BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkembang di Indonesia. Pengertian akuntansi pemerintahan tidak terlepas

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penelitian terlebih dahulu yang hasilnya seperti berikut : Peneliti Judul Variabel Hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian pemerintah menurut Siregar dalam buku yang berjudul Akuntansi

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Tinjauan Teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Merangin. Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses pembangunan yang berjalan. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III METODE PENILITIAN. Negara Indonesia sebanyak 416 kabupaten dan 98 kota. Sampel yang diambil

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2009 : 44). Proses pembangunan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG POKOK POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

STRUKTUR APBD DAN KODE REKENING

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1. Akuntansi Pemerintahan Akuntansi pemerintahan merupakan bagian dari disiplin ilmu akuntansi yang berkembang di Indonesia. Pengertian akuntansi pemerintahan tidak terlepas dari pengertian akuntansi secara umum. Akuntansi didefinisikan sebagai aktifitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan kepada para pengguna dalam rangka pengambilan keputusan. Sedangkan akuntansi pemerintahan memiliki kaitan yang erat dengan dengan penerapan perlakuan akuntansi pada domin publik. Domain publik sendiri memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan sektor swasta. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan oleh luasnya jenis dan bentuk organisasi yang berada didalamnya, akan tetapi juga karena kompleknya lingkungan yang mempengaruhi lembaga publik tersebut. 2.1.1.1.Ruang Lingkup Akuntansi Pemerintahan Secara teoritis, akuntansi sektor publik merupakan bidang akuntansi yang mempunyai ruang lingkup lembaga lembaga tinggi Negara dan departemen departemen dibawahnya seperti pemerintah daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasi organisasi non profit.

didapat: Menurut Bastian (2003: 19) dari berbagai diskusi yang telah dilakukan, 1) Organisasi sektor publik dapat dibatasi dengan organisasi organisasi yang menggunakan dana masyarakat, sehingga perlu melakukan pertanggungjawaban kepada masyarakat, di Indonesia akuntansi pemerintahan mencakup beberapa bidang utama yakni: (1) Akuntansi pemerintah pusat (2) Akuntansi pemerintah daerah (3) Akuntansi Parpol dan LSM (4) Akuntansi yayasan (5) Akuntansi pendidikan dan kesehatan (puskesmas, rumah sakit dan sekolah) (6) Akuntansi tempat peribadatan (Mesjid, Gereja, Wihara, Kuil) 2) Aktifitas yang mendekatkan diri ke pasar tidak pernah ditujukan untuk memindahkan organisasi sektor publik ke swasta. 2.1.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah menyatakan bahwa: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Menurut Saragih (2003 : 127) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dijelaskan bahwa: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Dari beberapa kutipan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah (mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember) yang menggambaran keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah yang akan dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD mempunyai peranan penting dalam perencanaan, implementasi, dan pengendalian kinerja pemerintah daerah dalam 1 (satu) periode. APBD memuat segala bentuk penerimaan dan pembiayaan daerah dalam bentuk moneter atau Rupiah. APBD seharusnya dapat mengakomodir seluruh kebutuhan suatu daerah namun di sisi lain juga tidak membebani secara berlebihan daerah yang bersangkutan. Untuk itu APBD harus disusun dengan memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan efeftivitas (value for money). 2.1.2.1.Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBD. Surplus penerimaan daerah dapat digunakan untuk membiayai

pengeluaran daerah tahun anggaran berikutnya. Fungsi APBD dijelaskan sebagai berikut: 1) Fungsi otorisasi Funfsi ini mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pemerintah daerah pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan daerah dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. 2) Fungsi perencanaan, Mengandung arti bahwa anggaran daerah dapat menjadi pedoman bagi daerah untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka daerah dapat membuat rencana rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar. 3) Fungsi pengawasan Berarti anggaran daerah harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang daerah untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.

4) Fungsi alokasi Berarti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. 5) Fungsi distribusi Berarti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6) Fungsi stabilisasi Memiliki makna bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. 2.1.2.2.Pokok Pokok Kebijakan Penyusunan APBD Menurut Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 25 Tahun 2009 menyatakan bahwa pokok pokok kebijakan yang perlu mendapat perhatikan pemerintah daerah dalam penyusunan APBD adalah sebagai berikut: 1) Pendapatan Daerah, terdiri atas: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain b. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. 2) Belanja Daerah Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode Anggaran.

3) Pembiayaan Daerah Pembiayaan daerah yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. 2.1.3. Alokasi Anggaran Belanja Daerah Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, Belanja daerah adalah kewajiban Pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Selanjutnya, dalam operasionalisasinya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.25 Tahun 2009, belanja daerah merupakan bagian dari pengeluaran daerah, disamping pengeluaran pembiyaan daerah yang disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan agar pemerintah daerah berupaya menetapkan target capaian baik dalam konteks daerah, satuan kerja dan kegiatan sejalan dengan urusan yang menjadi kewenangannya. Dalam hal ini, belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Klasifikasi kelompok Belanja daerah dikelompokan menjadi belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

1) Belanja pegawai merupakan merupakan belanja kompensasi,dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja pegawai juga tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2) Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. 3) Belanja subsidi digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dapat terjangkau oleh masyarakat banyak. 4) Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/ perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. 5) Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 6) Belanja bagi hasil digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah Iainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

7) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf g digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. 8) Belanja tidak terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahuntahun sebelumnya yang telah ditutup. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: 1) Belanja pegawai untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. 2) Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluarann pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan

atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai. 3) Belanja modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Klasifikasi Belanja daerah berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi dua yaitu Belanja Operasi dan Belanja Modal. Belanja Operasi merupakan belanja yang memberikan manfaat atau akan terpakai habis dalam menjalankan kegiatan operasional pemerintahan selama tahun berjalan. Sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang memberikan manfaat lebih dari 1 tahun dan nilainya material. Penentuan tingkat materialitas belanja perlu dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah. Berikut ini jenis jenis belanja diantaranya: 1) Belanja Operasi Belanja operasi terdiri dari: (1) Belanja Pegawai (2) Belanja Barang (3) Belanja Bunga (4) Belanja Subsidi (5) Belanja Hibah (6) Belanja Bantuan Sosial

(7) Belanja Bantuan Keuangan 2) Belanja Modal (1) Belanja Tanah (2) Belanja Peralatan dan Mesin (3) BelanjaGedung dan Bangunan (4) Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan (5) Belanja Aset Tetap Lainnya 3) Belanja Tak Terduga 2.1.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah menyatakan bahwa: Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Menurut (Halim 2004 : 67) tentang pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang diperoleh dari penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan. Adapun kelompok

pendapatan asli daerah yang dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, diantaranya: 1) Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah: Iuran yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang dan dapat dipaksakan berdasarkan peraturan Perundang Undangan yang berlaku Menurut H. Mohammad Zain (2010: 314) mengemukakan bahwa pajak daerah adalah: Kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Jenis jenis pajak daerah adalah: (1) Pajak Hotel Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk perkotaan atau perkantoran. (2) Pajak Restoran dan Rumah Makan Pajak restoran dan rumah makan adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran atau rumah makan adalah tempat menyantap makanan dan atau

minuman yang disediakan dengan dipngut bayaran, tidak termasuk jasa boga atau ketering. (3) Pajak Hiburan Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan ketangkasan dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga. (4) Pajak Reklame. Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaran reklame. Reklame adalah benda, alat, pembuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial. (5) Pajak Penerangan Jalan Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik dengan ketentuan bahwa diwilayah daerah tersebut tersediaa penerangan jalan yang dibayarkan oleh pemerintah daerah (6) Pajak Bahan Galian Golongan C Pajak pengambilan bahan galian golongan c adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan c sesuai dengan peraturan Perundang Undangan yang berlaku. Bahan galian golongan c terdiri dari asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomite, feldspar, garam batu (halite), grafi, granit/andesit, gips, kalsit, pasir,

kuarsa, perlit, phospat, talk, tanah serap, tanah liat, tanahdiatome, tras, yarosif, zeolit, basal dan trakkit. (7) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukiman Pajak yang dikenakan terhadap pengambilan dan pemanfaatan air, baik air bawah tanah maupun air permukaan untuk digunakan orang pribadi atau badan kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat. 2) Retribusi Daerah Sumber pendapatan lain yang dapat dikategorikan dalam pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU No. 28 Tahun 2009). Retribusi daerah dapat dibagi dalam beberapa kelompok yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi perizinan. Yang mana dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. (2) Retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. (3) Retribusi perizinan tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintahan daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau

badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 3) Pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan Salah satu penyebab diberlakukannya otonomi daerah adalah tingginya campur tangan pemerintah pusat dalam pengelolaan roda pemerintah daerah. Termasuk didalamnya adalah pengelolaan kekayaan daerah berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sektor industri. Dengan adanya otonomi daerah maka inilah saatnya bagi daerah untuk mengelola kekayaan daerahnya seoptimal mungkin guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Undang-undang mengizinkan pemerintah daerah untuk mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). BUMD ini bersama sektor swasta atau Asosiasi Pengusaha Daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi daerah sehingga dapat menunjang kemandirian daerah dalam pembagunan perekonomian daerah. 4) Lain-lain Pendapatan yang Sah Lain-lain pendapatan yang sah yang dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah dapat diupayakan oleh daerah dengan cara-cara yang wajar dan tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Alternatif untuk memperoleh pendapatan ini bisa dilakukan dengan melakukan pinjaman kepada pemerintah pusat, pinjaman kepada pemerintah daerah lain, pinjaman kepada lembaga keuangan dan non keuangan, pinjaman kepada masyarakat, dan juga bias dengan menerbitkan obligasi daerah.

2.1.5. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan jenis pendapatan daerah yang masuk dalam kelompok dana perimbangan. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan pembiayaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Adapun tujuan dari Dana Alokasi Umum (DAU) adalah untuk menutup kesenjangan/celah fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antara pusat dan antar daerah. Sehingga dana alokasi umum tiap daerah tidak akan sama besarnya. Daerah yang mempunyai pendapatan asli daerah rendah akan mendapatkan dana alokasi umum yang tinggi, dan begitu juga sebaliknya daerah yang mempunyai pendapatan asli daerah tinggi akan mendapatkan dana alokasi umum yang rendah. Menurut UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurangkurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana alokasi umum suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal (fiscal gap) dan alokasi dasar. Celah fiskal dihitung berdasarkan kebutuhan fiskal (fiscal need) daerah dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks

Pembangunan Manusia. Sedangkan Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH). Alokasi dasar dihitung berdasar jumlah pegawai negeri sipil daerah. Proporsi dana alokasi umum antara daerah propinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota. Penyaluran dana alokasi umum dilaksanakan tiap bulan masing masing sebesar 1/12 dari dana alokasi umum daerah yang bersangkutan. DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah Undang Undang pembentukan disahkan. Penghitungan DAU untuk daerah otonom baru dilakukan setelah tersedia data. Dalam hal data tidak tersedia, penghitungan DAU dilakukan dengan membagi secara proporsional dengan daerah induk. Penghitungan menggunakan data jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja pegawai. 2.1.5.1.Tahapan Penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) 1) Tahapan Akademis Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan undangundang dan karakteristik otonomi daerah di Indonesia. 2) Tahapan Administratif Tahapan ini Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolidasi dan

verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan digunakan. 3) Tahapan Teknis Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan Undang Undang dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis. 4) Tahapan Politis Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah dengan Panitia kerja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU. 2.1.5.2.Formulasi Dana Alokasi Umum (DAU) 1) Formula DAU Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.

Gambar 2.1 Formula Dana Alokasi Umum (DAU) DANA ALOKASI UMUM ALOKASI DASAR CELAH FISKAL GAJI PNSD KEBUTUHAN FISKAL KAPASITAS FISKAL INDEKS PENDUDUK PENDAPATAN ASLI DAERAH INDEKS LUAR WILAYAH BAGI HASIL PAJAK INDEKS KEMAHALAN KONSTRUKSI BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Sumber www.djpk.depkeu.go.id INDEKS PDRB PERKAPITA Rumus formula DAU DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) Dimana: AD = Gaji PNS Daerah CF = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal

Formula khusus DAU, yaitu : (1) DAU untuk Provinsi Alokasi DAU ke suatu provinsi = 10% x 25% x PDN x Bobot provinsi Keterangan: PDN = Penerimaan Dalam Negeri DAU = Jumlah DAU untuk provinsi Bobot Provinsi yang bersangkutan Jumlah bobot seluruh Provinsi (2) DAU untuk daerah Kabupaten/ Kota Alokasi DAU ke suatu Kabupaten/Kota = 90% x 25% x PDN DAU = Jumlah DAU untuk Kab/Kota Bobot Kab/Kota yang bersangkutan Jumlah bobot seluruh Kab/Kota Maka Formula untuk menghitung bobot DAU daerah adalah : Bobot DAU daerah = Kebutuhan DAU daerah Total Kebutuhan DAU seluruh daerah 2) Variabel Dana Alokasi Umum (DAU) (1) Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhanndaerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (2) Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

3) Metode Penghitungan Dana Aloaksi Umum (DAU) (1) Alokasi Dasar (AD) Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangantunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku. (2) Celah Fiskal (CF) Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi dengan total CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatu daerah dihitung berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai berikut : Kebutuhan Fiskal (KbF) KbF = TBR (α1ip +α2iw +α4ikk + α3ipm +α5ipdrb/kap) Dimana: TBR IP IW IKK IPM IPDRB/kap α = Total Belanja Rata-rata APBD = Indeks Jumlah Penduduk = Indeks Luas Wilayah = Indeks Kemahalan Konstruksi = Indeks Pembangunan Manusia = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita = Bobot Indeks Kapasitas Fiskal (KpF) KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA

Dimana: PAD DBH Pajak DBH SDA = Pendapatan Asli Daerah = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam. 2.2. Kerangka Pemikiran Konsep desentralisasi fiskal yang diberlakukan pemerintah, memberi konsekuensi pada pemerintah daerah untuk memiliki wewenang dalam melaksanakan pembangunan daerahnya masing-masing. Sumber pendapatan yang dominan diantaranya adalah berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana Alokasi Umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat dana bantuan yang kewenangan mengatur dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan perannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah untuk mengatasi rendahnya kapasitas fiskal di dalam suatu daerah. Penelitian Abdullah dan Halim (2003) pada Kabupaten/Kota Jawa dan Bali menunjukan bahwa DAU berpengarug signifikan terhadap belanja daerah, Maemunah (2006) pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatra menunjukan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Sejalan dengan temuan tersebut, Penelitian juga dilakukan oleh Sari (2009) yang melakukan penelitian

pada kubupaten/kota di Provinsi Riau menunjukkan DAU berpengaruh positif terhadap Belanja Langsung. Hasil penelitian diatas telah menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. DAU juga sekaligus dapat menunjukan tingkat kemandrian suatu daerah. Semakin banyak DAU yang diterima maka berarti daerah tersebut masih sangat tergantung terhadap pemerintah pusat dalam memenuhi belanjanya. Hal ini juga menjadi tanda bahwa daerah tersebut belum mandiri, dan begitu juga sebaliknya. Definisi Pendapatan Asli Daerah menurut Bastian (2003: 83) yaitu: Akumulasi dari pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, pos penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan murni daerah yang digunakan sebagai modal utama untuk membiayai semua pembangunan di daerahnya sendiri. Dengan pengimplementasian kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah pusat membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan memaksimalkan pendapatan yang berasal dari perolehan pajak daerah, retribusi daerah, PBB pedesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dapat menjadi penyumbang terbesar PAD.

Penelitian Abdullah dan Halim (2003) pada Kabupaten/Kota Jawa dan Bali menunjukan bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah,sejalan dengan penelitian sebelumnya, Penelitian Prakosa (2004) menunjukkan bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah.. Hal ini bemakna bahwa semakin besar PAD maka semakin besar pula Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Hasil penelitian berbeda disajikan oleh Sari (2009), dimana PAD menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap Belanja Langsung. Dengan kata lain, PAD secara individual tidak mempengaruhi belanja langsung. Melihat beberapa hasil penelitian di atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. PAD ini sekaligus dapat menunjukan tingkat kemandrian suatu daerah. Semakin besar PAD yang didapat semakin memungkinkan daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa harus bergantung pada pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah daerah tersebut sudah mampu untuk mandiri, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran. Definisi Flypaper effect menurut Maemunah (2006) yaitu: Flypaper effect yang merupakan suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak atau boros dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan dana sendiri dalam bentuk PAD

Sehingga dapat dikatakan bahwa Flypaper Effect merupakan suatu keadaan dimana belanja daerah lebih besar bergantung kepada bantuan transfer dari pada mengunakan pendapatan daerah sendri (PAD). Abdullah dan Halim (2003) dalam penelitiannya pada Kabupaten/Kota Jawa dan Bali menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah, hal ini membuktikan bahwa telah terjadi flypaper effect karena pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah justru lebih kuat daripada PAD. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Maimunah (2006) pada kabupaten/kota di pulau Sumatera. Hasil penelitian menyatakan bahwa telah terjadi flypaper effect pada belanja daerah karena selain mendapatkan hasil bahwa DAU dan PAD signifikan berpengaruh terhadap Belanja Daerah, besarnya nilai DAU juga lebih tinggi dibandingkan nilai pada PAD. Melihat dari beberapa penelitian diatas Menyatakan Bahwa semakin besar Dana Alokasi Umum yang diterima oleh daerah dari pemerintah pusat dan Pendapatan Asli Daerah yang di dapat akan menentukan besarnya alokasi Belanja Daerah. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada periode pengamatan yang akan dilakukan, yaitu selama 4 tahun periode dari tahun 2007 2010. Lokasi penelitian dilakukan pada daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Berikut ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No Peneliti Tahun Variabel Lokasi Penelitian 1 Syukriy 2003 DAU Belanja Kabupaten Abdullah & Daerah /Kota dan PAD Jawa dan Abdul Bali Halim Hasil Baik DAU maupun PAD berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. 2 Kesit Bambang Prakosa 2004 DAU & PAD 3 Maimunah 2006 DAU & PAD 4 Noni Puspita sari 2009 DAU & PAD Belanja Daerah Belanja Daerah Belanja Daerah Provinsi Jateng dan DIY Pulau Sumatra Provinsi Riau Semakin Besar DAU yang diterima oleh daerah dari pemerintah pusat dan PAD yang didapat akan menentukan besarnya alokasi Belanja Daerah Besarnya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Serta terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera DAU memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Langsung. Sedangkan PAD menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap Belanja langsung, bahwa PAD secara individual tidak mempengaruhi belanja langsung Sumber: Data Sekunder Diolah, 2012

Sedangkan Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran Dana Alokasi Umum (DAU) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Flypaper Effect Belanja Daerah 2.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1) H 01 : DAU memiliki pengaruh negatif terhadap Belanja Pemerintah Daerah H a1 : DAU memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Pemerintah Daerah 2) H 02 : PAD memiliki pengaruh negatif terhadap Belanja Pemerintah Daerah H a2 : PAD memiliki pengaruh positif terhadap Belanja Pemerintah Daerah 3) H 03 : DAU dan PAD tidak berpengaruh secara simultan terhadap Belanja Pemerintah Daerah H a3 : DAU dan PAD berpengaruh secara simultan terhadap Belanja Pemerintah Daerah