BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar modal merupakan pasar tempat pertemuan dan melakukan transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan dana (surplus fund). Pendapatan investasi saham yang berupa capital gain akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga saham, sedangkan yang berupa dividen selain dipengaruhi oleh kinerja perusahaan juga dipengaruhi oleh keadaan eksternal perusahaan. Harapan keuntungan pada masa yang akan datang merupakan kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan investasi yang dilakukan. Dalam konteks investasi, harapan keuntungan tersebut sering disebut sebagai return. Seorang investor mengharapkan return yang tinggi dari investasi yang dilakukannya. Namun untuk mendapatkan return yang tinggi investor menghadapi risiko yang tinggi pula. Artinya semakin tinggi return yang diharapkan semakin tinggi risiko investasi. Pasar modal sebagai bagian dari sistem perekonomian suatu negara, khususnya dalam sektor keuangan, pasar modal menyediakan dua fungsi pokok bagi masyarakat yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda, yaitu sebagai fungsi ekonomi dan keuangan. Dengan adanya pasar modal, perusahaan dapat menambah keuangan sebagai sumber dana yang digunakan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan untuk keperluan pengembangan dan ekspansi.
Pada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggairahkan industri perbankan. Diawali dengan diluncurkannya Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter, dan perbankan antara lain meliputi pemberian kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank, dan lembaga keuangan bukan bank. Setelah diluncurkannya deregulasi tersebut, dalam kurun waktu 1988-1996 bisnis perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data Biro Riset Info Bank, industri perbankan menguasai 90,46% pangsa pasar keuangan di Indonesia, diikuti industri asuransi 3,38%, dana pensiun 3,01%, industri pembiayaan 2,32%, sekuritas 0,65% dan pegadaian 0,20% (Anita dan Rahadian, 2003). Pertumbuhan yang pesat itu ternyata tidak mendorong terciptanya industri perbankan yang kuat. Krisis keuangan yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 memberi dampak yang sangat buruk pada sektor perbankan. Beberapa indikator kunci perbankan dalam tahun 1998 berada pada kondisi yang sangat buruk. Non Performing Loan (NPL) bank-bank komersial mencapai 50%, tingkat keuntungan industri perbankan berada pada titik minus 18%, dan Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukkan kondisi minus 15% (Anita dan Rahadian, 2003). Terpuruknya sektor perbankan akibat krisis ekonomi memaksa pemerintah melikuidasi bank-bank yang dinilai tidak sehat dan tidak layak lagi untuk beroperasi. Hal ini mengakibatkan timbulnya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap industri perbankan. Bank yang pertama kali mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta adalah Bank Panin yaitu pada tanggal 29 Desember 1982. Jumlah bank yang pernah tercatat di Bursa Efek Jakarta sampai dengan tahun 1996 sebanyak 32
bank, namun seiring dengan adanya krisis ekonomi maupun perbankan yang melanda Indonesia yang dimulai pada tahun 1997, menyebabkan beberapa bank ditutup atau dimerger. Disamping itu, dengan diterbitkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Single Presence Policy (SPP) mendorong bank-bank untuk melakukan konsolidasi/merger. Bulan November tahun 2007 Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyatakan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) bergabung menjadi Bursa Efek Indonesia. Penggabungan kedua bursa ini menjadi tak terhindarkan karena Indonesia telah terikat berbagai kontrak regional maupun internasional yang mengharuskan perekonomiannya terbuka, termasuk bursa efek. Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai beroperasi pada awal 1 Desember 2007. Krisis keuangan global tahun 2007/2008 tak hanya berdampak pada sektor riil, tetapi juga sangat memukul sektor finansial, bahkan angka kerugian di sektor finansial dilaporkan lebih besar daripada kerugian di sektor manufaktur. Keadaan sektor finansial makin memburuk ketika banyak perbankan melakukan perketatan likuiditas Dalam menghadapi krisis yang tengah kita alami sekarang ini, perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Stabilitas di sektor finansial maupun sektor riil sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas kondisi perekonomian nasional. Pihak perbankan sebagai pemain utama dalam sektor finansial perlu mengambil kebijakan yang efisien dan efektif, tidak hanya untuk menggerakkan roda perusahaannya sendiri, tetapi juga untuk menggerakkan roda perekonomian nasional.
Guna menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi, tuntutan konsumen yang meningkat dan pesatnya kemajuan teknologi informasi, maka pengelolaan bank secara efisien merupakan syarat mutlak untuk dapat terus bertahan. Umumnya perusahaan yang lebih efisien akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan yang kurang efisien. Efisiensi perusahaan bukan hanya merupakan ukuran perbandingan antara output yang dihasilkan dengan input, tetapi bagaimana manajemen mengelola sumberdaya yang ada dengan segala keterbatasan untuk menghasilkan output yang optimal. Perusahaan dapat dikatakan lebih efisien dibandingkan pesaingnya jika dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih tinggi atau dapat menghasilkan output yang sama dengan input yang lebih rendah. Aspek efisiensi dipandang sangat penting sekali bagi sebuah bank atau bagi industri perbankan secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang makro dan sudut pandang mikro sesuai dengan fungsi yang dijalankan oleh industri perbankan. Dari sudut pandang makro dapat dilihat bahwa industri perbankan memainkan peran yang sangat strategis dalam pergerakan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Melalui kegiatan utamanya dalam financial market, yaitu mobilisasi dana dan penyaluran kredit, lembaga-lembaga perbankan tidak hanya bisa meningkatkan produktivitas dana tetapi juga dapat mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya. Bahkan, penyaluran berbagai bentuk kredit konsumsi pun juga mempunyai dampak positif bagi dunia usaha karena ikut membantu peningkatan permintaan terhadap berbagai jenis produk dan jasa. Selain itu, terdapat pula banyak sekali bentuk jasa keuangan yang amat dibutuhkan dalam transaksi ekonomi, baik lokal maupun internasional, hanya bisa
disediakan oleh lembaga-lembaga perbankan. Sehubungan dengan perannya yang amat strategis tersebut maka lembaga-lembaga perbankan dengan tingkat efisiensi yang tinggi sangat diperlukan karena mempunyai dampak positif pada sektorsektor lain. Dari sisi mikro aspek efisiensi juga sangat penting artinya bagi sebuah lembaga perbankan. Tingkat efisiensi menggambarkan kemampuan bank yang bersangkutan dalam mengelola input dan output nya. Di dalam persaingan sempurna (perfect competition) atau struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna, bank-bank yang kurang efisien bisa tersingkir dari pasar karena tidak mampu bersaing dengan kompetitornya, baik dari segi harga (pricing) maupun dalam hal kualitas produk dan pelayanan. Bank seperti ini tidak hanya akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan nasabahnya tetapi juga dalam menarik nasabah-nasabah baru untuk memperbesar customer-base nya. Kesulitan yang akan dihadapi oleh bank-bank yang kurang efisien bisa lebih berat lagi bila dikaitkan dengan perkembangan pasar keuangan yang semakin kempetitif dimana lembaga perbankan tidak hanya menghadapi para pesaing dari dalam industri perbankan saja tetapi juga dari industri lain. Dengan demikian jelas bahwa tingkat efisiensi diperkirakan dapat mempengaruhi kinerja, tingkat kesehatan dan kelangsungan hidup sebuah lembaga perbankan. Bila lembaga keuangan bank meningkat kesehatannya diharapkan kinerjanya juga meningkat sehingga menunjang reputasinya. Kinerja bank yang baik tentu akan memberikan keyakinan investor untuk bisa memperoleh return saham yang memadai. Jika pemegang saham mendapat return saham yang tinggi
untuk lembaga keuangan bank yang memiliki kinerja yang baik, ini berarti pasar memberi respon yang signifikan. Baik buruknya kinerja perusahaan dapat dijadikan sebagai tolak ukur bagi investor dalam menentukan pembelian saham perusahaan. Tentunya investor akan menjatuhkan pilihannya pada saham yang memiliki reputasi yang baik karena investor ingin memperoleh return saham yang tinggi dari investasinya. Kinerja perusahaan go public dapat diukur dari kinerja harga sahamnya di lantai bursa, kinerja saham yang baik adalah jika kenaikan harganya diatas atau paling tidak sama dengan tingkat kenaikan indeks pasarnya. Dalam jangka panjang emiten yang dapat menunjukkan kinerja yang lebih efisien akan mendapatkan tanggapan positif dari investor. Faktor lain yang mempengaruhi return suatu investasi adalah Rasio Profitabilitas. Rasio profitabilitas yang berfungsi dan sering digunakan untuk memprediksi return saham adalah return on asset (ROA). ROA digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Jika ROA semakin meningkat, maka kinerja perusahaan juga semakin membaik, karena tingkat kembalian semakin meningkat (Hardiningsih et.al., 2002). Bahkan Ang (2005) menyatakan bahwa ROA merupakan rasio yang terpenting di antara rasio profitabilitas yang ada untuk memprediksi return saham. Investor dalam menjalankan aktivitasnya menghadapi dua macam risiko, yaitu: risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Kedua risiko tersebut mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan investor. Semakin tinggi return yang diharapkan, semakin tinggi risiko investasi. Risiko tidak sistematis dari satu perusahaan tidak berkorelasi dengan perusahaan lainnya. Sebaliknya, risiko sistematis akan berkorelasi terhadap setiap saham perusahaan. Hal ini
disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi risiko sistematis adalah sama, misalnya tingkat inflasi, tingkat bunga atau variabel lainnya atau sering disebut dengan variabel makro ekonomi. Perubahan variabel makro ekonomi akan berdampak pada seluruh saham perusahaan. Bagian risiko yang tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi disebut sebagai risiko sistematis, sedangkan yang bisa dihilangkan dengan diversifikasi disebut sebagai risiko tidak sistematis. Oleh karena sebagian risiko bisa dihilangkan dengan diversifikasi, dan pemodal bersifat tidak menyukai risiko, maka mereka tentunya akan melakukan diversifikasi. Bagian risiko yang hilang karena diversifikasi menjadi tidak relevan dalam pengukuran risiko. Hanya risiko yang tidak bisa hilanglah yang relevan. Risiko ini disebut juga sebagai risiko sistematis atau beta. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah ada pengaruh efisiensi, rasio profitabilitas dan risiko sistematis secara serempak terhadap return saham bank di Bursa Efek Indonesia? 2. Apakah ada pengaruh efisiensi, rasio profitabilitas dan risiko sistematis secara parsial terhadap return saham bank di Bursa Efek Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh efisiensi, rasio profitabilitas dan risiko sistematis secara serempak terhadap return saham bank di Bursa Efek Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaruh efisiensi, rasio profitabilitas dan risiko sistematis secara parsial terhadap return saham bank di Bursa Efek Indonesia. 1.4. Manfaat Penelitian Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang luas antara lain : 1. Memberikan wawasan dan pandangan, khususnya bagi peneliti sendiri, untuk memahami secara mendalam akan pendekatan efisiensi, rasio profitabilitas dan risiko sistematis yang digunakan dalam menganalisis investasi di pasar modal terhadap keuntungan saham di Bursa Efek Indonesia. 2. Memberi masukan kepada manajemen bank go public untuk lebih meningkatkan kinerja perusahaan dengan menekankan efisiensi tersebut. 3. Sebagai informasi ilmiah, khususnya di bidang investasi, sehingga para investor dan terutama pengelola pasar modal dapat menggunakannya untuk menyusun suatu perencanaan dan menciptakan suatu kondisi pasar modal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
4. Referensi bagi penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji masalah yang sama pada masa yang akan datang.