BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI VERBALISANT DALAM SIDANG PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI VERBALISANT DALAM SIDANG PERADILAN PIDANA. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. 1 Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma. 2 Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut (ibi ius ibi societas). Bila pada uraian di atas dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi suatu negara ialah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai ideologi, 1 Penjelasan atas Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2 Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Bandung, hlm. 14. 1

2 dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana. Hukum pidana (materiil) tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi pelanggaran atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Pelanggaran hukum ini tentunya harus ditindak lanjuti dengan penerapan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil. Kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum. Selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

3 Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat. Kepentingan korban berarti bahwa seseorang yang mengalami penderitaan akibat perbuatan jahat orang lain berhak mendapatkan keadilan dan kepedulian dari negara. Kepentingan masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tiap individu yang terbukti bersalah harus dihukum. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan dengan pembuktian kita mengetahui fakta atau pernyataan yang didakwakan terhadap terdakwa di pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana. Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau (bewijskracht) dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian maupun pada penjelasan umum dan

4 penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. 3 Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Dengan kata lain, walaupun pembuktian dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan cermat dalam menilai alat-alat 3 Ibid, Satjipto Rahardjo, hlm 47.

5 bukti lainnya. Pada prinsipnya semua alat bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi. Dalam persidangan sering dijumpai bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya di luar persidangan atau keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Pada umumnya keterangan tersebut berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Keterangan di hadapan penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa. Dengan adanya perbedaan ini, penulis menilai akan memperjelas dari kedudukan masing-masing keterangan dalam pembuktian. Masalah pencabutan keterangan terdakwa ini juga akan membawa permasalahan lain, yaitu persoalan yang berkaitan dengan implikasi pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti, serta pengaruhnya terhadap alat bukti lain

6 yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan hal inilah, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum yang berjudul: "Kajian Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah ketentuan mengenai pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan? 2. Bagaimanakah implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ketentuan mengenai pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sleman. 2. Untuk mengetahui implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Bagi Penulis Penulis dapat mengetahui ketentuan hukum terhadap pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan dan bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti.

7 2. Manfaat Bagi Pengadilan Negeri Sleman Memberikan informasi tambahan kepada aparat penegak hukum mengenai pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan dan implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti. 3. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan, dan semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini. E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul Kajian Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti merupakan karya asli bukan duplikat atau plagiat dari skripsi sebelumnya. Program Kekhususan Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum. Penelitian dengan topik sejenis pernah dilakukan oleh orang lain. Meskipun demikian penelitian ini bukan merupakan duplikasi dari penelitian tersebut. Berikut perbandingan dan perbedaannya: 1. Nama : Rimbun Sitio a. Judul Penelitian Kekuatan Alat Bukti Keterangan Terdakwa Dalam Proses Peradilan Pidana.

8 b. Rumusan Masalah 1) Apakah Pasal 52 KUHAP masih berlaku untuk mencari kebenaran materi dalam pembuktian? 2) Bagaimana pengaruh alat bukti keterangan terdakwa terhadap penilaian hakim dalam penjatuhan pidana? c. Hasil Penelitian 1) Pasal 52 KUHAP masih sering digunakan untuk mencari kebenaran materiil dalam pembuktian didepan sidang pengadilan. 2) Alat bukti, keterangan terdakwa dapat mempengaruhi penilaian hakim dalam penjatuhan pidana, misalnya keterangan terdakwa yang tidak berbelit-belit dan dapat memperlancar jalannya sidang, maka hakim akan mempertimbangkan hal ini sebagai salah satu alasan yang meringankan ancaman pidana, tetapi sebaliknya jika terdakwa dalam memberikan keterangannya berbelit-belit dan dianggap menyulitkan jalannya sidang, maka akan mempengaruhi hakim penjantuhan pidana dan dianggap sebagai hal yang memberatkan ancaman pidana.

9 2. Nama : Urat Daud a. Judul Penelitian Kedudukan Barang Bukti Dalam Proses Pembuktian Di Sidang Pengadilan Pidana b. Rumusan Masalah Bagaimana kedudukan barang bukti dalam pembuktian didepan sidang pengadilan pidana? c. Hasil Penelitian 1) Kedudukan barang bukti selama pembuktian didepan pengadilan pidana yaitu barang bukti tersebut selama persidangan mendukung alat bukti yang ada, sehingga memperjelas suatu perkara pidana dalam tahap pembuktian. Dalam hal ini barang bukti tetap sebagai barang bukti dan alat bukti tetap sebagai alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 2) Barang bukti selama persidangan menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nurani dan keyakinan hakim dalam pembuktian dan memutus perkara pidana.

10 3. Nama : Benediktus Hari Setiawan a. Judul Penelitian Penerapan Beban Pembuktian Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Yogyakarta) b. Rumusan Masalah 1) Bagaimanakah Penerapan Beban Pembuktian Dalam Penyelesaian perkara Tindak Pidana Korupsi? 2) Apakah yang menjadi hambatan penerapan beban pembuktian dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi? c. Hasil Penelitian 1) Penerapan beban pembuktian dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, bahwa asas beben pembuktian telah diterapkan oleh majelis hakim dalam penyelesaian 3 perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Yogyakarta yaitu putusan perkara: Nomor. 62/Pid.B/2004/PN.YK.; Nomor. 156/Pid.B/2002/PN.YK.; Nomor. 38/Pid.B/2002/PN.YK. dikatakan demikian karena dalam penyelesaian 3 perkara tindak pidana korupsi tersebut majelis hakim member kesempatan terdakwa, hal ini sesuai Pasal 37 ayat 1 Undangundang nomor 20 tahun 2001 yang menyebutkan : Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Jaksa penuntut umum juga

11 harus membuktikan dakwaannya hal ini sesuai dengan Pasal 37 A ayat 3 Undang-undang no.20 tahun 2001 yg menyebutkan : Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 1 dan ayat 2 merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 13-16 UU no.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 2) Hambatan penerapan beban pembuktian dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi antara lain bahwa terdakwa kurang siap membela diri sedangkan Jaksa Penuntut Umum lebih siap seperti kasus 1 dan ke 2. Pada kasus ketiga terdakwa lebih siap dibandingkan Jaksa Penuntut Umum. F. Batasan Konsep Sesuai dengan judul Kajian Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti dan agar masalah yang diteliti jelas dan tidak terlalu luas, maka penulis membatasi konsep penelitian yang akan diteliti. Batasan konsep yang dipergunakan adalah:

12 1. Keterangan Terdakwa menurut Pasal 189 KUHAP adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2. Implikasi menurut Hassan Shadily (ed) dalam Ensiklopedi Indonesia adalah menyelinapkan, mengimbuh. Dalam pengertian umum, yaitu sesuatu yang terlibat dalam suatu masalah. Implikasi dapat dipahami sebagai keterlibatan ilmu antropologi terhadap pendidikan, untuk memantapkan konsep-konsep pendidikan dari segi landasan pendidikan itu sendiri. 2. Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai suatu pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Dalam penelitian hukum normatif ini dikaji norma-norma hukum positif yang berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan dasar pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan dan implikasi yuridisnya terhadap kekuatan alat bukti. 2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer

13 Bahan hukum primer yang dijadikan sebagai sumber hukum adalah: 1) Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-undang No.8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209. 3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2009 Nomor 157. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar. 3. Cara Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari pendapat hukum dan pendapat non hukum yang diperoleh dari buku-buku, Kamus Besar Bahasa Indonesia, internet (website), dan praktisi hukum yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.

14 b. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu 4. Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada Hakim Iwan Anggoro W., S.H di Pengadilan Negeri Sleman dengan tujuan memperoleh keteranganketerangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. 4. Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif, yaitu analisis data yang didasarkan pada pemahaman dan pengolahan data secara sistematis yang diperoleh melalui hasil wawancara dan penelitian studi kepustakaan. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dideskripsikan, isi dan strukturnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam penarikan kesimpulan, proses berpikir yang digunakan adalah proses berpikir secara deduktif, yaitu bertolak dari proposisi umum yang telah diyakin kebenarannya. H. Sistematika Skripsi Penulisan hukum ini ditulis secara sistematis dalam sub-sub bab yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Pembagian bab-bab tersebut 4 Ibid. Hlm. 95

15 dimaksudkan agar dihasilkan keterangan yang jelas dan sistematis. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, keaslian penelitian merupakan suatu pembuktian data yang asli sesuai dengan apa yang penulis lakukan, batasan konsep, metode penelitian, dan selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: tinjauan tentang pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan dan tinjauan umum tentang alat bukti keterangan terdakwa. BAB III: PENUTUP Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran DAFTAR PUSTAKA