I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan yang mulai menghasilkan pada umur 3

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007).

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan suatu bentuk asoasiasi mutualisme antara cendawan (myces)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan sebuah istilah yang mendeskripsikan adanya hubungan

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia modern saat ini tidak terlepas dari berbagai jenis makanan

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

I. PENDAHULUAN. yang termasuk ke dalam kelompok legum merambat (cover crop). Legum pakan

I. PENDAHULUAN. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan

MIKORIZA & POHON JATI

I. PENDAHULUAN. Sektor perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

TINJAUAN PUSTAKA. dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menduduki urutan kedua setelah kedelai (Marzuki, 2007), Kebutuhan kacang tanah di Indonesia mencapai

BAB I PENDAHULUAN. berbagai keunggulan nyata dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk organik dan

2015 KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN BIONUTRIEN S267 TERHADAP PRODUKTIVITAS TANAMAN KELAPA SAWIT TM-03

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

MIKORIZA MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY. Mikoriza (Mycorrhizae): Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu primadona tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk tanaman monokotil tidak

TINJAUAN PUSTAKA. berubah kembali ke asal karena adanya tambahan substansi, dan perubahan bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Forastero (bulk cocoa atau kakao lindak), Criolo (fine cocoa atau kakao mulia),

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditi yang sangat

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran yang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kedelai Varietas Detam-1. Kegunaan utama kedelai hitam di Indonesia yaitu sebagai bahan baku

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pupuk anorganik telah menjadi tradisi pada sistem. pertanian yang ada pada saat ini. Hal ini mulai dilakukan sejak

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman serealia sumber karbohidrat kedua

PEMBERIAN MIKORIZA DAN PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

BAB I PENDAHULUAN. allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas tanaman ditentukan oleh interaksi antara lingkungan dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan lingkup internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu

PENDAHULUAN. kelapa sawit terluas di dunia. Menurut Ditjen Perkebunan (2013) bahwa luas areal

PENDAHULUAN Latar Belakang

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan tanaman gladiol dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat mencapai cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Indonesia menguasai ekspor pasar minyak sawit mentah dunia sebesar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

I. PENDAHULUAN. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan lahan-lahan yang subur lebih banyak

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit

JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang senang mengkonsumsinya. Kebutuhan jagung manis nasional tanun 2015

Kompos, Mikroorganisme Fungsional dan Kesuburan Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. saat ini adalah pembibitan dua tahap. Yang dimaksud pembibitan dua tahap

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembibitan Jati. tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi m.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah

I. PENDAHULUAN. Berbagai upaya perbaikan tanah ultisol yang mendominasi tanah di Indonesia

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus

I. PENDAHULUAN. dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA. 2. Pemilihan mikroba pelarut fosfat CONTOH ISOLAT DARI TANAH VERTISOL GADING GUNUNG KIDUL

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

BAB I. PENDAHULUAN. Tanaman penutup tanah atau yang biasa disebut LCC (Legume Cover

Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil sidik ragam parameter tinggi tanaman (lampiran 9 a)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Interval Pemanenan (cm) H 30 H 50 H 60

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah penduduk yang semakin bertambah menuntut tersedianya bahan

TINJAUAN PUSTAKA. dapat bersimbiosis dengan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Namun pada

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

RESPON TANAMAN RAMI (Boehmeria nivea L.Gaud) TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA DOSIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA ULTISOL

I. PENDAHULUAN. sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas, kuatitas, dan kontinyutasnya. maupun dalam bentuk kering (Susetyo, 1980).

I. PENDAHULUAN. tanpa mengurangi tingkat kesuburan tanah atau kelestariannya. Dalam usaha

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif mencapai 25 30 tahun. Tinggi tanaman monokotil ini dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan serta bercabang banyak. Buahnya berukuran kecil berjenis drupe dan bila matang berwarna merah kehitaman. Daging buahnya (mesocarp) mengandung minyak atau sering disebut dengan CPO (crude palm oil) dan endosperm (inti buah) atau yang sering disebut dengan palm kernel juga dapat dimanfaatkan. Kedua bahan setengah jadi tersebut digunakan sebagai bahan baku industri untuk menghasilkan produk, seperti biofuel, minyak goreng, margarine, sabun, kosmetik, dan produk bernilai ekonomis lainnya (Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, 2007). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang bernilai ekonomis. Berdasarkan data Bloomberg di pasar internasional, harga minyak sawit sepanjang tahun 2010 terus mengalami penigkatan. Pada triwulan pertama tahun 2010, harga CPO sebesar 762,03 USD/metrik ton, harga terus meningkat hingga pada triwulan akhir 2010 mencapai 1051,37 USD/metrik ton (Hasbie, 2011).

2 Permintaan akan CPO untuk pasar lokal maupun internasional terus meningkat. Berdasarkan data dari FAPRI (Food and Agricultural Policy Reseach Institute, 2010), kebutuhan komsumsi CPO internasional mencapai 45,48 ton dan hanya 98,48% produksi CPO yang dapat dipenuhi. Produksi CPO Indonesia pada tahun 2010 mencapai 21,46 juta ton atau 46,94% dari produksi dunia. Menurut Sucipto (2012), pada tahun 2011 produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 23,5 juta ton dan memenuhi kebutuhan pasar sebesar 50 %. Para analis pasar komoditas memprediksi kebutuhan CPO dunia pada 2012 berkisar 51,15 juta ton naik 5,1% dari tahun 2011 sebesar 48,68 juta ton. Hal itu menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas yang prospektif untuk dikembangkan. Saat ini, Indonesia memiliki lahan perkebunan sawit terluas di dunia. Namun, produktivitas lahan kebun sawit Indonesia masih rendah. Luas kebun sawit Indonesia mencapai 7,1 juta ha dengan produksi CPO sekitar 22 juta ton per tahun, sedangkan Malaysia hanya 5,1 juta ha dengan produksi CPO sekitar 19,3 juta ton per tahun (Iwan, 2011). Artinya setiap 1 ha lahan di Indonesia hanya mampu menghasilkan 3,1 ton /ha/tahun CPO, sedangkan Malaysia mampu menghasilkan 3,78 ton /ha/tahun CPO. Rendahnya produktivitas tersebut terjadi karena teknik budidaya kelapa sawit yang belum optimal. Salah satunya adalah pemilihan bibit kelapa sawit yang kurang berkualitas, sehingga diperlukan suatu teknologi yang tepat untuk menghasilkan bibit yang berkualitas. Pembibitan merupakan salah satu tahapan penting dalam budidaya tanaman untuk menghasilkan bibit yang berkualitas. Beberapa faktor dalam pembibitan seperti media tanam, pemupukan (organik dan anorganik), dan pemeliharaan sangat

3 menentukan kualitas bibit. Oleh karena itu, berbagai usaha perlu dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang optimum dari faktor-faktor tersebut, antara lain adalah dengan pemanfaatan fungi mikoriza arbuskular (FMA) yang merupakan mikroorganisme tanah yang menguntungkan bagi tanaman (Aeni, 2005). Sebagian besar lahan di Indonesia memiliki kemasaman yang tinggi (tanah marginal). Tanah masam didefinisikan sebagai tanah yang mengandung konsentrasi relatif H + yang tinggi (Widiastuti dan Guhardja, 2002). Pada tanah yang masam, unsur hara P sering terikat pada logam sehingga daya larutnya rendah. Pemupukan P pada tanah yang masam memiliki efisiensi yang rendah. Efisiensi yang rendah tersebut berdampak pada tingginya biaya pemupukan bagi kelapa sawit yaitu berkisar 20-60% dari biaya pemeliharaan kebun. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengefisienkan pemupukan agar biaya produksi dapat dikurangi. Salah satunya adalah dengan aplikasi FMA yang memiliki peran dalam membantu penyerapan hara P (Wachjar, 2002). Fungi mikoriza arbuskular merupakan fungi tanah obligat yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Fungi mikoriza arbuskular termasuk dalam golongan endomikoriza. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa yang menembus ke dalam sel korteks akar (Brundrett et al., 1996). Di antara sel-sel tersebut terbentuk struktur hifa yang membelit dan bercabang-cabang yang disebut dengan arbuskular, dan terdapat struktur hifa yang membengkak disebut dengan vesikular. Arbuskular berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dengan tanaman, sedangkan vesikular berfungsi sebagai organ penyimpan cadangan makanan dan propagul (organ reproduktif) fungi.

4 Simbiosis antara fungi mikoriza arbuskular dengan akar tanaman bersifat menguntungkan, sehingga inokulasi FMA pada fase pembibitan diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan mempercepat masa produksi tanaman kelapa sawit. Hal tersebut dapat terjadi karena FMA berfungsi sebagai alat yang memobilisasi ketersedian fosfor dalam tanah, meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, serta berfungsi sebagai pembebas patogen akar, karena FMA menghasilkan zat antibiotik (Filion et al., 1999). Menurut Husna et al. (2007), untuk mendukung keberhasilan aplikasi FMA harus diketahui waktu inokulasi yang tepat karena akan menentukan keberhasilan tanaman terinfeksi oleh FMA. Fungi mikoriza arbuskular hanya dapat menginfeksi jaringan muda pada akar tanaman, sehingga inokulasi pada tingkat semai dapat mengoptimalkan infeksi. Jika inokulasi dilakukan pada tanaman yang sudah dewasa maka memerlukan dosis FMA yang lebih banyak sehingga tidak efisien. Namun sebaliknya, jika inokulasi dilakukan pada fase kecambah, kemungkinan infeksi tidak terjadi karena spora FMA yang berkecambah tidak mendapat suplai nutrisi yang cukup untuk perkembangannya. Menurut Widiastuti et al. (2005), keefektifan inokulasi FMA dipengaruhi dosis inokulum. Dosis spora yang berlebihan akan menyebabkan kompetisi spora saat berkecambah dalam memperoleh eksudat akar, sehingga perkembangan FMA tidak optimum. Jika dosis spora yang diinokulasi kurang, maka akan menyebabkan kemungkinan infeksi pada akar sedikit, sehingga tidak mendukung perkembangan FMA pada akar.

5 Berdasarkan latar belakang dan masalah, perlu dilaksanakan suatu penelitian untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Kapankah waktu inokulasi FMA yang tepat untuk menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik? 2. Berapakah dosis inokulum spora FMA yang tepat untuk menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik? 3. Apakah respons bibit kelapa sawit terhadap waktu inokulasi ditentukan oleh dosis inokulum FMA yang digunakan? 4. Berapakah dosis spora FMA terbaik untuk masing-masing waktu inokulasi? 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menentukan waktu inokulasi FMA yang tepat untuk menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik. 2. Menentukan dosis inokulum spora FMA yang tepat untuk menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik. 3. Untuk mengetahui apakah respons bibit kelapa sawit terhadap waktu inokulasi ditentukan oleh dosis inokulum FMA yang digunakan. 4. Menentukan dosis FMA terbaik untuk masing-masing waktu inokulasi.

6 1.2 Kerangka Teoritis Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut. Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari pada tanaman yang tidak bermikoriza. Penyebabnya adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Mosse (1981) melaporkan bahwa FMA mempunyai kemampuan spesifik dalam meningkatkan penyerapan P pada tanah-tanah marginal, baik bentuk P yang sukar larut, P yang terdapat secara alami, maupun yang berasal dari pupuk. Selain meningkatkan serapan unsur hara, simbiosis tanaman dengan FMA dapat menyebabkan tanaman lebih tahan terhadap kekeringan dan serangan patogen tanah. Menurut Anas (1997), hifa FMA mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Hal itu disebabkan oleh penyebaran hifa yang luas di dalam tanah, sehingga jumlah air yang diserap meningkat. Selain itu, hifa FMA mensekresikan antibiotik dapat menghambat serangan serta perkembangan potogen tanah. Inokulasi FMA pada kelapa sawit dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, pertumbuhan, dan serapan hara. Keefektifan inokulasi untuk setiap jenis FMA pada bibit kelapa sawit belum diketahui secara pasti. Keefektifan inokulasi FMA salah satunya dipengaruhi oleh jumlah inokulum. Jumlah inokulum yang banyak menyebabkan kesempatan spora untuk menginfeksi akar tanaman menjadi lebih besar (Widiastuti et al., 2005).

7 Untuk mendukung keberhasilan aplikasi FMA pada tanaman, perlu diketahui cara dan waktu yang tepat. Hal itu merupakan salah satu syarat keberhasilan dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi FMA pada tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, dan tanaman obat serta pakan ternak guna mendapatkan manfaat yang optimal. Teknik dan waktu yang tepat akan menentukan keberhasilan tanaman terinfeksi oleh FMA. Waktu inokulasi FMA hanya dilakukan pada saat tanaman masih tingkat semai atau pada biji yang baru berkecambah. Inokulasi FMA pada tanaman yang telah dewasa selain boros penggunaan inokulum juga kurang memberikan manfaat yang optimal (Husnah et al., 2007). Menurut Clark (1997), peningkatan persentase akar terinfeksi FMA berhubungan dengan dosis FMA yang diberikan. Peningkatan jumlah inokulum FMA dapat meningkatkan jumlah akar terinfeksi. Pemanfaatan FMA dengan dosis yang lebih besar menyebabkan akar tanaman terinfeksi lebih awal dan lebih banyak sehingga pertumbuhan tanaman bisa maksimum. Perkembangan sistem perakaran bibit kelapa sawit berpengaruh terhadap infeksi FMA pada bibit kelapa sawit. Hal tersebut berhubungan dengan FMA yang hanya dapat menginfeksi jaringan akar bibit yang masih muda. Lapisan epidermis pada akar primer lebih tebal dibandingkan dengan akar sekunder. Menurut Jourdan dan Rey (1997), kecepatan tumbuh akar primer bibit kelapa sawit yang umur 1-5 bulan ialah 0,88 ± 0,33 cm hari -1, sedangkan kecepatan tumbuh akar lateral pendek ialah 0,27 ± 0,07 cm hari -1 dan akar lateral panjang 0,39 + 0,02 cm hari -1.

8 Kurnianto (2010) yang dikutip oleh Irawan (2011) menyatakan bahwa inokulasi FMA paling baik diberikan saat tanaman berkecambah, namun harus diperhatikan waktu keluarnya akar dengan pemberian FMA. Spora FMA akan berkecambah jika terkena air dan kemudian menghasilkan hifa untuk mencari akar tanaman inang. Jika dalam 2 minggu tidak ada akar tanaman inang yang menghasilkan eksudat akar sebagai bahan makanan untuk pertumbuhan hifa, maka diperkirakan spora akan mati. Inokulasi FMA pada tanaman sering menggunakan inokulum campuran spora, hifa, dan akar terinfeksi (propagul). Walaupun memiliki beberapa kelebihan, inokulum campuran memiliki kelemahan dalam standarisasi dan sterilisasi. Spora adalah jenis inokulum yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan hifa ataupun akar terinfeksi karena lebih tahan terhadap pengaruh fisika dan kimia akibat ketebalan dindingnya. Selain itu, spora juga dapat disterilisasi untuk keperluan inokulasi aseptik dan dapat distandarisasi. Namun, spora juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu memerlukan waktu untuk berkecambah dan memiliki sifat dorman pada beberapa spesies (Widiastuti et al., 2005). 1.3 Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah. Aplikasi FMA pada kelapa sawit di pembibitan dapat meningkatkan kualitas bibit kelapa sawit. Akar bibit yang terinfeksi FMA akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih optimal di fase pembibitan. Hal itu akan mempercepat pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit di lahan, sehingga pertumbuhan generatif kelapa sawit

9 lebih cepat dicapai. Selain itu, kelapa sawit merupakan tanaman mycorryzal dependent yaitu jenis tanaman yang tingkat tergantungannya kepada mikoriza tinggi pada saat ditanam pada lahan marginal (tidak subur) atau ultisols yang merupakan jenis tanah terbanyak di Indonesia. Kandungan hara P dalam tanah melimpah, namun dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Unsur hara P diserap tanaman dalam bentuk H 2 PO - 4, HPO -2-4, dan PO - 4. Pada tanah masam, P membentuk ikatan Fe-P, dan Al-P, sedangkan pada tanah basa membentuk ikatan Ca-P. Hal tersebut menyebabkan akar tanaman tidak dapat menyerap P tersebut. Hifa FMA yang menginfeksi akar tanaman akan mensekresikan enzim fosfatase untuk memecah senyawa P tersebut, sehingga menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Terjadinya infeksi FMA pada akar tanaman dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kecocokan FMA dengan tanaman inang, kondisi jaringan akar tanaman, dan pengaruh faktor lingkungan. Kecocokan FMA dengan tanaman inang berhubungan erat dengan eksudat akar yang disekresikan oleh tanaman. Oleh karena itu, sebelum infeksi terjadi FMA akan mengidentifikasi eksudat akar yang disekresikan oleh akar tanaman. Kondisi jaringan akar tanaman berhubungan dengan kelunakan epidermis akar karena FMA hanya dapat menginfeksi akar tanaman yang masih muda. Untuk faktor lingkungan, seperti air, suhu, kelembapan, dan ph berhubungan erat dengan perkecambahan spora. Morfologi kecambah kelapa sawit (germinated seed) terdiri dari endosperm, plumula (calon daun), dan radikula (calon akar). Pada saat penyemaian, radikula akan tumbuh memanjang dan menjadi akar primer yang pertama tumbuh. Akar

10 primer akan membentuk percabangan menghasilkan akar sekunder. Kemudian secara berturut-turut akar sekunder akan membentuk percabangan dan terbentuk akar tersier. Selain itu, pada pangkal bibit kelapa sawit juga akan tumbuh akar primer yang lainnya sehingga dalam penyemaian bibit sistem perakaran dan arsistektur akar mulai berkembang intensif. Infeksi awal antara FMA dengan tanaman inang dipengaruhi oleh dosis inokulum FMA. Setiap jenis FMA menmbutuhkan dosis yang berbeda untuk mencapai infeksi maksimal pada setiap jenis tanaman. Inokulasi FMA dengan jumlah spora yang lebih banyak akan meningkatkan peluang spora berkecambah semakin tinggi untuk menginfeksi akar. Namun, Jika dosis yang diinokulasikan berlebihan akan mengurangi keefektifan infeksi, karena spora yang berkecambah saling berkompetisi untuk mendapatkan eksudat akar tanaman yang jumlahnya terbatas diawal masa penyemaian. Oleh sebab itu, dosis inokulum spora yang tinggi belum tentu menghasilkan infeksi yang efektif. Selain dosis, waktu inokulasi FMA juga berpengaruh terhadap infeksi awal. Fungi mikoriza arbuskular hanya dapat menginfeksi jaringan akar yang muda. Oleh sebab itu, inokulasi biasanya dilakukan pada masa penyemain atau perkecambahan. Hal itu untuk memudahkan penetrasi hifa FMA, yaitu organ yang berfungsi sebagai penembus ruang-ruang antar sel dan dinding sel akar tanaman. Inokulasi yang dilakukan pada saat tanaman sudah dewasa atau saat mofologi akar sudah menyebar akan membutuhkan dosis spora FMA yang lebih tinggi karena spora harus ditempatkan pada jaringan akar yang masih muda agar terjadi infeksi yang efektif.

11 Waktu dan dosis inokulasi merupakan faktor penting dalam menentukan keefektifan infeksi FMA pada bibit kelapa sawit. Kedua faktor tersebut diharapkan saling melengkapi satu sama lain, sehingga kondisi yang tidak menguntungkan dalam inokulasi FMA dapat ditangani. Keterlambatan inokulasi pada bibit dapat diatasi dengan penambahan dosis FMA yang lebih tinggi. Hal itu disebabkan oleh arsitektur dan morfologi akar telah mengalami perkembangan, sehingga spora yang diinokulasikan harus berada pada bagian jaringan akar yang masih muda agar terjadi infeksi. Waktu inokulasi pada awal pembibitan diharapkan dapat mengurangi dosis FMA, sehingga dapat menghemat pemakaian inokulum. Adanya simbiosis FMA pada akar akan menguntungkan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Fungi mikoriza arbuskular akan mendapatkan fotosintat dari eksudat akar, sedangkan bibit kelapa sawit akan memperoleh perbaikan sistem perakaran. Pada akar terdapat jaringan hifa eksternal FMA yang akan memperluas bidang serapan air dan unsur hara. Ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) dan meningkatkan volume tanah yang dapat dieksploitasi, sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah. Keberadaan unsur hara P yang jauh dari jangkauan akar akan lebih mudah dimobilisasi oleh hifa FMA yang menyebar di daerah perakaran.

12 Produksi kelapa sawit di Indonesia rendah karena banyak ditanam pada lahan marginal atau tanah masam sehingga unsur hara P sulit larut dan efisiensi pemupukan P rendah Peningkatan produksi kelapa sawit Penggunaan bibit berkualitas Aplikasi FMA Infeksi awal FMA 1. Kecocokan jenis FMA dengan tanaman inang 2. Faktor lingkungan Waktu Inokulasi FMA pada bibit Dosis spora FMA Pengujian: Umur bibit saat kecambah, 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan interaksi Pengujian : 0 spora, 200 spora, 400 spora, dan 600 spora kefektifan infeksi Simbiosis FMA dan bibit kelapa sawit optimal 1. Meningkatkan serapan hara P 2. Meningkatkan ketahanan terhadap cekaman air 3. Meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen tanah Kualitas bibit kelapa sawit meningkat: sistem perakaran baik, daya adaptasi lingkungan tinggi, dan pertumbuhan bibit optimal. Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran.

13 1.4 Hipotesis Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut: 1. Waktu inokulasi FMA pada awal terbentuknya akar sekunder dan tersier akan menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik. 2. Semakin tinggi dosis inokulum spora FMA yang diinokulasikan hingga mencapai level tertentu akan menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik. 3. Respons pertumbuhan bibit kelapa sawit terhadap waktu inokulasi FMA ditentukan oleh dosis inokulum FMA yang digunakan. 4. Terdapat dosis inokulum spora FMA yang tepat pada masing-masing waktu inokulasi untuk menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa terbaik.