BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi yang ditandai kompetisi super ketat antarindividu, antarorganisasi dan bahkan antarbangsa, yang kemudian direspon dengan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan, komitmen individual yang tinggi menjadi urgensi yang tidak mungkin ditawar lagi. Oleh karena itu, menurut Benkhoff (1997: 701), komitmen telah menjadi topik kajian utama sejak 40 tahun yang lalu, karena pengaruhnya yang penting terhadap kinerja organisasi. Bagi kehidupan organisasi, tidak terkecuali organisasi publik (pemerintah), komitmen tersebut merupakan prasyarat mutlak untuk menjaga kelangsungan hidup, stabilitas dan pengembangan organisasi. Dalam tataran ini, komitmen yang dibutuhkan adalah komitmen dari segenap anggota organisasi untuk kepentingan organisasinya. Menurut Steers (1985: 50), komitmen organisasional dalam artian ini paling tidak mencakup tiga hal, yaitu: identifikasi atau kepercayaan terhadap nilainilai organisasi, keterlibatan atau kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi, dan loyalitas atau keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Tiga dimensi komitmen ini sangat penting dan strategis tidak saja demi kelangsungan dan pengembangan organisasi, tetapi juga bagi pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Dengan komitmen organisasional yang tinggi, pegawai akan cenderung berdedikasi tinggi dalam bekerja. Hal ini akan sangat membantu pegawai dalam menunjukkan kinerja terbaiknya, yang pada akhirnya dengan kinerja terbaik itu pegawai akan berpeluang memperoleh promosi jabatan. Dengan demikian eksistensi komitmen organisasional memang sangat strategis bagi kepentingan organisasi dan pegawai. Komitmen organisasional adalah suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Stephen P. Robbins didefinisikan
bahwa keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/komitmen_organisasi) Menurut L. Mathis dan John H. Jackson, komitmen organisasional adalah tingkat sampai dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama atau meninggalkan perusahaan pada akhirnya tercermin dalam ketidakhadiran dan angka perputaran karyawan. Sementara menurut Griffin, komitmen organisasional adalah sikap yang mencerminkan sejauhmana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Pakar lain yaitu Fred Luthan mendefinisikan komitmen organisasional sebagai : (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; (3) keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, komitmen organisasional merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. (http://id.wikipedia.org/wiki/komitmen_organisasi). Keberadaan komitmen organisasional dalam diri individu (pegawai) bukan semata-mata berasal dari individu yang bersangkutan, tetapi juga dapat dibangkitkan oleh faktor luar yang berimplikasi pada individu. Dua faktor penting yang berpotensi mempengaruhi komitmen organisasional adalah budaya organisasi dan kepuasan kerja. Terkait dengan faktor budaya organisasi, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Ingersoll et al (2000: 11) yang menemukan bahwa budaya organisasi adalah prediktor kuat dalam menciptakan komitmen terhadap organisasi. Menurut Schein (2004 17), budaya organisasi merupakan asumsi-asumsi dan keyakinankeyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh anggota organisasi. Budaya organisasi juga merupakan solusi secara konsisten yang dapat berjalan dengan baik bagi sebuah kelompok dalam menghadapi persoalan-persoalan eksternal dan internalnya, sehingga dapat diajarkan kepada para anggota baru sebagai suatu persepsi, cara berpikir dan
merasakan dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan tersebut. Pentingnya budaya organisasi dalam meningkatkan komitmen organisasional terlihat dari fungsi budaya organisasi, yang menurut Siagian (2002: 199), adalah untuk menumbuhkan komitmen. Apabila budaya organisasi kondusif bagi kehidupan pegawai, maka kondisi itu dapat membangkitkan komitmen pegawai terhadap organisasi. Oleh karena suatu organisasi terbentuk dari kumpulan individu yang berbeda baik sifat, karakter, keahlian, pendidikan, dan latar belakang pengalaman dalam hidupnya, perlu ada pengakuan pandangan yang akan berguna untuk pencapaian misi dan tujuan organisasi tersebut, agar tidak berjalan sendiri-sendiri. Disinilah letak pentingnya fungsi budaya organisasi. (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06). Budaya organisasi disebut juga budaya perusahaan. Penyatuan pandangan dari sumber daya manusia di dalam perusahaan ini diperlukan dalam bentuk ketegasan dari perusahaan, yang dituangkan dalam bentuk budaya kerja yang akan mencerminkan spesifikasi dan karakter perusahaan tersebut. Budaya kerja ini akan menjadi milik dan pedoman bagi seluruh lapisan individu yang ada di dalam perusahaan/organisasi tersebut dalam menjalankan tugasnya. Budaya kerja inilah yang sering kita dengar sekarang dengan istilah corporate culture. (http://jurnalsdm.blogspot.com/2009/06). Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa budaya organisasi memiliki peran strategis dalam semua bentuk organisasi termasuk perusahaan. Budaya organisasi yang diterjemahkan sampai pada tingkat budaya kerja menunjukkan bahwa fungsi utama budaya organisasi dalam perusahaan tidak lain adalah sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Hal ini tentu juga berlaku bagi berbagai jenis organisasi lain selain perusahaan. Sementara terkait dengan faktor kepuasan kerja seperti diperlihatkan dalam penelitian Walumbwa et al. (2005: 235), yang menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasional. Kepuasan kerja merupakan suatu kondisi yang sangat dibutuhkan agar seorang pegawai dapat melakukan tugasnya dengan maksimal. Hasibuan (1995: 45) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja
dan dinikmati baik dalam pekerjaan, luar pekerjaan, maupun kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Sikap tersebut juga berkenaan dengan persepsi yang berhubungan dengan suatu pandangan umum bahwa didalam bekerja pegawai bukan semata-mata mencari uang, namun juga kepuasan dalam bekerja yang dapat dicapai melalui berbagai aspek kerja. Apabila aspek-aspek pekerjaan mampu mendatangkan rasa puas, maka pegawai akan bekerja dengan lebih giat dan sungguh-sungguh. Kepuasan dalam bekerja juga akan mendorong tumbuhnya sikap loyal terhadap organisasi. Kesungguhan dalam bekerja dan loyalitas terhadap organisasi merupakan bentuk dari pegawai yang memiliki komitmen terhadap organisasinya. Hal ini lebih lanjut akan berdampak pada hasil kerja yang lebih baik. Secara teoretik ada tiga alasan mengapa kepuasan kerja penting dalam kehidupan organisasi. Pertama, pegawai yang tak terpuaskan lebih sering melewatkan kerja dan lebih besar kemungkinan mengundurkan diri. Kedua, pegawai yang terpuaskan mempunyai kesehatan yang lebih baik dan usia yang lebih panjang. Ketiga, kepuasan pada pekerjaan dibawa ke kehidupan di luar pekerjaan (Robbins, 1996: 187). Karena banyak indikator yang menyebabkan kepuasan kerja, dapat dipahami mengapa tingkat kepuasan kerja yang diperoleh masing-masing individu berbeda. Hal ini disebabkan karena tiap individu akan memiliki tingkat kepuasan sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya serta persepsinya masing-masing. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu akan semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Namun satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa orang yang merasakan puas atas pekerjaannya akan memberikan kontribusi positif terhadap organisasi tempatnya bekerja. Sejalan dengan arus kuat globalisasi dan reformasi disegala bidang, termasuk reformasi birokrasi, mulai disadari pentingnya komitmen organisasional bagi peningkatan kinerja individu maupun kinerja organisasi. Oleh karena itu, organisasi baik swasta maupun pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan komitmen organisasional pegawai ini. Salah satu instansi pemerintah yang cepat merespon tuntutan perubahan adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sejak tahun 2002, DJP melakukan apa yang disebut dengan modernisasi perpajakan.
Harus diakui profesionalisme pegawai DJP masih perlu ditingkatkan. Hal ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh Hay Group Consultant terhadap pendapat masyarakat yang menunjukkan hasil bahwa DJP mempunyai kelemahan pada sumber daya manusia, sosialisasi ketentuan, dan distorsi penerimaan. Kelemahan ini diperkuat dengan banyaknya surat-surat masuk yang memerlukan penegasan. (http://accounting community.blogspot.com/2008/05/menuju-goodgovernance-melalui.html) Sejak 7 tahun digulirkannya modernisasi perpajakan ini, hasil yang cukup menggembirakan mulai terlihat. Menurut hasil survei Transparency International Indonesia mengenai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, pada tahun 2006 DJP masuk dalam kategori institusi paling korup dengan tingkat inisiatif meminta suap mencapai 76%. Tahun 2008 DJP tidak masuk lagi dalam daftar institusi yang dinilai paling korup di Indonesia (http://vibizmanagement.com/journal.php?page=tax) Penurunan tingkat korupsi yang signifikan dalam tubuh Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah satu indikator peningkatan integritas sumber daya manusia yang dimiliki. Masih banyak indikator lain yang perlu dilihat, tapi setidaknya dengan berkurangnya tingkat korupsi dalam tubuh DJP dapat dijadikan dasar untuk menilai bahwa komitmen organisasional pegawai DJP sudah semakin baik. Kantor Pelayanan Pajak (KPP), sebagai unit kerja dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, juga mengalami apa yang disebut dengan modernisasi sebagai bentuk nyata reformasi birokrasi yang dilakukan direktorat ini. Banyak hal dilakukan dalam reformasi birokrasi di DJP menyangkut sumber daya manusianya, dari mulai pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, mutasi dan promosi sampai perbaikan remunerasi. Semua yang dilakukan tentu berupaya untuk meningkatkan komitmen organisasional para pegawainya. Apakah modernisasi KPP dapat meningkatkan komitmen organisasional para pegawainya? Fenomena ini menarik untuk dikaji dan diteliti secara ilmiah. Salah satu KPP yang menunjukkan kinerja yang baik adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua. Hal ini terlihat dari selalu tercapainya target penerimaan yang dibebankan atas KPP ini sejak pertama kali mengalami modernisasi tahun 2005. Kinerja organisasi yang baik merupakan cerminan dari komitmen
organisasional yang tinggi dari para pegawainya. Oleh karena itu peneliti berusaha menggali informasi faktual mengenai komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua melalui perspektif budaya organisasi dan kepuasan kerja. Pembatasan Masalah Sebagai variabel terikat/tergantung yang tidak berdiri sendiri, komitmen organisasional dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti budaya organisasi, kepuasan kerja, kepemimpinan, kompensasi, kecerdasan emosional, dan iklim organisasi. Namun, karena keterbatasan penulis dalam hal waktu, biaya, tenaga dan terutama untuk menjaga agar penelitian ini lebih fokus, maka tidak semua faktor tersebut diteliti, melainkan hanya dua faktor saja yaitu budaya organisasi dan kepuasan kerja. Dengan demikian penelitian ini dibatasi hanya pada upaya menganalisis pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua. Alasan memilih dua variabel tersebut karena peneliti melihat bahwa kedua faktor tersebut merupakan faktor yang cukup berperan dalam membangun komitmen organisasional pegawai, sehingga perlu dibuktikan secara ilmiah. Budaya organisasi menjadi landasan penting bagi pegawai dalam bertindak menyelesaikan tugas seharihari, sedangkan kepuasan kerja merupakan kebutuhan bagi setiap pegawai agar dapat terdorong untuk bekerja secara optimal. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua? 2. Apakah kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua?
3. Apakah budaya organisasi dan kepuasan kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua? Tujuan Penelitian Dengan rumusan masalah sebagaimana tersaji di atas, maka penelitian ini untuk : 1. Menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua. 2. Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua. 3. Menganalisis pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja secara bersamasama terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua. 1.5 Signifikansi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan signifikansi akademis dan praktis sebagai berikut: 1. Signifikansi Akademis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan administrasi khususnya administrasi pengembangan sumber daya manusia dalam bentuk pemahaman teoretis dan empiris tentang dinamika faktorfaktor yang ada dalam organisasi yang dapat dijadikan acuan pengembangan penelitian lebih lanjut, khususnya yang terkait dengan analisis pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional pegawai. 2. Signifikansi Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi peningkatan komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua dan dapat dijadikan dasar untuk pembuatan kebijakan bagi pengembangan komitmen organisasional pegawai melalui perspektif budaya organisasi dan kepuasan kerja.
1.6 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disusun dalam bentuk tesis dengan sistematika penyajian sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini ini dibahas teori dan konsep-konsep mengenai komitmen organisasional, budaya organisasi dan kepuasan kerja. Setelah itu disajikan model penelitian, hipotesis penelitian dan operasionalisasi konsep. BAB III BAB IV BAB V METODE PENELITIAN Pada bab ini disajikan metode penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, tipe penelitian, teknik pengumpulan data, populasi, sampel dan teknik sampling, pengujian validitas dan reabilitas, teknik analisis data serta keterbatasan penelitian. PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan gambaran umum KPP Pratama Jakarta Menteng Dua. Setelah itu diuraikan hasil penelitian berdasarkan pengolahan data mengenai pengaruh budaya organisasi dan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Menteng Dua. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan atas materi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran sesuai hasil penelitian.