BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) berdasarkan American Diabetes Association(ADA) tahun 2011 adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibatdari kegagalan dalam sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya.hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Prevalensi penyakit DM terus meningkat di seluruh dunia, untuk Indonesia WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan ADA, (2013) penyakit DM banyak terjadi pada usia 45 tahun dan banyak terjadi pada wanita. Penyakit DM akan menyertai penderita seumur hidup sehingga akan mempengaruhi terhadap ku alitas hidup penderita baik dari keadaan kesehatan fisik, psikologis, so sial dan lingkungan (PERKENI, 2006). Penelitian oleh Liu dkk., (2010) menjelaskan bahwa DM dapat menyebabkan kematian, hal ini perlu diwaspadai karena angka kematian penderita DM, tidak diakibatkan secara langsung karena kondisi hiperglikemik, tetapi penyakit yang merupakan komplikasi DM, pada 1524 subyek penelitian 509 (33.4%) mengalami komplikasi makrovaskular dan 528 (34.7%) mengalami komplikasi mikrovaskular, prevalensi komplika si gangguan kardiovaskuler 1
(30,1%), serebrovaskuler (6,8%), neuropati (17,8%), nefropati (10,7%), lesi okuler (14,8%) dan masalah kaki (0,8%). Upaya terapi non farmakologi dan farmakologi dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Terapi farmakologi untuk DM tipe 2 meliputi OAD (Obat Anti Diabetes) dan terapi insulin. Insulin diberikan untuk pasien yang memiliki nilai HbA1c 7,0% dengan kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl atau pasien yang gagal dengan terapi OAD (ADA, 2011). Penggunaan insulin dapat dikombinasikan dengan OAD apabila kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (PERKENI, 2011). Insulin dianggap sebagai pengobatan yang paling efektif untuk menurunkan glukosa darah yang sangat tinggi. Fungsi dari OAD tidak bekerja cepat dan kurang efektif dalam mengatasi glukotoksisitas pada banyak pasien. Data baru dari Epidemiology of Diabetes Intervention and Complication (EDIC) menunjukkan penurunan yang signifikan dalam resiko nefropati dan retinopati dibandingkan dengan subyek dari kelompok pengobatan konvensional, bahkan dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 26% dengan terapi insulin dan sufonilurea selama 1 tahun (Hirsch dkk., 2005). DM merupakan salah satu penyakit kronis, terapi terdiri dari beberapa o bat dan pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut dapat menimbulkan Drug Related Problems (DRPs), identifikasi DRPs penting untukmeningkatkan efektivitas terapi obat pada penyakit yang membutuhkan pengobatan sepanjang hidup (Gumi dkk., 2013), berdasarkan penelitian Cipolle dkk.,(2013) bahwa dari 11792 pasien 95% mendapat terapi polifarmasi, hal tersebut meningkatkan angka 2
kejadian DRPs, untuk mencegah kejadian DRPs maka diperlukan peran apoteker dan diperlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya maupun dengan pasien (Earl dan Reinhold,2010). Secara umum layanan Apoteker telah dilaporkan untuk meningkatkan perawatan pasien dengan mengurangi peresepan yang kurang tepat, mengurangi kejadian efek samping obat, efek samping obat dan mortalitas, serta memberikan manfaat secara ekonomi (Blix, 2007). Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian DRPs pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi berbasis insulin di RSUD Kota Semarang, untuk mendukung tercapainya outcome terapi yang diinginkan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah karak teristik pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin di RSUD Kota Semarang? 2. Bagaimanakah pola DRPs yang terjadi pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin di RSUD Kota Semarang? 3. Berapakah jumlah insiden terjadinya DRPs yang terjadi pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin di RSUD Kota Semarang? 3
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin di RSUD Kota Semarang. 2. Mengetahui bagaimanakah pola DRPs yang terjadi pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin di RSUD Kota Semarang. 3. Mengetahui proporsi insiden DRPs yang terjadi pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin di RSUD Kota Semarang. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi dan menjadikan bahan kajian kepada RSUD Kota Semarang tentang hasil kajian DRPs terapi berbasis insulin sehingga diharapkan menjadi masukan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien. 2. Memberikan peluang bagi farmasis untuk ikut berperan aktif dalam diabetes care serta membangun kepercayaan yang baik antara pasien dengan farmasis. E. Keaslian Penelitian Pada penelitian Susilowati dan Rahayu (2009) mengevaluasi 43 pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi OAD saja maupun kombinasi OAD dan insulin di RSUD Tugurejo Semarang secara retrospektif, jum lah kejadian DRPs yang potensial mempengaruhi efektivitas terapi ada 12 kejadian, meliputi obat tidak efektif 41,7%, obat yang diterima pasien efektif tetapi tidak paling murah 33,3%, 4
pasien menerima kombinasi obat yang tidak diperlukan 16,7% dan dosis sub terapi 8,3%. Penelitian Mutmainah dkk., (2007) mengevaluasi DRPs pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi yang tejadi di rumah sakit di Jepara, dilakukan secara retrospektif, DRPs yang terjadi meliputi : pemilihan obat yang tidak tepat meliputi 49,19%, penggunaan obat yang tidak aman, 23,39% penggunaan obat yang tidak efektif, 15,32% penggunaan obat yang dikontraindikasikan bagi pasien, 12,10% adanya kombinasi obat yang tidak diperlukan. Penelitian Utami (2005) mengenai evaluasi DRPs terapi OAD dan insulin pada pasien DM tipe 2 dengan metode penelitian prospektif di RSU Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada bulan Oktober 2005 sampai dengan Desember 2005, dari 44 pasien yang diteliti, 5 pasien (11,4%) tidak mengalami DRPs, sedangkan 39 pasien (88,6%) mengalami DRPs, dengan rincian indikasi tidak diterapi 24 %, pemilihan obat tidak tepat 10,6 %, dosis subterapi 14,4 %, dosis berlebih 7,7 %, efek samping 6,7 %, interaksi obat 19,2%, gagal menerima obat 1 % dan tanpa indikasi 16,3 %. Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya karena mengkaji DRPs dengan pengambilan data secara prospektif pada rumah sakit yang berbeda dan pada periode waktu yang berbeda, hasil selanjutnya dianalisa untuk mengetahui proporsi DRPs dan jumlah insiden DRPs yang terjadi pada pasien. 5