10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya (Trianto, 2009). Selanjutya, di dalam kelas kooperatif, siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen seperti kemampuan, jenis kelamin, atau suku/ras, dimana satu sama lain di antara mereka saling membantu. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) melalui pembelajaran kooperatif ternyata lebih efektif daripada pembelajaran oleh pengajar (Lie, 2002). Selanjutnya, Lie (2002) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif dikembangkan dengan dasar asumsi bahwa proses belajar akan lebih bermakna jika peserta didik dapat saling mengajari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa berperan ganda yaitu sebagai pelajar sekaligus guru bagi teman-teman kelompoknya. Prinsip dasar pembelajaran kooperatif adalah siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa yang pandai mengajari siswa yang kurang pandai tanpa merasa dirugikan. Siswa yang kurang pandai dapat belajar dalam suasana yang
11 menyenangkan karena banyak teman yang membantu dan memotivasinya. Siswa yang sebelumnya terbiasa bersikap pasif setelah menggunakan pembelajaran kooperatif akan terpaksa berpartisipasi secara aktif agar bisa diterima oleh anggota kelompoknya (Priyanto dalam Wena, 2009). Wena (2009) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif adalah sistem pembela- jaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat (siswa lain) sebagai sumber be- lajar, disamping guru dan sumber belajar lainnya. Adapun unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif dalam Wena (2009) adalah sebagai berikut: 1. Saling ketergantungan positif Ketergantungan positif maksudnya adalah hubungan yang saling membutuhkan antara siswa satu dengan siswa yang lain. Hal ini terjadi karena setiap anggota kelompok sadar bahwa mereka perlu bekerjasama dalam mencapai tujuan. 2. Interaksi tatap muka Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru tetapi juga dengan sesama siswa. Melalui interaksi tatap muka ini, setiap anggota kelompok terlibat dalam aktivitas mendengarkan penjelasan teman, bertanya, mengemukakan pendapat, berkata sopan, meminta bantuan, memberi penjelasan, dan lain-lain. Dengan demikian setiap anggota kelompok dapat saling menjadi sumber belajar, sehingga sumber belajar lebih bervariasi.
12 3. Akuntabilitas individual Untuk mencapai tujuan kelompok (hasil belajar kelompok), setiap siswa harus bertanggungjawab terhadap penguasan materi pembelajaran secara maksimal karena hasil belajar kelompok didasari atas rata-rata nilai anggota kelompok. 4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi Dalam pembelajaran kooperatif guru dituntut untuk membimbing siswa agar dapat berkolaborasi, bekerjasama, dan bersosialisasi antar anggota kelompok. Dengan demikian dalam pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan lain-lain secara sengaja diajarkan oleh guru. Menurut Lie (2002), ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelo- laan kelas model pembelajaran kooperatif yaitu (a) pengelompokkan, (b) sema- ngat pembelajaran kooperatif, dan (c) penataan ruang kelas. B. Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4 5 orang secara heterogen. Pembelajaran diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok (Trianto, 2009).
13 Adapun Slavin dalam Trianto (2009) menyatakan bahwa pada tipe STAD siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4 5 orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam tim mereka dan memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Setelah itu, seluruh siswa diberikan tes tentang materi tersebut, pada saat tes ini, mereka tidak diperbolehkan saling membantu. Adapun fase-fase dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam Trianto (2009) disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Fase-fase pembelajaran kooperatif tipe STAD Fase Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. Fase 2 Menyajikan/menyampaikan informasi Fase 3 Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Fase 5 Evaluasi Fase 6 Memberikan penghargaan Kegiatan Guru Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan. Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah diajarkan atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
14 Trianto (2009) menyatakan bahwa penghargaan atas keberhasilan kelompok dapat dilakukan oleh guru dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Menghitung skor individu Skor perkembangan individu dihitung berdasarkan Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perhitungan skor perkembangan individu No Nilai tes Skor perkembangan 1 Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 0 poin 2 1 sampai dengan 10 poin di bawah skor awal 10 poin 3 1 sampai dengan 10 poin di atas skor awal 20 poin 4 Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30 poin 5 Nilai sempurna 30 poin b. Menghitung skor kelompok Skor kelompok diperoleh berdasarkan nilai rata-rata skor perkembangan anggota kelompok, yaitu dengan menjumlahkan semua skor perkembangan yang diperoleh anggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok. Adapun penghargaan atas kerja kelompok diberikan berdasarkan Tabel 3 berikut! Tabel 3. Tingkat penghargaan kelompok No Rata-rata Tim Predikat 1 0 x 5-2 5 x 15 Tim baik 3 15 x 25 Tim hebat 4 25 x 30 Tim super c. Pemberian hadiah dan pengakuan skor kelompok Guru memberikan hadiah atau penghargaan kepada masing-masing kelompok sesuai dengan predikatnya.
15 C. Aktivitas Belajar Pendidikan modern lebih menitikberatkan pada aktivitas sejati, di mana siswa belajar sambil bekerja. Dengan bekerja, siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan nilai. Sistem pembelajaran dewasa ini sangat menekankan pada pendayagunaan asas keaktifan (aktivitas) dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Hamalik, 2008). Paul D. Dierich dalam Hamalik (2008) membagi aktivitas belajar menjadi 8 kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Aktivitas visual seperti membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, bermain; 2. Aktivitas lisan seperti mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi; 3. Aktivitas mendengarkan seperti mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan instrumen musik, mendengarkan radio; 4. Aktivitas menulis seperti menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat sketsa, merangkum, mengisi angket; 5. Aktivitas menggambar seperti menggambar objek, membuat grafik, diagram, peta, pola; 6. Aktivitas metrik seperti melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi), menari, berkebun; 7. Aktivitas mental seperti merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan; dan 8. Aktivitas emosional seperti minat, membedakan, berani, tenang. Kelompok-kelompok aktivitas di atas menunjukkan bahwa aktivitas belajar yang dapat dilakukan siswa di dalam kelas cukup kompleks dan bervariasi. Jika guru mampu menerapkan aktivitas-aktivitas belajar tersebut di dalam kelas, tentunya yang relevan dengan kompetensi dasar yang diharapkan, maka pembelajaran di kelas akan dinamis, tidak membosankan, dan benar-benar siswa itu menjadi pusat
16 belajar yang maksimal. Hal ini didukung oleh pendapat Piaget dalam Dimyati dan Mudjiono (2002) yaitu, Pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu melakukan interaksi terusmenerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan, maka fungsi intelek makin berkembang. D. Pendekatan Keterampilan Proses Menurut Hamalik (2008), pendekatan Keterampilan Proses ialah pendekatan pembelajaran yang bertujuan mengembangkan sejumlah kemampuan fisik dan mental sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi pada diri siswa. Kemampuan-kemampuan fisik dan mental tersebut pada dasarnya telah dimiliki oleh siswa meskipun masih sederhana dan perlu dirangsang agar menunjukkan jati dirinya. Adapun Dimyati dan Mudjiono dalam Wahidin (2008) mengungkapkan bahwa pendekatan Keterampilan Proses bukanlah tindakan instruksional yang berada di luar jangkauan kemampuan peserta didik. Pendekatan ini justru bermaksud mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik. Pendekatan Keterampilan Proses berupaya menemukan dan mengembangkan konsep dalam materi pelajaran. Konsep-konsep yang telah dikembangkan itu berguna untuk menunjang pengembangan kemampuan selanjutnya. Interaksi antara kemampuan dan konsep melalui pembelajaran dapat mengembangkan sikap dan nilai pada diri siswa seperti kreativitas, kritis, ketelitian, dan kemampuan memecahkan masalah.
17 Hamalik (2008) menyatakan bahwa ada 7 jenis kemampuan yang hendak dikem- bangkan melalui pembelajaran berdasarkan pendekatan Keterampilan Proses yaitu: 1. Mengamati, yaitu kemampuan menggunakan alat-alat inderanya untuk melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa. Dengan kemampuan ini, siswa dapat mengumpulkan data/informasi yang relevan dengan kepentingan belajarnya. 2. Menggolongkan/mengklasifikasikan, yaitu mengenal perbedaan dan persamaan atas hasil pengamatannya terhadap suatu objek, serta mengadakan klasifikasi berdasarkan ciri khusus, tujuan, atau kepentingan tertentu. 3. Menafsirkan/menginterpretasikan, yaitu menafsirkan fakta, data, informasi, atau peristiwa. 4. Meramalkan, yaitu kemampuan menghubungkan data, fakta, dan informasi untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada suatu objek. 5. Menerapkan konsep, yaitu kemampuan menerapkan konsep yang telah didapat dan dikuasai ke dalam situasi atau pengalaman baru. 6. Merencanakan penelitian, yaitu kemampuan menentukan masalah dan variabel-variabel yang akan diteliti, tujuan, ruang lingkup penelitian, prosedur penelitian, dan langkah-langkah pengumpulan dan pengolahan data. 7. Mengkomunikasikan, yaitu kemampuan menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan menyampaikan perolehannya kepada siswa-siswa lain. E. Keterampilan Menerapkan Konsep Menurut Suryosubroto (2002), yang dimaksud dengan menerapkan konsep adalah menggunakan konsep yang telah diketahui/dipelajari dalam situasi baru atau dalam menyelesaikan masalah. Beberapa kata operasional yang terdapat dalam keterampilan menerapkan konsep adalah sebagai berikut: a. Menjelaskan peristiwa baru dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki, antara lain: (1) Menuturkan (2) Menjelaskan (3) Menerangkan (4) Menggunakan b. Menerapkan konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru: (1) Mencobakan (2) Mengeksperimenkan
18 Beberapa kegiatan belajar dalam menerapkan konsep dalam Djamarah (2000) adalah sebagai berikut: (1) Menggunakan ( informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori, nilai, sikap, atau keterampilan dalam situasi baru atau situasi lain) (2) Menghitung (3) Mendeteksi (4) Menghubungkan konsep (5) Memfokuskan pertanyaan penelitian (6) Menyusun hipotesis (7) Membuat model F. Kelarutan dan Hasil kali kelarutan Dalam Purba (2006), kelarutan adalah jumlah maksimum zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut. Untuk zat yang tergolong mudah larut, kelarutannya dinyatakan dalam gram per 100 gram air. Namun, untuk zat yang tergolong sukar larut, kelarutanya dinyatakan dalam mol/l, atau kemolaran. Dalam larutan jenuh, tetap terjadi proses melarut, tetapi pada saat yang sama terjadi pula proses pengkristalan dengan laju yang sama. Dengan kata lain, dalam keadaan jenuh terdapat kesetimbangan antara zat padat tak larut dengan larutannya. Contoh, kesetimbangan dalam larutan jenuh Ag2CrO4 adalah sebagai berikut: Ag2CrO4(s) 2Ag + (aq) + CrO4 2- (aq) maka, Ksp = [Ag + ] 2 [CrO4 2- ], dimana Ksp adalah tetapan hasil kali kelarutan (solubility product constant) Adapun hubungan kelarutan dengan tetapan hasil kali kelarutan ditunjukkan sebagai berikut. Misalkan kelarutan Ag2CrO4 dinyatakn dengan s, maka
19 Ag2CrO4(s) 2Ag + (aq) + CrO4 2- (aq) s 2s s maka, Ksp Ag2CrO4 = [Ag + ] 2 [CrO4 2- ] = (2s) 2 x s = 4s 2 x s = 4s 3 Jika CaCO3 dilarutkan dalam air, maka satu-satunya sumber ion Ca +2 dan ion CO3 2- berasal dari padatan CaCO3, sementara jika CaCO3 dilarutkan dalam larutan Na2CO3, maka ion CO3 2- berasal dari CaCO3 dan larutan Na2CO3. Dalam hal ini, CaCO3 dan Na2CO3 mempunyai ion senama, yaitu ion CO3 2-. Bagaimanakah kelarutan CaCO3 dalam larutan Na2CO3, lebih besar atau lebih kecilkah dibandingkan dengan kelarutannya dalam air?. Sesuai dengan Azas Le Chatelier tentang pergeseran kesetimbangan, penambahan konsentrasi ion CO3 2- akan menggeser kesetimbangan ke kiri. Akibat dari pergeseran itu, jumlah CaCO3 yang larut berkurang. Tingkat keasaman larutan (ph) dapat mempengaruhi kelarutan dari berbagai jenis zat. Suatu basa umumnya lebih larut dalam larutan yang bersifat asam, dan sebaliknya lebih sukar larut dalam larutan yang bersifat basa. Garam-garam yang berasal dari asam lemah (contoh, CaCO3) akan lebih mudah larut dalam larutan yang bersifat asam kuat (contoh, HCl). Kita ketahui bahwa AgCl merupakan zat padat yang sukar larut dalam air atau dengan kata lain cepat mengendap apabila dilarutkan dalam air. Apakah endapan AgCl terbentuk begitu ada ion Ag + memasuki larutan yang mengandung ion Cl -.
20 Ingat, bahwa AgCl dapat larut dalam air, meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Artinya, ion Ag + dan ion Cl - dapat berada bersama-sama dalam larutan hingga larutan jenuh, yaitu sampai hasil kali kelarutan ion-ion tersebut sama dengan harga tetapan hasil kali kelarutan (Ksp) AgCl, atau [Ag + ] [Cl - ] = Ksp AgCl. Apabila penambahan ion Ag + dilanjutkan hingga [Ag + ] [Cl - ] > Ksp AgCl, maka kelebihan ion Ag + dan ion Cl - akan bergabung membentuk endapan AgCl. Jadi, pada penambahan larutan yang mengandung ion Ag + ke dalam larutan yang mengandung ion Cl - dapat terjadi 3 hal sebagai berikut: [Ag + ] [Cl - ] < Ksp AgCl, maka larutan belum jenuh [Ag + ] [Cl - ] = Ksp AgCl, maka larutan tepat jenuh [Ag + ] [Cl - ] > Ksp AgCl, maka terbentuk endapan AgCl. Hasil kali kelarutan ion-ion yang terlarut dalam larutan dengan konsentrasi tertentu dilambangkan dengan Qc. Dengan demikian, dalam memprediksi terbentuk atau tidaknya endapan dari suatu reaksi yaitu dengan memperhatikan 3 hal berikut: Qc < Ksp, maka larutan belum jenuh Qc = Ksp, maka larutan tepat jenuh Qc > Ksp, maka terbentuk endapan