1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia (Anonim, 2007). Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Japanese encephalitis yang menimbulkan encephalitis/radang otak pada manusia terutama pada anak-anak di Asia. Penyakit dapat menyerang hewan ternak yang penularannya melalui vektor (Tsai, 2000). Saat ini, JE masih menjadi masalah kesehatan utama di wilayah Asia dengan jumlah kasus lebih dari 35.000 dan angka kematian yang mencapai 10.000 jiwa setiap tahunnya. Setelah infeksi HIV, JE merupakan penyebab terbesar encephalitis viral di seluruh dunia. (Iris et al., 2012). Japanese encephalitis pertama kali ditemukan pada sebuah wabah di Jepang pada tahun 1871, namun virusnya baru berhasil diisolasi pada tahun 1933 dan diberi nama dengan Japanenese B encephalitis (Hayashi, 1934). Virus JE telah ditemukan hampir di seluruh negara Asia, termasuk Indonesia (Van Peenen, 1975). Berdasarkan data dari Subdit Zoonosis, Dit P2B2 (Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang) Ditjen PPM-PL, Depkes RI pada tahun 1993-2004, didapatkan spesimen positif JE pada manusia di 14 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan pada hewan ditemukan di 10 provinsi. Sehubungan
2 dengan hal itu maka angka endemisitas yang tinggi ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Kelompok usia anak-anak yang paling rawan terkena infeksi JE adalah antara 5 hingga 9 tahun, hal ini ditunjang dengan hasil penelitian Gautama (2005). Penelitian JE di Bali tahun 2001-2003 dilaporkan bahwa didapatkan 86 kasus konfirm dari cairan serebrospinal dan 4 kasus probabel dari serum dengan menggunakan MAC ELISA dan didapatkan Incidence Rate (IR) kasus JE adalah 7,1 per 100.000 anak dan diperkirakan sampai 8,2 per 100.000 anak yang berumur di bawah 10 tahun. (Komang et al., 2002). Virus JE merupakan virus penyebab terbanyak encephalitis (Solomon, 2000). Manifestasi klinis JE sulit dibedakan dengan encephalitis lainnya tetapi angka kematiannya relatif tinggi antara 7,3% (Komang et al., 2006). Dari kasus yang hidup 50% mengalami gejala sisa/sekuele, pada anak sekuele lebih banyak dari dewasa (Solomon, 1998). Kasus JE pertama kali ditemukan di Indonesia berdasarkan gejala klinis dengan ditemukannya antibodi penghambat aglutinin (HI) dan virus Nakayama Japanese encephalitis dalam darah penderita. (Kho et al., 1972). Dari hasil surveilans di Bali, yang dilakukan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengawasan Lingkungan Departemen Kesehatan (Ditjen PPM & PL), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan International Vaccine Institue (IVI) Korea, pada tahun 2001-2002 ditemukan 74 kasus JE, 16 (21,6%) di antaranya ditemukan pada anak usia 13-24 bulan. Angka kematian secara keseluruhan 9,46%, sedangkan 47,30 %
3 sembuh dengan gejala sisa mulai dari depresi emosi sampai kelainan saraf kranial, deserebrasi, dekortikasi dan paresis. Surveilans menunjukkan bahwa kasus JE ditemukan di seluruh Kabupaten di Bali dengan tingkat kematian atau Case Fatality rate (CFR) setinggi 11% sementara 36% penderita yang masih hidup menderita kecacatan permanen. Hasil penelitian diatas menggambarkan bahwa JE merupakan masalah kesehatan serius di Bali walaupun data tersebut belum menggambarkan situasi JE di Indonesia. Populasi Bali dianggap unik dengan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu dan jumlah babi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, JE masih dianggap masalah di Bali saja (insidens: 8,1/100.000 anak usia < 10 tahun) (Iris et al., 2012). sedangkan di Bali sekuele sebesar 45,5%. (Komang et al., 2006). Dari data tersebut di atas dapat digambarkan bahwa telah terjadi kehilangan potensi sumber daya manusia untuk pembangunan negara di kemudian hari. Di lain pihak untuk menangani anak-anak yang menderita gejala sisa akibat infeksi JE tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Gejala klinik penyakit JE sulit dibedakan dengan penyakit encephalitis lainnya, sehingga diagnosis klinis perlu ditunjang dengan pemeriksaan isolasi atau serologi. Beberapa penelitian untuk mendiagnosis JE yang terdahulu telah menggunakan beberapa metode antara lain menggunakan HI test (Clark, 1958), CSF Cell IFA, (Mathur et al., 1990), IgM antibody assay by MAC ELISA, (Burk et al., 1985), dan MAC ELISA, (Komang et al., 2006), namun penelitian ini masih menggunakan metode yang mahal, tidak mudah dan rumit.
4 Keterbatasan metode tersebut menyebabkan hambatan untuk mengetahui besarnya jumlah kasus JE secara pasti. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut diperlukan pemeriksaan lain yang lebih murah, mudah, tidak sulit dan memberikan hasil yang lebih cepat serta hasilnya cukup akurat. B. Rumusan Masalah Wei (2005) melaporkan bahwa kasus klinis JE pada manusia di Bali mencapai 36%, di Manado (Sulawesi Utara) mencapai 22% dan di Pontianak (Kalimantan Barat) mencapai 25% dari data tersebut telihat bahwa Provinsi Bali merupakan daerah berisiko JE terbesar di Indonesia. Oleh karena itu perlu diketahui angka kejadian JE setiap tahun agar dapat dipakai sebagai dasar untuk mempersiapkan upaya preventif. Untuk menegakkan diagnosis JE diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah, pemeriksaan serum atau cairan serebrospinal dan uji serologi. Untuk diagnosis konfirm diperlukan pemeriksaan konfirmasi isolasi virus. Mengisolasi virus dengan keterbatasan biaya yang mahal serta jumlah virus yang ada di sirkulasi rendah dan cepatnya terbentuk neutralizing antibodies. Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan menggunakan reserve transcriptase-pcr amplification (RT-PCR) namun metode ini mahal dan memerlukan teknik dan peralatan yang rumit. Beberapa uji serologis adalah test Hemaglutinasi inhibisi (HI) dengan keterbatasan memerlukan 2x pemeriksaan serum fase akut dan fase konfalesen
5 serta ada reaksi silang dengan virus dengue, serta MAC ELISA merupakan baku emas dengan keterbatasan bila dilakukan terlalu dini dapat terjadi negatif palsu. Dengan keterbatasan ini serta belum tersedianya suatu test yang cepat, murah, mudah serta cukup akurat yang dapat digunakan untuk mendiagnosis awal penyakit ini, maka perlu pemeriksaan lain. Berdasarkan hal tersebut menimbulkan pemikiran perlunya adanya tes cepat dengan akurasi yang cukup baik yang dapat digunakan di pelayanan primer seperti puskesmas dan Rumah Sakit terutama di daerah endemik tinggi. Dengan diketahuinya penularan secara cepat di suatu wilayah bermanfaat untuk melakukan pengamatan epidemiologi secara intensif pada penyakit dan vektor JE terutama di daerah endemis, sehingga dapat dilakukan segera pencegahan dan upaya langkah-langkah antisipasi secara program di wilayah yang diduga terjadi penularan. C. Pertanyaan Penelitian Apakah pemeriksaan metode cepat IgM JE pada serum penderita encephalitis dapat memberikan hasil akurat dengan nilai spesivisitas minimal 95% dibandingkan dengan metode standar? D. Tujuan Penelitian Mengevaluasi validitas diagnostik pemeriksaan metode cepat IgM JE pada serum penderita encephalitis dibandingkan dengan metode standar.
6 E. Manfaat Penelitian 1. Bagi penentu kebijakan: Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti dalam memberikan masukan dalam menentukan Kebijakan Nasional Kementerian Kesehatan untuk diterapkan pada Kegiatan Program Nasional. 2. Bagi Institusi Pendidikan: Sebagai informasi tentang uji validitas yang hasilnya dapat digunakan untuk pengembangan penelitian Rapid Test JE di Indonesia. 3. Bagi masyarakat : akan mendapatkan manfaat pemakaian metode cepat pada suatu wilayah yang terjadi KLB/terjangkit untuk antisipasi penularan sehingga tidak terjadi penularan yang lebih luas di mayarakat F. Keaslian Penelitian 1. Di Indonesia penelitian tentang validitas pemeriksaan cepat IgM JE pada pasien suspek JE belum pernah dilakukan, penelitian ini menggunakan serum simpan pasien encephalitis pada penelitian sebelumnya yang meneliti surveilans JE di Bali, (tahun 2003). Setiap subyek (penderita encephalitis) pada penelitian sebelumnya dilakukan pengambilan cairan serebro spinalis dan serum baik fase akut dan konvalesen kemudian disimpan didalam lemari es pada suhu -60 C. 2. Solomon et al., (1998) Dalam Rapid diagnose of Japanese encephalitis by using an immunoglobulin M dot enzyme immunoassay, melakukan penelitian dengan populasi di Vietnam Selatan menggunakan test cepat JEV MacDot pada 155 cairan serebro spinalis dan 341 serum dari pasien suspek
7 encephalitis dibandingkan dengan 179 pasien menggunakan IgM capture assay standar enzyme-linked immunosorbent. Dengan hasil sensitivitas dari JEV MacDot 98,3% dan spesifisitas 99,2%. 3. Jyh-Hsiung et al., (2009) dalam Clinical Evaluation Studies SD Bioline JEV IgG/IgM, melakukan evaluasi di Taiwan menggunakan SD Bioline JEV IgG/IgM Rapid dengan menggunakan 175 serum yang sudah konfirm JE dg isolasi virus (konfirmasi JE positif) dibandingkan dengan komersial ELISA dengan hasil sensitivitas 98,8% dan spesivisitas 93,5%