BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Karyawan perusahaan sebagai makhluk hidup merupakan sumber daya

PERAN HIIT DI DALAM MENINGKATKAN RESILIENSI PERAWAT DI RSAU DR. MOHAMMAD SOETOMO PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat, terutama di kota-kota besar. Banyaknya jumlah rumah sakit tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan perjanjian (Hasibuan, 2007). Sedangkan menurut kamus besar bahasa

BAB II KAJIAN TEORI. kurang dari 40% dari tingkat tinggi mengalami kelelahan. Didunia kerja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aspek fisik maupun emosional. Keluhan tersebut akan menimbulkan upaya untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengalami trauma sekunder tidak mengalami langsung kejadian. korban trauma. (Figley, McCann & Pearlman, dalam Motta 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada saat ini sumber daya manusia adalah kunci sukses suatu organisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

Bab I Pendahuluan. adalah memiliki keturunan. Namun tidak semua pasangan suami istri dengan mudah

BAB I PENDAHULUAN. terakhir ini diketahui bahwa terdapatnya kecendrungan masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. Lebih dari 35 tahun yang lalu burnout menjadi isu yang. menarik ketika para peneliti Maslach dan Freudenberger mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Nyeri merupakan fenomena yang universal dan kebebasan dari nyeri

BAB I PENDAHULUAN. telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya. dan bertambah cenderung lebih cepat (Nugroho, 2000).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB I PENDAHULUAN. (Sumber: diakses pada 25/04/2014 pukul WIB)

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak merupakan salah satu bagian dari tujuan mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan fungsi yang luas sehingga harus memiliki sumberdaya, baik modal

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang baik maka tidak tersedia modal untuk melangkah ke depan

melihat pekerja sosial sebagai seorang yang menduduki jabatan sebagai pekerja sosial yang bekerja untuk pemerintah, sehingga mendapat status sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pariwisata.

oleh: Agus Supriyanto M.Si

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepuasan kerja merupakan salah satu masalah yang penting dan paling

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. timbulnya berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang dapat terjadi yaitu diabetes

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun,

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia mengadakan bermacam-macam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terampil maka dalam proses perencanaan tujuan tersebut akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi

PEKERJA KEMANUSIAAN: SITUASI SULIT & TANTANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan baru semakin memperburuk suasana. Dalam sebuah survei yang dilakukan Princeton Survey Research

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup. individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja yaitu perawat. Perencanaan tenaga keperawatan merupakan fungsi organik

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara variabel Hubungan Resiliensi dengan Stres Kerja Anggota. Gambar 3.1. Hubungan antar Variabel

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Disamping itu pula, pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjalani kehidupan profesional di dunia modern yang serba cepat seperti saat ini merupakan sebuah tantangan hidup. Selain tuntutan untuk mampu bertahan dalam lingkungan kerja yang kompetitif, seorang individu seringkali juga dihadapkan pada berbagai kesulitan. Kesulitan dapat dirasakan dimana-mana, baik di lingkungan pekerjaan itu sendiri, kehidupan pribadi maupun pergaulan sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis pekerjaan yang cenderung beresiko menimbulkan stress yang dapat berkembang menjadi gangguan psikologis terkait pekerjaan adalah perawat (Mealer dkk, 2009). Perawat oleh Royal College of Nursing (2014) didefinisikan sebagai individu yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan dan berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien. Permasalahan yang terjadi pada perawat di dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Mealer dkk (2009) menemukan bahwa gejala psikologis biasa terjadi pada perawat termasuk Burn Out syndrome, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), kecemasan dan depresi. Rumah sakit merupakan tempat yang menegangkan bagi karyawannya karena peningkatan kompleksitas, dan tuntutan jabatan, perubahan yang tidak dapat diprediksi dalam kehidupan sehari-hari, 1

rutinitas pekerjaan, ekspektasi pasien dan keluarga pasien yang tidak realistis, masalah etik dan isu kematian, Mealer dkk (2009). Permasalahan lain yang terjadi pada perawat dimungkinkan sejalan dengan terjadinya perubahan pola industri pelayanan kesehatan, semakin berkembangnya teknologi, peningkatan usia harapan hidup, bertumbuhnya banyak rumah sakit baru, dan semakin kritisnya pandangan masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan, membuat tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik merupakan beban yang berat bagi rumah sakit dan pegawainya. Hart dkk (2014) mengatakan bahwa perawat menghadapi masalah modern seperti kekurangan jumlah perawat, aktivitas pasien yang tinggi, penyebaran teknologi baru, pengaturan kewajiban, kebutuhan fisik dan psikologis serta masalah etik. Perawat dengan kondisi yang ada dituntut untuk dapat beradaptasi dengan segala permasalahan yang dialami. Dalam ilmu psikologi terdapat suatu konsep yang bisa membantu para perawat untuk menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dalam menghadapi masalah. Resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan penuh tekanan, dan bahkan mengalami kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya. Dapat dikatakan, resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit lagi dari keterpurukan, menyesuaikan diri ketika menghadapi masalah, menemukan cara penyelesaiannya serta belajar dari pengalaman. 2

Studi yang dilakukan oleh Othman dan Nasurdin (2011) pada 422 perawat di tiga rumah sakit di Malaysia, menunjukkan bahwa faktor harapan dan resiliensi sangat erat hubungannya dengan kinerja perawat. Sementara itu Rushton dkk (2015) menjelaskan bahwa tingginya derajat resiliensi seorang perawat akan mampu mencegah terjadinya kelelahan emosional dan membantu pencapaian pribadi. Juga diperoleh data bahwa semakin tinggi derajat resiliensi dapat meningkatkan faktor harapan dan mengurangi stress. Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh faktor yang membentuk resiliensi individu, yaitu(1) Emotion Regulation, (2) Impulse Control, (3) Optimism, (4) Causal Analysis, (5) Empathy, (6) Self-efficacy, (7) Reaching out. Penelitian yang dilakukan oleh Mealer dkk (2014) menunjukkan bahwa resiliensi pada perawat bisa dilatih menggunakan metode latihan yang bersifat multimodal. Dalam penelitian prospektif yang dilakukan selama 12 minggu terhadap para perawat ICU (Intensive Care Unit), Mealer dkk (2014) menunjukkan adanya penurunan skor gejala PTSD setelah diberikan serangkaian perlakuan berupa antara lain ceramah edukasi dan workshop, sesi menuliskan pengalaman di lingkungan kerja, sesi konseling permasalahan, latihan mindfulness-based stress reduction, dan latihan fisik berupa olahraga yang bersifat aerobik. Pelatihan fisik dalam rekomendasi Physical Activity Guidelines Advisory Committee (2008) yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat, menyatakan bahwa dalam penanganan gejala gangguan kesehatan mental terdapat beberapa upaya yang melibatkan antara lain promosi kesehatan mental, pencegahan, terapi, dan pemeliharaan kesehatan. 3

Menurut laporan tersebut salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan gangguan psikologi dan mental adalah dengan melakukan aktivitas latihan fisik. Bahkan dinyatakan bahwa kegiatan latihan fisik mampu melawan perasaan distress, meningkatkan rasa nyaman secara psikologis, mencegah kemunculan serta perkembangan gangguan kecemasan, mencegah timbul dan berkembangnya gejala depresi, serta memperlambat terjadinya gejala demensia dan penurunan fungsi kognitif sejalan bertambahnya usia. Penelitian yang dilakukan Chang dkk (2011) merupakan penelitian pertama yang meneliti pengaruh latihan aerobik terhadap fungsi perencanaan dan pemecahan masalah menunjukkan bahwa latihan aerobik, memberikan keuntungan pada aspek efisiensi dan akurasi dari fungsi perencanaan dan pemecahan masalah. Latihan fisik aerobik dapat dilakukan dengan metode HIIT (High-Intensity Interval Training). HIIT menurut Schoenfeld dan Dawes (2009) adalah strategi latihan untuk meningkatkan kebugaran kardiovaskuler (cardiorespiratory fitness) dan kesehatan serta mengurangi lemak tubuh. Menurut penelitian yang dilakukan Jung dkk, (2014) terbukti bahwa metode latihan ini dapat memberikan tingkat kebugaran fisik lebih maksimal dalam waktu yang lebih singkat, selain itu metode latihan ini juga merupakan latihan yang langsung bisa dirasakan hasilnya meskipun hanya menggunakan waktu latihan yang minimal, sehingga dapat memperkuat komitmen rutinitasnya karena tidak dipersepsikan sebagai beban. Hal yang menarik dari HIIT adalah kemampuannya dalam membangun adaptasi psikologis dimana individu merencanakan program latihan dan memaksa diri untuk 4

menyelesaikan program latihan tersebut dalam waktu tertentu yang sudah ditetapkan. Hal itu mengakibatkan individu akan merasa tertantang untuk mencapai target yang sudah ditetapkan tersebut walaupun harus melalui sesi latihan yang cukup berat. Program latihan HIIT menurut Hardcastle dkk (2014) terbilang rumit yang memerlukan kedisiplinan dan regulasi diri yang tinggi selain itu bentuk latihan HIIT yang berintensitas tinggi menyebabkan respon stress sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Tidak sedikit individu yang menjalani latihan HIIT akan lelah dan berhenti sebelum program latihan selesai karena beratnya latihan. Namun terdapat juga individu yang mampu menyelesaikan latihan dan meningkatkan beban latihan di latihan selanjutnya. Jung dkk (2014), menyatakan bahwa sifat alami latihan berselang dan mengandung interval pada HIIT memungkinkan individu merasakan pengalaman pencapaian sukses yang positif yang tidak didapat dengan melakukan metode latihan aerobik lainnya. Lebih spesifik lagi, secara alami pola latihan HIIT, yang merupakan rangkaian gerakan latihan - istirahat - latihan - istirahat, yang dilakukan dan menjadi target dalam jangka waktu relatif pendek akan membuat individu mampu mendorong diri mereka lebih kuat. Studi yang dilakukan oleh Ormsbee dkk (2013) membuktikan adanya pengaruh latihan HIIT terhadap reaksi produksi hormon kortisol tubuh terhadap rangsangan stress psikologi dan kondisi suasana hati (mood state). Sebagaimana dijelaskan Guyton (2000), peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress. Meskipun hasil penelitian ini belum menunjukkan hasil yang berbeda dengan 5

pengaruh latihan aerobik biasa, namun penulis menyarankan penelitian lebih lanjut tentang efek latihan HIIT terhadap kondisi mental. Adapun penelitian lain yang berupa sebuah studi klinis oleh Flemmen dkk (2014) menunjukkan efek latihan HIIT terhadap penurunan gejala insomnia, kecemasan, dan depresi pada para penderita SUD (Substance Use Disorder). Sementara itu dalam sebuah penelitian yang melibatkan pasien-pasien Schizoprenia kronis, Wu dkk (2015) telah menunjukkan pengaruh latihan HIIT dalam memperbaiki kondisi fisik dan mental. Selain perubahan dalam berat badan, indeks massa tubuh, dan denyut nadi istirahat, penelitian tersebut secara nyata melaporkan adanya perbaikan dalam gejala-gejala negatif, depresi dan kecemasan pada subyek setelah mengikuti program latihan HIIT selama 8 minggu. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari pengaruh latihan HIIT terhadap kesehatan mental penderita Skizoprenia, yang ternyata menunjukkan hasil yang bermanfaat. Perawat sebagai pelaksana dan pengelola kesehatan memiliki tanggung jawab besar dan bukan hal yang sepele. Besarnya tanggung jawab dan tingginya beban kerja perawat sangat berpotensi untuk munculnya stress hingga burn out pada perawat. Chessak dkk (2015) menjelaskan bahwa terdapat berbagai macam hal yang bisa meningkatkan peluang terjadinya stress, seperti misalnya kompleksitas jenis dan kondisi pasien, hubungan interpersonal dengan dokter dan sesama rekan perawat, kurangnya dukungan dari atasan, masalah birokrasi kepegawaian, tugas yang tidak jelas, bahkan penggunaan alat-alat medis yang modern, dan kompetisi antar rumah sakit. Kelelahan secara emosional, depersonalisasi, penurunan daya juang individu menurut Greenglass dkk (2001) 6

adalah ciri burnout yang pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan fisik, peningkatan angka turn-over perawat, dan yang paling penting yaitu penurunan tingkat kepuasan pasien. Ketidakpedulian perawat terhadap tekanan ini akan mengarahkan pada gangguan yang akan berdampak pada kinerja perawat itu sendiri. Pada saat perawat mengetahui dirinya sudah mulai mengalami tekanan dari rutinitasnya, maka ia harus menyadari dan mencari tahu bagaimana jalan keluar dari semua beban yang ia hadapi sebagai perawat. Permasalahan yang muncul dari dinamika pekerjaannya memang tidak dapat dihindari, namun bukan berarti tidak dapat diatasi. Kemampuan diri untuk mau bangkit dari permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk dari resiliensi. Selain itu kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam diri juga dimiliki oleh individu yang memiliki resiliensi.. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak individu lain. Dengan demikian, mereka akan mampu mengendalikan emosi dalam situasi penuh tekanan dan keluar dari permasalahan yang dapat memicu mereka ke gangguan lebih lanjut. Tidak semua individu paham dan memiliki resiliensi. Namun bukan berarti resiliensi tidak dapat ditingkatkan dalam diri individu. Seperti penjelasan definisi, bahwa resiliensi adalah kemampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap kesulitan yang dihadapinya (Jackson dkk, 2007). Dalam hal ini ada pola adaptasi yang positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten dan Gewirtz (2006). Pola adaptasi dalam situasi sulit ini mirip dengan individu 7

yang melakukan olah raga dengan metode HIIT, dimana dalam kurun waktu tertentu dihadapkan dengan sejumlah gerakan yang harus diselesaikan dengan pola interval dan berintensitas tinggi. Dalam latihan HIIT, pada fase intensitas tinggi individu dihadapkan dengan sejumlah gerakan yang tentunya menantang dan harus diselesaikan sebelum masuk ke fase intensitas rendah yang juga disebut fase instirahat. Gerakan yang menantang pada intensitas tinggi ini bagi kebanyakan individu membutuhkan adaptasi dari rasa lelah atau frustasi karena sulit atau berat namun pasti dapat diselesaikan. Pola adaptasi ini mirip dengan konsep resiliensi yang itu kemampuan individu untuk beradaptasi dalam situasi yang sulit dan penuh permasalahan namun dapat mencari jalan keluar dan bangkit dari tekanan permasalahan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian HIIT di atas, dan melihat fenomena yang terjadi pada perawat, mengingat perawat merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit, dan untuk pekerjaannya sendiri berpotensi menimbulkan job burn out, maka sangat perlu diteliti peluang memanfaatkan latihan HIIT sebagai alat bantu bagi perawat agar mereka dapat menjadi pribadi yang resilien atau dapat beradaptasi terhadap masalah dan tetap dapat menjalani tugasnya dengan baik bahkan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada pasien. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini lebih lanjut, dengan judul Peran HIIT di dalam Meningkatkan Resiliensi Perawat di RSAU dr. Mohammad Soetomo Pontianak Kalimantan Barat. 8

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang ingin diteliti oleh peneliti sesuai dengan latar belakang yang dipaparkan di atas adalah: Adakah perbedaan tingkat resiliensi pada kelompok perawat di RSAU dr. Mohammad Soetomo Pontianak Kalimantan Barat yang diberikan pelatihan HIIT dengan kelompok perawat di RSAU dr. Mohammad Soetomo Pontianak Kalimantan Barat yang tidak diberikan pelatihan HIIT? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat resiliensi pada kelompok perawat di RSAU dr. Mohammad Soetomo Pontianak Kalimantan Barat yang diberikan pelatihan HIIT dengan kelompok perawat di RSAU dr. Mohammad Soetomo Pontianak Kalimantan Barat yang tidak diberikan pelatihan HIIT. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dan mampu memberikan masukanmasukan yang bermanfaat kepada semua pihak yakni : 9

a. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir dari ide-ide atau gagasan-gagasan yang dituangkan untuk diaplikasikan bagi bangsa dan negara serta kemampuan menulis melalui karya ilmiah. b. Bagi akademisi, penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan mengenai resiliensi sehingga dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya, 1.4.2. Manfaat Praktis Memberikan informasi mengenai konsep resiliensi dan membangun ketangguhan mental melalui olah raga sehingga dapat menjadi dasar informasi untuk pengembangan resiliensi dengan menggunakan metode latihan fisik (metode HIIT). 1.5. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penelitian. BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisikan sejumlah teori yang berhubungan dengan penelitian, kerangka berpikir dan hipotesis. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisikan berbagai hal yang berhubungan dengan metode penelitian, meliputi pendekatan penelitian, desain penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, manipulasi, populasi dan 10

sampel penelitian, subyek penelitian, persiapan dan tahapan penelitian, prosedur eksperimen, rancangan eksperimen, instrumen penelitian dan terakhir teknik analisis data. BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan tentang hasil penelitian, analisis serta pembahasan. BAB V PENUTUP Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran. 11