BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelimpahan kewenangan pengelolaan perusahaan di Indonesia termasuk juga pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari pemilik (shareholders) kepada manajemen (manajer) merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji, mengingat dampak yang ditimbulkan dari pemberian wewenang tersebut. Kondisi tersebut tidak dipungkiri sebagai dampak semakin besar dan luasnya usaha yang harus dikelola pemilik, sehingga pemilik (shareholders) tidak lagi mampu mengelola usahanya secara langsung. Akibat pelimpahan dan pengangkatan manajemen (manajer) tersebut membawa berbagai konsekuensi dan dampak seperti pendapat yang dikemukakan oleh Berle dan Means (1934) dalam Gradiyanto (2012:1), bahwa adanya pemisahan kewenangan dan kepentingan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent) tersebut akan menimbulkan permasalahan keagenan (agency problem). Masalah keagenan tersebut timbul sebagai akibat dari sifat oportunistik manajemen (agen) yang cenderung untuk lebih mengutamakan kesejahteraannya yang bertentangan dengan tujuan prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Manajemen (agen) menganggap bahwa kesuksesan perusahaan dalam mencapai kinerja (performance) merupakan hasil kerjanya tanpa melihat kontribusi yang besar dari pihak lain termasuk didalamnya adalah pemilik (sharehoders). Dalam kaitannya dengan masalah keagenan, beberapa ahli mengemukakan bahwa 1
2 keberadaan agen dan prinsipal merupakan salah satu faktor yang menjadi dasar timbulya teori keagenan (agency theory). Adanya ketidakselarasan tujuan dan pencapai goal congruence yang sulit tercipta serta kepentingan antara agen dan prinsipal tersebut dapat menimbulkan agency cost dan asymetric information. Asymetric information merupakan ketidakseimbangan antara informasi yang dimiliki oleh agen dan prinsipal dalam pengelolaan perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Sejalan dengan asymetric information, Scott (2003) dalam Luciana (2004) mengemukakan bahwa terdapat dua tipe asimetri informasi yaitu: adverse selection dan moral hazard. Adverse selection merupakan kondisi dimana manajemen memiliki informasi lebih banyak dari pemilik (principal) tentang prospek perusahaan, sedangkan moral hazard merupakan kondisi dimana pemilik (principal) tidak mengetahui aktivitas yang dilakukan manajemen. Adanya asymetric information tersebut memberi peluang bagi manajemen untuk melakukan tindakan manajemen laba (earnings management). Tindakan earnings management (manajemen laba) yang dilakukan manajemen telah memicu timbulnya skandal dalam pelaporan keuangan (akuntansi) seperti Merck, Wordcom dan Enron serta beberapa perusahaan besar lainnya di Amerika Serika (Cornett et al. (2006) dalam Gradyanto (2012:3). Beberapa kasus besar dalam skandal pelaporan keuangan perusahaan yang melibatkan perusahaan besar di Indonesia di antaranya adalah PT. Kimia Farma Tbk, dan Bank Lippo Tbk, PT Kimia Farma Tbk, dan PT. Indofarma Tbk. PT Kimia Farma Tbk diindikasikan melakukan penggelembungan laba bersih tahunan
3 senilai Rp 32,668 miliar pada tahun 2004. Sedangkan PT Indofarma Tbk melakukan praktik manajemen laba dengan menyajikan overstated laba bersih dengan cara menyajikan persediaan barang yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga pokok penjualan tahun tersebut terjadi understated (Bapepam, 2004). Adanya fenomena manajemen laba yang melibatkan beberapa perusahaan besar merupakan bentuk perekayasaan laporan keuangan sehingga tidak mencerminkan kondisi kinerja keuangan sesungguhnya (Suwardjono, 2005). Fenomena terjadinya berbagai skandal keuangan menjadi bukti masih lemahnya penerapan praktik Good Corporate Governance (GCG) sekaligus mengindikasikan kegagalan laporan keuangan mencapai tujuannya dalam memenuhi kebutuhan informasi para penggunanya. Menurut Alijoyo (2004), bukti menunjukkan lemahnya praktik corporate governance di Indonesia mengarah pada defisiensi pembuatan keputusan dalam perusahaan dan tindakan perusahaan. Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), corporate governance merupakan interaksi antara pemilik dan manajer dalam pengawasan dan pengarahan perusahaan, corporate governance secara tradisional menunjukkan apakah sistem dan prosedur menjamin secara baik bahwa manajer bertanggung jawab terhadap asset yang mereka percayakan. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) adalah pemenuhan hak pemegang saham, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham, peran stakeholders, penjelasan dan transparansi serta pertanggungjawaban lembaga (Widilestariningtyas, 2010:1). Pendapat senada dikemukakan oleh Andri dan Hanung (2007), bahwa mekanisme corporate governance yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik
4 keagenan diantaranya adalah komisaris independen dan komite audit. Bila konsep ini diterapkan dengan baik, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat seiring dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan dapat menguntungkan banyak pihak. Good Corporate Governance (GCG) merupakan mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola perusahaan dengan maksud untuk meningkatkan kemakmuran dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan akhirnya untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Good Corporate Governance (GCG) menjadi salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang saham dan stakeholders lainnya. Pengelolaaan laba yang opportunistic oleh manajemen dalam suatu perusahaan diyakini akan dapat dibatasi dengan adanya mekanisme Good Corporate Governance (GCG). Tindakan oportunis manajemen laba ini akan dapat merugikan pemegang saham dan dari informasi laba yang disajikan tersebut dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang salah. Philips et.al. (2003) menggunakan pendekatan distribusi laba dalam mengidentifikasi manajemen laba. Pendekatan distribusi laba mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnings thresholds) dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnings thresholds akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan manajemen laba. Philips et al. (2003) menggunakan pendekatan ini dengan membandingkan antara tahun perusahaan yang memiliki tingkat laba berskala nol atau positif dengan sampel tahun perusahaan yang
5 memiliki laba negatif. Penelitian Holland dan Ramsay (2003) dalam Yulianti (2004), membuktikan terpatahnya distribusi laba untuk perusahaan-perusahaan di Australia menggunakan metode yang sama dengan yang digunakan oleh Burgstahler dan Dichev. Mereka menemukan hasil yang sama, yaitu terlalu banyaknya perusahaan yang melaporkan small profit dan small increase in earnings, sebaliknya, terlalu sedikit perusahaan yang melaporkan small loss dan small decrease in earnings. Beberapa penelitian tentang earnings management telah dilakukan sebelumnya, diantaranya oleh Farida, Prasetyo dan Herwiyanti (2010:76) yang menemukan bahwa ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris independen, komite audit, dan kepemilikan institusional, tidak berpengaruh terhadap earnings management, dan kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap earnings management. Hasil penelitian senada dilakukan oleh Wahyono (2013) tentang Pengaruh Corporate Governance pada Praktik Manajemen Laba: Studi Pada Industri Perbankan Indonesia periode 2008-2010, menemukan bahwa mekanisme Corporate Governance yang dilakukan oleh perusahaan perbankan tidak efektif dalam mengurangi praktik manajemen laba. Oleh karena itu, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa mekanisme Corporate Governance tidak bekerja secara efektif dalam meningkatkan kinerja perusahaan perbankan. Hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Welvin I Guna dan Arleen Herawaty (2010:64-65) yang meneliti tentang Pengaruh Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit dan Faktor Lainnya terhadap Manajemen Laba dengan variabel independennya adalah kepemilikan
6 institusional, kepemilikan manajemen, komite audit, komisaris independen, independensi auditor, leverage, kualitas audit, profitabilitas, dan ukuran perusahaan, sedangkan variabel dependennya adalah manajemen laba. Hasil penelitiannya adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, komite audit, komisaris independen dan independensi auditor, tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan leverage, kualitas audit, dan profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba. Berdasarkan gap research yang terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian kembali dengan memperluas variabel penelitian, dan periode yang berbeda. Selanjutnya peneliti merumuskan penelitian yang berjudul : Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance dan Financial Distress terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka fokus kajian dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah Good Corporate Governance berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba? 2. Apakah Financial Distress berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba? C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian
7 Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Good Corporate Governance (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan ukuran dewan komisaris) terhadap manajemen laba. b. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh financial distress (return on assets dan debt to ratio) terhadap manajemen laba. 2. Kontribusi Penelitian a. Bagi Perusahaan Penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang manajemen laba perusahaan serta untuk membantu perusahaan dalam pengambilan keputusan yang tepat. b. Bagi Investor Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kondisi perusahaan dan digunakan sebagai pertimbangan sebelum pengambilan keputusan investasi. c. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam menelaah manajemen laba baik dengan metode pendekatan yang sama atau dengan cara pandang yang berbeda.