BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pusat mengalami perubahan. Jika sebelumnya pemerintah bersifat sentralistik

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, setiap daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

2016 PENGARUH EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN RETRIBUSI PELAYANAN PASAR TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK:

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi daerah, sebagaimana halnya di bidang-bidang lainnya. Usaha untuk

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. tekhnologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. pembangunan. Oleh karena itu peran masyarakat dalam Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. utuh, sehingga wilayah negara Indonesia terbagi ke dalam daerah otonom.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan dengan otonomi daerah yang mulai direalisasikan

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sebuah perusahaan tentunya mempunyai masalah dalam menyusun

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB V PENUTUP. mengelola daerahnya, sehingga kebutuhan kebutuhan daerah dapat dipenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. yang meliputi seluruh kehidupan manusia, bangsa dan negara, untuk. Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil makmur

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dapat menetepkan berbagai jenis sumber penerimaan

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang memadai dan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan sila

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Diberlakukannya undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang berlangsung secara terus-menerus yang sifatnya memperbaiki dan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

CENDEKIA AKUNTANSI Vol. 1 No. 2 Mei 2013 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

EFEKTIVITAS PAJAK HIBURAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kota Kediri)

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia. Namun semenjak tahun 2001 pola tersebut berganti dengan pola baru yang disebut desentralisasi atau yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah. Sistem pemerintahan Republik Indonesia menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan pelaksanaan asas desentralisasi tersebut maka dibentuk daerah otonom yang terbagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang bersifat otonom sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut pasal 1 dalam Undang-Undang tersebut dirumuskan bahwa Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mardiasmo (2004:46) mengemukakan bahwa misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya 1

2 daerah, serta (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Sedangkan tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah membawa perubahan yang mendasar pada tata pemerintahan dan sistem keuangan baik pemerintah pusat maupun daerah. Perubahan tata pemerintahan tersebut terwujud dalam bentuk pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal kepada pemerintahan daerah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah seperti yang dikemukakan Syamsi (dalam Elita Dewi, 2002:2) yaitu kemampuan struktural organisasinya, kemampuan aparatur daerah, kemampuan mendorong partisipasi masyarakat dan kemampuan keuangan daerah. Diantara faktor tersebut, faktor keuangan merupakan faktor esensial untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri khususnya dalam hal keuangan akan menyebabkan pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan dan pembangunan.

3 Dewasa ini terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam hal keuangan seperti yang dikemukakan Hirawan (dalam Irianto, 2005:2) yaitu pertama, sebagian besar dari penerimaan daerah berasal dari sumbangan atau subsidi pemerintahan pusat yang tercermin dari besarnya anggaran rutin melalui subsidi otonomi daerah. Kedua, rendahnya kemampuan daerah untuk menggali sumber-sumber asli daerahnya. Ketiga, kurangnya usaha dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola dan menggali sumbersumber pendapatan yang ada. Keempat, masalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi daerah, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, salah satunya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah diharapkan dapat lebih mendorong pemerintah daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD), khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta lain-lain PAD yang sah yang merupakan sumber-sumber PAD adalah salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan otonomi daerah serta merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan

4 pembangunan daerah. Sumber-sumber pendapatan asli daerah tersebut merupakan sumber pendapatan yang sepenuhnya dapat direncanakan atau ditargetkan dan direalisasikan oleh pemerintah daerah. Idealnya sumber penerimaan utama daerah adalah yang berasal dari PAD, sedangkan grants hanya diposisikan sebagai penutup celah antara kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal needs). Namun data menunjukan proporsi PAD hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Bahkan kenyataan tersebut terjadi baik pada era sebelum maupun sesudah era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Haryo Kuncoro dalam R. Dian Hardian, 2004:3). Jadi jelas bahwa kontribusi PAD terhadap belanja daerah masih relatif kecil hanya 20% sedangkan 80% sumber pembiayaan lain masih tergantung pada sumber lain seperti dana yang bersumber dari dana perimbangan dan pinjaman daerah. Demikian pula di kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat, untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah atau penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat pemerintah kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat perlu menggali potensi pendapatan daerah seoptimal mungkin yang kemudian dikelola oleh dinas pendapatan daerah yang ada di kabupaten/kota daerah masing-masing yang ada di Jawa Barat. Sampai dengan akhir tahun 2008, Jawa Barat memiliki 26 kabupaten/kota daerah otonomi. Dikarenakan laporan keuangan daerah tahun 2008 untuk seluruh kabupaten/kota se-jawa Barat belum selesai dalam proses pengauditan oleh pihak

5 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maka dari itu, digunakanlah data dari BPK untuk tahun anggaran 2007. Berikut ini (Tabel 1.1) adalah laporan keuangan PAD dari enam kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat pada tahun 2007. Kabupaten/kota yang diambil adalah Kabupaten dan Kota Bandung diambil sebagai contoh dikarenakan Kabupaten dan Kota Bandung merupakan pusat Provinsi Jawa Barat. Sedangkan untuk Kabupaten dan Kota Bogor merupakan bagian sebelah Barat Provinsi Jawa Barat. Dan untuk Kabupaten dan Kota Cirebon merupakan bagian sebelah Utara Provinsi Jawa Barat. Kabupaten dan kota tersebut dirasa cukup mewakili untuk memperlihatkan gambaran penerimaan PAD kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat sebagai latar belakang penelitian ini. Tabel 1.1 Target Dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2007 No. Kabupaten/Kota PAD Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) % 1 Kabupaten Bandung 152.407.266.000,00 147.630.987.490,05 96,87 2 Kabupaten Bogor 267.698.550.000,00 265.371.324.234,35 99,13 3 Kabupaten Cirebon 113.778.155.384,70 100.692.757.876,00 88,50 4 Kota Bandung 281.981.582.739,00 287.249.534.045,00 101,87 5 Kota Bogor 71.687.047.669,00 79.819.169.545,00 111,34 6 Kota Cirebon 60.149.741.350,00 62.785.311.466,00 104,38 Sumber: Laporan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat (diolah) Dari tabel 1.1 tersebut, dapat dideskripsikan sebagai berikut: pada tahun 2007 Kabupaten Bandung hanya mencapai Rp147.630.987.490,05 dari target PAD yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp152.407.266.000,00. Ini artinya Kabupaten Bandung hanya mencapai target PAD sebesar 96,87%. Untuk Kabupaten Bogor yang memiliki target PAD tahun 2007 sebesar

6 Rp267.698.550.000,00 hanya dapat mencapai target sebesar Rp265.371.324.234,35 ini artinya Kabupaten Bogor hanya mencapai target PAD sebesar 99,13%. Dan untuk Kabupaten Cirebon yang memiliki target PAD untuk tahun 2007 sebesar Rp113.778.155.384,70 hanya dapat mencapai target sebesar Rp100.692.757.876,00 ini artinya Kabupaten Cirebon hanya mencapai 88,50% dari PAD yang telah ditargetkan. Sedangkan untuk Kota Bandung dapat mencapai target PAD sebesar Rp287.249.534.045,00 dari target PAD sebesar Rp281.981.582.739,00. Ini artinya Kota Bandung dapat mencapai target PAD sebesar 101,87% dari target PAD yang telah ditetapkan. Untuk Kota Bogor yang memiliki target PAD tahun 2007 sebesar Rp71.687.047.669,00 telah mencapai target PAD sebesar Rp79.819.169.545,00 ini artinya Kota Bogor pada tahun 2007 mampu mencapai target PAD sebesar 111,34% dari target PAD yang telah ditetapkan. Dan untuk Kota Cirebon mencapai target PAD sebesar Rp62.785.311.466,00 dari target PAD sebesar Rp60.149.741.350,00 ini artinya Kota Cirebon mampu mencapai Target PAD tahun 2007 sebesar 104,38% dari target PAD yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari tabel 1.1 tersebut terlihat bahwa untuk Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cirebon ternyata tidak mencapai target PAD yang telah ditetapkan. Dan untuk Kota Bandung, Kota Bogor dan Kota Cirebon telah mencapai target PAD yang telah ditetapkan. Berdasarkan tabel 1.1 terlihat adanya ketidak tercapaian target PAD yang terjadi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cirebon apakah terjadi pula ketidak tercapaian target PAD di kabupaten-kabupaten lainnya yang

7 ada di Jawa Barat. Padahal jika dilihat dari segi geografis, kabupaten dan kota ini sangat berdekatan sekali lokasinya. Seperti halnya Kota Bandung yang letak geografisnya berdekatan dengan Kabupaten Bandung yang notabene Kota Bandung dapat mencapai target PAD yang telah ditetapkan, namun untuk Kabupaten Bandung tidak dapat mencapai target PAD yang telah ditetapkan. Begitu pun halnya yang terjadi di Kabupaten dan Kota Bogor dan juga Kabupaten dan Kota Cirebon. Beranjak dari data tersebut mengenai adanya ketidak tercapaian target PAD di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan adanya ketercapaian target PAD di beberapa kota di Jawa Barat (pada tabel 1.1) dapat ditelusuri dari ketercapaiaan atau ketidak tercapaian target yang berasal dari sumber-sumber PAD itu sendiri. Karena sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sumber-sumber PAD kabupaten/kota terdiri dari: 1. Hasil Pajak Daerah; 2. Hasil Retribusi Daerah; 3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan (antara lain: bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah);

8 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah (antara lain hasil penjualan aset tetap Daerah dan Jasa giro). Berdasarkan undang-undang tersebut, dapat diartikan bahwa ketercapaian target PAD dapat didukung oleh besar kecilnya peneriman yang berasal dari sumber-sumber pendapatan asli daerah terlebih lagi PAD akan mencapai target yang telah ditetapkan apabila sumber-sumber pendapatan asli daerahnya pun mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya. Semua pendapatan daerah daerah itu mempunyai peranan penting dalam keuangan daerah yang merupakan salah satu tolak ukur di dalam pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab secara proporsional. Namun tentunya, perlu diingat juga bahwa besar atau kecilnya PAD tergantung kepada potensi atau sumber daya yang ada pada masing-masing daerah dan tergantung pula pada upaya pemerintah daerah untuk menggali potensi dan berupaya agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Secara tidak langsung ini juga menerangkan bahwa tidak ada standar baku bahwa tiap kabupaten/kota harus mencapai target yang sama, yang ada adalah bahwa setiap kabupaten/kota harus mengupayakan agar semua sumber PAD yang telah ditargetkan dapat tercapai sehingga PAD dapat mencapai target yang diinginkan. Dengan latar belakang tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis sumber-sumber pendapatan asli daerah terhadap pendapatan asli daerah di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat.

9 1.2 Rumusan Masalah 1. Seberapa besar pangaruh pajak daerah terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat? 2. Seberapa besar pengaruh retribusi daerah terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat? 3. Seberapa besar pengaruh pendapatan hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat? 4. Seberapa besar pengaruh lain-lain PAD yang sah terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa besar pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, hasil perrusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah terhadap penerimaan PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian dan penelitian ini untuk: 1. Mengetahui seberapa besar pengaruh pajak daerah terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat.

10 2. Mengetahui seberapa besar pengaruh retribusi daerah terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat. 3. Mengetahui seberapa besar pengaruh hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat. 4. Mengetahui seberapa besar pengaruh lain-lain PAD yang sah terhadap PAD di kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Barat. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna secara praktis dan akademis. Kegunaan Praktis Dengan dibuatnya hasil penelitian ini, diharapkan dapat menghimpun informasi sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi instansi yang terkait untuk dijadikan referensi serta masukan bagi dinas pendapatan daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi serta masukan atau pertimbangan untuk mengembangkan keilmuan akuntansi, khususnya mengenai mata kuliah akuntansi sektor publik terutama dalam bahasan tentang Pendapatan Asli Daerah dan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah itu sendiri.