BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Bali

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

Presiden, DPR, dan BPK.

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Nama : ALEXANDER MARWATA

Jaksa Siap Periksa Dan Adoe Dalam Kasus Pembebasan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

Kasus Korupsi PD PAL

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakaan melakukan suatu pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di sidang pengadilan. Untuk itu perlu dilakukan adanya suatu pembuktian. Hakekat dari proses pembuktian yaitu untuk mencari kebenaran materiil akan suatu peristiwa yang terjadi dimasa lampau dan memberikan kenyakinan kepada hakim akan kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadilnya. Ada beberapa sistem pembuktian yang dikenal dalam hukum acara pidana, ialah: a. Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim, b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atau alasan logis,

2 c. Sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif, d. Sistem pembuktianberdasarkan Undang-Undng secara negatif. 1 Sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia yang dianut oleh KUHAP, yaitu sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wetteljik) yang menyatakan bahwa hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan pidana apabila dia yakin dan keyakinannya didasarkan pada alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain, tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses peradilan pidana, karena melalui pembuktian di sidang pengadilan dapat menentukan posisi terdakwa, apakah terdakwa terbukti melakukan kesalahan atau tidak. Kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 184 angka (1) KUHAP, yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti adalah: Alat bukti yang sah ialah: a) Keterangan saksi, 1 Diakses dari http://sitimaryamnia.blogspot.co.id/2012/02/sistem-pembuktian.html.tgl. 14 Desember 2015, jam 20:30

3 b) Keterangan ahli, c) Surat, d) Petunjuk, e) Keterangan terdakwa. Keterangan saksi sebagai alat bukti sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana di sidang pengadilan. Pasal 1 angka (27) KUHAP menyatakan bahwa: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Dengan demikian pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan saja, bukan merupakan keterangan saksi. Adapun saksi yang diajukan dalam sidang pengadilan yaitu: a. Saksi yang diajukan oleh tersangka atau seorang terdakwa, yang diharapkan dapat memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya itu di dalam bahasa Perancis juga disebut Saksi a de charge, b. Saksi yang diajukan oleh penuntut umum disebut Saksi a charge yaitu Saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa, c. Saksi de auditu yaitu saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain. 2 Saksi de auditu tidak sepenuhnya disetujui oleh para pakar hukum dan praktisi hukum di Indonesia. Satu sisi para pakar hukum dan praktisi hukum menyetujui keterangan saksi de auditu, sedangkan di sisi lainnya tidak banyak dari para pakar hukum dan praktisi hukum yang tidak setuju apabila kesaksian de 2 Diakse dari http://www.negarahukum.com/hukum/keterangan-saksi.html.tgl.m17 November 2015. jam 01 : 09

4 auditu diberlakukan. Pasal 184 angka (1) KUHAP, keterangan saksi testimonium de auditu tidak merupakan alat bukti yang sah. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka (26) KUHAP, Pasal 1 angka (27) KUHAP, dan Pasal 185 angka (5) KUHAP, sehingga keterangan saksi de auditu tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian. Dalam perkara Pidana Korupsi, seringkali seseorang berdasarkan infomasi dari orang lain melapor kepada pihak yang berwajib bahwa telah terjadi pidana korupsi dan bahkan si pelapor dijadikan sebagai saksi di pengadilan. Hal ini bertentangan dengan hukum acara pidana dalam perkara pidana korupsi, keterangan saksi de auditu dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara pidana korupsi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dan adanya persoalan hukum yang ditemukan, maka penulis melakukan penelitian hukum yang berjudul Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Testimonium De auditu Dalam Perkara Pidana Korupsi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka rumusan masalahnya adalah, Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi testimonium de auditu dalam perkara pidana korupsi?

5 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan untuk memperoleh data tentang bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi testimonium de auditu dalam perkara pidana korupsi. D. Manfaat Penelitian 1. Segi Teoritis Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum pidana pada khususnya. 2. Segi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penegakan dan penerapan hukum pidana di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Judul Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Testimonium De auditu Dalam Perkara Pidana Korupsi merupakan karya asli penulis. Sebelumnya sudah ada yang meneliti tentang keterangan saksi yaitu sebagai berikut : 1. Disusun oleh : Kadek Agus Ambara Wisesa Judul : LEGALITAS KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIK YANG DIBACAKAN DI PERSIDANGAN NPM : 0500008654 tahun 2007 Tujuan penelitian sebagai berikut :

6 a. Untuk memperoleh data dan menjelaskan apakah keterangan saski dalam BAP penyidikan yang dibacakan di persidangan dapat dijadikan alat bukti yang sah. b. Untuk mencari jawaban hambatan yang dialami oleh hakim dalam menilai keterangan saksi yang dibacakan di dalam persidangan oleh jaksa penuntut umum karena saksi tidak hadir dalam persidangan. Adapun hasil penelitian sebagai berikut : a. Keterangan saksi dalam BAP penyidik yang di bacakan di dalam persidangan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah karena keterangan saksi tersebut tidak dibawah sumpah. b. Hakim tidak mengalami hambatan dalam menilai keterangan saksi yang dibacakan di dalam persidangan oleh jaksa penuntut umum, keculi proses pembuktian tersebut tidak ada alat bukti yang lain. 2. Disusun oleh : Alexander Gema Rarinta G. Judul : KETERANGAN SAKSI MELALUI TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA NPM : 050509093 Tahun : 2007 Tujuan penelitian sebagai berikut : a. Untuk mengetahui hubungan antara alat bukti keterangan saksi melalui teleconference dengan penemuan hukum oleh hakim. b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan secara yuridis pelaksanaan keterangan saksi melalui teleconference dalam sidangan pengadilan pidana.

7 Adapun hasil penelitian sebagai berikut : a. alat bukti keterangan saksi melalui teleconference tidak diatur dalam KUHAP, namun dapat dipandang sah sebagai alat bukti dalam perkara pidana. b. Dalam pelaksananya alat bukti keterangan saksi melalui teleconference mempunyai hambatan secara yuridis yaitu : 1) Alat bukti keterangan saksi melalui teleconference belum diatur dalam KUHAP atau peraturan perundang-undangan yang lain. 2) Adanya kesulitan dalam memperlihatkan barang bukti melalui teleconference. 3) Saksi warga negara asing yang memberikan keterangan melalui teleconferencedari luar negeri, sulit untuk menentukan hukum mana yang berlaku jika ternyata memberikan keterangan palsu. 3. Disusun oleh : Yohanes Ade Putra Mahardika Judul : KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI PENYANDANG DISABILITAS TUNA RUNGU DALAM PROSES PERADILAN PIDANA NPM : 10051022 Tahun : 2015 Tujuan penelitian sebagai berikut : a. untuk mengetahui apakah keterangan saksi yang menyandang disabilitas tuna rungu memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang normal. b. Untuk mengetahui dinamika pemeriksaan terhadap saksi yang menyandang tuna rungu dalam prosesperadilan pidana

8 Adapun hasil penelitian sebagai berikut : a. Alat bukti keterangan saksi penyandang disabilitas tuna rungu mempunyai nilai pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang normal pada umumnya karena penyandang disabilitas memiliki hak-hak serta kewajiban yang sama dengan orang normal pada umunya sehingga tidak ada perbedaan disabilitas dengan orang normal pada umumnya. Penyandang disabilitas tuna rungu hanya memiliki kekurang dari segi fisik tapi bukan berarti tidak bisa memberikan keterangan mengenai apa yang ia alami, ketahui atau yang ia lihat. Untuk mengukur keterangan saksi penyandang disabilitas tersebut falid atau tidak falid maka hakimlah yang menentukan mengenai apakah keterangan saksi penyandang disabilita tuna rungu dapat dijadikan saksi penyandang disabilitas tuna rungu dapat dijadikan pertimbangan untuk menjatuhkan keputusan. b. Kesulitan komunikasi antara penyandang disabilitas tuna rungu dengan aparat penegak huku menjadi dinamika dalam proses peradilan pidana. Aparat penegak hukum sulit mengerti apa yang diterangkan oleh penyandang disabilitas tuna rungu sebagai korban maupun saksi. belum adanya aturan lebih lengkap mengenai standar operasi dalam menangani penyandang disabilitas tuna rungu serta belum ada aturan yang jelas mengenai penterjemah bahasa isayarat yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas tuna rungu menimbulkan kesulitan untuk menemukan alat bukti. Jika alat bukti dapat diproses dalam proses peradilan pidana dikarenakan untuk meneruskan proses

9 peradilan pidana dan menjatuhkan putusan pidana pada terdakwa dibutuhkan minimal dua alat bukti. F. Batasan Konsep 1. Pembuktian Pembuktian adalah suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke depan sidang. 2. Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu. 4. Testimonium De auditu Saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain. 5. Perkara Pidana Masalah atau persoalan yang perlu diselesaikan atau dibereskan dengan suatu pidana. 6. Korupsi Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

10 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dipergunakan atau dipilih adalah penelitian hukum normatif. Jenis penelitian hukum normatif bertitik fokus pada hukum positif berupa peraturan perundang-undangan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 2. Sumber Data Sumber data dari penelitian hukum normatif adalah data primer dan data sekunder. Data dari penelitian penulis ini bertumpuh pada data sekunder dipakai sebagai data utama sedangkan data primer sebagai penunjang. Data sekunder meliputi : a. Bahan Hukum Primer : berupa peraturan perundang-undangan yang tata urutannya sesuai degan Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku : Adalah data yang akan dipakai untuk penelitian hukum ini yang berupa norma hukum positif yaitu : 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

11 3) Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari bebebagai macam buku-buku yang berhubungan dengan Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Testimonum De auditu Dalam Perkara Pidana Korupsi yang diperoleh dari: web-site, makalah, artikel, pendapat para sarjana hukum, koran dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian. 3. Metode Pengumpulan Data Cara mengumpulkan bahan-bahan hukum dalam metode pendekatan yuridis normatif dapat dilakukan dengan: a. Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum dan pendapat non hukum dari buku, internet, dst. b. Wawancara dengan narasumber, yaitu mengadakan wawancara langsung dengan narasumber untuk memperoleh data dengan menggunakan pedoman berupa pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Narasumber dalam penelitian ini adalah Encang Hermawan S.H., jabatan sebagai Hakim AD HOC TIPIKOR Yogyakarta.

12 4. Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalis data yang diperoleh dari penelitian adalah metode kualitatif, artinya analisis yang dilakukan dengan memahami dan mengkaji data yang telah dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh suatu gambaran mengenai masalah atau keadaan yang akan diteliti. Data yang diperoleh dari kepustakan maupun lapangan baik secara lisan maupun tertulis, kemudian diarahkan, dibahas dan diberi penjelasan dengan ketentuan yang berlaku, kemudian disimpulkan dengan metode deduktif yaitu suatu pola pikir yang didasarkan pada suatu fakta yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan pada suatu fakta yang bersifat khusus. H. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka dan metode penelitian. Akhir dari Bab ini adalah sistematika penulisan hukum. BAB II : PEMBAHASAN Bab ini menguraikan mengenai permasalahan hukum dengan berdasarkan pertama : Tinjauan umum mengenai pembuktian keterangan saksi, bagian ini menguraikan tentang pengertian pembuktian, pengertian sistem pembuktian menurut KUHAP dan keterangan saksi. kedua: pengertian saksi testimonium de

13 auditu. ketiga: Tinjauan umum terhadap pidana korupsi, bagian ini menguraikan tentang pengertian pidana, korupsi dan jenis-jenis korupsi. Ke empat: Analisis kekuatan pembuktian keterangan saksi de auditu dalam perkara pidana bagian ini menguraikan mengenai kekuatan keterangan saksi de auditu dalam perkara pidana korupsi. BAB III PENUTUP Dalam bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi temuan penelitian yang dilakukan dan merupakan jawaban dari permasalahan yang timbul dalam penulisan hukum ini. Saran dibuat kemudian setelah adanya kesimpulan dan bersifat operasional terhadap pengembangan ilmu hukum dan penggunaan praktis