digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) tentang sistem pendidikan nasional: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa proses pendidikan di sekolah adalah suatu proses yang memiliki tujuan pendidikan, sehingga hal-hal yang dilakukan guru dan siswa selalu mengarah pada tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikan antara lain: pembentukan sikap, pengembangan intelektual dan pengembangan keterampilan. Trianto (2010: 10) menyatakan bahwa Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari hasil ujian nasional peserta didik yang masih kurang, selain itu lemahnya proses pembelajaran, seperti keterampilan berpikir kritis siswa kurang dikembangkan sehingga siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta kurang mampu memutuskan masalah dan merumuskannya. Sesuai dengan pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013), hasil ujian nasional (UN) antara lain dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Melalui hasil UN, gambaran peta mutu pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, sekolah dan mata pelajaran dapat diketahui. Melihat hasil ujian nasional pada Tahun commit Pelajaran to user 2013/2014 menunjukkan nilai mata 1
digilib.uns.ac.id 2 pelajaran IPA masih kurang dibandingkan mata pelajaran yang lain pada tingkat nasional. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1 persentase nilai UN, jenjang SMP Negeri dan Swasta Tahun Pelajaran 2013/2014. Tabel 1.1 Persentase nilai UN, jenjang SMP Negeri dan Swasta Tahun Pelajaran 2013/2014. No Jenis Nilai Bahasa Indonesia(%) Bahasa Inggris (%) Matematika (%) IPA (%) Nilai rata-rata (%) 1 Nilai Akhir 7,54 7,16 6.88 7,16 7,19 2 Ujian 7,04 6,52 6,07 6,49 6,53 Nasianal 3 Nilai Sekolah 8,27 8,12 8,07 8,14 8,15 Hasil ujian nasional Tahun Pelajaran 2013/2014 pada Tabel 1.1 menunjukkan nilai mata pelajaran IPA masih kurang dibandingkan mata pelajaran yang lain pada tingkat nasional. Dapat dilihat bahwa persentase ujian nasional di seluruh indonesia pada mata pelajaran IPA (fisika, kimia dan biologi) mendapat persentase terendah kedua, sehingga dapat disimpulkan nilai mata pelajaran IPA masih kurang. Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 menyatakan bahwa substansi mata pelajaran IPA di SMP/MTS merupakan IPA terpadu. Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model pembelajaran yang diamanatkan untuk diterapkan guru dalam kegiatan pembelajaran IPA. Pembelajaran terpadu dalam IPA dapat dikemas dalam tema atau topik tentang suatu wacana yang dibahas dari berbagai sudut pandang atau disiplin keilmuan yang mudah dipahami dan dikenal oleh siswa. Melalui pembelajaran terpadu siswa dilatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh, bermakna autentik dan aktif. Pengembangan pembelajaran pada kurikulum KTSP diorientasikan pada pengembangan model pembelajaran terpadu terutama pada bidang IPA. Pada kurikulum ini siswa diharapkan lebih mandiri dalam proses pembelajaran yaitu siswa memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara mandiri, peserta didik lebih kritis dalam menyelesaikan masalah (termasuk kemampuan menyelesaikan commit to soal). user Karena itu seorang guru harus
digilib.uns.ac.id 3 menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran sehingga memberikan ruang gerak siswa untuk melakukan aktivitas sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki siswa, seorang guru juga dapat mengembangkan cara-cara belajar yang dapat mengolah informasi sesuai kebutuhan siswa, dan dapat mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa (dapat berupa modul, LKS, atau media). Silabus yang digunakan di SMP Negeri 4 Kota Madiun masih berupa silabus fisika dan silabus biologi yang berdiri sendiri-sendiri belum berupa silabus IPA terpadu, sedangkan pada kurikulum KTSP pelajaran IPA sudah berupa IPA terpadu. Menyusun silabus pembelajaran IPA terpadu, dikembangkan dari berbagai indikator bidang kajian IPA menjadi beberapa kegiatan pembelajaran yang konsep keterpaduan atau keterkaitan menyatu antara beberapa bidang kajian IPA. Komponen penyusunan silabus terdiri dari Standar Kompetensi IPA, Kompetensi Dasar, Indikator, Kegiatan Pembelajaran, Alokasi Waktu, Penilaian dan Sumber Belajar. Proses belajar mengajar di sekolah masih banyak yang menggunakan bahan ajar konvensional. Bahan ajar konvensional yaitu bahan ajar yang tinggal beli, tinggal pakai, instan serta tanpa upaya menyiapkan, merencanakan dan menyusun sendiri (Prastowo, 2014: 18). Bentuk-bentuk bahan ajar konvensional adalah buku-buku dan LKS yang diperjualbelikan di toko buku maupun melalui penyalur yang datang di sekolah. Seperti halnya dalam pemilihan bahan ajar yang instan, masyarakat juga memiliki pola pikir yang instan. Hal tersebut dapat kita lihat dari berita-berita media masa tentang kasus bunuh diri atau stres karena putus asa dengan keadaan yang dihadapinya. Seperti halnya kasus bunuh diri yang terjadi dikota solo selama tahun 2015 mengalami peningkatan. Jika tahun 2014 hanya ada 44 kasus hingga meninggal, tahun 2015 yang masih menyisakan 4 bulan, sudah terjadi 56 kasus bunuh diri. Orang tidak akan bunuh diri atau stres jika dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan baik. Hal tersebut menandakan bahwa dalam proses pendidikan siswa kurang dilatih dalam memecahkan masalah. Sehingga commit dapat to disimpulkan user bahwa dalam kemampuan
digilib.uns.ac.id 4 memecahkan masalah siswa masih kurang. Berdasarkan kondisi tersebut maka sejak dini siswa perlu dibiasakan memecahkan permasalahan agar siswa bisa belajar tentang pikiran mereka sendiri, maka cara terbaiknya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah. Melalui pembelajaran berbasis masalah, siswa diberi masalah dalam dunia nyata sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah melalui proses terstruktur. Pembelajaran berdasarkan masalah atau lebih dikenal dengan PBL (Problem Based Learning). Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, belajar secara mandiri dan menuntut keterampilan berpartisipasi dalam tim (Barrows & Kelson Cit Rianto, 2009: 284). Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, melatih siswa memecahkan permasalahan dengan menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan masalah, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. PBL tidak dirancang untuk membantu guru menyampaikan informasi dalam jumlah yang besar kepada siswa, akan tetapi dirancang untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah dan keterampilan intelektualnya. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Finanda (2012) tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemandirian siswa dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan metode praktikum. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masalah dengan metode praktikum menggunakan model pembelajaran PBL dapat meningkatakan kemandirian siswa. Penelitian yang akan dilakukan peneliti menyajikan modul pembelajaran berbasis masalah dengan kegiatan eksperimen di dalam modul tersebut sesuai dengan pembelajaran PBL, tidak hanya dikhususkan pada praktikum. Mata pelajaran IPA ditujukan untuk menumbuhkan keterampilan berpikir yang berguna untuk memecahkan masalah di dalam kehidupan seharihari dan untuk membekali peserta didik agar dapat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun pada kenyataannya selama pada proses pembelajaran berlangsung, keterampilan berpikir khususnya berpikir kritis
digilib.uns.ac.id 5 seringkali diabaikan dalam merumuskan ataupun menyelesaikan masalah. Siswa menganggap bahwa kegiatan berpikir hanyalah kegiatan yang tidak menghemat waktu, disebabkan karena siswa sering terdesak oleh kegiatankegiatan yang lain. Selain itu beberapa siswa juga menganggap bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yg memiliki IQ yang berkategori genius, padahal keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan oleh semua orang. Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis adalah penentuan secara hatihati dan sengaja apakah menerima, menolak atau menunda keputusan tentang suatu klaim/pernyataan. Atau dapat juga dikatakan berpikir kritis adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal tentang apa yang dipercayai atau apa yang dilakukan (Amri dan Ahmad, 2010: 62). Keterampilan berpikir kritis sangat penting bagi siswa karena dengan keterampilan ini siswa dapat bersikap rasional dan memilih alternatif pilihan yang terbaik bagi dirinya. Siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis akan selalu bertanya pada diri sendiri dalam menghadapi setiap persoalannya untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Demikian juga jika siswa memiliki keterampilan berpikir kritis akan terpatri dalam watak, kepribadiannya dan terimplementasikan dalam aspek kehidupannya. Mengingat peranan penting berpikir kritis dalam kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat, maka berpikir kritis merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting untuk diajarkan di sekolah pada setiap jenjang. Guru hendaknya menyediakan pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memformulasikan kembali informasi baru untuk merestrukturisasi pengetahuan awal mereka melalui penyediaan referensi, informasi baru, mengelaborasi informasi tersebut secara mendetail dan membangkitkan hubungan antara informasi baru dengan pengetahuan awal siswa berdasarkan karakteristik materi pelajaran IPA dan karakteristik siswa. Aktivitas tersebut dapat diwujudkan dengan pengembangan bahan ajar yang mengakomodasi pengetahuan commit awal, to bermuatan user perubahan konseptual dan
digilib.uns.ac.id 6 materi kontekstual. Salah satu model bahan ajar yang bermuatan perubahan konseptual dan materi kontekstual adalah bahan ajar yang dikemas dalam bentuk modul berbasis Problem Based Learning. Bahan ajar dalam bentuk modul ini berisikan sajian masalah konseptual dan kontekstual, sajian materi, lembar kerja, dan evaluasi. Modul dapat digunakan untuk belajar mandiri jika siswa ingin belajar sendiri, namun untuk melatihkan kemampuan sosial siswa dalam belajar, modul digunakan dalam pembelajaran di kelas dan siswa melakukan kegiatan laboratorium dalam kelompok-kelompok kecil. Modul pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah dalam kehidupan sehari-hari disajikan di bagian awal modul, masalah disajikan pada awal pembelajaran untuk mendorong peserta didik memunculkan ide atau gagasan dan melatih keterampilan berikir kritis dalam menyelesaikan masalah. Peserta didik kemudian dituntut mendefinisikan masalah dan menjawab masalah menurut pengetahuan yang dimilikinya. Peserta didik secara berkelompok kecil bekerja bersama untuk memecahkan masalah melalui percobaan dan peserta didik mempresentasikan permasalahannya. Proses dalam modul berbasis masalah dapat melatih keterampilan berpikir kritis siswa. Pengembangkan media pembelajaran berupa modul, menggunakan materi bunyi dengan pertimbangan: 1) dari hasil ujian nasional di SMP Negeri 4 Kota Madiun daya serap siswa pada materi bunyi masih rendah, 2) konsep bunyi banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga cocok untuk model PBL. Sehingga dari kedua alasan dasar tersebut peneliti menggunakan materi bunyi dalam penelitian. IPA sebagai mata pelajaran yang dapat mengajarkan siswa berpikir kritis, maka melalui modul berbasis masalah dapat membentuk siswa memiliki keterampilan berpikir kritis. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi guru-guru yang mengajar IPA sehingga dalam pembelajaran IPA terpadu disamping bertujuan mencapai penguasaan konsep oleh siswa juga dapat membentuk siswa berpikir kritis. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dikembangkan modul
digilib.uns.ac.id 7 pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMP kelas VIII. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah karakteristik modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi untuk siswa kelas VIII? 2. Apakah modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi untuk siswa kelas VIII memenuhi kriteria layak? 3. Apakah modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa? C. Tujuan Penalitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: 1. Mendeskripsikan karakteristik modul IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi untuk siswa kelas VIII. 2. Memperoleh modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi layak untuk pembelajaran IPA. 3. Mengetahui modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) materi bunyi dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. D. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan Produk yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Spesifikasi modul adalah sebagai berikut. 1. Modul pembelajaran IPA terpadu pada materi bunyi berbasis masalah (Problem Based Learning) berbentuk media cetak.
digilib.uns.ac.id 8 2. Modul yang dikembangkan adalah modul yang mengintegrasikan model pembelajaran berbasis masalah, sehingga modul disusun berdasarkan komponen dari pembelajaran berbasis masalah (PBL) yang terdiri dari 5 tahap. Pada tahap 1 orientasi peserta didik terhadap masalah, siswa disajikan tujuan pembelajaran, masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan peserta didik menentukan masalah yang akan dipecahkan. Tahap 2 peserta didik diorganisasikan dan dituntut untuk mendefinisikan masalah. Tahap 3 peserta didik melakukan percobaan untuk memecahkan masalah yang disajikan. Tahap 4 peserta didik mengerjakan tugas proyek yang terdapat pada modul dan menyajikan hasil karyanya (seperti laporan, video, tugas). Tahap 5 peserta didik diberikan evaluasi yang bertujuan untuk mengevaluasi proses pemecahan masalah. 3. Komponen modul fisika berbasis masalah meliputi: cover, pendahuluan (berisikan deskripsi, prasyarat, petunjuk penggunaan modul), kegiatan belajar (berisikan tujuan pembelajaran, kemudian siswa disajikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang harus dipecahkan melalui percobaan, materi yang digunakan untuk memperkuat kesimpulan dari percobaan, contoh soal, tes mandiri), evaluasi, glosarium, kunci jawaban dan daftar pustaka. 4. Modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning) untuk siswa SMP kelas VIII semester genap disusun sesuai dengan komponen kelayakan materi dan kegrafikan. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Lembaga Pendidikan a. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan penulis dan bahan referensi. b. Dapat meningkatkan proses belajar mengajar yang selalu ingin berinovasi dan memiliki pemikiran yang baik terhadap kemajuan pendidikan.
digilib.uns.ac.id 9 2. Bagi Pihak Sekolah Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, karena membantu keterlaksanaan pembelajaran IPA dengan adanya modul pembelajaran IPA terpadu berbasis masalah (Problem Based Learning), maka proses belajar mengajar yang dilakukan mampu mengoptimalkan keterampilan peserta didik dalam menyelesaikan masalah sehingga dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dan mencapai kompetensi yang diharapkan. Dan dapat memotivasi guru untuk dapat mengembangkan modul sesuai dengan karakteristik siswa. 3. Bagi Mahasiswa Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan, karena memperoleh ilmu yang banyak mengenai perkembangan modul pembelajaran, dan mahasiswa mampu membuat modul yang dibutuhkan setiap mata pelajaran sesuai dengan perkembangan zaman.