BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi semakin menyuguhkan dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh pada perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadidalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku amoral jika terus terjadi maka benar-benar akan berujung pada keterpurukan bangsa maupun krisis multidimensi yang pada hakekatnya bersumber dari jati diri, dan kegagalan dalam dunia pendidikan. Mengapa ini bisa terjadi pada bangsa kita, yang sebelumnya dikenal dengan sebagai bangsa yang ramah, suka bergotong-royong, bertoleransi, hidup dalam kerukunan, persatuan dan kesatuan? Tujuan pendidikan yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Dalam kenyataannya, justru banyak warga negara yang tidak berakhlak mulia (aksi pornografi, penyalahgunaan narkoba, dan kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain yang justru bertentangan 1
dengan tujuan pendidikan nasional (Haryanto, 2011 : 2). Problem moral yang kini menjangkiti tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan bukti nyata gagalnya pendidikan kita ( Ajad Sudrajat, Kedaulatan Rakyat Edisi 50 : 8 November 2011) Beberapa kasus diatas menunjukkan bahwa memang pendidikan kita belum mampu membangun karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa ( Kristi Wardani, 2010 : 230). Nilai-nilai luhur yang seharusnya ditanamkan dan disosialisasikan lewat sekolah, tampaknya tidak masuk dan tidak berkembang dalam diri peserta didik. Padahal orangtua dan masyarakat telah mempercayakan pendidikan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah. Situasi pendidikan kita kurang menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai luhur (aspek rohani), yang menjadi motor penggerak perkembangan peserta didik ke arah hidup yang manusiawi ( Y. B Adimassana, 2000 : 30-31). Mungkin masih segar dalam ingatan kita bahwa Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa adalah sebuah tema yang diusung Kementerian Pendidikan Nasional dalam memperingati hari Pendidikan Nasional 2010. Sejak saat itu banyak ahli pendidikan, pengamat pendidikan, dan praktisi pendidikan mencoba menterjemahkan pendidikan karakter menurut versinya masing-masing. Lembaga pendidikan (baik sekolah maupun perguruan 2
tinggi), berlomba untuk menterjemahkan pendidikan karakter itu dalam praktik pendidikan di lembaganya masing-masing. Sekolah mencirikan pendidikan karakter dengan pendidikan budi pekerti. Perguruan tinggi melakukan kajiankajian ilmiah dan mendalam tentang apa, mengapa, dan bagaimana pendidikan karakter dalam praktik pendidikan (Haryanto, 2011 : 1). Begitu pula pada peringatan hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2011 dengan tema Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Dalam kesempatan ini Kementrian Pendidikan Nasional telah mencanangkan pendidikan karakter melalui gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai persiapan menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia serta mengkomunikasikan kebijakan dari hasil pembangunan pendidikan nasional. Sayangnya ini masih berupa pencanangan, perencanaan tanpa desain dan model rujukan yang jelas dan tegas dari Kemendiknas. Tidak heran bila di beberapa sekolah, pendidikan karakter masih hanya sebatas bumbu penyedap untuk ditaburkan ke aneka mata pelajaran. Sementara itu, sekolahnya sendiri tetap pada paradigma memprioritaskan prestasi akademis dan kognitif dalam wujud angka-angka yang fantastis di rapor dan Ujian Akhir Nasional (UAN). Isu pendidikan karakter seharusnya menjadi mengedepan bukan hanya karena menjadi tema peringatan hari Pendidikan Nasional 2010 dan 2011 saja, melainkan lebih disebabkan oleh keprihatinan kita terhadap praktik pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah dan hasilnya (Haryanto, 2011 : 1). Pertanyaan yang sering muncul dan coba kita jawab adalah apa yang 3
salah dengan sistem pendidikan kita? Mengapa sistem pendidikan nasional kita belum mampu menunjang tumbuhnya bangsa yang berkarakter kuat?. Selama masalah pendidikan dibiarkan menggelinding bebas, di mana siapapun boleh dan berhak mengulas masalah pendidikan dengan versinya masing-masing tanpa landasan falsafah yang memadai, maka potret pendidikan kita akan semakin carut-marut (Haryanto, 2011 : 2). Lalu seperti apa teori dan praktik pendidikan nasional yang akan kita gunakan untuk menghidupkan kembali karakter bangsa yang telah pudar?. Berdasar permasalahan-permasalahan diatas, maka kajian terhadap persoalan pendidikan karakter dari pandangan bapak Pendidikan Nasional kita (Ki Hadjar Dewantara) menjadi rujukan yang amat penting untuk ditelaah. Kita harus memberi perhatian yang khusus kepadanya, oleh karena ia banyak memakai asas-asas sekolah yang baru, yang dianggapnya sebagai pemulihan kembali pendidikan yang bersifat Indonesia (Sugarda Purbakawatja, dkk. 1962 : 101). Ki Hadjar Dewantara adalah juga sosok utama sebagai peletak dasar konsep pendidikan karakter pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Beliau telah mengusahakan pendidikan yang paling cocok untuk anak-anak Indonesia (Darsiti Soeratman, 1983 : 1). Pendidikan karakter, moral dan budaya sebenarnya sudah dirintisnya dalam tri pusat pendidikan yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial. Tulisan ini mengkaji pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan karakter yang masih relevan untuk digunakan dalam sistem pendidikan era modern ini dan menggali aneka kemungkinan atau alternatif 4
untuk melakukan revitalisasi pendidikan karakter yang difokuskan pada tingkatan Sekolah Dasar (SD) selaku aras pendidikan formal yang awal dan mendasar dalam usaha pendidikan karakter bangsa. B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa saja pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan karakter? 2. Bagaimana cara merevitalisasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan karakter di sekolah dasar? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendiskripsikan pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan karakter. 2. Mendiskripsikan cara merevitalisasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk pendidikan karakter di sekolah dasar. 5
D. Manfaat Penelitian Agar penulisan skripsi ini memiliki sasaran pencapaian yang jelas dan terarah, penulis mengarahkan tujuan penulisan dalam skripsi ini, yaitu: 1. Memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pendidikan; memberi gambaran akan pemikiran dan konsep pendidikan karakter bangsa menurut Ki Hadjar Dewantara beserta masukan tentang cara merevitalisasinya. 2. Memperkaya khasanah dalam ilmu sejarah yakni sejarah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan karakter dalam usaha mencapai kebangkitan bangsa baik pra maupun pasca kemerdekaan. 3. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya para guru, pendidik, orang tua dan generasi muda untuk menghayati pentingnya karakter bangsa yang kuat dalam masing-masing individu guna menjaga kelangsungan hidup bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaan. 6