BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan pemberdayaan dalam pengambilan keputusan secara lebih leluasa untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah sesuai dengan kepentingan, prioritas dan potensi daerah yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 yang diganti dengan UU No. 23 tahun 2014 dan Undang-Undang (UU) No. 33 Tahun 2004 yang menjadi landasan penyelenggaraan dan pelaksanaan otonomi daerah (Irawan, 2013). Dengan adanya otonomi daerah tersebut, pemerintah kabupaten/kota dapat mengelola keuangan daerahnya secara penuh. Dengan demikian, pemerintah daerah menjadi lebih mandiri dan mengurangi ketergantungannya dengan pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan serta pengelolaan keuangan daerah (Sularso, 2011). Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah sangat mempengaruhi kemajuan dan nasib daerah tersebut. Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya didukung oleh sumber daya manusia yang handal tetapi juga harus didukung oleh kemampuan daerah yang memadai. Pengelolaan keuangan daerah ini dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menggambarkan 1
kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan (Irawan, 2013). Dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah diwajibkan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang telah dialokasikan selama satu tahun. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh anggaran tersebut terlaksana secara efektif dan efisien guna membiayai pembangunan daerah (Irawan, 2013). Terwujudnya pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien salah satunya dapat diukur melalui besarnya pendapatan daerah tersebut, khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD merupakan salah satu indikator keberhasilan pengelolaan keuangan daerah selain kinerja keuangan. Semakin besar PAD yang diterima oleh suatu daerah menunjukkan bahwa pemerintah daerah mampu melaksanakan otonomi daerah dengan baik, sehingga semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Irawan, 2013). Pendapatan asli daerah yang diterima oleh pemerintah selanjutnya akan digunakan dalam belanja pemerintah. 2
Belanja pemerintah terdiri dari belanja lansung dan tak langsung. Belanja modal termasuk ke dalam kategori belanja langsung pemerintah daerah. Besarnya belanja modal pada total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja modal ditambah dengan belanja barang dan jasa merupakan komponen belanja pemerintah yang diharapkan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah (Arsa, 2015). Hal ini disebabkan oleh belanja modal yang dianggarkan dapat digunakan sebagai investasi daerah. Investasi daerah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi selain pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Untuk meningkatkan investasi daerah tersebut, kemampuan keuangan pemerintah daerah juga harus memadai. Besar kecilnya investasi daerah tergantung dari besarnya anggaran belanja modal dalam APBD (Prihastuti, 2015). Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) wilayah Jawa Tengah pada tahun 2010 PAD meningkat sebesar 19,61% dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan untuk belanja pemerintah menurun sebasar 6,69% dari tahun sebelumnya dan belanja modal yang terrealisasikan pada tahun 2010 sebesar Rp 461.803.723.000. Tahun 2011 realisasi PAD meningkat 13,18% dan untuk belanja pemerintah meningkat 17,01% dari tahun sebelumnya, sedangkan belanja modal terrealisasi sebesar Rp 464.327.008.000. Tahun 2012 realisasi PAD mengalami peningkatan 30,27% dan belanja pemerintah meningkat 90,35% dari tahun 3
sebelumnya serta porsi belanja modal yang digunakan sebesar Rp 611.274.310.150. Tahun 2013 realisasi PAD-nya meningkat 23,89% dari tahun sebelumnya dan belanja pemerintah meningkat 11,16% dari tahun sebelumnya dan belanja modalnya terrealisasi sebesar Rp Rp 994.740.520.000. Sedangkan tahun 2014 realisasi PAD mengalami peningkatan sebesar 30,64% dan untuk belanja pemerintah meningkat sebesar 18,63% dari tahun sebelumnya dan porsi belanja daerah yang digunakan untuk belanja modal sebesar Rp 1.570.679.411.000. Upaya pemerintah daerah dalam menggali kemampuan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur dengan menggunakan analisis rasio keuangan pemerintah daerah. Dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah dearah dilakukan dengan menggunakan rasio derajat desentralisasi, rasio ketergantungan keuangan, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas, rasio derajat kontribusi BUMD, rasio efisiensi, rasio keserasian belanja, rasio pertumbuhan, rasio likuiditas, rasio solvabilitas, DSCR (Debt Service Coverage Ratio) dan rasio belanja terhadap PDRB (Sularso, 2011). Namun peneliti hanya menggunakan rasio derajat desentralisasi, rasio ketergantungan keuangan, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas, rasio derajat kontribusi BUMD, rasio efisiensi, dan rasio keserasian belanja. Ini dikarenakan rasio ini dapat menggambarkan hubungan antara besarnya penganggaran APBD dengan realisasinya yang 4
dapat menunjukkan seberapa jauh kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut. Pengukuran kinerja keuangan ini juga dapat digunakan untuk mengetahui akuntabilitas dan kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Suatu daerah dianggap berhasil dalam mengelola keuangan daerah, apabila kinerja keuangan pada pemerintah daerah tersebut dikategorikan baik, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value for money serta partisipasi, transparasi, akuntabilitas, dan keadilan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Sularso, 2011). Kemajuan suatu daerah juga dapat dilihat salah satunya dari rasio pertumbuhan ekonomi yang baik. Pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu daerah dalam menyediakan akan barang dan jasa kepada masyarakat dengan jumlah yang banyak, sehingga memungkinkan untuk menaikan standar hidup. Tolak ukur pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto yang tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah terutama investasi daerah dalam sektor publik. Pengeluaran pemerintah tersebut diukur dari total belanja operasional dan belanja modal yang dialokasikan dalam anggaran pemerintah. Alokasi belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah tersebut juga dipengaruhi oleh baik atau tidaknya kinerja keuangan pemerintah daerah (Sularso, 2011). 5
Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara kinerja keuangan, belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2015) pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah selama tahun 2010 hingga 2014 mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah mengalami kenaikan sebesar 0,28 % yaitu dari 5,14 % di tahun 2013 menjadi 5,42 % di tahun 2014. Pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan yang tidak signifikan hanya sebasar 0,20 % dari 5,34 % di tahun 2012 menjadi 5,14 % di tahun 2013. Pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah mengalami kenaikan sebasar 0,04 % yaitu 5,34 % dari 5,30 % pada tahun 2011. Dari data diatas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi pada setiap setiap tahunnya. Sedangakan dari data realisasi APBD provinsi Jawa Tengah dapat dilihat bahwa belanja modal yang diporsikan dari belanja daerah cenderung naik. Hal ini menarik untuk diteliti karena fenomena belanja modal yang cenderung naik pada setiap tahunnya tetapi tidak demikian dengan pertumbuhan ekonomi pada provinsi Jawa Tengah yang cenderung fluktuatif (berselang seling antara naik dan turun). Karena seharusnya pertumbuhan ekonomi sensitif terhadap pertumbuhan PAD (Bapenas, 2004 dalam Arsa dan Setiawina, 2015). 6
Kinerja keuangan dapat menjadi indikator penilaiaan kesuksesan pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Beberapa penelitian yang menjelaskan hal serupa yaitu Desak Putu Dwi Puspaningsih dan Ni Ketut Lely Aryani M. (2016) menjelaskan bahwa kinerja keuangan daerah berupa rasio efisiensi mampu memoderasi (meningkatkan) Belanja Langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangakan I Ketut Arsa dan Nyoman Djinar Setiawina (2015) dan Havid dan Yanuar (2011) menunjukkan bahwa kinerja keuangan berupa rasio derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, kemandirian keuangan, efisiensi PAD, dan derajat kontribusi BUMD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Syamsudin, Bayu, dan Syahrina (2015) menjelaskan bahwa kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, efektifitas, dan rasio efisiensi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonimi, pengangguran dan kemiskinan. Penelitian ini mengacu dari penelitian I Ketut Arsa dan Nyoman Djinar Setiawan (2015) mengenai pengaruh kinerja keuangan terhadap belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan hasil dari penelitian ada beberapa variabel yaitu rasio kemandirian keuangan dan derajat kontribusi BUMD yang tidak sesuai dengan teori yang ada dalam literatur. Selain itu juga, ada ketidakseragaman hasil antara penelitian yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan penelitian sekarang dari penelitian terdahulu adalah lokasi penelitian, periode penelitian, variabel yang digunakan dan teknik analisis data. 7
Pada penelitian sekarang menggunakan periode tahun 2010-2014 karena pada tahun tersebut terjadi perubahan atas UU yang berlaku, yaitu UU No.32 tahun 2004 diganti dengan UU No.23 tahun 2014. Pergantian UU tersebut jelas memiliki perbedaan yang mendasar seperti pada asas pemerintahan daerah, kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan hubungan kepala daerah dengan DPRD. Sedangkan penelitian terdahulu menggunakan periode 2007-2009. Variabel yang digunakan pada penelitian sekarang yaitu rasio derajat desentralisasi, rasio ketergantungan, rasio kemandirian, efektifitas, kontribusi BUMD, rasio efisiensi, rasio keserasian belanja, dan belanja modal pada variabel independenya serta pada variabel dependenya hanya menggunkan satu variabel yaitu pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan rasio-rasio tersebut dapat digunakan mengetahui baik atau buruknya kinerja keuangan pemerintah daerah yang akan berdampak pada pengelolaan keuangan daerah yang tercermin dari realisasi penerimaan PAD yang digunakan dalam belanja pemerintah daerah. Peneliti juga menambahkan beberapa variabel dalam penelitian ini yaitu rasio efisiensi dan keserasian belanja dikarenakan variabel tersebut dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh kinerja keuangan melalui APBD yang dianggarkan untuk belanja modal yang kemungkinan digunakan untuk investasi daerah. Selanjutnya belanja modal yang digunakan sebagai variabel independen penelitian ini. Hal ini dikarenakan belanja modal termasuk ke 8
dalam jenis belanja pemerintah daerah secara langsung yang digunakan untuk belanja yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Belanja ini dapat digunakan untuk investasi daerah yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Sedangakan variabel yang digunakan pada penelitian terdahulu yaitu derajat desentralisasi, rasio ketergantungan, rasio kemandirian, efektifitas PAD, dan kontribusi BUMD pada variabel independenya serta pada variabel dependenya berjumlah dua yaitu alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Teknik analisis pada penelitian sekarang menggunakan analisis regresi linear berganda, sedangkan pada penelitian terdahulu menggunakan SEM yang berbasis AMOS. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah derajat desentralissi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 2. Apakah ketergantungan keuangan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi? 3. Apakah kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 4. Apakah efektifitas PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 5. Apakah derajat kontribusi BUMD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 9
6. Apakah rasio efisiensi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 7. Apakah rasio keserasian belanja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 8. Apakah belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan dalam penelitian yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengetahui derajat desentralisasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. b. Mengetahui ketergantungan keuangan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. c. Mengetahui kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. d. Mengetahui efektifitas PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. e. Mengatahui derajat kontribusi BUMD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. f. Mengetahui rasio efisiensi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 10
g. Mengetahui keserasian belanja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. h. Mengetahui belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan maslah diatas, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagi Pengambil kebijakan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna di dalam memahami kinerja keuangan, belanja modal serta pertumbuhan ekonomi sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pilihan dalam pengambilan kebijakan. b. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai kinerja keuangan, alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi serta dapat menerapkan teori tersebut dalam prakteknya di dunia kerja. 11