemberi pesan (komunikator) dalam hal ini perawat dan penerima pesan (komunikator) dalam hal ini pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional perawat dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan yang terdiri dari 4 fase yaitu fase pra-interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi yang dijelaskan sebagai berikut: Fase Pra interaksi adalah fase dimana perawat mempersiapkan diri sebelum menemui pasien untuk pertama kalinya, dalam tahap ini perawat mencari informasi mengenai pasien sebagai lawan bicaranya. serta mengurangi rasa cemas dan keraguan dalam diri perawat sehingga ketika menemui pasien perawat telah siap baik secara fisik maupun mental. Fase Orientasi merupakan tahap kedua dalam komunikasi terapeutik dimana perawat untuk pertama kali melakukan kontak terhadap pasien tahap ini meliputi perkenalan antara pasien dan perawat serta menjelaskan hak dan kewajiban pasien serta perawat dalam masa perawatan tujuanya 5
agar tercipta komunikasi yang baik dan terbuka antara perawat dengan pasien Fase kerja merupakan tahap terpenting dalam komunikasi terapeutik karena dalam tahap ini merupakan tahap terpanjang, dimana perawat harus membantu dan mendukung pasien untuk menyampaikan perasaan dan pemikiranya dengan cara mendengarkan secara aktif dan sesekali memberikan saran serta mengidentifikasi masalah pasien selama masa perawatan. Fase terminasi merupakan tahap akhir dari komunikasi terapeutik dimana setelah menjalani seluruh proses keperawatan perawat melakukan evaluasi dan melihat seluruh kemajuan yang telah pasien tempuh setelah masa perawatan. Perawat juga harus memastikan pasien merasa senang selama proses perawatan kemudian merencanakan tindakan selanjutnya dengan pasien seperti pasien harus melakukan control rutin dan sebagainya. Keempat fase diatas dipercaya mampu menjadi suatu metode penyembuhan yang sangat baik bagi pasien terutama bagi pasien perawatan jantung koroner karena pasien penyakit jantung koroner atau kardiovaskuler pada umumnya akan mengalami gejala seperti kegelisahan yang mendalam dan perasaan tidak tenang. mereka merasakan takut dan tegang karena pasien mengetahui resiko terburuk yang dihadapi saat melakukan operasi, hal ini tentunya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan pasien dan dapat menambah resiko-resiko pada saat proses pengobatan atau tindakan operasi. Untuk itu komunikasi terapeutik sangat diperlukan karena dengan komunikasi terapeutik perawat dapat menciptakan sikap keterbukaan, empati, sikap positif dan kesetaraan untuk menciptakan rasa percaya pada pasien, karena komunikasi terapeutik ditujukan untuk membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran, mengurangi keraguan. mempertahankan kepercayaan diri, mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam hal meningkatkan derajat kesehatan, serta mempererat 6
hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis (tenaga kesehatan) dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien. Setiap rumah sakit di Indonesia tentunya memiliki kualitas pelayanan yang berbeda-beda tergantung seberapa baik ia menerapkan komunikasi terapeutik saat melayani pasienya. Rumah sakit Hasan Sadikin sebagai Rumah Sakit rujukan nasional provinsi jawa barat tentunya memiliki strategi tersendiri dalam melakukan komunikasi terapeutik, terutama dalam menghadapi pasien penyakit jantung koroner dimana provinsi jawa barat merupakan provinsi dengan angka penderita penyakit jantung koroner tertinggi, komunikasi terapeutik sangat dibutuhkan terutama bagi pasien penyakit jantung koroner yang biasanya mengalami kegelisahan dan kecemasan saat dalam masa perawatan, karena menjalankan proses komunikasi terapeutik saja tidaklah cukup untuk menurunkan kegelisahan dan ketegangan pasien namun diperlukan adanya keterikatan emosi dan perasaan empati dalam menjalankan setiap tahapan-tahapan dalam komunikasi terapeutik tersebut dengan tanpa meninggalkan profesionalime perawat. Dengan keterlibatan perasaan diantara keduanya akan menciptakan kenyamanan, kepercayaan dan perasaan saling membutuhkan. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung memiliki strategi tersendiri dalam melakukan hal tersebut. Dalam fase perawatan pasien, perawat memiliki waktu yang lebih banyak dalam menghadapi pasien ketimbang dokter. Dikarenakan tugas perawat yang memang diperuntukan untuk merawat dan menjaga pasien selama masa perawatan. Dalam masa tersebut perawat akan lebih sering melakukan komunikasi dengan pasien, sehingga perawat memiliki kesempatan untuk melakukan observasi mengenai kondisi fisik dan psikologis pasien seperti tingkat kecemasan dan tingkat stres pasien serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kesehatan pasien. Dengan data tersebut perawat dapat mengetahui kebutuhan pasien dan dapat melakukan tindakan yang tepat seperti memberi nasihat dan memberikan stimulus berupa semangat untuk mengurangi kecemasan pasien. Kemudian dari data yang diperloleh tersebut perawat dapat melakukan koordinasi dengan dokter yang menangani penyakit pasien. dan komunikasi terapeutik lebih cendrung di peruntukan dalam tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat ketimbang 7
dokter. Walaupun memiliki kebutuhan yang sama akan tatacara komunikasi yang baik dengan pasien namun tatacara dan tahapanya komunikasi terapeutik sangat erat dengan tugas-tugas yang dilakukan oleh perawat. Dokter juga memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan pasien pada saat berobat atau control namun komunikasi yang dilakukan tidak seintens yang dilakukan oleh perawat. Untuk itu penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana strategi komunikasi terapeutik diterapkan oleh perawat dalam menghadapi pasien penyakit jantung koroner di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Untuk itu penulis mengangkat judul Analisis Strategi Komunikasi Terapeutik pada Pasien penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka fokus penelitian ini yakni: Bagaimana strategi komunikasi yang efektif dalam menjalankan komunikasi terapeutik pada pasien penyakit jantung koroner? Dari adanya fokus penelitian tersebut, kemudian dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Pra-interaksi? 2. Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Orientasi? 3. Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Kerja? 4. Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Terminasi? 8
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Pra-interaksi? 2. Untuk mengetahui Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Orientasi? 3. Untuk mengetahui Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Kerja? 4. Untuk mengetahui Bagaimana strategi komunikasi (plan, management, dan goals) diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan Komunikasi terapeutik pada Fase Terminasi? 4.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis mengetahui dan mendapatkan informasi atau gambaran tentang dampak positif yang dapat diperoleh dari komunikasi dalam proses penyembuhan pasien penyakit jantung atau kardiovaskuler di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, serta dapat berguna bagi pengembangan kajian penelitian komunikasi pada Fakultas Komunikasi dan Bisnis Telkom University, selanjutnya dapat menjadi tambahan referensi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi mahasiswa/i Telkom University khususnya yang ada di program studi Ilmu Komunikasi. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bagi individu atau instansi terkait di dalamnya juga dalam rangka mengembangkan komunikasi di rumah sakit oleh para dokter ataupun paramedic sebagai referensi 9
untuk melakukan komunikasi yang baik dan diharapkan dapat memberikan gambaran bagi instansi terkait dalam menilai kinerja tenaga perawat terutama kemampuan berkomunikasi dalam kegiatan keperawatan sehingga instansi dapat melakukan evaluasi pada peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit. 4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hasan sadikin yang beralamat di: Jl. Pasteur No. 38 Bandung Kel. Pasteur Kec. Sukajadi 40161 Fax : (022)2032216 Contact Center RSHS : (022)2551111 Website : rshs.or.id Facebook : fb.com/rshsbandung Twitter : @rshsbdg 10
1.5.2 Waktu Penelitian Kegiatan penelitian akan berlangsung selama 5 bulan yaitu dari bulan Agustus 2016 hingga bulan April 2017. Rincian kegiatan penelitian terdapat dalam tabel berikut : Tabel 1.1 Waktu penelitian No. Tahapan Agus Sep Okt Nov Des jan Feb Mar Apr Penelitian 1. Menentukan Topik penelitian dan judul 2. Mengumpulkan Keseluruhan Informasi 3. Menyusun Proposal Skripsi 4. Desk Evaluation 5. Analisis Data 6. Menyusun Skripsi 7. Sidang Skripsi Sumber : Diolah oleh penulis 2016-2017 11