BAB I PENDAHULUAN. pula dengan individu saat memasuki masa dewasa dini. Menurut Harlock (1980),

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Ketika dua orang memasuki perkawinan, mereka mengikat komitmen untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan, yang

BAB I PENDAHULUAN. memerhatikan kesehatannya, padahal kesehatan itu penting dan. memengaruhi seseorang untuk dapat menjalani kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit,

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dilihat berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat

BAB I PENDAHULUAN. Francisca, Miss Indonesia 2005 menganggap pendidikan adalah hal yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Juga

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah individu yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu ilmu yang saat ini berkembang dengan pesat, baik secara teoritis

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

Social competence. Ps tinggi. W tinggi. Kyi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Banyak bermunculan fenomena perceraian yang terjadi, dimana tingkat perceraian di

BAB I PENDAHULUAN. suatu jenis penyakit yang belum diketahui secara pasti faktor penyebab ataupun

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental dengan pengaruh perubahan perilaku yang tidak disadari. Pola

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita

BAB I PENDAHULUAN. hatinya lahir dalam keadaan yang sehat, dari segi fisik maupun secara psikis atau

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan oleh orang tua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman

BAB I PENDAHULUAN. memasuki suatu era yang cukup memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan. Badan Pusat

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang tidak mencerminkan kehidupan keluarga yang utuh dan harmonis.

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami istri, dengan harapan anak mereka akan menjadi anak yang sehat,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. dari panca indera lain. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya yang tidak dapat mereka atasi. Masalah yang sering membuat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan penyakit tertua di dunia yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Masyarakat berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan tersebut agar

BAB I PENDAHULUAN. yang menerjang sebagian besar wilayah pantai barat dan utara Propinsi Nanggroe

BAB I PENDAHULUAN. dengan bertambahnya usia. Semakin bertambahnya usia maka gerak-gerik, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya manusia akan tertarik baik secara fisik maupun psikis pada

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang memasuki tahap perkembangan dewasa awal yang memiliki

BAB I. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit sehingga membuat. banyak orang merasa cemas. Salah satu jenis penyakit tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. Semua orangtua berharap dapat melahirkan anak dengan selamat dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah belajar/berprestasi, hormat dan patuh pada ayah-ibu. Jika peran setiap

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit pemerintah, fungsi sosial inilah yang paling menonjol. Menurut WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia ke arah globalisasi yang pesat, telah menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. di kota-kota lain di Indonesia. Tidak memandang dari status sosial mana individu

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan bulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Resiliensi yang berdasarkan (Benard, Bonnie 2004) dalam buku Resiliency : What

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. tidak berfungsi dan dapat menyebabkan kematian. Menurut Organisasi Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 2008, masalah kesehatan seringkali menjadi topik utama

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan akhir kehidupan. Dalam proses tersebut, manusia akan mengalami tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan populasi penduduk sebesar jiwa pada data

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia sebagian besar terletak di kawasan rawan bencana

BAB I PENDAHULUAN. Syndrome atau yang dikenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik dan mental

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kedua subyek sama-sama menunjukkan kemampuan problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

BAB I PENDAHULUAN. dibangun oleh suami dan istri. Ketika anak lahir ada perasaan senang, bahagia

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja. Setiap tahapan tumbuh

KUESIONER DATA PRIBADI DAN DATA PENUNJANG KATA PENGANTAR. adalah menyusun skripsi. Adapun judul skripsi ini adalah Studi Deskriptif tentang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang optimal. Menurut definisi yang dikembangkan oleh AAMD

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

PENELITIAN KAJIAN WANITA

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan, keluarga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Semua ini bisa

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Namun, terkadang terdapat keadaan yang membuat manusia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan keberhasilan itulah, individu berharap memiliki masa depan cerah yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dapat berubah melalui pendidikan baik melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, dibutuhkan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas individual

Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Warakawuri di Komunitas AW Bandung Descriptive Study about Warakawuri Resilience at AW Community in Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya. Mereka yang telah selesai mengenyam pendidikan, akan melanjutkan

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap manusia akan memiliki ketertarikan seksual baik

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

Studi Deskriptif Mengenai Personal Strengths pada Siswa Miskin Kelas 2 SMAN 1 Margahayu Kabupaten Bandung

STRATEGI KOPING PADA WANITA JAWA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I. Sehat adalah anugerah Tuhan yang tidak ternilai harganya dan tetap dalam

HUBUNGAN PROTECTIVE FACTORS, BASIC NEEDS, DAN DERAJAT RESILIENSI PADA WARAKAWURI DI KOTA BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. karena pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan pembelajaran,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. merumuskan kesimpulan yang bersifat umum yaitu UPT P2TP2A berperan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu akan melewati berbagai tahap perkembangannya begitu pula dengan individu saat memasuki masa dewasa dini. Menurut Harlock (1980), individu memasuki usia dewasa madya pada usia 21-35 tahun. Dalam usia tersebut individu mulai dihadapkan dengan tanggung jawab dan memulai untuk membina rumah tangga atau berkeluarga, serta menjalankan perannya dalam keluarga. Keluarga adalah suatu unit sosial yang biasanya terdiri dari suami, istri dan anak-anak (Duvall, 1985). Dalam keluarga, suami dan istri memiliki perannya masing-masing. Menurut Duvall (1985) peran suami adalah sebagai pencari nafkah, membentuk cara hidup keluarga yang sehat, dapat memenuhi tuntutannya sebagai ayah, dapat meredakan konflik dan menjaga hubungannya dengan istri. Sedangkan peran istri adalah menerima dan menyesuaikan diri dengan tuntutan sebagai ibu, menyelesaikan konflik yang terjadi akibat peran-perannya, memelihara anak dan menjaga hubungannya dengan suami. Ketika peran suami dan istri berjalan dengan baik maka fungsi keluarga juga akan berjalan dengan baik. Namun yang terjadi terkadang tidaklah demikian, suami yang seharusnya bertanggung jawab untuk menafkahi justru melimpahkan tanggung jawabnya kepada istri. Suami juga tidak menjaga hubungannya dengan istri, suami tidak 1

2 melindungi istri dan bersikap mementingkan diri sendiri, mulai dari berkata-kata kasar terhadap istri, memukul istri bila sedang marah sampai melukai istri. Halhal yang dialami istri tersebut termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (www.pemantauperadilan.com/detil/.php?id=251&tipekolom). KDRT berdasarkan UU PKDRT no.23 tahun 2004 didefinisikan sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (www.pemantauperadilan.com/detil/.php?id=251&tipekolom). Dengan kata lain, ruang lingkup KDRT menurut UU PKDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Berdasarkan data kekerasan, selama kurun waktu 3 tahun terakhir terjadi peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 2002 terjadi 5.163 kasus, pada tahun 2003 terjadi 5.934 kasus, tahun 2004 terjadi 14.020 kasus dan semakin meningkat pada tahun 2005 mencapai 20.391 kasus. Sebesar 82% (16.615 kasus) dari total 20.391 kasus, adalah kasus KDRT. Data tentang kekerasan terhadap istri tercatat ada 4.886 kasus (29.41%). (http:/www.rahima.or.id//sr/20-06/fokus.htm). Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Kota Bandung, dalam tiga tahun terakhir ini telah menerima berbagai pengaduan dari masyarakat mengenai kekerasan. Pada tahun 2004 terjadi 33 kasus, yaitu : kekerasan terhadap istri (KTI) 23 kasus, kekerasan terhadap perempuan (KTP) 2 kasus, kekerasan dalam keluarga (KDK) 1 kasus, dan perkosaan 2 kasus,

3 pelecehan seksual 4 kasus, dan ekonomi 1 kasus. Sedangkan tahun 2005, secara keseluruhan kasus meningkat menjadi menjadi 46 kasus, dan untuk 2006, hingga bulan Juni telah masuk sebanyak 22 kasus (www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=152). KDRT memberikan dampak tertentu kepada korban, baik secara fisik ataupun secara psikis. Dampak secara fisik adalah dampak yang paling terlihat dengan jelas. Hasil penelitian kolektif juga dilakukan komnas perempuan (2001) memperlihatkan sepertiga dari istri yang mengalami penganiayaan mendapat cedera fisik. Selain cedera, dampak fisik lainnya dapat berupa sakit kepala, asma, sakit perut, serta gangguan kesehatan reproduksi seperti mengalami keputihan. Sedangkan secara psikis, kekerasan akan membuat istri menderita kecemasan, depresi, dan sakit jiwa akut. Dampak lain bisa juga mengurangi kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, tidak tertutup kemungkinan memunculkan keinginan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. (http://pikas.bkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=220). Dampak-dampak dari kekerasan tersebut dapat dialami oleh istri yang tidak bercerai dan masih tinggal bersama suami yang mengalami KDRT. Adanya tindak kekerasan yang dialami oleh istri merupakan situasi yang menekannya (adversity). Dalam situasi tersebut istri diharapkan tetap mampu untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keluarga. Sebagai istri, tetap dapat menjaga fungsi keluarga dan mampu menjadi media yang dapat meredakan konflik dalam keluarga. Istri tetap mampu menjadi tempat suami berbagi akan masalahnya. Istri mampu memberi dukungan kepada suami bila suami mengalami

4 masa-masa sulit. Istri memenuhi kebutuhan afeksi yang diperlukan oleh keluarga, mampu memberikan rasa aman ke sesama anggota keluarga. Sebagai ibu, dapat berkomitmen untuk tetap merawat, menjaga, memperhatikan kebutuhan anakanak dan suami walaupun suami bersikap kasar terhadap dirinya. Sebagai ibu dapat mendampingi dan memperhatikan anak melewati masa perkembangannya. Kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berfungsi dengan baik, walaupun ditengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan dikenal sebagai resiliensi (Bernard, 1991). Resiliensi ini meliputi social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose. Berdasarkan wawancara dengan ibu R yang berusia 38 tahun dan telah menikah selama 14 tahun. R berasal dari keluarga yang kurang mampu, suami R bekerja sebagai supir angkot dan R sebagai ibu rumah tangga. Selama pernikahan tersebut R mengalami kekerasan secara fisik dan secara ekonomi. Awal mulanya suami R suka menampar kemudian perlakuannya jadi bertambah keras dengan memberi sulut rokok sampai suami mencoba membunuhnya. Perilaku suaminya itu adalah dampak dari kebiasaan suami yang suka berjudi dan mabuk, karena itu R harus mencari nafkah untuk keluarganya dengan berjualan kue. R merasa dirinya menjadi tempat pelampiasan suaminya bila kesal. R menutupi kejadian tersebut dari anak-anaknya karena takut anak-anaknya akan terlibat. R sering mengalami kecemasan dan ketakutan yang mengganggunya sehingga memberanikan diri melaporkan kejadian yang menimpanya itu ke LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM menempatkan R di sebuah asrama agar terhindar dari kejaran suaminya yang tidak terima bahwa R memberitahukan pada LSM

5 perlakuannya. R mengalami trauma untuk berhadapan dengan laki-laki pada awal R di asrama. R menghayati dirinya sudah gagal menjadi seorang istri, tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai ibu. LSM memberikan penyuluhan dan konseling kepada R sehingga R dapat mengatasi traumanya itu dan mulai menjalin relasi dengan teman-teman seasramanya. Saat ini R sering dipanggil LSM untuk membagikan pengalamannya dan membantu orang lain yang memiliki masalah yang sama dengannya dengan cara memberikan dorongan dan mendampingi istri sampai siap untuk kembali ke suaminya. Kekurangan faktor ekonomi dan kebiasaan buruk suami yang berupa kekerasan fisik merupakan situasi menekan (adversity). Dalam kondisi seperti itu R berusaha bertahan dengan dengan mencoba menyesuaikan diri, R berusaha mengikuti setiap aturan yang diberikan oleh suami, tetap merawat anak-anaknya R berharap sikapnya dapat merubah sikap suaminya. Berdasarkan hasil wawancara, R tetap merasa kecewa karena suami tidak ada perubahan. Dalam kondisi tersebut R berusaha aktif di lingkungannya, dengan bergaul bersama teman-temannya, bersosialisasi dengan lingkungan hal tersebut menunjukkan kemampuan social competence. Saat suami tidak memberi nafkah, R berusaha mencari nafkah agar dapat menghidupi keluarganya. Hal tersebut menunjukkan hal autonomy. R tidak pasrah dan diam dengan kejadian yang dialaminya tetapi berusaha mencari bantuan untuk dirinya dengan melaporkan ke LSM, hal tersebut menunjukkan problem solving. R saat ini ingin membantu orang lain yang mengalami masalah yang sama dengannya melalui acara yang digelar LSM atau media lainnya. R dapat membagikan pengalamannya dan membuat orang dapat

6 belajar dari dirinya mengenai hal-hal yang mampu membuatnya bertahan dan kembali pada suaminya, hal tersebut menunjukkan sense of purpose. Kasus kedua adalah ibu D berusia 52 tahun dan memiliki 2 orang anak. Anak yang pertama adalah laki-laki berusia 25 tahun dan yang kedua perempuan berusia 22 tahun. Pada usia pernikahan yang ketujuh, suami D mulai sering pulang larut malam, saat usia pernikahan mencapai sepuluh tahun suami suka memukul D tanpa alasan yang jelas. D mengira hal itu terjadi akibat dari masalah yang terjadi di kantor dan D menjadi pelampiasan suaminya. Setelah beberapa tahun D sudah tidak tahan dengan sikap suaminya yang sudah tidak menafkahi keluarga, D memutuskan pindah ke kota B dan masih berharap suami mau kembali lagi padanya. Suami D berjanji akan tetap menafkahi dirinya beserta anak-anak dengan mengirimkan uang bulanan rutin. Namun, hal tersebut hanya terjadi di tiga bulan pertama, lama kelamaan D tidak menerima uang dari suaminya. Hal itu membuat D memutuskan bercerai dari suaminya. Setelah bercerai D baru tahu bahwa suaminya memiliki wanita lain. D mencoba membuka usaha kantin di dekat rumahnya, tetapi tidak berlangsung lama dan akhirnya bangkrut. D berharap banyak dari bantuan suaminya walaupun tahu bantuan tersebut tidak rutin. Anak-anak menjadi kesal dengan sikap D karena tidak ada usaha untuk menafkahi keluarga membuat mereka tidak dapat melanjutkan kuliah sehingga memilih bekerja untuk menghidupi keluarga. D tidak menjalin relasi dengan tetangga karena merasa malu keadaan ekonomi keluarga berada di bawah tetangga sekitarnya.

7 Ketidakmampuan D untuk menjalin relasi dengan lingkungannya dan menutup diri dengan masalah yang dialaminya menunjukkan kurangnya kemampuan social competence. D berusaha untuk menghidupi keluarganya dengan membuka kantin namun hal tersebut tidak berlangsung lama, D tidak mengelola dengan baik usaha tersebut yang mengakibatkan kebangkrutan. Kemudian D tidak berusaha lagi untuk melakukan sesuatu yang bisa menghidupi keluarganya. Hal tersebut menunjukkan kurangnya kemampuan problem solving sehingga D membiarkan anak-anak yang mencari nafkah. D tetap saja mengharapkan bantuan dari suaminya, hal tersebut menunjukkan kurangnya kemampuan autonomy. D yang terpaku pada suaminya untuk mengirimkan uang bulanan sehingga tidak berusaha membuat rencana masa depan keluarganya. Hal tersebut menunjukkan D kurang mampu dalam sense of purpose. Jenis KDRT berbeda-beda, sehingga sikap dan kemampuan istri yang mengalami KDRT dalam mengatasinya akan berbeda-beda pula. Keadaan lingkungan juga turut mempengaruhi kemampuan istri yang mengalami KDRT, baik lingkungan sosial maupun kerja. Dalam penelitian ini lingkungan sosial istri adalah LSM yang di dalamnya beranggotakan istri-istri yang mengalami KDRT. LSM tersebut memberikan pengayoman yang berupa seminar seputar KDRT. Istri diajarkan keterampilan-keterampilan tertentu seperti merangkai bunga, istri diberikan pelatihan (training) untuk memberi respon yang tepat terhadap anak dan bagaimana membangun hubungan yang sehat antara ibu dan anak di tengah situasi KDRT. Hal-hal tersebut dapat mendukung kemampuan istri menghadapi KDRT yang dialaminya. Istri juga diharapkan dapat bertahan dan tetap menjalankan

8 perannya (resiliensi) walaupun di tengah lingkungan yang tidak mendukungnya. Istri yang memiliki resiliensi yang tinggi akan mampu bertahan dalam lingkungan yang tidak mendukungnya. Contohnya seperti terus bertahan hidup, melanjutkan hidup untuk bekerja, aktif di berbagai kegiatan bahkan dapat menjadi aktivis membantu korban lainnya. Seperti yang dilakukan oleh ibu R yang terus berusaha kuat menghadapi hidupnya dengan membuka diri dengan lingkungan dan tidak menutup diri terhadap bantuan dari luar. Sedangkan istri yang memiliki resiliensi rendah akan menjadi putus asa contohnya, melarikan diri dari keluarga, menutup diri dari lingkungan, pasrah terhadap bantuan tidak berusaha mencari bantuan agar dapat keluar dari keadaannya, melalaikan tugasnya memperhatikan perkembangan anak. Seperti ibu D yang terus mengharapkan bantuan dari suaminya walaupun ia tahu bahwa itu sulit, tanpa berusaha melakukan sesuatu yang dapat membantunya keluar dari masalahnya. Melihat terdapat perbedaan kemampuan istri menghadapi kekerasan dalam rumah tangga dan kemampuan istri untuk bertahan membuat peneliti tertarik untuk meneliti Resiliensi pada istri yang mengalami KDRT di LSM X, Y, dan Z Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Bagaimana gambaran derajat resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di LSM X, Y, dan Z Bandung.

9 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud penelitian Maksud penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai derajat resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di LSM X, Y, dan Z Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh lebih rinci mengenai konstelasi dari ke empat aspek resiliensi pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga LSM X, Y, dan Z di Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang psikologi klinis mengenai resiliensi pada istri yang mengalami KDRT. 2. Sebagai bahan kajian dan masukan bagi para peneliti yang bergerak di bidang kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam rumah tangga. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada istri yang mengalami KDRT agar mereka dapat mengembangkan dirinya sehingga dapat berfungsi sebagai ibu dan sebagai istri dengan baik di lingkungannya.

10 2. Memberikan masukan kepada keluarga termasuk suami agar memberikan peluang pada istri untuk mengembangkan diri melalui perkembangan resiliensi dengan menciptakan lingkungan yang hangat. 3. Hasil penelitian ini dapat digunakan bagi kalangan praktisi perempuan maupun LSM yang bergerak di bidang KDRT, sebagai masukan untuk mendukung perkembangan resiliensi. 1.5 Kerangka Pikir Masa dewasa dini adalah salah awal masa kehidupan saat individu memasuki periode dewasa, usia dewasa dini merupakan periode perkembangan dimulai pada usia 21 hingga memasuki usia 35 tahun. Pada masa ini individu akan menghadapi perubahan-perubahan, masalah-masalah penyesuaian diri, penyesuaian sosial, dan penyesuaian dalam keluarga (Santrock, 2002). Keluarga adalah unit sosial yang biasanya terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Duvall (1985) mengatakan, peran suami dalam keluarga adalah sebagai pencari nafkah, membentuk cara hidup keluarga yang sehat, dapat memenuhi tuntutannya sebagai ayah, dapat meredakan konflik yang terjadi akibat peran-perannya dan mencegah timbulnya konflik, dan menjaga hubungannya dengan istri. Sedangkan istri berperan menerima dan menyesuaikan diri dengan tuntutan sebagai ibu, menyelesaikan konflik yang terjadi akibat peran-perannya, memelihara anak dan menjaga hubungannya dengan suami. Namun terkadang yang terjadi suami tidak menjalankan perannya, suami tidak melindungi istri tetapi melakukan kekerasan terhadap istri.

11 Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 1 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Saraswati, 2006). Saraswati juga mengungkapkan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga terhadap istri meliputi: kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran rumah tangga atau kekerasan ekonomi. Kekerasan-kekerasan yang dialami oleh istri dapat dihayati sebagai situasi yang menekan (adversity). Adversity merupakan pengalaman negatif yang berpotensi mengacaukan fungsi adaptif pada perkembangannya. Istri yang mengalami KDRT berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yaitu kekerasan yang dialaminya, agar mereka tetap mampu berfungsi dengan baik di kehidupan pribadi maupun lingkungan sosialnya. Bernard, (1991) menyatakan bahwa kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik walaupun ditengah situasi yang menekannya (stres) atau banyaknya halangan dan rintangan sebagai resiliensi. Semua individu membutuhkan resiliensi untuk mengendalikan adversity. Resiliensi meliputi empat aspek seperti yang dikemukakan Bernard (1991), yaitu social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose. Aspek pertama adalah social competence yang terdiri responsiveness, communication, empathy and caring, compassion, altruism dan forgiveness. Istri

12 yang mengalami KDRT yang memiliki social competence yang tinggi mampu membangun relasi dengan lingkunganya. Istri yang mengalami KDRT mampu bertingkah laku yang memberikan tanggapan dan respon positif dari tetangga atau lingkungannya (responsiveness). Istri yang mengalami KDRT mampu menyampaikan pendapat atau perasaannya secara asertif kepada suami atau orang-orang yang menyakitinya tanpa harus menyinggung perasaan orang tersebut (communication). Istri yang mengalami KDRT dapat mendengarkan cerita orang lain yang mengalami masalah dan memahami perasaan orang lain (empathy and caring). Istri yang mengalami KDRT dapat memperlihatkan kepeduliannya dengan memperhatikan penderitaan orang lain dan membantu orang lain yang sedang susah sesuai dengan kebutuhan orang tersebut walaupun dirinya mengalami kesedihan (Compassion, altruism). Istri mampu memaafkan orangorang yang bersalah kepadanya (forgiveness). Aspek kedua adalah problem solving yang terdiri dari planning, flexibility, resourcefulness, critical thinking and insight. Istri yang mengalami KDRT dengan kemampuan problem solving yang tinggi, mampu merencanakan masa depannya. Istri yang mengalami KDRT dapat berkonsultasi dengan psikolog, dimana istri dapat menentukan untuk bercerai atau tetap mempertahankan rumah tangganya. kemudian istri yang mengalami KDRT dapat menentukan untuk tetap tinggal bersama suami atau tinggal bersama orang tua (Planning). Apabila perencanaan tidak berjalan maka istri yang mengalami KDRT dapat mencari solusi lain untuk pemecahan masalahnya. Istri yang mengalami KDRT dapat mencari perlindungan kepada teman dekat, apabila tidak berhasil istri dapat meminta bantuan hukum

13 untuk melindunginya, atau mencari alternatif bantuan dengan ke LSM-LSM (flexibility). Istri juga dapat mengenali dan mempergunakan segala sumber daya yang ada seperti keluarga, teman, atau bantuan hukum agar dapat mempertahanakan diri bila suami melakukan kekerasan terhadapnya (Resourcefulness). Selain itu, istri yang mengalami KDRT juga mampu mengevaluasi dirinya dan menyadari apakah dengan menceritakan kepada keluarga atau mencari dukungan ke LSM sudah merupakan cara yang tepat untuk merubah suaminya. Apabila belum mencapai perubahan istri akan dapat menemukan cara-cara atau solusi-solusi lain yang tepat untuk masalah rumah tangganya (Critical thinking and insight). Aspek ketiga adalah autonomy yang meliputi positive identity, internal locus of control, self efficacy and mastery, adaptive distancing and resistance, self awareness and mindfulness, dan humor. Istri yang mengalami KDRT yang memiliki autonomy yang tinggi memiliki komitmen tinggi untuk menjalankan perannya dalam rumah tangga. Istri yang mengalami KDRT akan tetap merasa diri berharga, memiliki percaya diri walaupun mengalami penderitaan (Positive Identity). Istri yang mengalami KDRT mampu bersikap tenang apabila suami bertindak agresi. Istri tetap dapat mengambil keputusan dengan tepat saat mengalami krisis`atau tekanan (Internal Locus of Control). Istri yang mengalami KDRT yakin, bahwa dirinya mampu mencapai apa yang direncanakan atau diinginkan. Ia juga merasa yakin dapat melanjutkan rumah tangganya dan yakin dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya (Self efficacy and Mastery). Istri yang mengalami KDRT dapat mengambil jarak dengan lingkungan yang mengacuhkan

14 dirinya atau tidak membantunya. Istri yang mengalami KDRT mampu bersikap acuh terhadap masukan-masukan atau pemberitaan negatif tentang dirinya (Adaptive distancing and resistance). Istri yang mengalami KDRT mampu mengenali emosi yang dialaminya tetapi masih dapat mengontrol emosinya itu (Self awareness and Mindfulness). Istri yang mengalami KDRT juga dapat berwajah ceria saat menghadapi tekanan didepan anak-anaknya (Humor). Aspek keempat adalah sense of purpose, meliputi Goal direction, Achievement motivation, and Educational aspirations, Spesial interest, creative, and imagination, Optimism and Hope, Faith, Spirituality, Sense of Meaning. Istri yang mengalami KDRT dengan sense of purpose yang tinggi tetap dapat melakukan tugas-tugasnya sebagai ibu rumah tangga ataupun pekerjaannya di tempat kerjanya. Memiliki tujuan hidup yang jelas kemudian berusaha untuk mencapainya dan dapat berdiskusi mengenai pemecahan masalahnya dengan orang lain (Goal direction). Istri yang mengalami KDRT semakin percaya diri setelah menunjukkan prestasi di tempat kerjanya ataupun dalam melakukan tugastugas rumah tangganya (Achievement motivation). Istri yang mengalami KDRT bisa menemukan inspirasi atau jalan keluar dengan membaca buku-buku mengenai kekerasan dan bertukar pikiran dengan orang-orang yang memiliki pengalaman serupa dengan dirinya (Educational aspirations). Istri juga bisa mengembangkan hobinya sebagai tempat menyalurkan kesedihan atau penderitaannya (Spesial interest, creative, and imagination). Istri memiliki harapan bahwa hidupnya akan menjadi lebih baik. Istri yakin bahwa suaminya akan berubah dan anak-anaknya dapat sukses walaupun hidup dengan keluarga

15 yang tidak harmonis (Optimism and Hope). Istri mendalami agamanya dan mencari makna hidupnya. Istri tidak menyalahkan Tuhan atas penderitaan yang menimpanya (Faith, Spirituality, Sense of Meaning). Kemampuan resiliensi pada istri yang mengalami KDRT tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya (protective factors) yaitu, caring relationship, high expectation opportunities to participate and contribute di lingkungan (Bernard, 2004). Caring relationship merupakan hubungan positif yang didapat istri yang mengalami KDRT dari keluarganya, lingkungan sosial, atau lingkungan kerjanya. Dalam menghadapi KDRT, keluarga merupakan figur yang penting bagi istri korban KDRT untuk meningkatkan resiliensi pada diri mereka sendiri. Protective factors yang diberikan oleh keluarga dapat berupa kasih sayang, kehangatan, perhatian dari orang tua ataupun saudara-saudaranya. Secara emosional istri membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya yaitu temanteman terdekatnya. Dukungan yang positif dapat menumbuhkan sikap yang positif dalam menghadapi kekerasan yang dialaminya. Protective factors yang diberikan dapat berupa dukungan motivasi, memberikan masukan, sikap peduli dan mencoba memahami keadaan istri yang mengalami KDRT. High expectation dimana orang-orang disekitar memberikan kepercayaan kepada istri yang mengalami KDRT bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu hal yang berguna baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Protective factors yang diberikan keluarga dapat berupa kepercayaan serta keyakinan dapat melewati segala penderitaannya. Selain itu protective factors yang diberikan oleh

16 lingkungan sosial maupun lingkungan kerja dapat berupa kepercayaan untuk tetap melakukan tugas-tugas atau kegiatan rutin yang bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungannya. Opportunities for participation and contribution dimana istri korban KDRT mendapatkan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatankegiatan keluarga, lingkungan sosialnya dan lingkungan kerjanya sehingga ia dapat mengekspresikan dirinya. Protective factors yang diberikan keluarga dapat berupa kesempatan untuk terlibat dalam acara-acara keluarga. Begitu juga dalam lingkungan kerja ataupun lingkungan sosial istri diberi kesempatan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada. Keluarga yang memberikan kehangatan dan memiliki rasa saling percaya akan memberikan penghayatan bagi istri yang mengalami KDRT untuk memberikan respon yang positif terhadap lingkungan, menunjukkan empati kepada orang lain, dan dapat bersosialisasi baik terhadap lingkungan sehingga tidak merasa kesepian (sosial competence). Istri yang mengalami KDRT yang diberikan kepercayaan bahwa dirinya dapat mengatasi semua permasalahan yang dialaminya dan mencari alternatif solusi masalahnya (problem solving). Mereka juga dapat bertindak dan berpikir positif tentang dirinya, dan dapat menghidupi keluarga dengan penghasilan mereka sendiri tanpa harus bergantung pada penghasilan suami (autonomy). Istri korban KDRT tetap memiliki harapan dan pandangan yang positif terhadap kehidupan mereka di masa depan (sense of purpose).

17 Lingkungan kerja dan lingkungan sosial juga dapat memberikan penghayatan kepada isri yang mengalami KDRT bahwa mereka tidak sendiri menghadapi penderitaannya karena mereka memberikan perhatian, dukungan, dan masukan sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan baik di lingkungannya tersebut dapat melihat lingkungan sosial lebih luas (social competence). Mereka juga dapat menemukan sumber daya eksternal dan dukungan dari lingkungan yang dapat membuat mereka mampu melewati masalahnya (problem solving). Istri yang mengalami KDRT dapat tetap memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat bertahan melewati penderitaannya (autonomy). Mereka juga memiliki motivasi dan harapan yang positif menjalani kehidupannya di masa datang dan melakukan kegiatan bersama dengan meluangkan hobinya (sense of purpose). Ketiga protective factors tersebut berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia (needs). Kebutuhan dasar ini merupakan perkembangan mendasar yang ada dalam setiap individu dan memotivasi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Kebutuhan dasar ini terdiri dari safety, love/belonging, respect, autonomy/power, challenge/mastery, dan meaning. dengan resiliensi. Saat keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial memberikan dukungan dan masukan yang positif, maka secara alami needs yang terpenuhi ialah love, belonging, dan safety needs. Saat keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan kerja memberikan kepercayaan untuk melakukan hal yang berguna bagi dirinya, needs yang terpenuhi adalah safety dan meaning need. Kesempatan yang diberikan oleh keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan kerja kepada istri yang mengalami KDRT untuk melakukan berbagai kegiatan yang

18 positif, maka memenuhi autonomy/power need istri. Needs yang terpenuhi maupun yang tidak terpenuhi akan mempengaruhi aspek resiliensi yaitu social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose. Berdasarkah hal tersebut, istri yang mengalami mendapat dukungan yang positif dari keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan sosial cenderung memiliki resiliensi yang tinggi. Istri yang mengalami KDRT yang memiliki resiliensi yang tinggi mampu bersosialisasi dengan baik di lingkungannya dan tetap aktif menjalani rutinitasnya (social competence). Istri yang mengalami KDRT yang memiliki resiliensi tinggi akan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi dan mencari alternatif solusi untuk masalahnya (problem solving skills). Istri yang mengalami KDRT yang memiliki resiliensi tinggi memiliki harapan dan pandangan yang positif tentang masa depannya (sense of purpose). Sedangkan istri yang tidak mendapat dukungan yang positif dari keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan sosial cenderung memiliki resiliensi yang rendah. Istri yang mengalami KDRT kurang mampu bersosialisasi dengan lingkungannya, cenderung terlibat konflik dengan orang lain dan menarik diri dari lingkungan. Istri yang mengalami KDRT juga kurang mampu mencari alternatif solusi. Selain itu istri yang mengalami KDRT kurang mampu melakukan kegiatan secara mandiri, kurang mampu menentukan tujuan hidup dan masa depannnya. Oleh karena itu, istri yang mengalami KDRT perlu untuk mengembangkan resiliensinya. Hal tersebut dapat membantu mereka untuk menyesuaikan diri secara positif dengan perubahan-perubahan yang mereka alami sehingga

19 meminimalkan dampak negatif dari kekerasan yang dialaminya dan membantu mereka tetap mampu menjalankan peran dan fungsinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat digambarkan dengan bagan kerangka pemikiran sebagai berikut : -Social competence - Problem Solving - Autonomy Istri yang mengalami korban korban KDRT di Bandung Need : -Safety -Love/belonging -Respect -Power/autonomy -Mastery/challenge - Meaning - Sense of purpose Resiliensi Protective Factors : - Caring relationship - High Expectation - Opportunities to participate&contribute Tinggi Rendah Bagan 1.5 Kerangka Pikir

20 1.6 Asumsi Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat ditarik sejumlah asumsi sebagai berikut : 1. Istri yang mengalami KDRT berupa kekerasan baik secara ekonomi, fisik, psikis, maupun seksual menghayati bahwa hal-hal tersebut adalah situasi yang menekannya (adversity). 2. Setiap istri yang mengalami KDRT memiliki resiliensi, yang membedakan adalah derajat resiliensinya. 3. Resiliensi pada istri yang mengalami KDRT dipengaruhi oleh protective factors melalui keluarga, dan lingkungan sosial. 4. Istri yang mengalami KDRT dan memiliki resiliensi yang tinggi akan dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu dengan baik ditengah kekerasan yang dialaminya dan tetap mampu beraktivitas. Sedangkan istri yang mengalami KDRT dan memiliki resiliensi yang rendah kurang mampu menjalankan fungsinya sebagai ibu serta istri dan kurang mampu beraktivitas.