PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL BUILDING

dokumen-dokumen yang mirip
PENINGKATAN NILAI BANGUNAN HIJAU PADA BANGUNAN TERBANGUN Studi Kasus: Gedung Kampus X

BAB I PENDAHULUAN. daya secara efisien selama proses pembuatannya hingga pembongkarannya.

Green Building Concepts

BAB I PENDAHULUAN. Konsep hijau (green) mengacu kepada prinsip keberlanjutan (sustainability)

SERTIFIKASI GREENSHIP

KEPENTINGAN DAN IMPLEMENTASI GREEN CONSTRUCTION DARI SISI PANDANG KONTRAKTOR

ABSTRAK. apartemen, Sea Sentosa

PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL BUILDING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SURVEI TINGKAT KEPENTINGAN DAN PENERAPAN SUMBER DAN SIKLUS MATERIAL DARI GREENSHIP RATING TOOLS PADA PROYEK KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI. maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. baik itu dari sisi produksi maupun sisi konsumsi, yang berbanding terbalik dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Bel dan Hotel Sahid Jogja Lifestyle City di Yogyakarta sebagai berikut :

TANTANGAN DAN HAMBATAN PENERAPAN KONSEP SUSTAINABLE CONSTRUCTION PADA KONTRAKTOR PERUMAHAN DI SURABAYA

KINERJA PENGEMBANG GEDUNG BERTINGKAT DALAM PENGGUNAAN MATERIAL RAMAH LINGKUNGAN (191K)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Science&Learning&Center!di!Universitas!Mulawarman!! dengan!konsep!green&building!

ANALISIS TANTANGAN DAN MANFAAT BANGUNAN HIJAU

1 BAB I PENDAHULUAN. diiringi dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Beriringan pula dengan

PENGARUH PARAMETER BANGUNAN HIJAU GBCI TERHADAP FASE PROYEK

SUBDIVISI EKOLOGI LANSKAP. 1. Fitra Nofra Y.P. Jacaranda obtusifolia 2. Fatizha Zhafira S. Lilium candidum 3. Nurita Arziqni Chrysanthemum morifolium

PENERAPAN KONSEP SUSTAINABLE PADA RUMAH TINGGAL DARI SEGI MATERIAL

SUBDIVISI EKOLOGI LANSKAP

ANALISA SISA MATERIAL KONSTRUKSI DAN PENANGANANNYA PADA PROYEK GEDUNG PENDIDIKAN PROFESI GURU UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA (177K)

Sumber Produksi Tenaga Listrik PLN

PENGARUH INDOOR AIR HEALTH AND COMFORT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL BUILDING

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE

Gedung Asrama Kampus II Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Berkonsep Hemat Energi

CAPAIAN GREEN CONSTRUCTION DALAM PROYEK BANGUNAN GEDUNG MENGGUNAKAN MODEL ASSESSMENT GREEN CONSTRUCTION

IDENTIFIKASI INDIKATOR GREEN CONSTRUCTION PADA PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG DI INDONESIA. Oleh:

PERENCANAAN GEDUNG HIJAU PERKANTORAN Kafi uddin, MT

ANTUSIASME PASAR TERHADAP RUMAH BERKONSEP HIJAU DI CITRALAND SURABAYA

Aplikasi Green Building pada Kantor AMG Tower Surabaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPENTINGAN STANDAR BANGUNAN HIJAU INDONESIA DAN PENGARUH PENERAPANNYA TERHADAP BIAYA PROYEK SELAMA UMUR BANGUNAN

Penilaian Kriteria Green building pada Gedung Rektorat ITS

PENGKAJIAN INDIKATOR SOSEKLING BANGUNAN GEDUNG HIJAU (GREEN BUILDING)

BAB V Hasil Pembahasan Kontraktor

Implementasi Konstruksi Hijau Pada Proyek Apartemen Grand Kamala Lagoon Tower Emerald Bekasi

MEMBANGUN KEBERLANJUTAN DI ORLANDO MAGIC AWAY

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan jumlah limbah dan penyempitan lahan yang digunakan

BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS. pengelola real estat terpadu dalam bidang ritel, komersial dan pemukiman real

PERATURAN GUBERNUR No. 38 tahun 2012 tentang BANGUNAN GEDUNG HIJAU


BAB I PENDAHULUAN. 1 A. Soni Keraf. ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, hal Emil Salim. RATUSAN BANGSA MERUSAK SATU BUMI, hal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. begitu menggema di masyarakat dunia, termasuk juga di Indonesia.

LAMPIRAN DAFTAR ISI. JDIH Kementerian PUPR

Gedung Pascasarjana B Universitas Diponegoro. utama (Tepat Guna

GREENSHIP HOMES Version 1.0

GREENSHIP INTERIOR SPACE (IS)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH MENUJU INDONESIA BERSIH SAMPAH 2020 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP L/O/G/O

ANALISIS KRITERIA BANGUNAN HIJAU BERDASARKAN GREENSHIP HOME VERSI 1.0 STUDI KASUS PADA VILA BIU-BIU ( METODE LRFD )

ANALISIS KRITERIA PENERAPAN GREEN CONSTRUCTION PADA PROYEK KONSTRUKSI DI SURABAYA

Penilaian Kriteria Green Building Pada Jurusan Teknik Sipil ITS?

Mada Asawidya [ ] Yusronia Eka Putri, ST, MT Christiono Utomo, ST, MT, Ph.D

Catatan : *) BPO : Bahan Perusak Ozon GRK : Gas Rumah Kaca

SURVEI MENGENAI BIAYA OVERHEAD SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

JURNAL TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN

PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN MESIN PELEBUR SAMPAH (INCINERATOR) PROPOSAL. Mudah dalam pengoperasian. Tidak perlu lahan besar. Hemat energy.

PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI) AHLI PENILAI BANGUNAN HIJAU

KONSEP ANALISA PENGARUH KRITERIA GREEN BUILDING TERHADAP KEPUTUSAN INVESTASI PADA PENGEMBANG PROPERTI DI SURABAYA

Laporan Tugas Akhir M.Faiz Wirawan / Ferdia Chandra BAB I PENDAHULUAN

BAB V KESIMPULAN. dapat dilihat dari nilai rata-rata 2,99.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENGUKURAN KESESUAIAN KRITERIA GREEN BUILDING PADA GEDUNG MAGISTER MANAJEMEN TEKNOLOGI ITS FRISKARINDI NOOR WAKHIDAH

ANALISIS WASTE PENGGUNAAN BETON READY MIX PADA PEKERJAAN PONDASI RUMAH SAKIT X ABSTRAK

KRITERIA BANGUNAN HIJAU DAN TANTANGANNYA PADA PROYEK KONSTRUKSI DI SURABAYA

KAJIAN PENERAPAN ARSITEKTUR RAMAH LINGKUNGAN DENGAN TOLOK UKUR GREENSHIP PADA BANGUNAN

Sebuah Alur Pemikiran: Implementasi Green Building di Indonesia.

DIMENSI IMPLEMENTATIF PERTIMBANGAN ENERGI PADA BANGUNAN PELAYANAN ADMINISTRASI KAMPUS SEBAGAI UPAYA MENUJU BANGUNAN SADAR ENERGI

PENILAIAN KRITERIA GREEN BUILDING PADA GEDUNG REKTORAT ITS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA. xiv

TINGKAT KEPENTINGAN FAKTOR FAKTOR PRODUKTIVITAS PEKERJA BERDASARKAN TINGKAT PENGARUH DAN TINGKAT FREKUENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian sebelumnya mengenai Green Construction telah dilakukan

STUDI TENTANG PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN TERHADAP KEBERHASILAN BANGUNAN HIJAU

BAB I Pendahuluan. benua. 1 Bahasa dari setiap belahan di dunia digunakan dan dituturkan oleh semua

KONSEP KAMPUS HIJAU Green-Safe-Disaster Resilience (Hijau-Keselamatan-Ketahanan Bencana)

Evaluasi Konsep Bangunan Hijau Pada Kondominium The Accent di Kawasan Bintaro Tangerang Selatan

IDENTIFIKASI MATERIAL WASTE PADA PROYEK KONSTRUKSI (Studi Kasus Ruko San Diego Pakuwon City Surabaya)

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 05 /PRT/M/2015 TENTANG

STUDI AWAL PENERAPAN GREEN SPECIFICATION DI INDONESIA

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB III INTERPRETASI DAN ELABORASI TEMA. Tema yang digunakan pada perencanaan Hotel Forest ini adalah Green

Chapter 4 SOFTWARE QUALITY ASSURANCE - REVIEW

BAB 4 ANALISIS PENGGUNAAN SOFTWARE ESTIMASI BIAYA PADA PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

MENGUKUR APRESIASI KONSULTAN ARSITEKTUR MENGENAI KRITERIA RANCANGAN GREEN BUILDING

BAB I PENDAHULUAN. sedang menggalakkan pembangunan disegala bidang, baik pembangunan dibidang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Version: Bahasa Indonesia GREENSHIP NEW BUILDING (NB)

LAMPIRAN 1 KEUNTUNGAN DARI SUSTAINABLE BUILDING. Menurut Yulestra Putra dalam library.usu.ac.id, sustainable building

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tingkat kepedulian masyarakat di seluruh dunia terhadap isu-isu

Transkripsi:

PENGARUH ASPEK BUILDING ENVIRONMENTAL MANAGEMENT TERHADAP BIAYA KONSTRUKSI GREEN BUILDING DIBANDINGKAN DENGAN CONVENTIONAL BUILDING Muhammad Fatih, Yusuf Latief, Suratman Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia ABSTRAK Merencanakan operasional gedung yang ramah lingkungan sudah harus dipikirkan sejak tahap perencanaan desain. Cakupannya adalah pengelolaan sumber daya melalui rencana operasional konsep yang berkelanjutan, kejelasan informasi (data), dan penanganan dini yang membantu pemecahan masalah, termasuk manajemen sumber daya manusia dalam penerapan konsep bangunan hijau untuk mendukung penerapan tujuan pokok dari kategori lain. Oleh sebab itu, penulis memilih pengaruh aspek Building Environmental Management(BEM)terkait biaya konstruksi green building dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai faktor dalam aspek tersebut yang mempengaruhi perubahan biaya konstruksi green building apabila dibandingkan dengan bangunan konvensional, dan seberapa besar perubahan yang disebabkan oleh aspek tersebut. Dari penelitian ini diperoleh pengaruh biaya akibat penerapan BEM sebesar 0,51% dari nilai kontraknya. Kata kunci : Green Building, Aspek Building Environmental Management, biaya konstruksi ABSTRACT Planning the operation of environmental-friendly building must be concerned since design stage. The coverage is all about resource management by sustainable construction concept planning, data intelligibility, and early handling to help problems solving, include human resources management in assembling Green Building concept to encourage main purpose of another aspects. Therefore, the authors choose the effect of Building Environmental Management(BEM) aspects related to construction cost of green building in order to provide information about the factors of Building Environmental Management aspect which influence changes of green building construction costs compared to conventional buildings, and how much it changes.this study obtain the influence of Building Environmental Management aspect is 0,51% from the contract value. Key words : Green Building, Building Environmental Management Aspect, cost of construction

PENDAHULUAN Green Building memberikan keuntungan finansial yang tidak disajikan oleh bangunan konvensional. Keuntungan-keuntungan tersebut termasuk penghematan energi dan air, pengurangan sampah, serta biaya operasional dan maintenance yang lebih rendah. Konsep green yang mengacu kepada prinsip sustainability/keberlanjutan dan menerapkan praktikpraktik ramah lingkungan masih merupakan hal yang baru di Indonesia. Tetapi, kenyataannya, telah banyak pelaku pasar yang sudah menggunakan label green. Ini menunjukkan adanya kecenderungan pasar terhadap kesadaran betapa pentingnya penerapan prinsip ini, sehingga muncul keinginan untuk menerapkan praktik ramah lingkungan dan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun sudah ada keinginan, masyarakat umum belum memiliki pengetahuan yang cukup serta aksesibilitas terhadap informasi, praktik-praktik, dan produk-produk ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu ada suatu jembatan yang menghubungkan konsep sesungguhnya dengan persepsi yang tersebar di masyarakat. Untuk membantu para pelaku industri konstruksi, baik pengusaha, engineer, maupun pelaku pendukung lainnya dalam menerapkan praktik Green Building, terdapat sistem rating GREENSHIP yang disusun oleh Green Building Council Indonesia (GBCI)[1]. Dengan adanya sistem rating GREENSHIP, akan tercapai standar terukur yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, pemilik bangunan, serta pelaku jasa konstruksi. Standar yang ingin dicapai GREENSHIP adalah terjadinya suatu bangunan hemat energi yang ramah lingkungan sejak tahap perencanaan, pembangunan, hingga pengoperasian dan pemeliharaan sehari-hari. Sistem rating GREENSHIP merupakan alat bantu bagi para pelaku industri bangunan, baik pengusaha, engineer, maupun pelaku lainnya dalam menerapkan best practices dan mencapai standar terukur yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, terutama tenant dan pengguna bangunan. Suatu bangunan akan dinilai rating GREENSHIP oleh seorang Greenship Professional (GP). Dengan sistem penilaian ini, setiap bangunan yang mencanangkan diri sebagai Green Building akan disertifikasi berdasarkan kriteria-kriteria baku yang ada dalam sistem penilaian. Kriteria penilaiannya dikelompokkan menjadi enam kategori, yaitu: Appropriate Site Development (Tepat Guna Lahan) Energy Efficiency and Conservation(Efisiensi dan Konservasi Energi) Water Conservation(Konservasi Air) 2

Material Resources and Cycle(Sumber dan Siklus Material) Indoor Air Health and Comfort (Kualitas Udara dan Kenyamanan Ruangan) Building Environmental Management(Manajemen Bangunan dan Lingkungan) Salah satu aspek yang paling penting dalam penerapan Green Building adalah Building Environmental Management. Menitikberatkan kepada pengelolaan sampah, pelibatan Greenship Professional dalam konstruksi Green Building, serta pengelolaan sumber daya dan data untuk konsep yang berkelanjutan menjadikan Aspek Building Environmental Management sebagai penilaian yang penting di dalam sertifikasi Green Building. Jika metode penerapan aspek Building Environmental Management dapat diaplikasikan dengan tepat, maka biaya yang ditimbulkan dalam proses konstruksi Green Building dapat terlihat jelas sehingga kedepannya aspek BEM dapat dijadikan suatu unsur penting dalam proyek konstruksi di Indonesia terutama Green Building. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor dalam aspek Building Environmental Management yang mempengaruhi biaya proyek pada pembangunan green building dan menganalisa pengaruh Building Environmental Management terhadap perubahan dan peningkatan biaya proyek pada green building dibandinngkan dengan bangunan konvensional. TINJAUAN TEORITIS Dalam penerapan Green Building, terdapat tolak ukur yang harus dipenuhi sebagai persyaratan untuk tersertifikasinya bangunan sebagai Green Building. Salah satu kategori yang harus dipenuhi adalah Building Environmental Management, untuk mencapai kategori tersebut terdapat 7 aspek dan 1 prasyarat yang harus dipenuhi agar bangunan tersebut sebagai Green Building. Pada aspek ini terdapat dua jenis kategori rating, yaitu rating prasyarat dan rating biasa. Rating prasyarat (P) adalah butir rating yang mutlak harus dipenuhi dan diimplementasi dalam suatu kategori. Apabila butir ini tidak dipenuhi, butir-butir rating lainnya dalam kategori ini tidak dapat dinilai dan tidak akan mendapatkan nilai sehingga proses sertifikasi tidak dapat dilanjutkan. Selanjutnya adalah rating biasa yang merupakan turunan dalam 3

kategori selain butir prasyarat. Butir ini baru dapat dinilai dan diberi nilai kalau semua butir prasyarat dalam kategori tersebut telah dipenuhi atau telah dilaksanakan. 1. Basic Waste Facility (Fasilitas Dasar Pengolahan Sampah) Prasyarat dalam aspek Building Environmental Management adalah adanya Fasilitas Dasar Pengolahan Sampah. Peran-serta berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam mengurangi volume sampah perkotaan. Pemangku kepentingan, baik dari sektor swasta maupun sektor pemerintahan, memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengendalikan dampak lingkungan melalui pengelolaan sampah yang dihasilkan. Langkah awal pengelolaan sampah pada suatu bangunan adalah dengan menyediakan fasilitas pembuangan sampah yang terpisah antara tempat sampah organik dan anorganik untuk memudahkan proses pengolahan sampah selanjutnya, seperti reuse, reduce, dan recycle. Tujuan dari prasyarat ini adalah untuk mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana yang mempermudah proses daur ulang. Tolak ukurnya adalah adanya instalasi atau fasilitas untuk memilah dan mengumpulkan sampah sejenis sampah rumah tangga (UU No. 18 Tahun 2008) berdasarkan jenis organik dan anorganik. 2. GP as a Member of Design Team (GP Sebagai Bagian Dari Tim Desain) Menurut GBCI[2], Greenship Professional (GP) adalah predikat yang dimiliki secara perorangan yang telah mengikuti pendidikan dan memiliki ketrampilan dan pengetahuan untuk mengarahkan tim desain dan pelaksanaan dalam proses pembangunan suatu bangunan hijau yang pada kemudian hari akan disertifikasi oleh GBC INDONESIA sehingga dapat sejalan dengan sistem rating GREENSHIP yang berlaku saat itu. Seorang GP dapat membantu tim desain dan proses konstruksi dalam mencapai rating-rating yang ditargetkan tersebut dalam mengintegrasikan keahlian hingga lebih mudah mendapatkan sertifikasi. Tujuan dari aspek ini adalah untuk mengarahkan langkah-langkah desain suatu Green Building sejak tahap awal sehingga memudahkan tercapainya suatu desain yang memenuhi rating. Tolak ukurnnya adalah melibatkan seorang tenaga ahli yang sudah tersertifikasi Greenship Professional (GP), yang bertugas untuk mengarahkan berjalannya proyek sejak tahap perencanaan desain dan sebelum pendafataran sertifikasi. Poin maksimum yang dicapai apabila terpenuhinya aspek ini adalah 1. 4

3. Pollution of Construction Activity (Polusi dari Aktivitas Konstruksi) Limbah konstruksi dibagi menjadi limbah padat dan limbah cair. Material konstruksi merupakan sumber daya konstruksi yang potensial menjadi limbah dibandingkan sumber daya lainnya, karena sebagian besar material mental yang menjadi input proses konstruksi diperoleh dari sumber tak terbarukan (non-renewable). Contoh limbah material konstruksi yang sering ditemui adalah tiang pancang, beton ready mix, besi beton, semen, pasir, batu pecah, batu bata, kayu, dan keramik. Tujuan dari aspek yang kedua ini adalah untuk mendorong pengurangan sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan polusi dari proses konstruksi. Nilai maksimum yang dapat dicapai dari terpenuhnya aspek ini adalah 2. Tolak ukurnya adalah memiliki rencana manajemen sampah konstruksi yang terdiri atas : Limbah padat, dengan menyediakan area pengumpulan, pemisahan, dan sistem pencatatan. Pencatatan dibedakan berdasarkan limbah padat yang dibuang ke TPA, digunakan kembali, dan didaur ulang oleh pihak ketiga. Limbah cair, dengan menjaga kualitas air yang timbul dari aktivitas konstruksi agar tidak mencemari drainase kota. 4. Advance Waste Management (Manajemen Sampah yang Baik) Manajemen limbah konstruksi yang komprehensif sangat dibutuhkan di setiap proyek konstruksi, karena sekitar 1-10% dari material konstruksi pada umumnya berakhir menjadi limbah di lokasi konstruksi. Bossink dan Brouwers (1996)[3] menyatakan 13-30% limbah di berbagai negara merupakan limbah konstruksi yang harus dibuang ke landfill, padahal 50-80% dari limbah konstruksi tersebut dapat digunakan kembali atau di daur ulang dengan melakukan pengomposan. Dalam praktiknya, sangat sedikit bangunan di Indonesia yang sudah memiliki fasilitas pengomposan. Tujuan utama dari aspek ketiga ini adalah mendorong manajemen kebersihan dan sampah secara terpadu sehingga mengurangi beban TPA. Nilai maksimum yang dapat dicapai dari terpenuhinya aspek ini adalah 2. Tolak ukurnya adalah : Adanya instalasi pengomposan limbah organik di lokasi tapak bangunan (1 Poin) Memberikan pernyataan atau rencana kerjasama untuk pengelolaan limbah anorganik secara mandiri dengan pihak ketiga di luar sistem jaringan persampahan kota. (1 Poin) 5

5. Proper Comissioning (Commissioning yang Tepat) Comissioning gedung merupakan sebuah proses sistematis yang memadukan dan meningkatkan fungsi-fungsi yang sebelumnya terlihat terpisah, dokumentasi operasional peralatan dan fasilitas pelatihan untuk staf, serta uji fungsi dan verifikasi kinerja (Panduan Penerapan Greenship, 2010)[4]. Comissioning adalah sebuah proses pemastian kualitas mulai dari pradesain sampai dengan proses konstruksi, start up, dan meningkatkan kesesuaian harapan pemilik gedung. Comissioning memungkinkan pemilik gedung untuk memulai siklus hidup pada produktivitas optimal dan konsisten dalam mempertahankan kinerja terbaik. Pada dasarnya semua gedung harus melakukan comissioning terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada penggunanya. Dalam Green Building ini, proses comissioning terdapat berbagai perbedaan karena harus mengikuti petunjuk dari GBCI. Proses comissioning ini menekankan kepada pengecekan mesin, misalnya apakah AC yang digunakan memenuhi kriteria keinginan owner dan menggunakan power yang cukup sehingga mampu menghasilkan sistem tata udara hemat energi dengan kenyamanan termal yang baik. Dalam pelaksanaannya, hampir seluruh proyek gedung di Indonesia melakukan comissioning, tetapi proses pengecekannya tidak berjalan dengan baik. Sesuai petunjuk GBCI, proses comissioning harus menggunakan alat khusus yang berbeda dengan alat yang biasa digunakan oleh supplier. Tujuan dari aspek ini adalah melaksanakan komisioning pada bangunan yang meliputi itemitem tertentu yang antara lain : a. Sistem tata udara yaitu berupa : a) Mesin utama b) Tower-pompa c) AHU(hanya main supply pada saat dinyalakan) d) Power (meliputi voltage drop, phase balance, infrared yang hanya di panel grounding) b. Sistem tata cahaya dalam lux Nilai maksimum yang dapat dimiliki apabila aspek ini terpenuhi adalah 3. Tolak ukur aspek ini adalah : a) Melakukan prosedur testing commissioning sesuai dengan petunjuk GBCI, termasuk training dengan baik dan benar agar peralatan/sistem berfungsi dan menunjukkan kinerja sesuai dengan perencanaan dan acuan. (2 Poin) 6

b) Desain serta spesifikasi teknis harus lengkap di saat konstruksi melaksanakan pemasangan seluruh measuring adjusting instruments. (1 Poin) 6. Submission Green Building Implementation Data for Database (Penyerahan Data Implementasi Green Building untuk Database) Tujuan dari aspek kelima ini adalah untuk melengkapi database implementasi Green Building di Indonesia untuk mempertaham standar-standar dan bahan penelitian. Nilai maksimum yang dapat dicapai apabila terpenuhinya aspek ini adalah 2. Namun, terdapat pengecualian aspek ini tidak perlu dipenuhi, yaitu : Apartemen, tidak termasuk unitnya. Rumah sakit, mal, dan hotel, tidak termasuk laundry dan F &B. Perkantoran, tidak termasuk data centre. Tolak ukur dalam aspek ini adalah : Menyerahkan data implementasi Green Building sesuai dengan form dari GBCI, yang merupakan prasyarat untuk mendaftarkan diri dalam rating kategori Memberi pernyataan bahwa pemilik gedung akan menyerahkan data implementasi Green Building dari bangunannya dalam waktu 12 bulan setelah tanggal sertifikasi kepada GBCI dan suatu pusat data energi Indonesia yang akan ditentukan kemudian. GBCI- Indonesia akan menjaga kerahasiaan sumber data dan tidak akan menyebarluaskan kepada pihak lain. 7. Fit-Out Agreement (Kesepakatan Penyerahan Gedung) Tujuan dari penerapan aspek keenam ini adalah untuk mengimplementasikan prinsip Green Building saat fit out gedung dan menjaga kinerja bangunan agar tetap optimal dalam penerapannya. Nilai maksimum yang dicapai dari penerapan aspek ini adalah 1. Terdapat pengecualian dalam aspek ini, yaitu untuk perkantoran yang tidak disewakan, rumah sakit, hotel, dan apartemen yang tidak berlaku. Tolak ukur dalam aspek ini adalah memiliki surat perjanjian dengan penyewa gedung atau tenant, yang terdiri atas : Menggunakan kayu yang bersertifikat(certified wood) Mengikuti training yang akan dilakukan oleh manajemen bangunan 7

Terdapat rencana manajemen indoor air quality setelah konstruksi, dan implementasi ditandatanganinya surat perjanjian ini merupakan prasyarat dalam rating kategori gedung terbangun. Training yang akan dilakukan oleh manajemen bangunan pada dasarnya wajib diadakan guna mengedukasi pengguna gedung agar mengerti serta mampu mengimplementasikan prinsipprinsip gedung sesuai kriteria Green Building yang berlaku. Dengan adanya training ini, diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan gedung misalnya suhu yang terlalu rendah, lampu dinyalakan melebihi jam kerja, dll. 8. Occupant Survey (Survey Penghuni) Tujuan adanya aspek ini adalah untuk mengukur kenyamanan pengguna gedung melalui survey yang baku terhadap pengaruh desain dan sistem pengoperasian gedung. Nilai maksimum yang dapat dicapai dalam pencapaian aspek ini adalah 2. Terdapat pengecualian penerapan aspek ini, diantaranya adalah: Pusat Perbelanjaan responden survey tidak termasuk building maintenance staff. Rumah sakit responden survey tidak termasuk staf administrasi, tenaga kesehatan, dan dokter tetap. Hotel dan apartemen responden survey tidak termasuk staf. Tolak ukur dalam aspek ini adalah memberi pernyataan bahwa pemilik gedung akan mengadakan survey suhu dan kelembaban paling lambat 12 bulan setelah tanggal sertifikasi. Apabila hasilnya minimal 20% responden menyatakan ketidaknyamanannya, maka pemilik gedung setuju untuk melakukan perbaikan selambat-lambatnya 6 bulan setelah pelaporan hasil survey. Penyerahan data ini merupakan prasyarat untuk mendaftarkan diri dalam rating kategori existing building. METODE PENELITIAN Strategi penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah strategi metode survey. Metode survey adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner, test, wawancara terstruktur, dan sebagainya. [5]. Pada penelitian ini dilakukan secara bersama (joint research) dengan 8

berbagai aspek yang ada pada green building sesuai dengan GREENSHIP v1.0. Urutan proses penelitian yang akan dilakukan adalah seperti yang diperlihatkan diagram alir berikut ini. Survey Pendahuluan Identifikasi Masalah Menetapkan Tujuan Penelitian Persetujuan Pembimbing TIDAK YA Mencari informasi Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan dan pengolahan data Analisa Data Membuat Kesimpulan Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Yang menjadi variabel dan sub variabel pada penelitian ini adalah kategori-kategori dan tolok ukur dari aspek Building Environmental Management pada green building. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel dan subvariabel yang ada terhadap peningkatan biaya proyek pada green building. Tabel 1. Variabel dan Subvariabel Penelitian Variabel X1. Basic Waste Facility X2. GP as a Member of Design Team X3. Pollution of Construction Activity Sub Variabel X1.1 Adanya instalasi untuk memilah sampah berdasarkan organik dan anorganik X2.1 Melibatkan seorang GP sejak tahap desain dan sebelum pendaftaran sertifikasi X3.1 Memiliki rencana manajemen limbah padat X3.2 Memiliki rencana manajemen limbah cair 9

Tabel 1. (Sambungan) X4. Advance Waste Management X4.1 Adanya instalasi pengomposan limbah organik di lokasi tapak bangunan X5. Proper Comissioning X6. Submission Green Building Implementation Data for Database X7. Fit-Out Agreement X8. Occupant Survey Sumber: Hasil Olahan X5.1 Melakukan testing komissioning sesuai petunjuk GBCI Desain & Spesifikasi Teknis harus lengkap X5.2 saat pemasangan Measuring Adjusting Instruments X6.1 Menyerahkan data implementasi Green Building sesuai dengan form GBCI X6.2 Surat Pernyataan pemilik gedung akan menyerahkan data implementasi Green Buildingnya paling lambat 12 bulan setelah sertifikasi X7.1 Surat perjanjian dengan tenant menggunakan kayu yang bersertifikat X7.2 Surat perjanjian dengan tenant Terdapat rencana manajemen Indoor Air Quality X7.3 Surat perjanjian dengan tenant mengikuti training manajemen bangunan X8.1 Surat pernyataan bahwa pemilik gedung akan mengadakan survey suhu dan kelembaban maksimal 12 bulan setelah sertifikasi X8.2 Jika hasil survey 20% responden tidak nyaman, akan diadakan perbaikan maksimal 6 bulan setelah hasil survey Instrumen pada penelitian ini digunakan pada dua tahap, yaitu tahap pertama melakukan wawancara dengan pakar yang memahami dan mengerti aspek Building Environmental Management dalam green building. Pada tahap pertama, wawancara menggunakan instrumen kuisoner dengan tipe kuisoner terbuka. Kuisoner tahap 1 digunakan untuk pengambilan data berupa komentar dan tanggapan dari pakar Building Environmental Management untuk validasi variabel dan subvariabel penelitian. Hasil validasi tersebut digunakan pada kuisoner tahap 2. Pada tahap kedua, peneliti menggunakan kuisoner untuk survey seberapa besar pengaruh variabel dan subvariabel penelitian. Kuisoner yang digunakan adalah tipe kuisoner tertutup. Kuisoner tahap 2 digunakan untuk pengambilan data berupa survey berpengaruh atau 10

tidaknya variabel dan subvariabel penelitian. Pada kuisoner tahap 2 ini terdapat range nilai untuk setiap subvariabel, mulai dari angka 1=tidak berpengaruh; 2=kurang berpengaruh; 3=cukup berpengaruh; 4=berpengaruh; 5= sangat berpengaruh. Responden untuk kuisoner tahap 2 adalah personil pada proyek atau manajemen kantor yang menaungi proyek pembangunan green building. Untuk kuisioner tahap 2, maka skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal, yakni skala yang memungkinkan sesuatu untuk disusun menurut peringkatnya masing-masing, bisa dari peringkat yang paling buruk hingga paling baik. Data semacam ini sering disebut data peringkat (rank data). [6] Selain kuisioner, digunakan pula software microsoft excel yang akan membantu perhitungan hasil kuisioner serta pengolahan data guna mengetahui besaran perbandingan biaya. Metode analisa yang digunakan untuk tahap pertama adalah metode delphi, sedangkan untuk analisa statistik digunakan software SPSS ver. 20 menggunakan metode analisa deskriptif sebagai analisa tahap kedua. Analisa tahap ketiga menggunakan metode AHP (Analytical Hierarcy Process) untuk melihat tingkat pengaruh dari masing-masing indikator dari variabel yang termasuk dalam aspek Building Environmental Management terhadap perubahan biaya konstruksi green building. HASIL PENELITIAN Berdasarkan kuisioner tahap pertama, dengan validasi pakar menggunakan metode delphi terhadap lima pakar green building dengan latar belakang yang berbeda, didapatkan variabel dan subvariabel yang dianggap paling mempengaruhi biaya konstruksi pada pembangunan green building. Berikut ini adalah variabel hasil pengumpulan dan analisa data tahap pertama. Tabel 2. Variabel hasil validasi pakar NO Variabel Sub- No Sub Variabel X1 (Prasyarat) Basic Waste Facility X.1.1 Adanya instalasi untuk memilah sampah berdasarkan organik dan anorganik X2 X3 BEM 1 (GP as a Member of Design Team) Melibatkan seorang GP sejak tahap desain dan sebelum X.2.1 pendaftaran sertifikasi BEM 2 (Pollution of Construction Activity) 11

Tabel 2. (Sambungan) X.3.1 X.3.2 Memiliki rencana manajemen limbah padat Memiliki rencana manajemen limbah cair X4 X5 X.4.1 X.4.2 BEM 3 (Advance Waste Management) Adanya instalasi untuk pengomposan limbah organik di lokasi tapak bangunan Adanya kerjasama pengelolaan limbah anorganik dengan pihak ketiga ataupun secara mandiri BEM 4 (Proper Comissioning) X.5.1 Melakukan testing komissioning sesuai petunjuk GBCI X6 Sumber: Hasil Olahan X.5.2 X.6.1 Desain dan Spesifikasi Teknis harus lengkap saat pemasangan measuring Adjusting Instruments BEM 7 (Occupant Survey) Setelah sertifikasi Green Building, jika hasil survey suhu dan kelembaban menunjukkan 20% responden tidak nyaman, akan diadakan perbaikan maksimal 6 bulan setelah hasil survey Setelah validasi pakar, tahap selanjutnya adalah menyebarkan dan mengumpulkan data menggunakan kuisioner sifat tertutup kepada responden sebagai pilot survey. Responden mengisi kuisioner, memberikan komentar mengenai kalimat dan isi variabel, subvariabel, serta indikator. Dari hasil pilot survey, beberapa responden memberikan masukan mengenai range nilai untuk skala rating 1 sampai 5 yang terdapat pada kuisioner. Dibutuhkan patokan besaran secara pasti yang dapat mewakili nilai 1 sampai 5. Setelah melakukan tahap pilot survey, selanjutnya dilakukan survey menggunakan kuisioner tahap dua dengan variabel yang telah divalidasi dan diperbaiki. Data yang berasal dari 31 responden yang mengisi kuisioner kemudian dianalisa menggunakan metode AHP. Hasil dari penggunaan metode AHP, diperoleh proxy (indikator yang mewakili) tiap variabel yakni: 12

Tabel 3. Proxy Variabel No Variabel Indikator Nilai 1 X1 Tersedianya instalasi beserta tempat sampah untuk memilah sampah rumah tangga anorganik 28,67742 2 X2 3 X3 4 X4 5 X5 GP mendampingi team desain sampai dengan proses sertifikasi yang terintegrasi dalam optimasi desain dan proses konstruksi Menyediakan area pengumpulan, pemisahan, dan sistem pencatatan limbah padat Foto dan denah instalasi pengomposan limbah organik atau diserahkan ke pihak ketiga Membayar comissioning yang dilakukan oleh pihak ketiga 33,29032 36,35484 26,22581 26,70968 6 X6 Surat pernyataan yang ditandatangani 29,45161 Sumber: Hasil Olahan Setelah mendapatkan proxy variabel, penelitian dilanjutkan dengan studi kasus. Hasil penelitian studi kasus dapat disimpulkan sebagai berikut. Pembangunan gedung kantor ini ditargetkan memperoleh 65 poin sistem rating GREENSHIP untuk mendapatkan predikat gold. Desain awal (pada saat tender) merupakan desain gedung konvensional yang selanjutnya diubah menjadi desain green building. Meskipun desain awalnya adalah konvensional tetapi telah memiliki baseline poin green building yaitu sebesar 21 poin. Tabel 4. Target Poin Green Building NO ITEM Baseline Target 1 ASD Appropriate Site Development 4 11 2 EEC Energy Efficiency & Conservation 2 16 3 WAC Water Conservation 4 14 4 MRC Material Resources & Cycle 4 4 5 IHC Indoor Health & Comfort 6 9 6 BEM Building Enviromental Management 1 11 Sumber: Data Proyek TOTAL 21 65 Aspek Building Environmental Management (BEM) memiliki target sebanyak 11 poin darii sebelumnya telah memiliki 1 poin baseline. Target poin BEM berasal dari subaspek Prasyarat(Basic Waste Facility), BEM-1 (GP as a Member of Design Team), BEM-2 (Pollution of Construction Activity), BEM-3 (Advance Waste Management), BEM-4 (Proper 13

Comissioning), BEM-5 (Submission Green Building Implementation Data for Database), BEM-6 (Fit-Out Agreement), dan BEM-7 (Occupant Survey). Berikut ini adalah pembahasan mengenai perubahan biaya akibat perubahan desain menjadi Green Building dilihat dari target poin yang berasal dari aspek BEM. a. Basic Waste Facility (Prasyarat) Strategi untuk mencapai target pada proyek ini adalah dengan menyediakan tempat sampah yang memilah sampah berdasarkan jenisnya (organik dan anorganik) ketika bangunan akan digunakan. Sesuai keterangan pihak kontraktor, biaya untuk penerapan aspek ini sudah include kedalam kontrak dan tidak ditampilkan ke dalam BQ karena biayanya sangat kecil. Penerapannya dalam proyek tidak memberikan poin, karena hanya berupa prasyarat. b. Greenship Professional (GP) as a Member of Design Team (BEM-1) Proyek ini menggunakan seorang GP yang tersertifikasi sejak tahap perencanaan sampai sertifikasi yang berasal dari kontraktor PT. PP (Persero), Tbk. Sesuai penjelasan dari pihak kontraktor, dimana PT. PP (Persero), Tbk. adalah kontraktor yang berkomitmen tinggi terhadap green building, maka dalam hal ini membebaskan biaya GP dalam semua proyeknya. Dengan kata lain, biaya GP dalam proyek sudah include ke dalam kontrak. Penerapan aspek ini dalam proyek memberikan 1 poin dari total 1 poin. c. Pollution of Construction Activity (BEM-2) Dalam proyek Jasa Marga, penanganan limbah padat dengan membuat fasilitas untuk pemilahan sudah diterapkan, namun jenis tempat sampah yang dibedakan di proyek adalah tempat sampah kaleng dan plastik, tempat sampah kertas, tempat sampah rumah tangga, dan tempat sampah padat B3. Proyek Jasa Marga ini menggunakan jasa PT. PP (Persero), Tbk sebagai kontraktor, dimana PT. PP (Persero), Tbk adalah kontraktor bersertifikat ISO 14001 dan sudah memiliki standar yang baik dalam penanganan limbah konstruksi sehingga tidak membutuhkan biaya tambahan. Untuk penanganan limbah cair selama konstruksi, tidak memerlukan penanganan dan biaya khusus karena limbah cair yang dihasilkan di proyek ini sangat sedikit. 14

d. Advance Waste Management (BEM-3) Aspek ini memiliki 2 point jika diaplikasikan secara penuh, namun proyek Jasa Marga tidak berencana untuk membuat fasilitas pengomposan limbah organik di lokasi tapak bangunan. Oleh karena itu, strategi yang digunakan untuk mencapai target ini adalah memberikan pernyataan atau rencana kerja sama untuk pengelolaan limbah anorganik secara mandiri dengan pihak ketiga (Ikatan Pemulung Indonesia) di luar sistem jaringan persampahan kota sehingga bisa mengambil 1 point dari penerapan aspek ini. e. Proper Comissioning (BEM-4) Proses Testing dan Komisioning di proyek Jasa Marga akan dilaksanakan setelah fisik bangunan selesai dibangun, dan item-item yang akan dikomisioning masih dalam tahap perencanaan, sehingga biaya untuk komisioning belum bisa dihitung, hanya berupa estimasi dari pakar. Karena proyek ini tidak menggunakan chiller, maka biaya komisioning akan berkurang dibandingkan dengan proyek Green Building terdahulu, misalnya Dahana atau Kementerian PU. Menurut pakar, estimasi biaya Proper Comissioning yang akan diajukan ke owner adalah sebesar Rp 200.000.000,00 dan satuannya adalah lumpsum. Contoh form komisioning dapat dilihat di lampiran 10. Penerapan aspek ini dalam proyek memberikan 3 poin dari total 3 poin. f. Submission Green Building Implementation Data for Database (BEM-5) Strategi untuk mencapai target poin dari aspek ini adalah menyerahkan data implementasi Green Building sesuai dengan form dari GBCI dan memberi pernyataan bahwa pemilik gedung akan menyerahkan data implementasi Green Building dari bangunannya dalam waktu 12 bulan setelah tanggal sertifikasi kepada GBCI dan suatu pusat data energi Indonesia yang akan ditentukan kemudian.. Pada kenyatannya, pembuatan surat pernyataan aspek ini tidak membutuhkan biaya. g. Occupant Survey (BEM-7) Dalam proyek ini, pihak Jasa Marga setuju untuk mengadakan survey suhu dan kelembaban setelah okupansi masuk, namun surat pernyataan belum dapat dibuat karena proyek baru berjalan 20% dan belum teregistrasi sebagai Green Building. Pada kenyatannya, pembuatan surat pernyataan aspek ini tidak membutuhkan biaya. 15

PEMBAHASAN Dari hasil pengolahan data menggunakan metode AHP, diperoleh variabel yang paling signifikan dalam meningkatkan biaya adalah X3 yaitu menyediakan area pemisahan, pengumpulan, dan pencatatan limbah padat selama konstruksi. Pakar berpendapat bahwa hal ini diakibatkan perbedaan persepsi, karena responden yang dipilih berasal dari berbagai instansi. Padahal, pelaksanaan variabel X3 dalam proyek ini tidak menimbulkan biaya, malahan menghasilkan uang karena limbah padat yang dihasilkan dijual ke pabrik. Hal ini diakibatkan PT. PP (Persero), Tbk sebagai kontraktor sudah menerapkan manajemen limbah padat sebagai standar dalam konstruksinya, sehingga sistem manajemen limbah padat PT. PP (Persero), Tbk sudah sesuai dengan penerapan variabel ini. Hampir semua aspek BEM diterapkan kepada proyek pembangunan kantor pusat Jasa Marga, termasuk prasyarat aspek yang harus diterapkan agar mendapat poin. Aspek yang tidak diterapkan adalah X7 yaitu Fit-Out Agreement, karena dari awal desain aspek tersebut tidak dijadikan target poin. Aspek X4 yaitu Advance Waste Management diterapkan hanya pada satu indikatornya saja, sehingga hanya mendapat 1 dari 2 poin yang dapat dicapai. Dari hasil penelitian studi kasus dapat dilihat bahwa kenaikan biaya konstruksi pada variabel aspek BEM diakibatkan oleh variabel X5 atau ProperComissioning. Hal ini diakibatkan oleh proses yang dilakukan harus sesuai standar GBCI, yang jauh lebih rumit dan berbeda dari comissioning yang dilakukan pada gedung biasa. Pelaksanaan propercomissioning bisa memakan waktu satu minggu, tergantung berapa banyak item yang akan dicomissioning dan pelaksanaannya harus didokumentasi dan diawasi dengan ketat, sehingga membuat variabel ini akan memakan biaya yang besar. Variabel lain yang berpotensi untuk menaikkan biaya konstruksi secara signifikan adalah X2 yaitu penggunaan Greenship Professional(GP) sebagai bagian dari tim desain, namun karena dalam proyek ini biaya GP sudah include dalam kontrak, maka variabel ini tidak menimbulkan biaya. Dalam penelitian ini juga diperoleh beberapa masukan dari pakar tentang penerapan aspek Green Building ini. Perbedaan biaya Green Building akan terjadi jika terjadi perubahan desain dari yang awalnya non-green menjadi Green. Namun jika dari tahap desain sudah berkonsep Green, maka peningkatan biaya yang terjadi tidak akan signifikan. Sehingga kesimpulannya jika mindset para pelaku konstruksi sudah green, maka biaya konstruksi Green Building tidak akan jauh berbeda dibandingkan dengan gedung konvensional.meskipun diawal dibutuhkan investasi yang lebih tinggi daripada gedung 16

conventional, namun pada masa operasional biaya yang dikeluarkan menjadi lebih kecil hal ini dikarenakan adanya penghematan energi dari sistem tata udara, power equipment, dan kuat penerangan (lux) yang sudah dicomissioning serta perencanaan yang matang sejak tahap desain. Dari hasil temuan yang ada dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa hipotesa dari penelitian ini yaitu aspek ProperComissioning merupakan aspek yang meningkatkan biaya konstruksi Green Building terbukti. Dengan peningkatan biaya akibat penerapan aspek tersebut adalah sebesar Rp 200.000.000,- atau 0,51% dari total biaya. KESIMPULAN Dari hasil analisa data, maka dapat disimpulkan hasil penelitian adalah sebagai berikut, a. Faktor Penerapan aspek Building Environmental Management yang mempengaruhi perubahan biaya Green Building adalah sebagai berikut. Tabel 5. Faktor BEM yang Mempengaruhi Biaya No 1 2 3 4 5 6 Variabel BEM-2 Pollution of Construction Activity BEM-1 GP as a Member of Design Team BEM-7 Occupant Survey BEM Prasyarat Basic Waste Facility BEM-4 Proper Comissioning BEM-3 Advance Waste Management Sumber : Olahan Sub Variabel X.3.1.1 X.2.2 X.6.1 X.1.2 X.5.1.4 X.4.1 Indikator Menyediakan area pengumpulan, pemisahan, dan sistem pencatatan limbah padat selama aktivitas konstruksi Greensip Professional (GP) mendampingi team desain sampai dengan proses sertifikasi yang terintegrasi dalam optimasi desain dan proses konstruksi Membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah sertifikasi Green Building, owner akan mengadakan survey suhu dan kelembaban, dan jika hasilnya 20% responden tidak nyaman maka akan diadakan perbaikan maksimal 6 bulan setelah hasil survey Tersedianya instalasi beserta tempat sampah untuk memilah sampah rumah tangga anorganik Membayar propercomissioning sesuai petunjuk GBCI yang dilakukan oleh pihak ketiga Adanya foto dan denah instalasi fasilitas pengomposan limbah organik di lokasi bangunan atau diserahkan ke pihak ketiga 17

b. Peningkatan biaya konstruksi yang diakibatkan aspek Building Environmental Management adalah sebesar 0,51% dari nilai kontrak, diakibatkan oleh Variabel X5 yaitu ProperComissioning. c. Secara keseluruhan, perubahan biaya yang terjadi akibat penerapan aspek green building pada proyek ini adalah : Tabel Error! No text of specified style in document.. Persentase Penambahan Biaya Keseluruhan No Aspek % Penambahan 1 Appropriate Site Development 1,68% 2 Energy Efficiency & Conservation 3,24% 3 Water Conservation 1,75% 4 Material Resources & Cycle 0,00% 5 Indoor Health & Comfort 0,01% 6 Building Enviromental Management 0,51% Sumber: Olahan Sendiri Total 7,19% SARAN Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk studi kasus proyek Green Building sebaiknya dilakukan lebih dari satu proyek, karena pengaplikasian Green Building di tiap bangunan akan berbeda tergantung targetan ratingnya. b. Penelitian ini dapat diteruskan dengan menghitung penghematan biaya yang mungkin diperoleh dari penerapan aspek BEM ini pada masa maintenance. KEPUSTAKAAN [1] Green Building Council Indonesia. Greenship Panduan Penerapan Versi 1.0, 2010 [2] Green Building Council Indonesia. Greenship Panduan Penerapan Versi 1.0, 2010 [3] Bossink, B.A. G., and Brouwers, H.J.H., Construction Waste: Quantification and Source Evaluation, Journal of Construction Engineering and Management, 122(1), 55-60, 1996 [4] Green Building Council Indonesia. Greenship Panduan Penerapan Versi 1.0, 2010 18

[5] Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta [6] Daniel, W. W. (1989). Statistik Nonparametrik. Jakarta: Gramedia 19