BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

dokumen-dokumen yang mirip
PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PERKARA PIDANA PENCURIAN SEPEDA MOTOR NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. terdapat strukur sosial yang berbentuk kelas-kelas sosial. 1 Perubahan sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara mengenai anak, adalah merupakan hal yang sangat penting

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FUNGSI BARANG BUKTI BAGI HAKIM DALAM MEJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 Dalam pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana umum maupun pidana khusus, seperti kasus pencurian sepeda motor seringkali penyidik harus melakukan upaya paksa dalam bentuk penyitaan barang atau benda yang dimiliki oleh tersangka karena akan dijadikan sebagai alat bukti. Akhir-akhir ini sering terdengar berita diberbagai media massa mengenai hilangnya barang bukti, penyalahgunaan barang bukti yang telah disita, seperti dijual oleh oknum aparat penegak hukum. Permasalahan atau penyimpangan dalam proses pentyitaan barang bukti tindak pidana oleh oknum penegak hukum sebenarnya ibarat fenomena gunung es. Sebelumnya muncul kasus-kasus sejenis, namun sayangnya kasus kasus penyalahgunaan wewenang penyidik dalam melakukan penyitaan barang bukti tindak pidana tersebut hanya selesai pada pemberian sanksi administratif berdasarkan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya proses 1 Wirjono Prodjodikoro, 2006, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hal. 1. 1

2 penyitaan barang bukti tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian. Penyitaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyita atau pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Proses penegakan hukum mengesahkan adanya suatu tindakan berupa penyitaan. Oleh karenanya penyitaan merupakan tindakan hukum berupa pengambil alihan dari penguasaan untuk sementara waktu barang-barang dari tangan seseorang atau kelompok untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengertian Penyitaan itu sendiri dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 16 KUHAP yang berbunyi: "Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan". Tujuan dari KUHAP untuk mencari dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum,dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 2 Tindakan penyitaan disyahkan oleh undang-undang guna kepentingan acara pidana namun tidak boleh dilakukan dengan semena-mena, tetapi 2 Umems Indonesia, 2013, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana, dalam http://umemsindonesia.blogspot.com/2013/01/fungsi-tujuan-hukum-acara-pidana.html?m-1, diakses pada Kamis 24 Juli, Pukul 23.30 WIB

3 dengan cara-cara yang telah ditetapkan atau ditentukan oleh undang-undang tidak boleh melanggar hak asasi manusia. Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan "pembuktian" terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang peradilan. 3 Kemungkinan besar, tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan, oleh karena itu agar perkara lengkap dengan barang bukti penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan dalam pemeriksaan persidangan pengadilan.. Sebelum melakukan penyitaan, penyidik harus memperoleh izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Permintaan izin penyitaan tersebut dilampiri Resume dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sehingga jelas hubungan langsung barang yang akan disita dengan tindak pidana yang sedang disidik. Apabila tidak disertai dengan resume maka permohonan izin penyitaan tersebut dapat ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat. Rumusan Ketua Pengadilan Negeri setempat dimaksudkan adalah tempat dimana barang-barang yang akan disita itu termasuk dalam wilayah hukumnya. 4 Hal ini perlu dipahami agar tidak terjadi kekeliruan. Penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak 3 M.Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 265. 4 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan Penyidikan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3.

4 pidana yang bersangkutan, kecuali benda atau surat yang berhubungan atau disangka telah digunakan dalam tindak pidana tersebut. Untuk itu penyidik wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Pada perkara pencurian sepeda motor milik seseorang, yang pelaku pencuriannya tersebut sudah tertangkap oleh pihak kepolisian. Dalam perkara pencurian tersebut, sepeda motor yang merupakan milik yang sah dari orang tersebut tentunya akan disita sebagai barang bukti oleh penyidik, dengan tujuan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara tersebut.dalam perkara tersebut, pemilik yang sah dari sepeda motor tersebut (yang dapat dibuktikan dengan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor/BPKB dan Surat Tanda Nomor Kendaraan/STNK), akan berkapasitas sebagai saksi korban/saksi pelapor, yang akan memberikan keterangan kepada penyidik bahwa benar sepeda motor tersebut adalah miliknya. Keterangan pemilik sepeda motor tersebut akan dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang menjadi acuan dibuatnya surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas penulis ingin mengetahui lebih jauh dalam hal proses penyitaan barang bukti dalam perkara pencurian sepeda motor, oleh karena itu penulis mengangkat hal tersebut dalam penelitian dengan judul PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PERKARA PENCURIAN SEPEDA MOTOR.

5 B. Perumusan Masalah Agar penelitian ini tidak mengalami perluasan masalah, maka penulis membatasi masalah pada : 1. Bagaimanakah pelaksanaan wewenang penyidik dalam melakukan penyitaan barang bukti pencurian sepeda motor? 2. Kendala apakah yang dialami penyidik dalam penyitaan barang bukti pencurian sepeda motor? 3. Bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses persidangan dan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hokum tetap? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan wewenang penyidik dalam melakukan penyitaan barang bukti pencurian sepeda motor 2. Mengetahui kendala yang dialami penyidik dalam penyitaan barang bukti pencurian sepeda motor 3. Mengetahui kedudukan barang bukti dalam proses persidangan dan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

6 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran yang nyata dan memberikan sumbangan pemikiran dalam pengetahuan mengenai hukum pidana, khususnya tentang proses penyitaan barang bukti dalam perkara pencurian sepeda motor di Polres Boyolali. 2. Manfaat Praktis Memberikan manfaat untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. D. Kerangka Pemikiran Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam masyarakat baik itu merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan pemberantasan/penindakan (represif), adalah Hukum Acara Pidana yang mempunyai tujuan yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. 5 Tujuan dari hukum acara tersebut untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya merintahkan pemeriksaan dan memberi putusan oleh pengadilan guna menentukan keterbuktian suatu tindak pidana telah dilakukan dan seseorang didakwakan atas kesalahannya. 6 Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah menerima laporan dan atau pengaduan dari 5 Ratna Nurul Afiah, 2008. Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal.13. 6 Departemen Kehakiman, Pelaksanaan KUHAP.

7 masyarakat atau diketahui sendiri terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh penutut umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Selanjutnya, hakim melakukan pemeriksaan terhadap dakwaan penuntut umum yang ditujukan terhadap terdakwa terbukti atau tidak. 7 Persoalan yang terpenting dari setiap proses pidana adalah mengenai pembuktian, karena dari jawaban atas persoalan inilah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. 8 Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan. Benda-benda yang dimaksudkan lazim dikenal dengan istilah barang bukti atau corpus delicti yakni barang bukti kejahatan. Barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana. 9 Menurut Andi Hamzah terkait barang bukti menjelaskan sebagai berikut: Istilah barang barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik. Misalanya uang Negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi tersebut merupakan barang bukti atau hasil delik. 10 Barang bukti yang bukan merupakan obyek, barang bukti atau hasil delik tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang bukti tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya uang yang dipakai korban pada saat ia melakukan kejahatan korupsi bisa dijadikan barang bukti. Selanjutnya, benda sitaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, walaupun semua aturan yang ada tidak ada satu 7 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., hal. 14. 8 Moeljatno, 2010,Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, hal. 132. 9 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., hal.15. 10 Andi Hamzah, 2006, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia, hal.100.

8 pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai benda sitaan secara implisit (tersirat) ataupun secara nyata. Walaupun demikian perlu diberi batasan bahwa benda sitaan yaitu benda yang bergerak atau benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diambil alih atau disimpan dalam penguasaan penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pengadilan, atau dengan kata lain yang dimaksud dengan benda sitaan adalah barang atau benda sitaan hasil dari suatu penyitaan. Benda sitaan menurut kamus Bahasa Indonesia adalah: 11 Benda adalah harta atau barang yang berharga dan segala sesuatu yang berwujud atau berjasad. Sitaan berarti perihal mengambil dan menahan barang-barang sebagiannya yang dilakukan menurut putusan hakim atau oleh polisi. Maksud atau tujuan penyimpanan benda sitaan adalah agar menghindari barang yang disita itu disalahgunakan, menguasai dan menikmati benda sitaan, menghindari hilang atau rusaknya (hancur) dan habisnya barang sitaan. 12 Oleh karena itu barang sitaan itu perlu diselamatkan dan ditentukan sarana perangkat untuk menjamin keutuhannya berupa sarana penyimpanan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) penanggungjawab secara fisik berada pada Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) penanggung-jawab secara yuridis berada pada pejabat penegak hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 11 Ibid, hal. 134. 12 Penjelasan Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa Benda sitaan Negara di Simpan Dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.

9 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu Penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat. 13 Penulis ingin menggambarkan tentang proses penyitaan barang buktir dalam perkara pencurian sepeda motor, khususnya di dalam ruang lingkup wilayah hukum Polres Boyolali. 2. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dan memperhatikan norma hukum yang berlaku dihubungkan dengan faktafakta yang ada dari permasalahan yang ditemui dalam penelitian. 14 Di mana penelitian ditujukan pada hal norma-norma yang mengatur tentang penyitaan barang bukti dalam perkara pidana pencurian sepeda motor, kemudian bagaimana pelaksanaannya di Polres Boyolali. 3. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka penulis mengambil lokasi penelitian di Polres Boyolali dengan pertimbangan bahwa di Polres 13 Rianto Adi, 2004, Metode Sosial dan Hukum, Jakarta: Sinar Granit. hal. 3. 14 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 72.

10 tersebut sering dilakukan proses penyitaan barang bukti dalam perkara pencurian sepeda motor. 4. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut: a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama dan sebelum diolah. 15 Data primer dapat berupa keterangan-keterangan yang bersumber dari pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Pihak-pihak tersebut meliputi petugas atau pejabat di lingkungan Polres Boyolali. b. Data Sekunder Data penelitian hukum, data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Bahan Hukum Primer, meliputi: a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); b) Kita Undang-UndangHukumAcaraPidana (KUHAP); c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 tahun 1983 Bab IX Tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara; 15 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, hal. 30.

11 d) Peraturan Menteri Kehakiman RI No. 05-UM.01.06 tahun 1983 Tentang Pengelolaan Basan dan Barang Rampasan Negara di RUPBASAN. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, meliputi sumber data secara langsung dari beberapa literatur-literatur, dokumen-dokumen dan arsip yang berlaku serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dan masih relevan dengan masalah yang diteliti. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya berupa bahan dari media internet, kamuskamus dan sebagainya. 16 5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara yaitu mencari data dengan cara mengajukan pertanyaan kepada subyek penelitian mengenai obyek penelitian dan hal-hal yang ada relevansinya dengan obyek penelitian tersebut. 17 b. Studi Kepustakaan 16 Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raga Grafindo Perkasa. hal. 117. 17 Ronny Hanitijo Soemantri, 2010, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 116.

12 Dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan tertulis yang berupa buku, peraturan perundang-undangann yang berkaitan dengan penelitian ini. 18 Serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 6. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. 19 F. Sistematika Skripsi Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: BAB I berisi Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitiaan dan sistematika skripsi. BAB II berisi Tinjauan Umum yang terdiri dari tinjauan umum tindak pidana pencurian, tinjauan umum penyitaan, barang bukti dan barang sitaan. BAB III berisi Hasil Penelitian dan Pembahasan mengenai pelaksanaan wewenang penyidik dalam melakukan penyitaan barang bukti pencurian sepeda motor, kendala yang dialami penyidik dalam penyitaan barang bukti pencurian sepeda motor dan kedudukan barang bukti dalam proses persidangan dan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap. 18 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hal. 51. 19 Ibid.hal. 57.

13 BAB IV berisi Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Di bagian akhir terdiri dari daftar pustaka.