PENDAHULUAN. suatu bentuk kesadaran yang diikuti dengan kegiatan gotong royong untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

BAB III PROFIL PERUSAHAAN

BAB 1 PEDAHULUAN. Manusia (IPKM). Undang Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk terciptanya kesadaran, kemauan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan sistem..., Levina Ardiati, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PARTISIPASI REMAJA SMA DALAM PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN SUKOHARJO

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam setiap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. dimulai sejak tahun Desa atau kelurahan siaga aktif adalah desa atau kelurahan

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dan dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit jenis ini masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. H. DENGAN DENGUE HEMORAGIC FEVER GRADE II DI BANGSAL MELATI II RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dengue shock syndrome (DSS). Kewaspadaan dini terhadap. tanda-tanda syok pada penderita demam berdarah dengue (DBD)

KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN PELALAWAN NOMOR :440/SEKT-PROG/DINKES/2016/ TENTANG

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENINGKATKAN KEMANDIRIAN DASA WISMA KELURAHAN SEKARAN DALAM PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak berkembang nyamuk Aedes. kepadatan penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PENERAPAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA MANCASAN WILAYAH PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan. keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan ketertiban dunia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

Pemberantasan Flu Burung tanpa melibatkan peran serta masyarakat akan sia-sia Ari Fahrial Syam* Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

BAB 1 : PENDAHULUAN. ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

KERANGKA ACUAN PROGRAM PROMKES DINAS KESEHATAN KOTA SURAKARTA UPTD PUSKESMAS PUCANGSAWIT

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. maupun sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di

BAB I PENDAHULUAN. Sehatadalah hak azazi manusia, hal ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata,

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah tersebut kemudian

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013

PIDATO MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PADA PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL (HKN) KE NOVEMBER 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

BAB 1 PENDAHULUAN. anak-anak.penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Strategi Pembangunan Kesehatan tahun adalah meningkatkan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Kader Kesehatan Dengan Pelayanan Posyandu

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan Indonesia bertujuan memandirikan masyarakat untuk

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

Transkripsi:

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skripsi ini menganalisis tentang peran modal sosial dalam upaya pemberantasan wabah demam berdarah di Kelurahan Siaga Sorosutan, Umbulharjo. Artinya sejauh mana kontribusi/peran modal sosial dalam upaya pemberantasan penyakit menular demam berdarah di Kelurahan Siaga Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo. Tema skripsi ini penting dilihat dari segi teoritis maupun empiris. Secara teoritis, bahwa modal sosial melalui jaringan sosial dan komunitas berdampak pada kualitas perlindungan kesehatan. 1 Selain itu, dengan diterapkannya kebijakan kelurahan siaga yang berbasis modal sosial akan meningkatkan dan mengokohkan partisipasi masyarakat yang semula hanya berdasarkan mobilitas semata menjadi suatu bentuk kesadaran yang diikuti dengan kegiatan gotong royong untuk meningkatkan derajat kesehatan bersama. Mengingat di daerah yang memang tergolong endemik tidak dapat hanya mengandalkan instruksi dari pemerintah saja, akan tetapi harus diikuti oleh gerakan kesadaran masyarakat yang bersangkutan. Kemudian, secara empiris tema ini sangat penting untuk dikaji lebih mendalam, hal ini mengingat tingginya angka kasus demam berdarah yang semakin 1 Hawe P,Shiell A. Social Capital and Health Promotion. In:Sidell M, Jones L,Katz J, Peberdy A, Douglas J, editors. Debates and Dilemmas In Promoting Health. 2nd ed. The Open University. Palgrave Mac Millan:2000. Hal.40 1

mengkhawatirkan. Di Asia Tenggara, DBD pertama kali muncul di Manila pada tahun 1953 yang selanjutnya meluas ke berbagai negara lainnya. Sedangkan, di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, kemudian di DKI Jakarta dan berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta (1972). Awalnya penyakit DBD ini hanya terjadi di daerah perkotaan, namun seiring meningkatnya mobilitas penduduk penyakit DBD ini pun mulai menyerang daerah pedesaan juga sejak tahun 1975. 2 Jumlah kasusnya semakin tahun semakin memperihatinkan bahkan di beberapa kasus telah ditetapkan menjadi kejadian luar biasa (KLB). Di Indonesia, KLB terbesar pernah tercatat pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi. Pada tahun 2004, KLB DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 jiwa dengan angka kematian 1,3%. Meskipun dibandingkan dengan KLB pada tahun 1968 angka kematiannya telah menurun, namun angka kematian tersebut masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Singapura (0,1%), India (0,2%), Vietnam (0,3%), Thailand (0,3%), Malaysia (0,9%), dan Filipina (1%). 3 Sementara itu, seperti beberapa daerah lainnya, Kota Yogyakarta juga hingga saat ini belum dapat terbebas dari permasalahan wabah penyakit demam berdarah. Hal ini dapat dilihat melalui rekaman jumlah kasus demam berdarah setiap tahunnya di Kota Yogyakarta yang masih relatif tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bahwa pada tahun 2010 jumlah kasus demam berdarah di 2 Anies, 2006.Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Jakarta:PT Elex Media Komputindo. Halaman:52 3 Bappenas. 2006. Laporan Akhir Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Penular Studi Kasus DBD. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Halaman:3 2

Kota Yogyakarta sebanyak 1.517 kasus dengan 6 kematian, Kemudian 2011 dengan 460 kasus, 374 kasus di tahun 2012, 908 kasus pada tahun 2013 dengan 4 kematian dan 418 kasus di tahun 2014 dengan 3 kematian. Pada tahun 2014 terdapat lima kecamatan dengan kasus demam berdarah tertinggi yaitu:kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan Mantrijeron, Kecamatan Mergangsan dan Kecamatan Tegalrejo (Kedaulatan Rakyat, 2015). Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit DBD yaitu:urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan meningkatnya tingkat mobilitas masyarakat, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti serta pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat yang masih minim. Sebenarnya, upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan telah sejak lama dilakukan oleh pemerintah. Pada tahun 1970-1980 an pemerintah menggalang peran aktif masyarakat melalui gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Akan tetapi, setelah tahun 1998 gerakan dibidang kesehatan tersebut tidak lagi dilakukan. Kemudian pada tahun 2006 Departemen Kesehatan RI melakukan suatu terobosan dengan mengeluarkan kebijakan desa/kelurahan siaga. Dimana desa siaga merupakan suatu kondisi masyarakat desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan secara mandiri. Konsep desa/kelurahan siaga adalah membangun suatu sistem di desa/kelurahan yang bertanggung jawab memelihara 3

kesehatan itu sendiri, di bawah bimbingan dan interaksi dengan seorang bidan dan dua kader desa/kelurahan. Selain itu juga, berbagai pengurus desa untuk mendorong peran serta masyarakat dalam program kesehatan seperti imunisasi dan posyandu. Sebelumnya pembentukan desa/kelurahan siaga berkaitan dengan adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakan pembangunan atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, disokong dengan adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 tahun 2005 telah mengamanatkan pembagian kewenangan dalam pemerintahan di daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap penyelenggaraan program dan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dan swasta. Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi diberikan kewenangan untuk mengembangkan diri berdasarkan masalah kesehatan masyarakat di wilayah masing-masing tentunya disesuaikan dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan sumber dana daerah. Sementara itu, melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini juga mengatur tentang kewenangan desa. Hal ini dipertegas dengan Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa. Dengan adanya peraturan mengenai otonomi desa tersebut, maka desa memiliki kewenangan untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi adat dan budaya setempat. Disisi lain, menurut Destifiani,Innesa dkk (2010:124) inti dari otonomi sejatinya adalah adanya transfer kewenangan dari tingkatan pemerintahan, maka 4

konsekuensinya adalah otonomi. Sedangkan otonomi pada dasarnya adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sehingga terjadi transfer kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa, menyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa mencakup:a.) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, b.) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, c.) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, d.) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Terkait dengan urusan penyelenggaraan pelyanan kesehatan, dalam hal ini pemberantasan dan pengurangan risiko wabah DBD termasuk kewenangan desa berupa tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dimana tugas pembantuan yang ada di desa tidak dapat lepas dari urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Sedangkan dalam hal pembiayaannya, pelaksanaan tugas pembantuan disokong juga oleh pembiayaan dari tingkatan pemerintah yang ada di atasnya. Selain itu, mengacu pada Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera, (Bappenas 2005) pemerintah dalam sejarahnya telah banyak 5

menghasilkan produk kebijakan di bidang kesehatan. Namun demikian, tampaknya hal tersebut masih perlu kerja keras. Hal ini terkait dengan kasus merebaknya wabah penyakit demam berdarah hingga saat ini yang masih menjadi salah satu masalah yang belum terselesaikan dan terjadi disetiap periode. Seperti yang telah diketahui bahwa penyakit demam berdarah merupakan jenis penyakit yang memang tumbuh subur di daerah tropis dan sub tropis seperti Indonesia yang berulangkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan menyebabkan kematian tingkat tinggi. Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik ataupun iklim, demografi, kondisi sosial ekonomi dan pola perilaku masyarakat. Berdasarkan UU No. 36/2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa: pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Namun demikian, setiap orang juga tidak dapat luput dari kewajiban-kewajiban di bidang kesehatan. Implikasinya adalah pemerintah memiliki sejumlah tanggung jawab dalam upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat serta memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. Dengan kata lain, kebijakan terkait penanggulangan 6

wabah penyakit menular secara umum diarahkan pada terdorongnya partisipasi masyarakat secara aktif. Konsep partisipasi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan, mencoba diterapkan dengan dihadirkannya kebijakan desa/kelurahan siaga. Dimana seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa urusan kesehatan yang awalnya menjadi urusan pusat atau sentralistik telah menjadi urusan daerah, dengan kata lain telah di desentralisasikan kepada daerah-daerah. Desa/kelurahan siaga merupakan desa/kelurahan yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. 4 Dapat dikatakan bahwa desa/kelurahan siaga sebagai simpul dari kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat, seperti promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan ibu anak, program gizi, pengendalian dan pencegahan penyakit menular langsung, program DBD dan lain sebagainya Dengan demikian, menurut Kusuma (2013:128) kebijakan desa siaga dengan memandirikan masyarakat dalam upaya pemeliharaan kesehatan diharapkan dapat membantu menurunkan AKI dan AKB. Sejalan dengan kebijakan desa siaga tersebut, pada tahun 2009 pemerintah Kota Yogyakarta juga telah mencetuskan desa siaga di beberapa kecamatan salah satunya yaitu Kecamatan Umbulharjo. Lebih lanjut desa siaga ini melaksanakan 4 Ayuningtyas D, Asri J. Analisis Kesiapan Pos Kesehatan Desa Siaga di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat Tahun 2008. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Hal. 11. 7

beberapa kegiatan diantaranya surveilans berbasis masyarakat, penggalangan dana sehat, kegawatdaruratan serta kegiatan pola hidup bersih dan sehat. Selain itu, desa siaga tersebut juga dibina dalam hal kemandirian masyarakat dalam pembiayaan kesehatan melalui penggalangan dana sehat wilayah dan subsidi pemerintah. 5 Sementara itu, pendekatan yang komprehensif terhadap permasalahan wabah penyakit demam berdarah, tidak hanya sebatas pada aspek lingkungan fisik, biotik dan sosial masyarakat, tetapi yang tidak kalah penting yaitu perlunya menggali dan mengoptimalkan potensi masyarakat dalam hal ini modal sosial agar dapat berkontributif atau mendukung keberhasilan pelaksanaan desa/kelurahan siaga dan upaya pemberantasan penyakit menular demam berdarah. Hingga tahun 2009 tercatat 42.295 desa dan kelurahan siaga (56,1%) dari 75.410 desa dan kelurahan yang ada di Indonesia.(BPS,2009). Akan tetapi, banyak dari sekian desa/kelurahan tersebut yang hingga saat ini belum berhasil menciptakan desa atau kelurahan siaga yang sesungguhnya. Hal ini karena, upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif memerlukan proses yang cukup lama. Di sisi lain, seiring pemberlakuan kebijakan desa siaga tersebut, juga memunculkan beberapa masalah pemberdayaan masyarakat khususnya di bidang kesehatan. 6 Pertama, paradigma sehat sebagai paradigma 5 Kompas 6 Agustus 2008. Yogyakarta Rintis Desa Siaga Kesehatan dan Bencana.(online) diakses darihttp://health.kompas.com/read/2008/08/06/16441590/yogyakarta.rintis.desa.siaga.keseha tan.dan.bencana tanggal 8 Februari 2014 6 Sulaeman, Endang Sutisna dkk. 2012. Model Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Studi Program Desa Siaga. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.7 No.2 November 2012. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hal.187 8

pembangunan kesehatan telah dirumuskan, namun belum dipahami dan diaplikasikan semua pihak. Kedua, UU RI No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan daerah (kabupaten/kota) memegang kewenanangan penuh dalam bidang kesehatan, namun demikian kewenangan tersebut belum berjalan optimal. Ketiga, revitalisasi puskesmas dan posyandu hanya diartikan dengan pemenuhan fasilitas sarana. Keempat, dinas kesehatan kabupaten/kota lebih banyak melakukan tugas-tugas administratif. Kelima, keterlibatan masyarakat bersifat semu yang lebih berkonotasi kepatuhan daripada partisipasi dan bukan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, permasalahan yang kemudian muncul yaitu adanya anggapan bahwa kebijakan desa siaga yang selama ini telah diterapkan hanya menciptakan partisipasi yang semu terhadap masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat tidak benar-benar berpartisipasi secara sadar dan hanya berupa mobilisasi. Sedangkan, jika melihat tujuan dibentuknya kebijakan desa/kelurahan siaga adalah menyiapkan sebuah desa/kelurahan yang tahan akan adanya gangguan kesehatan maupun bencana. Oleh karenanya, dalam penerapan desa/kelurahan siaga ini diperlukan partisipasi masyarakat yang lebih nyata. Masyarakat sebagai subjek utama yang menentukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi mengenai strategi-strategi terkait penanggulangan wabah penyakit menular tentunya di bawah instruksi pemerintah daerah. Oleh karenanya, sangat diperlukan peran serta masyarakat secara aktif dalam rangka mencapai tujuan kebijakan desa/kelurahan siaga tersebut. Dewasa 9

ini, telah banyak didengungkan mengenai modal sosial yang ada di tataran masyarakat. Jika modal sosial tersebut dapat dioptimalkan khususnya dalam mengimplementasikan kebijakan desa/kelurahan siaga tersebut, maka hasilnya akan lebih memuaskan. Implementasi desa siaga berbasis modal sosial ini sangat berperan dalam keberhasilan pemberantasan wabah demam berdarah. Hal ini dapat terlihat bahwa berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, terjadi penurunan angka kasus demam berdarah di Kelurahan Siaga Sorosutan dari jumlah kasus semula sebanyak 61 kasus di tahun 2013 menjadi 16 kasus pada tahun 2014. Gambar 1.1. Diagram Jumlah Penderita Demam Berdarah per Kelurahan di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta Sumber:Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta,2014 10

Berdasarkan diagram di atas, terkait jumlah kasus demam berdarah di Kota Yogyakarta, dapat diketahui bahwa kasus demam berdarah tertinggi terjadi di Kelurahan Sorosutan. Namun demikian, Kelurahan Sorosutan berhasil menurunkan angka kasus demam berdarah secara signifikan yaitu dari semula 61 kasus menjadi 16 kasus pada tahun 2014. Perlu diketahui, bahwa selama ini pada tingkat Kota Yogyakarta belum ada payung hukum berupa kebijakan/peraturan walikota yang secara langsung mengatur mengenai pembinaan Kelurahan Siaga. Selama ini, pemerintah kota dan masyarakat hanya mengacu pada peraturan gubernur. Oleh karena permasalahan ini sangat mendesak untuk ditangani, maka diperlukan kesadaran dari masyarakat secara aktif untuk melakukan penanganan dan pemberantasan wabah demam berdarah yang secara periode terus terjadi. Keberhasilan menurunkan angka kasus demam berdarah di Kelurahan Sorosutan merupakan kontribusi dari modal sosial yang terdapat di kelurahan tersebut, selain sumber pembiayaan juga dibantu oleh pemerintah kota setempat. Dimana modal sosial yang mengikat berperan memperkuat pemberdayaan masyarakat dalam kelurahan siaga Sorosutan dalam upaya pemberantasan dan pengurangan risiko wabah DBD. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah kontribusi dari modal sosial yang ada di masyarakat ternyata mampu membarikan dampak yang signifikan terhadap penurunan angka kasus demam berdarah. Dengan kata lain, modal sosial masyarakat membentuk pelaksanaan kelurahan siaga yang baik. Oleh karenanya, sangat perlu mengkaji mengenai pentingnya peran dan kontribusi modal sosial dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 11

12