BAB I PENDAHULUAN. Sejak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak. Menurut UU Republik Indonesia No 28 tahun 2007, pajak

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini begitu banyak pembangunan di wilayah perkotaan atau di

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota Denpasar pada awalnya merupakan pusat Kerajaan Badung yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Rochmat Soemitro (dalam Waluyo, 2010) pajak adalah iuran kepada kas

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, berisi mengenai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Kemandirian keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu PAD. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD, adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disamping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri serta

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tempat pusat pemerintahan. Dahulunya pemerintahan pusat harus mengurusi

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat dan pembangunan (Siahaan, 2010:9). Sedangkan pajak

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

tatanan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat maupun

BAB II PENERIMAAN DAERAH DAN PENGALIHAN PBB-P2

I. PENDAHULUAN. Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dengan adanya sistem desentralisasi maka pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia senantiasa melakukan pembangunan nasional untuk mensejahterakan

BAB I PENDAHULUAN. S.H. dalam bukunya Mardiasmo (2011):

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang mensejahterakan rakyat dapat dilihat dari tercukupinya

BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa otonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dan tepat untuk diterapkan (Ismail, 2005: 1). Dengan pemberian otonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk penyelenggaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar yang berkedudukan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana. mandiri menghidupi dan menyediakan dana guna membiayai kegiatan

MASALAH UMUM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

BAB I PENDAHULUAN. membuat pengelompokkan jenis pajak berdasarkan aktivitas yang menyebabkan

KONTRIBUSI PAJAK SARANG BURUNG WALET TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN BANGKA INDUK

PENGALIHAN PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN MENJADI PAJAK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008, dan

BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru yang diberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya menjadi wewenang pusat, Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota, serta Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, maka pengelolaan BPHTB dan PBB-P2 dialihkan ke pemerintah kota/kabupaten. Setelah pengalihan ini, penerimaan BPHTB seluruhnya masuk ke kas daerah pemerintah kota/kabupaten. Pengalihan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2 dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini merupakan titik balik dalam pengelolaan BPHTB dan pengelolaan PBB-P2. 1

Dalam laporan tinjauan pelaksanan pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pajak pusat menjadi pajak daerah merupakan langkah strategis dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas belanja daerah (local spending quality). Peningkatan kualitas belanja daerah akan memperbaiki kualitas pelayanan publik yang merupakan tujuan dari kebijakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah pada 1 Januari 2011. Pemerintah Kota Banjarmasin melaksanakan pengalihan pengelolaan BPHTB sejak 1 Januari 2011. Persiapan pelaksanaan pengalihan pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Kota Banjarmasin sudah dimulai pada Tahun 2010 dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 20 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai tindak lanjut dari terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kota Banjarmasin sebagai salah satu kota besar di Indonesia, memiliki berbagai macam potensi daerah yang bisa memberi kontribusi besar dalam penerimaan kas daerah. Adapun potensi besar yang ada di Kota Banjarmasin dan 2

memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan kas daerah kota Banjarmasin salah satunya adalah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada sektor pajak daerah. Salah satu komponen dalam pajak daerah tersebut adalah BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) yaitu pajak yang harus dibayar akibat terjadinya peralihan hak atas suatu tanah dan/atau bangunan. Dinas Pendapatan Daerah Kota Banjarmasin sebagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang melakukan pengelolaan pajak daerah di Kota Banjarmasin dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Banjarmasin. Dasar hukum Dinas Pendapatan Daerah Kota Banjarmasin dalam melaksanakan pengelolaan BPTHB yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 20 Tahun 2010 tentang BPHTB. Adapun Target dan Realisasi Penerimaan BPHTB Kota Banjarmasin selama tahun 2011 sampai dengan 2014 ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Target dan Realisasi Penerimaan BPHTB Kota Banjarmasin Tahun 2011-2014 Tahun Target Penerimaan Penerimaan BPHTB % Penerimaan 2011 Rp20.000.000.000,00 Rp12.282.647.000,00 61,41 2012 Rp20.000.000.000,00 Rp18.569.814.000,00 92,85 2013 Rp20.000.000.000,00 Rp10.704.399.000,00 53,52 2014 Rp20.000.000.000,00 Rp21.538.713.000,00 107,69 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Banjarmasin, 2014 Penerimaan BPHTB Kota Banjarmasin periode 2011-2014 belum mencapai 100 persen dari yang ditargetkan sebesar Rp20 Milyar. Target penerimaan 3

BPHTB baru mencapai 100 persen terealisasi pada Tahun 2014 sebesar Rp21,5 Milyar atau 107 persen dari yang ditargetkan. Dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak). Pada Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa yang dimaksud dari NPOP dari peralihan akibat jual beli adalah harga transaksi. Pelaksanaan BPHTB menganut asas self assessment, sehingga Wajib Pajak sendiri yang aktif melaporkan, menghitung dan membayar BPHTB terutang. Namun pada kenyataannya kadang ditemukan Wajib Pajak melaporkan harga transaksi sebagai dasar NPOP di bawah harga transaksi sebenarnya, sedangkan harga transaksi yang dilaporkan tersebut bisa berada di bawah harga pasar. Hal ini akan mengakibatkan potensi penerimaan PAD dari sektor BPHTB akan hilang (potential loss). Namun untuk memastikan ada atau tidaknya potential loss penerimaan BPHTB dan seberapa besar potential loss penerimaan BPHTB tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap NPOP tersebut dengan membandingkan harga transaksi yang dilaporkan Wajib Pajak (NPOP) dengan harga yang diperoleh melalui penilaian individu (individual valuation) terhadap Objek BPHTB tersebut. Metode penilaian terhadap objek BPHTB tersebut menggunakan metode penilaian dengan pendekatan pasar (market approach). 1.2 Keaslian Penelitian Keaslian penelitian ini dibanding dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.2. 4

Tabel 1.2 Penelitian Sejenis Penulis/Tahun Variabel Alat Analisis/Lokasi Kesimpulan Novie dan Sandra (2010) Manggung (2012) Kuswanto (2014) Hernanda (2014) Agung (2014) NJOP dan Harga Transaksi Objek BPHTB Biaya transaksi ekonomi,bphtb NPOP NJOP, NPOP dan BPHTB Informasi Harga Transaksi, Nilai Pasar Analisis Deskriptif/ASR/Jakarta Utara Analisis Deskriptif Kualiatif/Statistik/ Kota Yogyakarta Analisis Deskripif/Purwokerto Analisis Deskripif/Surabaya Analisis Deskripif/Kota Denpasar Assessment Ratio pada Kelurahan- Kelurahan di Kecamatan Kelapa Gading sudah sesuai dengan Assessment Ratio yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak yakni minimal 80%. Ada 5 faktor yang mempengaruhi biaya transaksi ekonomi dalam pelaksanaan pengelolaan BPHTB sebagai pajak daerah di Kota Yogyakarta Tingkat keseragaman yang rendah dan terjadinya regresivitas dalam penetapan NPOP sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB Kurangnya pengetahuan petugas Dinas Pendapatan Kota Surabaya BPHTB mengakibatkan proses verifikasi dan validasi menjadi lambat dan berkas menumpuk Tingkat keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan indikasi nilai pasar properti tanah di Kota Denpasar tergolong rendah Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ada pada variabel, instrumen penelitian dan alat analisis. Penelitian ini menggunakan variabel NPOP atau harga transaksi yang dilaporkan, sedangkan penelitian sebelumnya banyak menggunakan variabel NJOP. Instrumen penelitian terdahulu, hanya 5

menggunakan informasi harga pasar objek BPHTB sebagai dasar menghitung AR (Assessment Ratio), sedangkan pada penelitian ini melakukan proses penilaian dengan pendekatan pasar untuk mencari harga pasarnya. Alat analisis yang digunakan penelitian terdahulu dengan metode ASR (Assessment Sales Ratio), sedangkan penelitian ini selain menggunakan ASR juga mencari difference (nilai harga transaksi yang dilaporkan dengan harga pasar hasil penilaian) sebagai dasar penghitungan kehilangan potensi penerimaan pajak serta melakukan penyesuaian nilai NPOP dengan menggunakan konsep time value of money untuk mencari nilai sekarang harga transaksi yang dilaporkan. Penelitian ini dilakukan pada objek BPHTB yang dilaporkan selama periode tahun 2014 berupa tanah kosong yang berada di wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. 1.3 Rumusan Masalah Penentuan besaran BPHTB terutang dihitung dari NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak). Pasal 87 ayat (1) pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa yang dimaksud NPOP pada peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena jual beli adalah harga transaksi. Namun pada kenyataannya, beberapa informasi harga transaksi yang diberikan oleh Wajib Pajak ada yang berada di bawah harga transaksi yang sebenarnya. Informasi harga transaksi tersebut kemungkinan akan berada di bawah dari harga pasar yang berlaku pada saat itu. Meskipun dari semua informasi harga transaksi yang diberikan tersebut belum tentu berada jauh dari harga pasar. Berdasarkan uraian tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap 6

informasi harga transaksi tersebut dengan membandingkan harga yang diperoleh dari hasil penilaian terhadap objek BPHTB. 1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka pertanyaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Berapa nilai pasar (market value) objek BPHTB di Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin? 2. Berapa Assessment Sales Ratio dan difference yang didapat dari harga transaksi yang dilaporkan (NPOP) oleh Wajib Pajak dan harga hasil penilaian? 3. Berapa besaran nilai kehilangan potensi (potential loss) penerimaan BPHTB jika NPOP yang dilaporkan berada di bawah harga pasar? 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini menguji informasi apakah harga transaksi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak sebagai dasar NPOP BPHTB sudah mendekati atau berbeda jauh dari harga pasar yang berlaku. Untuk menguji informasi harga transaksi tersebut maka penelitian ini melakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Menghitung nilai pasar (market value) objek BPHTB di Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin. 2. Menghitung Assessment Sales Ratio (ASR) dan difference dari harga transaksi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan harga hasil penilaian. 7

3. Menghitung besaran nilai kehilangan potensi (potential loss) penerimaan BPHTB jika NPOP yang dilaporkan berada di bawah harga pasar. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini untuk berbagai kalangan atau pihak sebagai berikut antara lain: 1. Bagi kalangan akademis, sebagai sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian yang sejenis. 2. Bagi Pemerintah Kota Banjarmasin khususnya Dinas Pendapatan Daerah Kota Banjarmasin, dapat sebagai bahan evaluasi pengelolaan BPHTB dan masukan dalam pengelolaan BPHTB. 3. Bagi Pihak lainnya yang memerlukan informasi harga pasar (market value) tanah sekitar lokasi objek penelitian. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun menjadi 5 (lima) bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian. Bab II Kajian Pustaka terdiri teori, kajian terhadap penelitian terdahulu dan model penelitian/kerangka penelitian. Bab III Metoda Penelitian terdiri dari desain penelitian, metoda pengumpulan data, metoda penyampelan, definisi operasional, instrumen penelitian dan metode analisis data. Bab IV Analisis terdiri dari gambaran umum Kota Banjarmasin dan profil Dinas Pendapatan Daerah Kota Banjarmasin, deskripsi data dan pembahasan. Bab V 8

Kesimpulan dan Saran terdiri dari simpulan, implikasi, keterbatasan dan saran peneliti atas hasil penelitian yang diperoleh. 9