BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Keberadaan usaha laundry semakin menjamur di berbagai kota di Indonesia. Jasa laundry merupakan suatu usaha yang menawarkan jasa pencucian pakaian, karpet, dan sejenisnya. Kemunculan usaha laundry dapat memberikan dampak positif yaitu membantu kegiatan rumah tangga, dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Namun, limbah yang dihasilkan dari usaha laundry dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Dalam aktivitas laundry, digunakan detergen dalam jumlah yang relatif besar. Komponen utama penyusun detergen adalah surfaktan sebagai bahan pembersih dan senyawa fosfor sebagai builder. Fosfor dalam detergen berbentuk sodium tripolifosfat (STPP) yang digunakan untuk menurunkan kesadahan air, dan meningkatkan kinerja surfaktan. Dengan meningkatnya usaha laundry, maka volume limbah yang dihasilkan juga akan meningkat, sehingga konsentrasi fosfor dalam limbah tersebut juga akan semakin tinggi. Irianto dan Triweko (2011) telah melaporkan bahwa pembuangan limbah yang mengandung fosfor dengan konsentrasi yang tinggi dapat memicu peristiwa eutrofikasi pada lingkungan perairan. Eutrofikasi merupakan peristiwa ledakan pertumbuhan tanaman air dan zooplankton dalam sistem perairan (Des dan Miller, 1984). Peristiwa ini dapat menyebabkan air menjadi keruh dan berbau, akibat dari pembusukan tumbuhan dan lumut-lumut yang mati. Penelitian yang telah dilakukan oleh Irianto dan Triweko (2011) menunjukkan bahwa waduk Cirata, Jatiluhur, Saguling, dan Sutami telah mengalami peristiwa eutrofikasi. Peristiwa eutrofikasi di Waduk Sutami, Malang mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam jumlah besar, timbulnya bau busuk, dan peningkatan proses korosi pada mesin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Dampak yang paling serius dari eutrofikasi pada lingkungan perairan adalah pembentukan toksin Microcystin oleh ganggang 1
2 Microcystis yang dapat menyerang syaraf pada manusia dan mengakibatkan kematian. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51/MENKLH/10/1995 tentang pedoman penetapan baku mutu air limbah menyatakan bahwa konsentrasi maksimal fosfat (sebagai PO 4 ) dalam limbah cair industri sabun, detergen, dan produk-produk minyak nabati adalah 3 mg/l. Menurut Statutory Instruments No. 440 tahun 2004 tentang pengolahan air limbah perkotaan, konsentrasi maksimal fosfor total (P) yang diperbolehkan pada instalasi pengolahan air limbah adalah 1 mg/l. Oleh karena tingginya resiko yang dapat ditimbulkan, maka sangat perlu dilakukan pencarian metode yang efektif untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry. Beberapa metode yang telah dikaji untuk menurunkan konsentrasi fosfor antara lain adalah biosorpsi, adsorbsi, elektrokoagulasi, koagulasi, dan pengendapan. Penurunan konsentrasi fosfor dengan metode biosorpsi telah dilakukan dengan melibatkan mikroorganisme yang dapat mengakumulasi fosfat yaitu Acinetobacter sp., Alcaligenes sp., Bacillus cereus, Enterobacteriaceae, Pseudomonas sp., dan Streptococcus (Sidat dkk., 1999; Dong dkk., 2007). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penurunan konsentrasi fosfor secara biosorpsi berlangsung cukup efektif. Namun, metode ini tergolong rumit dan mahal untuk diaplikasikan, karena melibatkan mikroorganisme yang memerlukan teknik kultur yang rumit. Penurunan konsentrasi fosfor dengan metode adsorbsi juga telah dilakukan yaitu dengan menggunakan lempung aktif (Auliah, 2009). Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode adsorbsi cukup efektif untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam air limbah. Namun metode ini membutuhkan proses aktivasi adsorben yang rumit. Selain itu, penurunan konsentrasi fosfor juga telah dilakukan dengan metode elektrokoagulasi, antara lain menggunakan elektroda alumunium (El- Shazly dan Daous, 2013). Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa metode elektrokoagulasi cukup efektif untuk menurunkan konsentrasi fosfor
3 dalam air limbah. Namun pada metode elektrokoagulasi diperlukan teknologi yang canggih, dan energi listrik yang besar. Metode lain yang telah dikaji adalah koagulasi menggunakan koagulan besi(iii) klorida heksahidrat (FeCl 3.6H 2 O). Penggunaan koagulan FeCl 3.6H 2 O telah dipelajari untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam limbah industri bihun (Sangsawat dkk., 2010), dan limbah industri susu (Caravelli dkk., 2010). Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penurunan konsentrasi fosfor secara koagulasi dengan FeCl 3.6H 2 O berlangsung sangat efektif. Selain metode koagulasi, metode lain yang telah dikaji untuk menurunkan konsentrasi fosfor adalah pengendapan menggunakan pengendap kalsium hidroksida (Ca(OH) 2 ). Metode ini telah dipelajari untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam limbah sintetik (Hosni dkk., 2008), dan limbah industri bihun (Sangsawat dkk., 2010). Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa metode pengendapan dengan Ca(OH) 2 dinilai sangat efektif untuk menurunkan konsentrasi fosfor. Meskipun penelitian-penelitian tersebut telah melaporkan penggunaan FeCl 3.6H 2 O dan Ca(OH) 2 untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam berbagai air limbah, namun kajian penggunaan FeCl 3.6H 2 O dan Ca(OH) 2 untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry belum ada yang melaporkan. Senyawa FeCl 3.6H 2 O dapat menurunkan konsentrasi fosfor melalui metode koagulasi, sedangkan Ca(OH) 2 melalui metode pengendapan. Pada metode koagulasi, penambahan FeCl 3.6H 2 O ke dalam larutan akan membentuk polikation besi(iii) yang dapat mengikat anion fosfat, sehingga anion fosfat dapat menggumpal dan tersedimetasi ke dasar larutan. Pada metode pengendapan, penambahan Ca(OH) 2 ke dalam larutan akan menghasilkan ion kalsium(ii) yang dapat bereaksi dengan anion fosfat, dan membentuk endapan kalsium fosfat yang tersedimentasi ke dasar larutan. Endapan yang terbentuk dapat dengan mudah dipisahkan dari limbah cairnya. Apabila konsentrasi fosfor dalam limbah cair setelah proses koagulasi maupun pengendapan telah di bawah ambang batas yang telah ditentukan, maka limbah cair dapat dibuang ke lingkungan.
4 Sejauh ini perbandingan ion kalsium(ii) dan besi(iii) terhadap efektivitas penurunan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry juga belum ada yang melaporkan. Hal ini yang mendorong dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengkaji penggunaan FeCl 3.6H 2 O sebagai koagulan dan Ca(OH) 2 sebagai pengendap untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan perbandingan keefektifan ion kalsium(ii) dan besi(iii) dalam menurunkan konsentrasi fosfor. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui ion logam yang lebih efektif, untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry. Penurunan konsentrasi fosfor dengan metode-metode ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain waktu pengadukan lambat, ph, dan dosis. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dikaji pengaruh waktu pengadukan lambat, ph air limbah, dosis koagulan dan dosis pengendap terhadap efektivitas penurunan konsentrasi fosfor, untuk memperoleh hasil penurunan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry yang maksimal. I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian ini bertujuan umum untuk mengkaji FeCl 3.6H 2 O sebagai koagulan dan Ca(OH) 2 sebagai pengendap pada penurunan konsentrasi fosfor, serta membandingkan efektivitas ion kalsium(ii) dan besi(iii) pada penurunan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh waktu pengadukan lambat, ph air limbah, dosis FeCl 3.6H 2 O dan dosis Ca(OH) 2 pada penurunan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry. I.3 Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap penurunan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry, mencegah peristiwa eutrofikasi, dan pencemaran air. Adapun secara khusus diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan Ca(OH) 2 dan
5 FeCl 3.6H 2 O, serta beberapa faktor yang mempengaruhi proses penurunan konsentrasi fosfor, sehingga penurunan konsentrasi fosfor dalam limbah laundry dapat berlangsung secara maksimal.