LAMPIRAN: Undang-Undang no 20 Tahun Tindak Pidana Korupsi

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II IDENTIFIKASI DATA

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK PELAKSANAAN (JUKLAK) PEMILIHAN PELAKSANA HARIAN MAJELIS JEMAAT MASA BAKTI 2017 s.d 2020

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Jakarta, 22 Agustus : 3551/VIII-17/MS.XX : 1 (satu) Bundel : Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Fungsionaris Pelaksana Harian Majelis Jemaat

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II MANAJEMEN ASSET GEREJA. Manajemen adalah bagaimana mencapai tujuan organisasi dengan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Modul ke: Etik UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya - 1. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU.

PERAN, TANGGUNG JAWAB, DAN HAK KONSULTAN PADA SAAT TERJADI WANPRESTASI OLEH

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41 / HUK / 2010 TENTANG


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 215/KMA/SK/XII/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PETUNJUK PELAKSANAAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CONTOH AKTA PENDIRIAN (BARU) YAYASAN YAYASAN

YAYASAN Contoh akta perubahan anggaran dasar Yayasan untuk Yayasan yang didirikan sebelum

BAB V : KEPEMIMPINAN GEREJAWI

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

PENGERTIAN KORUPSI. Bab. To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N

2015, No Mengingat :1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 127 TAHUN 2000 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN JAWATAN RUMAH SAKIT ANAK DAN BERSALIN HARAPAN KITA JAKARTA

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PIAGAM DIREKSI & DEWAN KOMISARIS. PT UNGGUL INDAH CAHAYA Tbk.

UNDANG-UNDANG BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 02/UU/BPM FEB UI/X/2015 TENTANG:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 55 TAHUN 2003 SERI E.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2000 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) SARANA PENGEMBANGAN USAHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2007 NOMOR 12 SERI E

ANGGARAN RUMAH TANGGA PRIMER KOPERASI PEGAWAI UPN VETERAN YOGYAKARTA. Badan Hukum : 479 a/bh/xi/12-67 BAB I UMUM

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perda Kab. Belitung No. 8 Tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) DAMRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III METODOLOGI ANALISIS

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) DAMRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (PD. BPR) BANK PASAR KABUPATEN TEGAL

YAYASAN Contoh akta Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-undang nomor 16

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

LAMPIRAN: Undang-Undang no 20 Tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999). 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999). 3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001). 4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001). 5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001: a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan 78

bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang. c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. 6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001). 7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001). 8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001): a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau 79

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001). 10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 : a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri 80

atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. 11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001). 12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999). 13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999. 81

Peraturan No 6. Tentang Perbendaharaan GPIB Peraturan no 6 Memori Penjelasan Tentang Perbendaharaan GPIB Pasal 1 Pengertian Perbendaharaan GPIB adalah seluruh harta milik yang ada di GPIB Pasal 1: 1. Perbendaharaan GPIB meliputi Penatalayanan Anggaran, Perbendahraan dan Pencatatan Pembukuan; 2. Semua harta milik, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, adalah atas nama GPIB Pasal 2 Pasal 2: Cukup Jelas Fungsi Perbendaharaan Perbendaharaan GPIB berfungsi sebagai salah satu alat penunjang pelayanan dalam melaksanakan panggilan dan pengutusan secara tepat sasaran (efektif) dan tepat guna (efisien). Pasal 3 Ruang Lingkup Kegiatan Perbendaharaan Ruang Lingkup Kegiatan Perbendaharaan GPIB untuk lingkup Sinodal dan lingkup Jemaat Pasal 3 82

meliputi: 1. Menyusun, memutakhirkan dan mengimplementasikan anggaran penerimaan dan pengeluaran serta memantau varianvarian yang terjadi antara anggaran dan realisasi; 2. Menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang, termasuk uang di bank dan pengaturan pemanfaatan dan pegelolaannya; 3. Menyimpan, memelihara dan mengelola perbendaharaan termasuk dokumen pendukungnya dengan cermat, bertanggung jawab dan bijaksana; 4. Menata dengan cermat kewajiban/utang dan piutang GPIB, termasuk kewajiban penjamin. 5. Menyelenggarakan manajemen resiko, termasuk menyusun dan memelihara sistem pengendalian internal untuk mengamankan perbendaharaan GPIB; 6. Menyelenggarakan catatan pembukuan yang memenuhi ketentuan yang berlaku; 7. Menyusun laporan keuangan yang tepat Pasal 3:1 Pasal 3:2 Pasal 3:3 Pasal 3:4 Pasal 3:5 Pasal 3:6 Pasal 3:7 83

waktu dan relevan sebagai materi Sidang Majelis Jemaat. Pasal 4 Tata Laksana Pengelolaan 1. Harta milik GPIB berupa harta bergerak dan tak bergerak, baik yang diwariskan oleh de Protestansche Kerk in Nederlandse Indie maupun yang diperoleh kemudian oleh Majelis Sinode/Majelis Jemaat, dinyatakan dalam sertifikat kepemilikan atas nama GPIB sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 2. Pengurusan sertifikat harta milik GPIB berupa harta tk bergerak, dalam memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan oleh Majelis Sinode bekerja sama dengan Majelis Jemaat setempat; 3. Penyimpanan sertifikat kepemilikan harta tak bergerak sebagaimana dimaksud dalam butir (2), baik yang berada dalam penggunaan, pengelolaan, penguasaan maupun yang tidak berada dalam penguasaan Majelis Pasal 4 Pasal 4:1 Pasal 4:2 Pasal 4:3 84

Sinode/Majelis Jemaat, termasuk namun tidak terbatas yang dikelola oleh Yayasan yang didirikan oleh GPIB harus dilakukan oleh Majelis Sinode; 4. Pengurusan dan penyimpanan dokumen tanda kepemilikan harta bergerak di lingkup Sinodal/Jemaat dilakukan oleh Majelis Sinode/Majelis Jemaat; 5. Pemeliharaan harta milik GPIB yang digunakan atau dikelola oleh Majelis Sinode atau Majelis Jemaat atau pengurus Yayasan menjadi tangbgung jawab masing-masing; 6. Pemeliharaan harta milik GPIB berupa harta tak bergerak yang belum dapat digunakan, wajib menjadi tanggung jawab Majelis Sinode; 7. Harta milik GPIB berupa harta tak bergerak yang hendak dialihkn hak kepemilikannya harus mendapat persetujuan dan pengesahan oleh dan di dalam Persidangan Sinode/Persidangan Sinode Tahunan; 8. Pengajuan rencana pengalihan harta milik GPIB berupa harta tak bergerak sebagaimana Pasal 4:4 Pasal 4:5 Pasal 4:6 Pasal 4:7 Pasal 4:8 : Mendesak dimaksud adalah menyangkut kondisi kritis yang dialami oleh GPIB, baik secara sinodal maupun jemaat. 85

dimaksud dalam butir (7) harus disertai dengan suatu perencanaan serta rinci yang berisi alasan pengalihan dan rencana penggunaan hasil pengalihan yang dibuat oleh tenaga ahli di bidang tersebut dengan didukung oleh suatu studi kelayakan; 9. Rencana pengalihan harta milik GPIB sebagaimana dimaksud dalam butir (7) wajib disampaikan kepada seluruh Majelis Sinode selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum Persidangan Sinode; 10. Ketentuan dalam butir (7), (8) dan (9) juga berlaku untuk transaksi Tukar Guling (Ruilslag), Bangun Kelola Serah (Built Operate Transfer) atau BOT, BTO (Built Transfer Operator) dan transaksi bagi hasil lainnya dengan pihak ketiga; 11. Tanpa melalui keputusan Persidangan Sinode/Persidangan Sinode Tahunan, baik Majelis Sinode, Majelis Jemaat maupun pihak lain, tidak diperkenankan menguasai atau mengagunkan harta milik GPIB; 12. Setiap tindakan pelepasan atas hak atau Pasal 4:9 Pasal 4:10 Pasal 4:11 Pasal 4:12 86

mengagunkan harta milik GPIB, tanpa melalui prosedur atau ketentuan-ketentuan di atas akan dikenai sanksi hukum, baik perdana maupun pidana; 13. Harta milik GPIB berupa gedung Gereja dan gedung-gedung penting lainnya perlu diasuransikan. Pasal 5 Tahun Program dan Anggaran serta Sistem Pengelolaan 1. Tahun program dan anggaran GPIB adalah tanggal 1 April tahun berjalan sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya; 2. Dalam mengelola perbendaharaanya, GPIB menganut sistem sentralisasi terbatas; 3. Majelis Jemaat diwajibkan menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaranb setiap akhir triwulan kepada Majelis Sinode, selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Perbendaharaan Jemaat dan Pasal 4:13 Pasal 5 Pasal 5:1 Pasal 5:2 Pasal 5:3 :Sentralisasi terbatas adalah sentralisasi di lingkup Sinodal yang memberi wewenang kepada jemaat sesuai peraturan GPIB. 87

disahkan dalam Sidang Majelis Jemaat; 4. Majelis Jemaat diwajibkan menyusun daftar kekayaan dan utang piutang setiap akhir tahun buku kepada Majelis Sinode selambatlambatnya pada akhir bulan Mei setelah diperiksa oleh BPPJ dan disahkan oleh SMJ; 5. Tanpa mengurangi isi dari ketentuan dalam butir (2), khususnya mengenai hubungan tanggung jawab administrasi keuangan antara Majelis Jemaat dengan unit-unit Misioner di jemaat diberlakukan sistem sentralisasi penuh; 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir (3), (4) dan (5) diatur dalam Petunjuk Teknis. Pasal 6 Sumber Penerimaan Sumber Penerimaan di GPIB terdiri atas: Pasal 5:4 Pasal 5:5 Pasal 5:6 Pasal 6 1. Jemaat a. Persembahan (wajib persepuluhan) Pasal 6:1 Pasal 6:1.a : perlu ada pembinaan tentang persepuluhan. b. Persembahabn Khusus (persembahan Pasal 6:1.b syukur) c. Persembahan Sukarela (persembahan Pasal 6:1.c 88

dalam ibadah-ibadah jemaat) d. Bantuan perorangan atau pemerintah yang Pasal 6:1.d tidak terikat, baik berupa uang, barang maupun penghibahan e. Hasil investasi f. Penerimaan lain-lain yang tidak Pasal 6:1.e Pasal 6:1.f bertentangan dengan ketentuan GPIB dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku 2. Sinodal Pasal 6:2 a. Persembahan Wajib; Persembahan Pasal 6:2.a Persepuluhan bulanan, Penggajian Sinodal dan Dana Penyangga Gaji Pendeta dan Pegawai (DPGP2) b. Persembahan Khusus; Persembahabn Pasal 6:2.b dalam rangka HUT GPIB, HUT Pelkatpelkat dan hari-hari raya gerejawi c. Persembahan Sukarela; Persembahan Pasal 6:2.c perorangan atau bantuan pemerintah d. Hasil investasi Pasal 6:2.d e. Penerimaan lain-lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan GPIB dan ketentuan perundang-undangan yang Pasal 6:2.e : Penerimaan GPIB di lingkup Jemaat maupun Sinodal sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 di 89

berlaku. atas adalah termasuk penerimaan oleh unit-unit missioner di lingkup jemaat atau sinodal, yang tidak bertentangan dengan ketentuan GPIB dan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Pasal 7 Pasal 7 Bendahara 1. Bendahara ialah Presbiter GPIB yang bertanggung jawab atas pengelolaan perbendaharaan 2. Para Ketua Bidang di Majelis Jemaat/Majelis Sinode tidak diperkenankan merangkap jabatan bendahara; 3. Apabila jabatan bendahara menjadi lowong dan berhalangan tetap, maka melalui Sidang Majelis Jemaat segera ditunjuk seorang Pelaksana Tugas (Plt) dari fungsionaris Majelis Jemaat/PHMJ dengan mendahulukan Bendahara I; 4. Bendahara bersama Ketua IV menyusun laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 butir 6; Pasal 7: 1 Pasal 7:2 Pasal 7:3 Pasal 7:4 90

5. Pengeluaran uang oleh bendahara hanya dapat dilakukan apabila telah disetujui oleh SMJ/rapat PHMJ dan telah memperoleh fiat otorisasi dari Ketua Bidang bersangkutan; 6. Uang yang disimpan pada Bank harus atas nama Majelis Jemaat/Majelis Sinode dari hanya dapat dikeluarkan berdasarkan keputusan SMJ/rapat PHMJ dan mendapat otorisasi Ketua IV bersama Bendahara. Apabila Ketua IV berhalangan, maka Bendahara dapat memberikan persetujuannya bersama Ketua Majelis Jemaat/Majelis Sinode; 7. Ketentuan mengenai wewenang otorisasi pengeluaran uang secara rinci sebagimana dimaksud dalam butir 5, diatur dalam Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat/Majelis Sinode; 8. Mengenai kebijakan pengelolaan perbendaharaan pada umumnya, Bendahara Majelis Jemaat menyampaikannya kepada Rapat PHMJ untuk diinformasikan di dalam SMJ. Pasal 7: 5 Pasal 7: 6 Pasal 7:7 Pasal 7:8 91

Pasal 8 Pasal 8 Persyaratan Bendahara Syarat untuk dapat dipilih sebagai Bendahara dan Bendahara I adalah harus memenuhi kualifikasi teknis berikut: 1. Mempunyai pengetahuan/keahlian yang layak dalam urusan perbendaharaan; 2. Jujur, tekun, lugas dan akurat; 3. Tidak berada dalam kesulitan finansial; 4. Tidak pernah dihukum karena terlibat perkara tindak pidana di bidang keuangan; 5. Harus berpenghasilan tetap dan mempunyai tempat tinggal sendiri. Pasal 9 Tatalaksana Pembukuan 1. Tata Pembukuan GPIB disesuaikan dengan sifat dan volume kegiatan masing-masing unit organisasi, namun harus dengan sasaran terjaminnya: a. Pencatatan mutasi keuangan dan harta milik GPIB secara baik, tertib dan teratur b. Pemeriksaan/control pembukuan yang baik Pasal 8:1 Pasal 8:2 Pasal 8:3 Pasal 8:4 Pasal 8:5 Pasal 9 Pasal 9:1 Pasal 9:1.a Pasal 9:1.b 92

c. Penyusunan anggaran penerimaan dan pengeluaran yang efektif dan efisien d. Penyusunan laporan penerimaan dan pengeluaran tepat waktu. 2. Dalam sistem pembukuan digunakan: a. Buku Harian (kas, bank dan memorial) b. Buku Besar dan Buku Pembantu c. Daftar Perhitungan Penerimaan dan Pengeluaran 3. Setiap akhir minggu/akhir bukan Bendahara bersama fungsionaris Majelis Sinode/PHMJ lain yang ditugaskan untuk itu, melakukan perhitungan kas (kas Opname) dan memeriksa kebenaran formal dari bukti penerimaan/pengeluaran kas yang telah dibukukan dan hasilnya dimuat dalam berita acara pemeriksanaan 4. Setiap akhir bulan, Bendahara bersama fungsionaris Majelis Sinode/PHMJ lain yang ditugaskan untuk itu, melakukan pencocokan saldo menurut buku bank dengan rekening Koran yang diterima dari bank 5. Majelis Sinode/Majelis Jemaat wajib Pasal 9:1.c Pasal 9:1.d Pasal 9:2 Pasal 9:2.a Pasal 9:2.b Pasal 9:2.c Pasal 9:3 Pasal 9:4 Pasal 9:5 93

menyusun dan memutakhirkan daftar inventaris GPIB yang berada di bawah penguasaannya setiap akhir tahun buku. Pasal 10 Pasal 10 Laporan Keuangan 1. Laporan Keungan terdiri atas: a. Laporan Penerimaan dan Pengeluaran b. Laporan harta milik bergerak dan tidak bergerak c. Catatan atas laporan keuangan 2. Laporan penerimaan dan pengeluaran dibuat oleh Majelis Jemaat untuk diinformasikan secara mingguan dan bulanan melalui warta jemaat; 3. Laporan keuangan dibuat oleh Majelis Jemaat setiap akhir triwulan dan akhir tahun buku untuk bahan Sidang Majelis Jemaatt. Laporan keuangan untuk Majelis Sinode disertai laporan dari BPPJ 4. Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPPG dibuat oleh Majelis Sinode setiap akbhir tahun semester dan akhir tahun buku untuk disampaikan kepada jemaat-jemaat. Pasal 10:1 Pasal 10:1.a Pasal 10:1.b Pasal 10:1.c Pasal 10:2 Pasal 10:3 Pasal 10:4 : Laporan keuangan majelis Sinode harus disertai neraca 94

Bila dianggap perlu Majelis Sinode dapat meminta akuntan public untuk mengaudit laporan keuangan Majelis Sinode 5. Laporan pertanggungjawaban keuangan dibuat oleh Majelis Jemaat pada akhir masa tugasnya untuk bahan Sidang Majelis Jemaat dengan disertai laporan BPPJ 6. Laporan keungan dalam rangka alih tugas Pendeta/Ketua Majelis Jemaat terdiri atas laporan kas dan bank, daftar inventaris Jemaat serta memori akhir tugas 7. Laporan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh PHMJ lama kepada PHMJ baru harus disertai pemeriksaan fisik sebelum penandatanganan berita acara dilakukan 8. Bentuk laporan penerimaan dan pengeluaran serta laporan keuanganb, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur dalam Peraturan Pelaksanaan 9. Semua laporan Keuangan di Jemaat, ditanda tangani oleh Ketua IV dan Bendahara PHMJ 10. Laporan keuangan tahunan Majelis Jemaat disampaikan kepada Majelis Sinode dengan Pasal 10:5 Pasal 10:6 Pasal 10:7 Pasal 10:8 Pasal 10:9 Pasal 10: 10 95

tembusan kepada BP Mupel untuk menjadi materi dalam Persidangan Sinode Tahunan 11. Laporan keuangan Majelis Sinode disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada jemaat-jemaat dan secara tahunan pada Persidangan Sinode Tahunan setelah diperiksa oleh BPPG 12. Setiap akhir masa tugas. PHMJ menyampaikan laporan keuangan yang telah diperiksa BPPJ termasuk tunggakan kewajiban-kewajiban jemaat yang dicantumkan dalam lampiran berita acara seraj terima Pasal 11 Sanksi 1.Apabila dalam melakukan kegiatan sebagaiman dimaksud dalam pasal 10 ayat (3) terdpat ketidakcocokan antara saldo fisik kas dan buku kas, maka ditempuh penyelesaian sebagai berikut: a. Dalam hal terjadi kelebihan fisik kas, maka kelebihan tersebut dibukukan sebagai penerimaan Majelis Sinode/Majelis Pasal 10: 11 Pasal 10: 12 Pasal 11 Pasal 11:1 Pasal 11:1.a 96

Jemaat. b. Dalam hal terjadi kekuarangan fisik kas yang tidak disengaja, maka kekurangan ini dibukukan sebagai piutang/tagihan Majelis Sinode/Majelis Jemaat terhadap pemegang kas/bendahara/bendhara I, sedangkan jangka waktu penyelesaiannya ditetapkan oleh Majelis Sinode/PHMJ c. Dalam hal terjadi kekurangan fisik kas yang disengaja dan telah terbukti melalui pemeriksaan oleh BPPG/BPPJ, maka pemegang kas diwajibkan mengganti kekuarangan yang dimaksud d. Dalam hal pemegang kas menolak bertangungjawab untuk mengganti kekurangan sebagaimana dimaksud dalam butir c, kepadanya dilakukan langkahlangkah pastoral dan bila tidak terjadi penyelesaiannya maka diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku e. Dalam hal yang bertanggungjawab atas kekuarangan fisik kas sebagaimana dimaksud dalam butir c adalah Presbiter Pasal 11:1.b Pasal 11:1.c Pasal 11:1.d Pasal 11:1.e : Lihat peraturan kepegawaian GPIB. 97

GPIB yang tidak tunduk pada Peraturan Perbendaharaan yang berlaku, maka terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan yang diatur dalam ayat-ayat berikut. 2. Jika terjadi pelanggaran yang mengakibatkan kerugian harta milik/kekayaan GPIB yang dilakukan oleh fungsionaris pelayanan GPIB yang tidak tunduk pada Peraturan yang berlaku, dikenakan sanksi dalam jiwa dan semangat yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1a,b,c 3.Sanksi bagi Presbiter GPIB di jemaat yang tidak tunduk pada peraturan Perbendaharaan yang berlaku dilakukan oleh Majelis Sinode atas usul Majelis Jemaat. 4.Langkah-langkah yang perlu ditempuh sebelum pemberian sanksi, diatur sebagai berikut: a. BPPG/BPPJ secara khusus menyurati Majelis Sinode/Majelis Jemaat dan dengan tegas memberi penjelasan dan mengenai adanya indikasi pelanggaran Pasal 11: 2 Pasal 11: 3 Pasal 11: 4 Pasal 11:4.a 98

b. Pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan sementara dan selama masa non-aktif hanya berhak atas 50% gaji/honor dan semua hak dan fasilitas lain dihentikan c. Panitia Ad Hoc dibentuk oleh Majelis Jemaat/Majelis Sinode untuk melakukan pemeriksaan, terkait adanya penyimpangan d. Pribadi yang bersangkutan berhak untuk melakukan pembelaan dihadapan panitia Ad Hoc e. Keputusan tentang pemberian sanksi atau pembebasan diambil dalam Sidang Majelis Jemaat/Sidang Majelis Sinode 5. Sanksi yang dikenakan terdiri atas 2 (dua) pilihan: a. Diberhentikan dengan hormat dengan mengganti kerugian yang ditimbulkan b. Diselesaikan melalui jalur hukum 6. Jika pegawai yang bersangkutan terbukti tidak melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan dipulihkan kembali pada kedudukan semula dengan hak penuh atas Pasal 11:4.b Pasal 11:4.c Pasal 11:4.d Pasal 11:4.e Pasal 11:5 Pasal 11:5.a Pasal 11:5.b Pasal 11: 6 99

segala yang menjadi haknya dengan berlaku surut 7. Panitia Ad Hoc lingkup jemaat diangkat oleh Majelis Jemaat yang terdiri atas warga jemaat dan berintegrasi tinggi 8. Biaya panitia Ad Hoc dibebankan pada anggaran Majelis Jemaat/Majelis Sinode 9. Sanksi yang dijatuhkan Majelis Jemaat/Majelis Sinode bersifat final, yang dipertegas oleh Majelis Sinode dengan Surat Keputusan Pasal 12 Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran 1. Dalam rangka mendukung upaya pencapaian sasaran PKUPPG yang secara operasional dijabarkan dalam rencana kerja tahunan, GPIB menyusun anggaran tahunannya yang terdiri atas anggaran penerimaan dan pengeluaran 2. Anggaran dimaksud berfungsi sebagai alat pengendalian keuangan baik penerimaan maupun pengeluaran, secara efektif dan efisien dalam upaya pencapaian hasil Pasal 11:7 Pasal 11:8 Pasal 11: 9 Pasal 12 Pasal 12:1 Pasal 12: 2 100

optimal dari pelaksanaan rencana kerja GPIB 3. Tahun anggaran adalah sama dengan tahun buku yaitu mulai 1 April samapi dengan 31 Maret tahun berikutnya 4. Anggaran disusun dalam kelompok anggaran rutin, non-rutin dan proyek 5. Jika diperlukan dapat diadakan anggaran tambahan/suplesi paling cepat setelah triwulan 2 pada tahun anggaran berjalan Pasal 12:3 Pasal 12:4 Pasal 12:5 Pasal 13 Anggaran Majelis Sinode/Majelis Jemaat 1. Anggaran tahunan GPIB pada lingkup Jemaat disusun oleh Majelis Jemaat melalui PHMJ, kemudian diminta pengesahannya oleh dan di dalam Sidang Majelis Jemaat setiap tahun sebelum tahun anggaran baru dimulai. Anggaran tahunan GPIB pada lingkup Sinodal disusun oleh Majelis Sinode dan disahkan dalam PST 2. Anggaran GPIB pada lingkup jemaat disusun dengan memperhatikan hasil PST, hasil Rapat mupel, hasil Sidang Majelis Jemaat, Pasal 13 Pasal 13:1 Pasal 13:2 101

dan pendapat/usul dari warga sidi Jemaat dalam pertemuan warga sidi jemaat serta Badn-badan Pelaksana di dalam jemaat 3. Penyusunan anggaran GPIB pada lingkup jemaat harus mencerminkan pemahaman jemaat missioner melalui rencana kerja/program kerja unit-unit missioner 4. Anggaran tahunan BPPG/BPPJ disusun oleh BPPG/BPPJ dan dimasukkan dalam anggaran tahunan Majelis Sinode/Majelis Jemaat untuk disahkan pada lingkupnya masing-masing Pasal 14 Ketentuan Penutup 1. Peraturan no 6 ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan 2. Dengan ditetapkannya peraturan ini, maka semua ketentuan tentang Perbendaharaan GPIB yang ditetapkan sebelumnya tidak berlaku lagi 3. Apabil ada hal-hal yang belum diatur oleh peraturan ini, maka Majelis Sinode dapat menyusun dan menetapkannya dalam Sidang Pasal 13:3 Pasal 13: 4 Pasal 14 Pasal 14:1 Pasal 14: 2 Pasal 14: 3 102

Majelis Sinode dan melaporkannya kepada Persidangan Sinode yang terdekat 4. Perubahan Peraturan ini hanya dapat dilaksanakan di dalam dan oleh Persidangan Sinode bila: a. Diusulkan oleh lebih dari 2/3 jumlah jemaat atau; b. Diusulkan oleh Majelis Sinode setelah disetujui oleh lebih dari 2/3 jumlah jemaat; c. Usul-usul perubahan disampaikan selambat-lambatnya 1(satu) tahun sebelum Persidangan Sinode Pasal 14:4 Pasal 14:4. Pasal 14:4.b Pasal 14:4.c 103