KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 2 - Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

- 7 - BAB III STANDARDISASI. Bagian Kesatu Perencanaan

2 global sebagai sarana peningkatan kemampuan ekonomi bangsa Indonesia. Untuk melindungi kepentingan negara dalam menghadapi era globalisasi tersebut

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks

STANDARDISASI (STD) Oleh: Gunadi, M.Pd NIP (No HP ) data\:standardisasi_gun 1

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV PENILAIAN KESESUAIAN. Bagian Kesatu Kegiatan Penilaian Kesesuaian

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri.

RENCANA STRATEGIS KEDEPUTIAN BIDANG PENERAPAN STANDAR DAN AKREDITASI BADAN STANDARDISASI NASIONAL TAHUN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

j ajo66.wordpress.com 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1991 TENTANG TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

2017, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 322); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL TENT

BAB II TINJAUAN HUKUM MENGENAI STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. 27

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BERITA NEGARA. KEMEN-ATR/BPN. Produk Hukum. Pembentukan dan Evaluasi. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

2017, No tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199); 3. Keputusan Presiden

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2001 TENTANG ALAT DAN MESIN BUDIDAYA TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/DPD RI/IV/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN JAKARTA 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa standardisasi dan penilaian kesesuaian merupakan salah satu upaya memberikan perlindungan, keselarasan, keselamatan dan keamanan dalam menggunakan produk sesuai dengan tujuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian merupakan salah satu alat untuk meningkatkan mutu, mengembangkan perdagangan luar negeri, dan meningkatkan daya saing produk nasional; c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian ; e. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf d telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian untuk disampaikan dalam pembahasan Pembicaraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan ; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian ; Mengingat: 1. Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara 1159

Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 20 Desember 2013 MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG- UNDANG TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN. PERTAMA : Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan. KEDUA : Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua, H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua, Wakil Ketua, GKR. HEMAS DR. LAODE IDA 1160

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RUU TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN I. Pendahuluan A. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, pada hari ini, DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, mengenai RUU tentang Standardisasi dan Penilaian. B. Kegiatan standardisasi sangat banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan bidang lainnya, khususnya di bidang industri, perdagangan, pertanian, energi, transportasi, kesehatan dan lingkungan hidup. Standardisasi sangat mendukung upaya Indonesia dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khususnya sektor ekspor non migas dan melindungi produk dalam negeri dari serbuan produk luar negeri, serta mencegah peredaran produk yang tidak berkualitas. Singkatnya, kegiatan standardisasi memegang peran penting untuk melindungi kepentingan negara, keselamatan, keamanan, dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora, fauna, dan lingkungan hidup serta jasa. C. Dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat ini, DPD RI telah membentuk tim kerja dan telah melakukan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat untuk mendalami substansi dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam RUU tentang Standardisasi dan Penilaian. Bahwa RUU tentang Standardisasi dan Penilaian mengutamakan pada pengaturan standar dan penilaian kesesuaian sebagai bagian dari sistem hukum nasional. D. Sejak tahun 1989, membentuk Dewan Standardisasi Nasional (DSN) bertugas untuk menyatukan standar di berbagai sektor antara lain standar industri, standar pertanian dan standar perdagangan. Kemudian DSN menjadi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 yang kemudian diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Non Departemen. Penyatuan beberapa standar menjadi Standar Nasional Indonesia atau SNI dilakukan oleh dengan mengeluarkan Peraturan Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (PP 102 Tahun 2000). Peraturan (PP) tersebut menjadi landasan hukum bagi pengembangan kelembagaan dan pelaksanaan proses perumusan, penetapan, dan penerapan SNI. Saat ini sudah terbit lebih dari 7500 SNI. 1161

Indonesia sudah menjadi bagian dari pelaku perdagangan bebas yang tergolong aktif, antara lain melalui: 1) Ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO (1994); 2) ASEAN Free Trade Agreement /AFTA secara parsial tahun 2002 dan secara penuh dengan penetapan tarif 0% tahun 2010. 3) Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement/IJ-EPA (berlaku efektif 2008). 4) China-ASEAN Free Trade Agreement/CA-FTA (berlaku efektif 2010) 5) ASEAN-Korea Free Trade Agreement/AK-AFTA (berlaku efektif 2010) 6) ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement/AANZ-FTA (berlaku efektif 2010) 7) ASEAN-India Free Trade Agreement/AI-FTA (berlaku efektif 2010) 8) ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015: ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional; Sehingga, globalisasi/integrasi ekonomi dan keterbukaan pasar mendorong tingkat persaingan global semakin tinggi. Akibatnya, persoalan ekonomi atau kebijakan ekonomi suatu negara/kawasan dengan cepat akan berdampak pada negara/kawasan lain. Dengan demikian, pengaruh penetapan suatu standar dan penilaian kesesuaian yang diterapkan oleh satu negara dapat berpengaruh pada komoditi perdagangan negara lain. E. Atas dasar berbagai kepentingan dan pertimbangan yang disebutkan pada bagian pendahuluan ini, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan ini,menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU tentang Standardisasi dan Penilaian. F. DPD RI menyampaikan pandangan dan pendapat ini, terutama untuk menjawab permasalahan dalam kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian saat ini yang meliputi (a) lemahnya law enforcement di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; (b) pesatnya persaingan perdagangan global yang menuntut kepatuhan terhadap standardisasi dan penilaian kesesuaian secara internasional; serta (c) penguatan kelembagaan standardisasi dan penilaian kesesuaian yang berlaku terhadap barang, jasa, sistem, atau proses. RUU tentang Standardisasi dan Penilaian memiliki landasan secara filosofis yakni sesuai dengan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum ; secara sosiologis, kepedulian dan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya standar meningkat pesat sehingga menciptakan daya dorong bagi para pengusaha untuk memenuhi SNI; secara yuridis, pengaturan yang berkaitan dengan standardisasi tersebar dalam berbagai peraturan lex specialis dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini mendesak untuk diintegrasikan dengan suatu undang-undang yang mengatur mengenai standardisasi dan penilaian kesesuaian secara komprehensif. II. PANDANGAN DAN PENDAPAT DPD RI TERHADAP RUU TENTANG TANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU tentang Standardisasi dan Penilaian, yang merupakan RUU inisiatif RI, maka DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, sebagai berikut: A. Pandangan dan Pendapat Umum terhadap RUU tentang Standardisasi dan Penilaian 1. DPD RI berpandangan bahwa RUU tentang Standardisasi dan Penilaian merupakan interface harmonisasi kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian regional dan internasional dengan penerapannya di tingkat nasional secara lintas sektoral, sebagai konsekwensi Indonesia yang telah menjadi bagian dari kegiatan industri dan perdagangan global. 2. DPD RI mengingatkan bahwa RUU tentang Standardisasi dan Penilaian memastikan agar supaya konsumen mendapatkan manfaat dari kualifikasi suatu produk, sehingga RUU ini bila kelak disahkan menjadi UU dapat menjadi alat kontrol bagi produsen menghasilkan produk yang berstandard dan jaminan kualitas 1162

bagi konsumen. Keamanan produk adalah hak yang mutlak bagi konsumen untuk memutuskan pilihannya atas barang dan jasa yang dibutuhkannya. 3. DPD RI mengingatkan bahwa praktik birokrasi pendaftaran SNI suatu produk pangan masih berpotensi inefisiensi dengan praktik birokrasi pendaftaran BPOM yang seharusnya dengan terbitnya UU Standardisasi dan Penilaian kelak inefisiensi praktik birokrasi yang berkaitan dengan keamanan pangan seperti itu dapat terhindarkan dan adanya jaminan kepastian hukum baik bagi produsen maupun bagi konsumen. 4. DPD RI mengingatkan bahwa Standardisasi dan Penilaian sangat diperlukan di berbagai sektor kehidupan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga, standardisasi dan penilaian kesesuaian harus mampu menjangkau kebutuhan pembangunan daerah, agar komoditi/sektor keunggulan daerah dapat berdaya saing secara global. B. Tentang BAB, Pasal dan Muatan Materi Rancangan Undang-Undang 1. Pada bagian konsideran poin a dan poin b DPD RI berpandangan bahwa tujuan bernegara tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (poin a) tetapi juga melindungi kepentingan negara, keselamatan, keamanan dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora, fauna, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup diperlukan Standardisasi dan Penilaian. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa konsideran poin a dan poin b memiliki makna yang selaras, sehingga dapat dijadikan satu butir a saja. 2. DPD RI berpandangan bahwa Bab I tentang Ketentuan Umum dalam Pasal 1 masih memerlukan penambahan nomenklatur yang nantinya dijabarkan dalam pasalpasal batang tubuh antara lain nomenklatur Panitia Teknis. Hal ini mengingat Bagian Ketentuan Umum merupakan pasal yang memberikan penjelasan mengenai nomenklatur yang substansial di dalam suatu produk Undang-Undang. 3. DPD RI berpandangan bahwa standardisasi dan penilaian kesesuaian yang berlaku terhadap barang, jasa, sistem, proses atau personel, pada pelaksanaannya tidak mengatur standardisasi dan penilaian kesesuaian kompetensi personel, yang terkait dengan sistem pendidikan nasional dan keprofesian yang telah diatur oleh perundang-undangan lain. Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa Bab I tentang Ketentuan Umum dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 1 menyebut kata personel dan Pasal 3 butir b menyebut kata tenaga kerja dapat dikecualikan dalam nomenklatur kedua pasal tersebut. 4. DPD RI berpandangan dalam Pasal 1 angka 13 yang menyebut kata Pelaku Usaha dan angka 20 yang menyebut kata Orang memiliki definisi makna yang serupa. Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa perlu ada penegasan dan konsistensi nomenklatur kata Pelaku Usaha atau kata Orang. 5. DPD RI berpandangan dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Standaridisasi dan Penilaian berlaku terhadap Barang, Jasa, Sistem, Proses atau Personel, dalam hal ini personel menyangkut juga hal yang terkait dengan pendidikan dan sertifikasi profesi, dan oleh karena Pasal 3 dinyatakan Standardisasi dan Penilaian bertujuan untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya.. maka DPD RI berpendapat, pasal ini harus menjelaskan kedudukan standardisasi personel yang terkait dengan pendidikan dan sertifikasi profesi agar sesuai dengan asas huruf e: koheren dan selaras dengan perundang-undangan yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesidan Keprofesian (misalnya RUU Keinsinyuran). 6. DPD RI berpandangan dalam Pasal 5 ayat (1): melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian belum menormakan kedudukan Daerah untuk berpartisipasi aktif melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian dalam Panitia Teknis dan Pembinaan Budaya Standard, serta Pengawasan pelaksanaan Standardisasi dan Penilaian. Karena itu DPD RI berpendapat Pasal 5 ayat (1) harus memasukkan frasa Daerah. DPD RI berpandangan Pasal 5 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 yang menyebut Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian (ayat 2) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (ayat 4), yang mana sesuai Naskah Akademik halaman 2 1163

1164 paragraf 2 disebutkan BSN ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997, Keppres ini berubah menjadi Keppres Nomor 166 Tahun 2000, lalu Keppres ini berubah menjadi Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Non Departemen. DPD RI berpendapat Pasal 5 tentang kelembagaan standardisasi dan penilaian kesesuaian bukanlah organisasi pelaksana, kelembagaan disini artinya aturan main yang mengikat Pemangku Kepentingan (Pasal 1 Angka 14), sedangkan organisasi adalah pelaksana dari aturan main. Untuk itu, DPD RI berpendapat Pasal 5 harus mempertegas norma hukum kelembagaan dan organisasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab standardisasi dan penilaian kesesuaian, dengan mencantumkan kalimat Badan Standardisasi Nasional sebagai judul menggantikan Kelembagaan. Sehingga, Pasal 5 ini merangkum secara utuh tugas, fungsi BSN beserta kelengkapan perangkat yang menjalankan tugas dan tanggung jawab BSN di bidang Akreditasi LPK (Lembaga Penilaian ) oleh KAN dan menjalankan tugas dan tanggung jawab BSN di bidang Standar Nasional Satuan Ukuran oleh KSNSU. Dengan demikian, Pasal 6 dan Pasal 35 ayat (1) dapat dibatalkan, dan Pasal 18 ayat 3 bunyinya menjadi:..dapat mengajukan sertifikasi kepada Badan Standardisasi Nasional. Oleh karena kewenangan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sudah melekat kepada BSN, maka ayat 3 kata Menteri yang dimaksud adalah Kementerian Teknis dan kata mengkoordinasikan dihapus. 7. DPD RI berpandangan bahwa penyusunan PNPS sebagai dokumen Perencanaan dilakukan oleh BSN bersama-sama dengan Instansi dan Daerah, sehingga DPD RI berpendapat bahwa Pasal 9 ayat (3) perlu ditambahkan dengan kata Daerah. 8. DPD RI berpandangan dalam Pasal 12 RUU ini bahwa, keanggotaan Panitia Teknis juga harus melibatkan unsur Daerah (termasuk KADINDA dan BUMD), dikarenakan pelaku usaha utamanya UKM dan konsumen adalah subyek yang langsung berhubungan dengan Daerah. Oleh karena itu DPD RI berpendapat perlu adanya kebijakan yang tegas yang berpihak kepada UKM dalam hal perumusan SNI sehingga tidak akan merugikan UKM. 9. DPD RI berpandangan bahwa Jajak Pendapat yang dilakukan BSN atas rancangan SNI yang dirumuskan oleh Panitia Teknis, perlu diuraikan tahapan dan mekanisme jajak pendapat yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai jajak pendapat ini dapat didelegasikan pengaturannya dengan Peraturan Kepala BSN. 10. DPD RI berpandangan Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 berpotensi bertentangan dengan RUU Perdagangan tentang Standardisasi barang dan jasa bahwa. Ketentuan ini pada RUU Perdagangan barang dan jasa yang diperdagangkan di dalam negeri wajib memenuhi SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. Kata wajib berarti bahwa ketika pelaku usaha memperdagangkan barang dan jasa tidak disertai dengan tanda SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib, maka pelaku usaha akan kena sanksi. Jika hal ini terjadi, maka yang paling dirugikan adalah pelaku usaha dari UKM. Sedangakan pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) RUU Standardisasi dan Penilaian menyatakan SNI diterapkan secara sukarela atau wajib. Oleh sebab itu DPD RI berpendapat bahwa, RUU ini perlu diharmonisasi dengan RUU Perdagangan dalam melakukan standardisasi untuk pemenuhan SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib bagi UKM. DPD RI berpendapat bahwa Pasal 17 harus ada tambahan ayat (2) butir a definisi SNI sukarela dan butir b definisi SNI wajib. Oleh karena itu penerapan SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib, perlu diatur dalam Peraturan untuk menjelaskan kedudukan SNI wajib dan SNI sukarela. 11. Pasal 22 ayat 2 dan ayat 3, DPD RI berpandangan dan berpendapat tidak ada perbedaan norma hukum dari makna kedua ayat tersebut, sehingga kedua ayat terebut dijadikan satu ayat (2) saja. 12. DPD RI berpandangan dan berpendapat Pasal 28 harus melibatkan Daerah, karenanya, perlu ditambahkan kata Daerah setelah kata Pengembangan Standardisasi. 13. DPD RI berpandangan Pasal 43 bahwa, ketentuan mengenai tata cara penggunaan Tanda diatur dengan Peraturan Menteri/Kepala lembaga nonkementerian, mengingat, pelaksanaan dari standardisasi juga melibatkan Daerah dan lembaga nonkementerian tidak menjangkau hingga Daerah, oleh karena itu DPD RI berpendapat pasal ini perlu dinyatakan kewenangan Daerah.

14. DPD RI berpandangan Pasal 44 ayat (2) bahwa hasil uji petik kesesuaian terhadap SNI disampaikan kepada KAN dan Daerah sebagai instansi pembina yang bertanggung jawab melakukan pengawasan pasar sebagai masukan untuk tindak lanjut yang diperlukan. Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa Pasal 44 ini memiliki norma hukum BAB VII Pembinaan dan Pengawasan. 15. DPD RI berpandangan BAB V Pasal 46 yang memuat ketentuan tentang mengembangkan kegiatan Standardisasi dan Penilaian serta Akreditasi LPK dilakukan kerja sama secara nasional dan internasional, tidak menormakan subyek, pihak-pihak yang melakukan kerjasama, dan pendelegasian peraturan turunan dari Pasal 46, termasuk peraturan yang mefasilitasi kelembagaan LPK di daerah. Oleh karena itu DPD RI berpendapat pemerintah dan pemerintah daerah perlu memfasilitasi akses akreditasi LPK secara nasional dengan prinsip kebersamaan dan keterbukaan, jelas siapa subyeknya dan jelas pihak-pihak yang bekerja sama. 16. DPD RI berpendapat bahwa pada BAB VI Pasal 47 ayat (2), perlu ditambahkan huruf e: melapor adanya penyalahgunaan/pemalsuan tanda SNI dan tanda kesesuaian yang dilakukan pelaku usaha yang menggunakan sistem elektronik dalam transaksi perdagangan melalui wilayah elektronik (internet) didasarkan atas kepercayaan antara pelaku usaha/penjual dan pembeli, sehingga rawan kriminalisasi. Oleh karena itu DPD RI mengingatkan perlunya membuat kebijakan yang terkait dengan pengawasan tanda SNI dan tanda melalui sistem elektronik, sehingga menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha dan keamanan produk bagi pengguna dalam rangka meningkatkan daya saing global. 17. DPD RI berpendapat BAB VII Pasal 49 perlu ditambahkan ayat (3) terkait dengan pengawasan terhadap Barang yang menggunakan Tanda SNI dan Tanda yang beredar, seharusnya masyarakat dilibatkan dalam pengawasan tersebut. Jika pengawasan hanya terdiri dari unsur eksekutif, dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan dan saling lempar tanggung jawab. Dalam konteks negara demokrasi, masyarakat adalah pemegang kedaulatan utama, sehingga hal yang wajar jika masyarakat ikut dilibatkan dalam proses pengawasan terhadap Barang dan/atau jawa yang diberlakukan SNI wajib. 18. DPD RI berpendapat Pasal 53, Pasal 54, Pasal 58 sanksi yang diterapkan tidak sejalan dengan pada pasal-pasal yang dirujuknya yakni Pasal 22 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3). Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa perlu penegasan sinkronisasi antara Pasal 53, Pasal 54, Pasal 58 dengan pasal-pasal dirujuknya. 19. DPD RI berpendapat BAB VIII Pasal 61 ayat (3) huruf a dihilangkan kata dan/atau menjadi dan mengingat kepatuhan kepada Standardisasi adalah menyangkut faktor keamanan pengguna dan konsumen serta menjamin kepastian hukum bagi pengusaha. 20. DPD RI berpandangan BAB IX Pasal 62 bahwa, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Standardisasi dan Penilaian dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, agar selaras dengan perundang-undangan yang ada sudah dan akan terbit perlu diubah menjadi:..dinyatakan harus ada penyelarasan dalam bentuk Peraturan, agar tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Oleh karena itu DPD RI berpendapat agar Badan Standardisasi Nasional dapat melakukan fungsinya dalam penetapan Standar Nasional Indonesia sekaligus melakukan koordinasi pengawasan pelaksanaan SNI bersama kementerian terkait dan Daerah. III. Kesimpulan a. Bahwa setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Standardisasi dan Penilaian, maka, DPD RI dengan ini menyatakan, bahwa RUU tentang Standardisasi dan Penilaian yang merupakan RUU usul inisiatif RI, untuk dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya dengan mentaati peraturan tentang pembentukan perundang-undangan dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan dan Pendapat yang telah disampaikan oleh DPD RI. b. Hal-hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya potensi potensi tumpang tindih RUU tentang Standardisasi dan Penilaian dalam penerapannya dengan Peraturan di bawah Kementerian Perindustrian dan perundang-undangan seperti RUU Perdagangan di bawah kewenangan 1165

Kementerian Perdagangan dan bidang-bidang sektoral pertanian. Mengingat, jangkauan dari RUU Standardisasi dan Penilaian ini yang mencakup penetapan SNI yang disesuaikan dengan beragam standar internasional, Sertifikasi Proses dan Produk, pengujian dan inspeksi, standar nasional satuan ukuran, kalibrasi dan bahan Acuan, tentunya melibatkan kelembagaan standardisasi dan penilaian kesesuaian yang cukup kompleks. c. Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU tentang Standardisasi dan Penilaian ini disampaikan. Adapun produk perundang-undangan yang mengatur tentang standardisasi dan penilaian kesesuaian yang diusulkan nantinya harus merujuk kepada norma yang terdapat dalam UU Standardisasi dan Penilaian bila telah disahkan menjadi undang-undang. DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 20 Desember 2013 Ketua, H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua, Wakil Ketua, GKR. HEMAS DR. LAODE IDA 1166

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RUU STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DARI PEMERINTAH No 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN 2. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum; b. bahwa dalam rangka melindungi kepentingan negara, keselamatan, keamanan, dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora, fauna, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup diperlukan Standardisasi dan Penilaian ; c. bahwa Standardisasi dan Penilaian merupakan salah satu alat untuk meningkatkan mutu, efisiensi produksi, memperlancar transaksi perdagangan, mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan; d. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Standardisasi dan Penilaian yang ada belum selaras sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan kegiatan Standardisasi dan Penilaian serta visi kedepan dalam pelaksanaan perdagangan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian ; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Bagian Konsideran Pada bagian konsideran poin a dan poin b DPD RI berpandangan bahwa tujuan bernegara tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (poin a) tetapi juga melindungi kepentingan negara, keselamatan, keamanan dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora, fauna, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup diperlukan Standardisasi dan Penilaian. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa konsideran poin a dan poin b memiliki makna yang selaras, sehingga dapat dijadikan satu butir a saja. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN Menimbang: a. a. bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum; b. bahwa Standardisasi dan Penilaian K e s e s u a i a n merupakan salah satu alat untuk meningkatkan mutu, efisiensi produksi, m e m p e r l a n c a r t r a n s a k s i p e r d a g a n g a n, m e w u j u d k a n persaingan usaha yang sehat dan transparan; c. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Standardisasi dan Penilaian yang ada belum selaras sebagai landasan hukum bagi p e n y e l e n g g a r a a n kegiatan Standardisasi dan Penilaian serta visi kedepan dalam p e l a k s a n a a n perdagangan; d. bahwa berdasarkan p e r t i m b a n g a n s e b a g a i m a n a dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang- Undang tentang Standardisasi dan Penilaian ; 1167

No Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan memelihara Standar. 2. Penilaian adalah kegiatan untuk menilai bahwa Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel telah memenuhi persyaratan acuan. 3. Standar adalah dokumen resmi yang berisi spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus oleh semua Pemangku Kepentingan untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. 4. Badan Standardisasi Nasional yang selanjutnya disingkat BSN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Standardisasi. 5. Komite Akreditasi Nasional yang selanjutnya disingkat KAN adalah lembaga nonstruktural yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Akreditasi LPK. 6. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 7. Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh KAN, yang menyatakan bahwa suatu lembaga, institusi atau laboratorium memiliki kompetensi serta berhak melaksanakan Penilaian. 8. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan Penilaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel yang telah memenuhi SNI. 9. Tanda SNI adalah tanda Sertifikasi yang dibubuhkan pada Barang dan/atau kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan SNI. 10. Tanda kesesuaian adalah tanda Sertifikasi selain tanda SNI yang ditetapkan atau ditetapkan berdasarkan perjanjian saling pengakuan antar subyek hukum internasional yang ditetapkan. 11. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 12. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 13. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri atau bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 14. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang mempunyai kepentingan terhadap kegiatan Standardisasi dan Penilaian, terdiri dari unsur konsumen, Pelaku Usaha, asosiasi, pakar, cendekiawan dan Instansi. DPD RI berpandangan bahwa Bab I tentang Ketentuan Umum dalam Pasal 1 masih memerlukan penambahan nomenklatur yang nantinya dijabarkan dalam pasal-pasal batang tubuh antara lain nomenklatur Panitia Teknis. Hal ini mengingat Bagian Ketentuan Umum merupakan pasal yang memberikan penjelasan mengenai nomenklatur yang substansial di dalam suatu produk Undang-Undang. 1168

No 15. Lembaga Penilaian yang selanjutnya disingkat LPK adalah lembaga yang melakukan kegiatan Penilaian. 16. Instansi adalah kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian. 17. Program Nasional Perumusan Standar yang selanjutnya disingkat PNPS adalah kumpulan usulan rancangan SNI dari Instansi yang akan dirumuskan. 18. adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Repulik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19. Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 20. Orang adalah orang perseorangan dan badan hukum. Pasal 2 Standardisasi dan Penilaian dilaksanakan berdasarkan asas: a. manfaat; b. konsensus dan tidak memihak; c. transparansi dan keterbukaan; d. efektif dan relevan; e. koheren; f. dimensi pembangunan; dan g. kompeten dan tertelusur. Pasal 4 Standardisasi dan Penilaian berlaku terhadap Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel. Pasal 17 (1) Penerapan SNI dilakukan dengan cara menerapkan persyaratan SNI terhadap Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel. (2) Penerapan SNI dilaksanakan secara sukarela atau wajib. (3) Penerapan SNI dibuktikan melalui pemilikan sertifikat dan/atau pembubuhan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian. DPD RI berpandangan bahwa standardisasi dan penilaian kesesuaian yang berlaku terhadap barang, jasa, sistem, proses atau personel, pada pelaksanaannya tidak mengatur standardisasi dan penilaian kesesuaian kompetensi personel, yang terkait dengan sistem pendidikan nasional dan keprofesian yang telah diatur oleh perundang-undangan lain. Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa Bab I tentang Ketentuan Umum dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 1 menyebut kata personel dan Pasal 3 butir b menyebut kata tenaga kerja dapat dikecualikan dalam nomenklatur kedua pasal tersebut. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan memelihara Standar. 2. Penilaian adalah kegiatan untuk menilai bahwa Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel telah memenuhi persyaratan acuan. 3. Standar adalah dokumen resmi yang berisi spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus oleh semua Pemangku Kepentingan untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. 4. Badan Standardisasi Nasional yang selanjutnya disingkat BSN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Standardisasi. DPD RI berpandangan dalam Pasal 1 angka 13 yang menyebut kata Pelaku Usaha dan angka 20 yang menyebut kata Orang memiliki definisi makna yang serupa. Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa perlu ada penegasan dan konsistensi nomenklatur kata Pelaku Usaha atau kata Orang. 1169

No 5. Komite Akreditasi Nasional yang selanjutnya disingkat KAN adalah lembaga nonstruktural yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Akreditasi LPK. 6. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 7. Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh KAN, yang menyatakan bahwa suatu lembaga, institusi atau laboratorium memiliki kompetensi serta berhak melaksanakan Penilaian. 8. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan Penilaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel yang telah memenuhi SNI. 9. Tanda SNI adalah tanda Sertifikasi yang dibubuhkan pada Barang dan/atau kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan SNI. 10. Tanda kesesuaian adalah tanda Sertifikasi selain tanda SNI yang ditetapkan atau ditetapkan berdasarkan perjanjian saling pengakuan antar subyek hukum internasional yang ditetapkan. 11. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 12. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 13. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri atau bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 14. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang mempunyai kepentingan terhadap kegiatan Standardisasi dan Penilaian, terdiri dari unsur konsumen, Pelaku Usaha, asosiasi, pakar, cendekiawan dan Instansi. 15. Lembaga Penilaian yang selanjutnya disingkat LPK adalah lembaga yang melakukan kegiatan Penilaian. 16. Instansi adalah kementerian dan/ atau lembaga pemerintah nonkementerian. 17. Program Nasional Perumusan Standar yang selanjutnya disingkat PNPS adalah kumpulan usulan rancangan SNI dari Instansi yang akan dirumuskan. 18. adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Repulik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19. Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 20. Orang adalah orang perseorangan dan badan hukum. 1170

No Pasal 3 Standardisasi dan Penilaian bertujuan: a. meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta memacu kemampuan inovasi teknologi; b. meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan c. meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan di dalam negeri dan dengan dunia internasional. Pasal 4 Standardisasi dan Penilaian berlaku terhadap Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel. DPD RI berpandangan dalam Pasal 4 menyatakan bahwa Standardisasi dan Penilaian berlaku terhadap Barang, Jasa, Sistem, Proses atau Personel, dalam hal ini personel menyangkut juga hal yang terkait dengan pendidikan dan sertifikasi profesi, dan oleh karena Pasal 3 dinyatakan Standardisasi dan Penilaian bertujuan untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya.. maka DPD RI berpendapat, pasal ini harus menjelaskan kedudukan standardisasi personel yang terkait dengan pendidikan dan sertifikasi profesi agar sesuai dengan asas huruf e: koheren dan selaras dengan perundangundangan yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesidan Keprofesian (misalnya RUU Keinsinyuran). DPD RI berpandangan dalam Pasal 5 ayat (1): melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian belum menormakan kedudukan Daerah untuk berpartisipasi aktif melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian dalam Panitia Teknis dan Pembinaan Budaya Standard, serta Pengawasan pelaksanaan Standardisasi dan Penilaian. Karena itu DPD RI berpendapat Pasal 5 ayat (1) harus memasukkan frasa Daerah. DPD RI berpandangan Pasal 5 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 yang menyebut Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian (ayat 2) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (ayat 4), yang mana sesuai Naskah Akademik halaman 2 paragraf 2 disebutkan BSN ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997, Keppres ini berubah menjadi Keppres Nomor 166 Tahun 2000, lalu Keppres ini berubah menjadi Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Non Departemen. Pasal 5 (1) melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BSN. (3) BSN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan. (4) Pembentukan BSN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Pasal 6 (1) melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Akreditasi LPK. (2) Tugas dan tanggung jawab di bidang Akreditasi LPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KAN. (3) KAN berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden. (4) KAN dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan BSN. (5) Pembentukan KAN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. 1171

No Pasal 18 (1) SNI diterapkan secara sukarela oleh Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah. (2) Jika Pelaku Usaha belum mampu menerapkan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi dan Daerah memberikan bimbingan dan pembinaan sesuai dengan kewenangannya. (3) Jika Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah telah mampu menerapkan SNI, Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah dapat mengajukan sertifikasi kepada LPK yang telah diakreditasi oleh KAN. (4) LPK yang telah diakreditasi oleh KAN memberikan sertifikat kepada Pemangku Kepentingan yang telah memenuhi SNI. Pasal 35 (1) Kegiatan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dilakukan oleh LPK yang telah diakreditasi oleh KAN. (2) Dalam hal terdapat perjanjian internasional saling pengakuan dengan KAN, kegiatan penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh LPK di luar negeri yang telah diakreditasi oleh lembaga akreditasi di negara tersebut. (3) Dalam hal Indonesia menjadi anggota organisasi internasional kegiatan penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh LPK yang diakui oleh organisasi tersebut. (4) LPK yang menjalankan kegiatan di Indonesia wajib berbadan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 9 (1) Perencanaan perumusan SNI disusun dalam suatu PNPS. (2) PNPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan: a. kebijakan nasional Standardisasi; b. perlindungan konsumen; c. kebutuhan pasar; d. perkembangan Standardisasi internasional; e. kesepakatan regional dan internasional; f. kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi; g. kondisi flora, fauna, dan lingkungan hidup; h. kemampuan dan kebutuhan industri dalam negeri. (3) Penyusunan PNPS dilakukan oleh BSN bersama-sama dengan Instansi. (4) PNPS disusun untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (5) PNPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh BSN sebagai acuan kegiatan perumusan SNI. DPD RI berpendapat Pasal 5 tentang kelembagaan standardisasi dan penilaian kesesuaian bukanlah organisasi pelaksana, kelembagaan disini artinya aturan main yang mengikat Pemangku Kepentingan (Pasal 1 Angka 14), sedangkan organisasi adalah pelaksana dari aturan main. Untuk itu, DPD RI berpendapat Pasal 5 harus mempertegas norma hukum kelembagaan dan organisasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab standardisasi dan penilaian kesesuaian, dengan mencantumkan kalimat Badan Standardisasi Nasional sebagai judul menggantikan Kelembagaan. Sehingga, Pasal 5 ini merangkum secara utuh tugas, fungsi BSN beserta kelengkapan perangkat yang menjalankan tugas dan tanggung jawab BSN di bidang Akreditasi LPK (Lembaga Penilaian ) oleh KAN dan menjalankan tugas dan tanggung jawab BSN di bidang Standar Nasional Satuan Ukuran oleh KSNSU. Dengan demikian, Pasal 6 dan Pasal 35 ayat (1) dapat dibatalkan, dan Pasal 18 ayat 3 bunyinya menjadi:..dapat mengajukan sertifikasi kepada Badan Standardisasi Nasional. Oleh karena kewenangan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sudah melekat kepada BSN, maka ayat 3 kata Menteri yang dimaksud adalah Kementerian Teknis dan kata mengkoordinasikan dihapus. DPD RI berpandangan bahwa penyusunan PNPS sebagai dokumen Perencanaan dilakukan oleh BSN bersama-sama dengan Instansi dan Daerah, sehingga DPD RI berpendapat bahwa Pasal 9 ayat (3) perlu ditambahkan dengan kata Daerah. Pasal 5 (1) daerah melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian s e b a g a i m a n a dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BSN. (3) BSN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri. (4) Pembentukan BSN ditetapkan dengan Peraturan Presiden. 1172

No Pasal 12 (1) Perumusan SNI dilaksanakan oleh Panitia Teknis. (2) Hasil perumusan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rancangan SNI. (3) Keanggotaan Panitia Teknis terdiri atas unsur: a. ; b. Pelaku Usaha; c. konsumen; dan d. pakar atau akademisi. (4) Pembentukan dan ruang lingkup serta susunan keanggotaan Panitia Teknis ditetapkan oleh Kepala BSN. Pasal 13 (1) BSN melakukan jajak pendapat atas rancangan SNI yang dirumuskan oleh Panitia Teknis. (2) Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap rancangan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Panitia Teknis. Pasal 17 (1) Penerapan SNI dilakukan dengan cara menerapkan persyaratan SNI terhadap Barang, Jasa, sistem, proses, atau personel. (2) Penerapan SNI dilaksanakan secara sukarela atau wajib. (3) Penerapan SNI dibuktikan melalui pemilikan sertifikat dan/atau pembubuhan tanda SNI dan/atau tanda kesesuaian. Pasal 18 (1) SNI diterapkan secara sukarela oleh Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah. (2) Jika Pelaku Usaha belum mampu menerapkan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi dan Daerah memberikan bimbingan dan pembinaan sesuai dengan kewenangannya. (3) Jika Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah telah mampu menerapkan SNI, Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah dapat mengajukan sertifikasi kepada LPK yang telah diakreditasi oleh KAN. (4) LPK yang telah diakreditasi oleh KAN memberikan sertifikat kepada Pemangku Kepentingan yang telah memenuhi SNI. Pasal 19 (1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat wajib membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda pada Barang. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda pada Barang di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau b. membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya. (3) Dalam hal Pelaku Usaha yang menerapkan SNI secara sukarela yang memiliki sertifikat dan telah berakhir masa berlaku, dicabut, atau dibekukan sertifikatnya, dilarang membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda pada Barang. (4) Dalam hal Pelaku Usaha melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif. DPD RI berpandangan dalam Pasal 12 RUU ini bahwa, keanggotaan Panitia Teknis juga harus melibatkan unsur Daerah (termasuk KADINDA dan BUMD), dikarenakan pelaku usaha utamanya UKM dan konsumen adalah subyek yang langsung berhubungan dengan Daerah. Oleh karena itu DPD RI berpendapat perlu adanya kebijakan yang tegas yang berpihak kepada UKM dalam hal perumusan SNI sehingga tidak akan merugikan UKM. DPD RI berpandangan bahwa Jajak Pendapat yang dilakukan BSN atas rancangan SNI yang dirumuskan oleh Panitia Teknis, perlu diuraikan tahapan dan mekanisme jajak pendapat yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai jajak pendapat ini dapat didelegasikan pengaturannya dengan Peraturan Kepala BSN. DPD RI berpandangan Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 berpotensi bertentangan dengan RUU Perdagangan tentang Standardisasi barang dan jasa bahwa. Ketentuan ini pada RUU Perdagangan barang dan jasa yang diperdagangkan di dalam negeri wajib memenuhi SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. Kata wajib berarti bahwa ketika pelaku usaha memperdagangkan barang dan jasa tidak disertai dengan tanda SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib, maka pelaku usaha akan kena sanksi. Jika hal ini terjadi, maka yang paling dirugikan adalah pelaku usaha dari UKM. Sedangakan pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) RUU Standardisasi dan Penilaian menyatakan SNI diterapkan secara sukarela atau wajib. Oleh sebab itu DPD RI berpendapat bahwa, RUU ini perlu diharmonisasi dengan RUU Perdagangan dalam melakukan standardisasi untuk pemenuhan SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib bagi UKM. DPD RI berpendapat bahwa Pasal 17 harus ada tambahan ayat (2) butir a definisi SNI sukarela dan butir b definisi SNI wajib. Oleh karena itu penerapan SNI atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib, perlu diatur dalam Peraturan untuk menjelaskan kedudukan SNI wajib dan SNI sukarela. 1173

No Pasal 22 (1) Pelaku Usaha, Instansi, dan/ atau Daerah wajib memiliki sertifikat terhadap SNI yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Dalam hal Pelaku Usaha tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat namun habis masa berlakunya, dicabut, atau dibekukan, Pelaku Usaha dilarang: a. memperdagangkan atau mengedarkan Barang; b. memberikan Jasa; dan/atau c. mengoperasikan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI. (3) Pelaku Usaha yang memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. memperdagangkan atau mengedarkan Barang; b. memberikan Jasa; dan/atau c. mengoperasikan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI. (4) Setiap orang yang mengimpor barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI. Pasal 28 Dalam rangka perencanaan, perumusan, penerapan dan pemeliharaan SNI, BSN dan/atau Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dapat melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan Standardisasi. Pasal 43 (1) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan Tanda SNI diatur dengan Peraturan Kepala BSN. (2) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan Tanda diatur dengan Peraturan Menteri/Kepala lembaga pemerintah non kementerian. Pasal 44 (1) Dalam rangka efektivitas penerapan SNI, BSN dapat melakukan uji petik kesesuaian terhadap SNI berkoordinasi dengan Instansi terkait. (2) Hasil uji petik kesesuaian terhadap SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KAN, instansi pembina dan Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan pasar sebagai masukan untuk tindak lanjut yang diperlukan. Pasal 22 ayat 2 dan ayat 3, DPD RI berpandangan dan berpendapat tidak ada perbedaan norma hukum dari makna kedua ayat tersebut, sehingga kedua ayat terebut dijadikan satu ayat (2) saja. DPD RI berpandangan dan berpendapat Pasal 28 harus melibatkan Daerah, karenanya, perlu ditambahkan kata Daerah setelah kata Pengembangan Standardisasi. DPD RI berpandangan Pasal 43 bahwa, ketentuan mengenai tata cara penggunaan Tanda diatur dengan Peraturan Menteri/ Kepala lembaga nonkementerian, mengingat, pelaksanaan dari standardisasi juga melibatkan Daerah dan lembaga nonkementerian tidak menjangkau hingga Daerah, oleh karena itu DPD RI berpendapat pasal ini perlu dinyatakan kewenangan Daerah. DPD RI berpandangan Pasal 44 ayat (2) bahwa hasil uji petik kesesuaian terhadap SNI disampaikan kepada KAN dan Daerah sebagai instansi pembina yang bertanggung jawab melakukan pengawasan pasar sebagai masukan untuk tindak lanjut yang diperlukan. Karenanya, DPD RI berpendapat bahwa Pasal 44 ini memiliki norma hukum BAB VII Pembinaan dan Pengawasan. Pasal 22 (1) Pelaku Usaha, Instansi, dan/atau Daerah wajib memiliki sertifikat terhadap SNI yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Dalam hal Pelaku Usaha tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat namun habis masa berlakunya, dicabut, atau dibekukan, Pelaku Usaha dilarang: a. memperdagangkan atau mengedarkan Barang; b. memberikan Jasa; dan/atau c. m e n g o p e r a s i k a n proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI (3) Setiap orang yang mengimpor barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI. 1174