II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Tanaman padi adalah termasuk salah satu tanaman pangan yang keberadaannya harus senantiasa terpenuhi, sebab padi merupakan salah satu penghasil makanan pokok yaitu berupa beras bagi masyarakat Indonesia. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dan pengetahuan petani mengenai pengendalian hama dan penyakit tanaman, pemerintah Indonesia menyelenggarakan program untuk petani di Indonesia melalui SLPHT tanaman padi. Untuk mengetahui keberhasilan program tersebut maka perlu dilaksanakan evaluasi. Cahyono, (2008), meneliti tentang Evaluasi Program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) Tanaman Padi (Oryza Sativa Sp) Di Kelompok Tani Sari Asih Desa Mayang Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan progam SLPHT tanaman padi dengan pedoman teknis program SLPHT tanaman padi dipandang dari komponen konteks (context), masukan (input), proses (process) dan produk (output). Metode dasar yang digunakan pada penelitian ini ialah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study) di Desa Mayang Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo, sedangkan pengambilan informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian dan ketidaksesuaian pada input, proses dan produk dengan pedoman teknis. Komponen input yang sesuai ialah fasilitas dan tenaga pelaksana. Komponen proses yang sesuai ialah pertemuan musyawarah pra tanam, pertemuan mingguan
dan hari lapang tani. Komponen produk yang sudah sesuai ialah peningkatan kemampuan dan keterampilan petani di bidang pengamatan OPT pada tanaman padi dan teknologi pengendaliannya secara terpadu, peningkatan kemampuan dan keterampilan petani dalam menganalisis agroekosistem pertanian dan peningkatan kerjasama dalam usahatani. Sedangkan komponen input yang tidak sesuai adalah materi yang disampaikan dalam kegiatan SLPHT. Komponen proses yang tidak sesuai survei lokasi dan peserta, pembinaan petani penggerak dan koordinasi untuk mempersiapkan hari lapang tani. Komponen produk yang tidak sesuai ialah peningkatan kualitas agroekosistem. 2.2. Landasan Teori Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat out yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tumbuhan, tanah dan air perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah, sinar matahari, bangunanbangunan yang didirikan di atas tanah tersebut dan sebagainya (Mosher, 1981). Menurut Mosher (1981) usahatani pada dasarnya adalah tanah. Usahatani dapat sebagai suatu cara hidup (a way of life). Jenis ini termasuk usahatani untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau subsistem dan primitif. Jenis usahatani seperti itu pada saat sekarang sudah langka ditemui. Pada saat sekarang, pada umumnya jenis usahatani yang termasuk perusahaan (the farm business). Setiap petani pada hakikatnya menjalankan perusahaan pertanian diatas usahataninya. Itu merupakan bisnis karena tujuan setiap petani bersifat ekonomis, memproduksi hasil-hasil untuk dijual ke pasar atau untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Usahatani tanaman hias yang bertujuan ekonomis termasuk usahatani perusahaan.
Usahatani hendaklah senantiasa berubah, baik di dalam ukuran (size) maupun susunannya, untuk memanfaatkan metode usahatani yang senantiasa berkembang secara lebih efisien. Corak usahatani yang cocok bagi pertanian yang masih primitif bukanlah corak yang paling produktif apabila sudah tersedia metode-metode yang modern (Mosher, 1981). Usahatani dalam operasinya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta dana untuk kegiatan di luar usahatani. Untuk memperoleh tingkat pendapatan yang diinginkan maka petani seharusnya mempertimbangkan harga jual dari produksinya. Melakukan perhitungan terhadap semua unsur biaya dan selanjutnya menentukan harga pokok hasil usahataninya, keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh petani, akibatnya efektivitas usahatani menjadi rendah. Volume produksi, produktivitas serta harga yang diharapkan jauh di luar harapan yang dikhayalkan (Fhadoli, 1991). Proses produksi baru bisa berjalan bila persyaratan yang dibutuhkan tanaman, ternak ataupun ikan dapat terpenuhi. Persyaratan ini lebih dikenal dengan nama faktor produksi. Faktor produksi terdiri dari empat komponen, yaitu : tanah, modal, tenaga kerja dan skill atau manajemen (pengelolaan). Faktor produksi adalah faktor yang mutlak diperlukan dalam proses produksi, yaitu: keberadaan dan fungsi masing-masing faktor produksi tersebut. Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan saling terikat satu sama lain. Kalau salah satu faktor tidak tersedia, maka proses produksi tidak akan berjalan, terutama 3 faktor terdahulu seperti tanah, modal dan tenaga kerja. Keputusan petani untuk menanam bahan makanan terutama didasarkan atas kebutuhan makan untuk seluruh keluarga petani, sedangkan putusannya untuk
menanam tanaman perdagangan didasarkan atas iklim, ada tidaknya modal, tujuan penggunaan hasil penjualan tanaman tersebut dan harapan harga. Menurut Mubyarto (1986) fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Model matematis yang menunjukkan hubungan antara jumlah faktor produksi (input) yang digunakan dengan jumlah barang atau jasa (output) yang dihasilkan. Fungsi Produksi Total (Total Product): TP Q = f (L, K); Dimana, L K = tenaga kerja = Modal Produksi rata-rata (Average Product): AP AP L = TP/L atau AP K = TP/K Produksi Marjinal (Marginal Product): MP MP L = TP/ L atau MP K = TP/ K Untuk menghasilkan produksi pada satu satuan tertentu diperlukan input produksi, yang dihitung sebagai komponen biaya produksi. Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi yang dijual. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung dari banyak sedikitnya jumlah keluaran. Dan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari banyak sedikitnya keluaran yang dihasilkan. Biaya
tetap dan biaya variabel ini jika dijumlahkan hasilnya merupakan biaya total (TC) yang merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi. Jadi, TC = TFC + TVC (Nuraini Ida, 2001). Dalam usahatani, petani akan memperoleh penerimaan dan pendapatan, penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut : TRi = Yi. Pyi Dimana : TRi Yi Pyi = Total Penerimaan = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani = Harga Y Sedangkan pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan (penerimaan). Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya Income = TR TC Dimana : Income TR TC = Pendapatan Usahatani = Total Penerimaan = Total Biaya
2.3 Kerangka Pemikiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, menguraikan bagaimana penggunaan pestisida yang dapat dibenarkan dalam usahatani. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menganggu lingkungan, sehingga diperlukan alternatif pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. PHT bukan hanya teknologi atau metode pengendalian hama tetapi merupakan satu konsep yang dikembangkan dalam bentuk strategi dan metode penerapan di lapangan sesuai dengan ekosistem dan sistem masyarakat setempat. Meskipun telah ditetapkan Undang-Undang yang membatasi penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya sesuai dengan sistem PHT, untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida dapat ditempuh beberapa cara antara lain hanya menggunakan pestisida yang lebih aman terhadap manusia dan lingkungan hidup dan penerapan budidaya residu minimum dan budidaya organik yaitu dengan cara pemanfaatan sistem pengendalian secara hayati. Dalam proses produksi penggunaan input menjadi berbeda sebelum dan Setelah mengikuti SLPHT, sehingga hal ini akan mempengaruhi tingkat produksi dan pendapatan. Peserta SLPHT lebih condong menggunakan input produksi yang sesuai dengan pedoman SLPHT yang biaya produksinya lebih rendah dibandingkan sebelum SLPHT. Diduga bahwa setelah mengikuti SLPHT akan terjadi peningkatan pendapatan petani padi sawah melalui peningkatan produksi dan penurunan biaya produksi. Dengan demikian adalah penting untuk menilai apakah terdapat
perbedaan yang signifikan produksi, biaya produksi dan pendapatan petani padi sawah sebelum dan setelah SLPHT. Program SL PHT Usahatani Padi sawah Input Sebelum SL PHT Produksi Setelah SL PHT Pendapatan Uji Beda Rata-rata Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
2.1 Tinjauan Pustaka Pengendalian Hama Terpadu adalah teknologi pengendalian hama yang didasarkan prinsip ekologis dengan menggunakan berbagai teknik pengendalian yang sesuai antara satu sama lain sehingga populasi hama dapat dipertahankan di bawah jumlah yang secara ekonomik tidak merugikan serta mempertahankan kesehatan lingkungan dan menguntungkan bagi pihak petani (Oka, 1994). Smith (1983) dalam Untung (1993) mendefinisikan PHT sebagai pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai dalam cara-cara yang seharmonis mungkin dalam mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam lingkungan dari dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan. Pengendalian hama terpadu tidak hanya terbatas sebagai teknologi pengendalian hama yang berusaha memadukan berbagai teknik pengendalian termasuk pengendalian secara kimiawi yang merupakan alternatif terakhir, tetapi mempunyai makna yang lebih mendasar lagi. PHT adalah suatu konsep ekologi, falsafah, cara berpikir, cara pendekatan berdasar pada konsep, ekonomi dan budaya dengan menitipberatkan pada potensi alami seperti musuh alami, cuaca serta menempatkan manusia sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya. Pengendalian Hama Terpadu merupakan dasar kebijakan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan perlindungan tanaman. Penerapan PHT sebagai dasar kebijaksanaan perlindungan tanaman dari serangan OPT ditegaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986. Landasan hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman tersebut adalah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan juga Keputusan Menteri Pertanian tertuang dalam No. 887/Kpts/OT/ 1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT. Smith and Allen (1954); Stern et al; (1959) menyatakan bahwa PHT adalah suatu pendekatan yang menggunakan prinsip-prinsip ekologi terapan di alam memadukan pengendalian secara hayati dan pengendalian secara kimiawi dalam menekan hama (Apple dan Smith, 1976). Pengendalian secara kimiawi hanya digunakan bila benar-benar diperlukan dan dengan cara yang sangat hatihati sehingga sekecil mungkin gangguannya terhadap pengendalian hayati yang sudah ada. Van den Bosh (1967) menyatakan bahwa kombinasi pengendalian hayati dan kimiawi saja tidak cukup. Oleh karena itu semua cara dan teknik pengendalian harus dipadukan ke dalam satu kesatuan untuk mencapai suatu hasil panen yang menguntungkan dan gangguan yang seminimal mungkin terhadap lingkungan. Batasan/definisi pengendalian hama terpadu yang umum digunakan adalah sebagai berikut : PHT adalah suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dengan tujuan untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu aras yang berada di bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (Untung, 1993; Apple dan Smith, 1976). Batasan PHT secara bebas adalah suatu sistem pengendalian hama yang mengintegrasikan dua atau lebih cara pengendalian dalam suatu paket yang
memenuhi persyaratan : (1) Secara teknik dapat diterapkan, (2) Secara teknik dapat menguntungkan, (3) Secara sosial layak atau tidak bertentangan, (4) Secara ekologis tidak atau sedikit mungkin mencemari lingkungan dan (5) Tidak mengganggu atau membahayakan serangga berguna atau fauna berguna lainnya (Sastrosiswojo, 1990). Kebijakan Pemerintah mengenai penerapan PHT sebagai dasar kebijaksanaan perlindungan tanaman dari serangan OPT ditegaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 diperkuat dengan disyahkannya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman yang menyatakan bahwa : 1. Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan Sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). 2. Pelaksanaan perlindungan tanaman dengan Sistem PHT menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 mengenai Perlindungan Tanaman. Dengan demikian keberhasilan dalam pengembangan penerapan PHT sangat tergantung kepada pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kemauan petani untuk menerapkan PHT serta pengetahuan, keterampilan dan dedikasi petugas seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Pengamat Hama Penyakit (PHP) (Rasahan dkk, 1999). Penerapan PHT di lapangan adalah mendukung praktek pertanian yang lebih baik. Dalam jangka panjang pemasyarakatan PHT adalah ditujukan untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dengan sasaran pencapaian produksi yang tinggi, produk berkualitas, perlindungan dan peningkatan
kemampuan tanah, air dan sumberdaya lainnya, pembangunan perekonomian desa agar makmur dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga petani dan komunitas pertanian pada umumnya. Hal ini akan terlaksana pada beberapa dekade mendatang, karena pertanian berkelanjutan sampai saat ini belum memiliki model atau alternatif dalam hubungannnya dengan pertanian yang ekonomis yang dapat dirujuk. Pengembangan PHT dalam pertanian berkelanjutan didasari oleh resistensi hama terhadap insektisida sebagai dampak dari penerapan pertanian modern yang terbukti telah menurunkan kualitas sumberdaya alam. Di lain pihak, pengembangan pertanian berkelanjutan juga didasari munculnya pertanian organik (Effendi, 2006). Adapun tujuan umum pelaksanaan PHT di Indonesia adalah : 1. Memantapkan hasil dalam tahap yang telah dicapai oleh teknologi pertanian maju. 2. Mempertahankan kelestarian lingkungan. 3. Melindungi kesehatan produsen dan konsumen. 4. Meningkatkan efisiensi pemasukan dalam produksi. 5. Meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani (Oka, 1994). Pengendalian Hama Terpadu tidak hanya memperhatikan sasaran jangka pendek, melainkan juga sasaran jangka panjang. Selain untuk tindakan pengendalian dan penekanan populasi organisasi hama, PHT juga mempertimbangkan peranannya yang lebih luas dan hakiki sebagai bagian dari produksi tanaman dan pengelolaan lingkungan pertanian (Untung, 1993).
Sasaran yang ingin dicapai oleh PHT adalah : 1. Produktivitas pertaninan terjamin pada taraf yang tinggi. 2. Populasi dan atau serangan hama tidak menimbulkan kerugian ekonomis. 3. Keuntungan ekonomi yang diterima oleh petani maksimal. 4. Kandungan bahan berbahaya dalam produk-produk tidak melampaui baku mutu. 5. Fungsi-fungsi lingkungan dapat dipelihara. 6. Ketahanan sosial budaya yang kuat dimiliki petani dalam menjalankan usaha tani (Wasiati dan Soekirno, 1998). Strategi yang diterapkan dalam melaksanakan PHT adalah memadukan semua teknik pengendalian OPT dan melaksanakannya dengan taktik yang memenuhi azas ekologi serta ekonomi. Semboyan PHT oleh petani dan bukan untuk petani dan petani menjadi ahli PHT dimaksudkan agar petani dapat menolong dirinya sendiri dalam menghadapi masalah produksi, terutama hama yang menyerang tanamannya baik secara berkelompok maupun sendiri dengan cara yang efektif dengan lingkungan (Anonimus, 2004). Dalam kaitan dengan PHT petani dihadapkan dengan pilihan baik atau buruk hasil yang diperoleh jika mengikuti PHT atau tidak. Pada PHT teknik perlakuan yang digunakan dalam pengendalian hama dengan melakukan tindakan pemantauan, pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan sedangkan pada non PHT perlakukan dalam pengendalian hama yaitu dengan pemberantasan hama dengan penyemprotan pestisida pada tanaman secara berjadwal artinya pada waktu tertentu dan pada waktu pertumbuhan tanaman tertentu. Selain itu pada non
PHT kebanyakan pestisida yang digunakan bersifat racun dan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya (Oka, 1994). Pelaksanaan prinsip PHT antara lain mencakup sejauh mana petani mau melaksanakan pengamatan hama/penyakit tanaman secara teratur, bagaimana tata cara melakukan pengamatan hama/penyakit dan bagaimana tanggapan petani atas hasil usaha pengamatan yang telah dilakukan, pengambilan keputusan dalam kegiatan pengendalian hama/penyakit dan bagaimana kinerja petani dalam menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilannya tentang PHT ke petani lainnya (Darwis, 2006). Konsep PHT merupakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama dan penyakit. Penggunaan pestisida memang telah memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produksi tanaman, tetapi juga berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti munculnya resistensi dan resurjensi beberapa jenis hama. Dalam bercocok tanam padi PHT tidak bisa diimplimentasikan sebagai suatu kegiatan yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari sistem produksi. Tujuan utama dari usaha tani padi adalah mendapatkan hasil yang tinggi dengan keuntungan yang tinggi pula dalam proses produksi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu PHT perlu diintegrasikan dan menjadi bagian penting dari budidaya padi yang baik (Hidayati, 2005). Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan perkembangan/pertumbuhan dari hama, penyakit dan gulma. Pestisida secara umum digolongkan kepada jenis organisme yang akan dikendalikan populasinya. Insektisida, herbisida, fungisida dan nematisida digunakan untuk mengendalikan
hama, gulma, jamur tanaman yang patogen dan nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk mengendalikan tikus dan siput (Alexander, 1977). Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep PHT, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian, yang harus sejalan dengan komponen pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan hama tertentu, mudah terurai dan aman bagi lingkungan sekitarnya. Penerapan usaha intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan, pola tanam serta usaha pembukaan lahan baru akan membawa perubahan pada ekosistem yang sering kali di ikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad pengganggu. Cara lain untuk mengatasi jasad pengganggu selain menggunakan pestisida kadang-kadang memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar dan hanya dapat dilakukan pada kondisi tertentu. Sampai saat ini hanya pestisida yang mampu melawan jasad pengganggu dan berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarmo, 1991). Penggunakan pestisida telah dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengendalian hama dan penyakit. Oleh karena itu sejak dipergunakannya secara luas pestisida organik sintetik, maka pada masyarakat timbul peradangan atau pendapat bahwa tanpa pestisida tidak mungkin diperoleh produksi pertanian yang tinggi atau dengan kata lain pestisida merupakan jaminan atau asuransi bagi tercapainya sasaran produksi (Wudyanto, 1997). Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya tanaman. Oleh karena itu perannya perlu diganti dengan teknologi lain yang berwawasan lingkungan. Pemakaian bibit unggul, pemakaian organik dan
pestisida memang mampu memberikan hasil yang tinggi. Swasembada beras yang dicapai di Indonesia pada tahun 1984 tidak terlepas dari ketiga hal tersebut. Namun tanpa disadari praktek ini telah menimbulkan masalah dalam usaha pertanian itu sendiri maupun terhadap lingkungan (Hendarsih dan Widiarta, 2005). Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik yaitu organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain karena senyawa ini tidak peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai (Said, 1994). Dampak negatif penggunaan pestisida antara lain adalah : 1. Meningkatnya resistensi dan resurjensi organisma pengganggu tumbuhan (OPT). 2. Terganggunya keseimbangan biodiversitas termasuk musuh alami (predator) dan organisme penting lainnya. 3. Terganggunya kesehatan manusia dan hewan. 4. Tercemarnya produk tanaman, air, tanah dan udara. Meskipun pengendalian hama terpadu dengan menggunakan pestisida telah memberikan hasil yang nyata dalam menekan serangan hama dan penyakit tanaman dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya. Oleh karena itu pengguna pestisida perlu dikurangi atau dirasionalisasi baik melalui penerapan PHT secara tegas maupun pengembangan sistem pertanian organik yang lebih mengutamakan penggunaan musuh alami dan pestisida hayati. Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata
bahwa bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja pada lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan pada perairan. 2.3 Kerangka Pemikiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, menguraikan bagaimana penggunaan pestisida yang dapat dibenarkan dalam usahatani. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menganggu lingkungan, sehingga diperlukan alternatif pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. PHT bukan hanya teknologi atau metode pengendalian hama tetapi merupakan satu konsep yang dikembangkan dalam bentuk strategi dan metode penerapan di lapangan sesuai dengan ekosistem dan sistem masyarakat setempat. Meskipun telah ditetapkan Undang-Undang yang membatasi penggunaan bahan kimia dalam pengendalian hama dan penyakit tumbuhan, namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya sesuai dengan sistem PHT, untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida dapat ditempuh beberapa cara antara lain hanya menggunakan pestisida yang lebih aman terhadap manusia dan lingkungan hidup dan penerapan budidaya residu minimum dan budidaya organik yaitu dengan cara pemanfaatan sistem pengendalian secara hayati. Dalam proses produksi penggunaan input menjadi berbeda sebelum dan Setelah mengikuti SLPHT, sehingga hal ini akan mempengaruhi tingkat produksi dan pendapatan. Peserta SLPHT lebih condong menggunakan input produksi yang
sesuai dengan pedoman SLPHT yang biaya produksinya lebih rendah dibandingkan sebelum SLPHT. Diduga bahwa setelah mengikuti SLPHT akan terjadi peningkatan pendapatan petani padi sawah melalui peningkatan produksi dan penurunan biaya produksi. Dengan demikian adalah penting untuk menilai apakah terdapat perbedaan yang signifikan produksi, biaya produksi dan pendapatan petani padi sawah sebelum dan setelah SLPHT. Program SL PHT Usahatani Padi sawah Input Sebelum SL PHT Setelah SL PHT Produksi Pendapatan Uji Beda Rata-rata Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan biaya produksi padi sawah sebelum dan setelah SLPHT di Kabupaten Serdang Bedagai. 2. Terdapat perbedaan produksi padi sawah sebelum dan setelah SLPHT di Kabupaten Serdang Bedagai. 3. Terdapat perbedaan pendapatan petani padi sawah sebelum dan setelah SLPHT di Kabupaten Serdang Bedagai.