Ibrahim Isa Minggu. 06 Des 2015 ------------------------ IN MEMORIAM DR WIJAYA HERLAMBANG * * * Mengenang kembali Dr Wijaya Herlambang, seorang tokoh sarjana pejuang HAM, yang meninggal hari ini, --- di bawah ini, dimuat bagian dari tulisanku, Juli 2015 y.l -- di mana Dr Baskara Wardaya, membeberkan a.l buku Dr Wijaya Herlambang. Dr. Baskara Wardaya:. a.l DEMOKRATIS KERAKYATAN Salah satu buku Dr Wijaya Herlambang -- adalah yang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965. Buku ini ditulis oleh Dr. Wijaya Herlambang, seorang dosen di Universitas Pancasila, Jakarta, yang sebelumnya menempuh studi di Australia. Buku itu menarik, karena padanya saya bisa berguru mengenai sejarah perkembangn pemikiran dan budaya yang ada di Indonesia, khususnya sejak terjadinya pembantaian massal tahun 1965-1966. * * * Jika dilihat sekilas dinamika budaya ekonomi dan politik di Indonesia sejak pembantaian tersebut terkesan bergerak secara alamiah. Seakan semuanya berjalan sebagaimana seharusnya, suatu arus zaman. Bahkan seakan terasa normal juga jika sebagai orang Indonesia, kita itu berpikir bahwa orng-orng yang berorientasi kiri, berorientasi kerakyatan, apalagi komunis itu jahat dan layak dibunuh. Tak kalah alamiahnya adalah bahwa Presiden Sukarno itu gagal memerintah, bahwa Presiden Suharto itu penuh keberhasilan, bahwa pemerintahan Orde Baru lebih hebat daripada pemerintahan Orde yang dijuluki Lama, dan sebagainya. Melalui bukunya, Wijaya Herlambang mengingatkan saya bahwa opini-opini seperti itu tampaknya perlu dikaji ulang. Buku ini menggelitik rasa ingin tahu saya. 1
... Saya membacanya dengan tekun. Isinya sangat menarik dan menurut saya perlu diketahui oleh sebanyak mungkin orng Indonesia, terutama para seniman, aktivis, dan kaum intelektualnya. Dari buku itu, misalnya, saya menjadi tahu bahwa taqk lama setelah berakhirnya Perng Dunia Kedua tahun 1945, Amerika membentuk sebuah organisasi internasional bernama Congress for Cultural Freedom, disingkat (CCF). Tujuannya adalah untuk membentuk (baca memformat) cara berpikir bangsa-bangsa di dunia ini supaya berpikir sedemikian rupa sehingga akan menerima dan mendukung gagasan kapitalisme liberal. Diterimanya gagasan dan sistem ekonomi kapitalisme liberal ini penting bagi Amerika karena, menurut buku ini, akan menjamin superioritas ekonomi Amerika Serikjat. Artinya, AS akan mampu menguasai sumber-sumbr alam milik banyak negara, sekaligus menjadikan negara-negara itu sebagai pasar bagi produknya. Sebagai bagian dari upaya tersebut, AS berusaha menyingkirkan setiap pemikiran yang berhaluan 'kiri'. Yang dimaksudkan dengn kiri disini adalah setiap bentuk pemikiran yang berorientasi kerakyatan dan yang bersikap anti terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dikenal sangat eksploitatif itu. Dalam hal ini musuh terbesar bagi AS dengan ideologi kapitalisnya tentu saja adalah komunisme. Oleh karena itu, AS berusaha menghancurkan setiap pemikiran partai politik, dan pemerintahnya yang berhaluan kiri atau komunis. Bagi AS, komunisme harus dilawan, bukan terutama karena apakah orang-orang komunis bertuhan atau tidak, melainkan lebih karena jika dibiarkan, sistem komunis akan menjadi penghalang bagi berkembangnya sistem kapitalis yang tentu saja akan menguntungkan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam pelaksanaannya, salah satu cara yang ditempuh oleh CCF adalah membentuk suatu jaringan yang terdiri dari kaum intelektual dan aktivis politik, maupun aktivis budaya supaya memeluk gagasan-gagsan liberalisme Barat. Pada saat yang sama kaum intelektual itu diperdaya supaya membantu menyebarkan komentar-komentar yang sifatnya mendeskreditkan dan memusuhi ide-ide kerakyatan dan komunis. Hal itu dilakukan oleh CCF hampir di setiap negeri yang menjadi targetnya. Salah satu negara yang menjadi target CCF itu tentunya adalah Indonesia. Sejak tahun 1950-an, masih kata buku Wijaya, melalui seorang agen CCF bernama Ivan Kats, agen CCF menggarap sejumlah aktivis Indonesia. Tujuannya adalah supaya para pemikir, aktivis, dan seniman itu membantu menyebarkan gagasan-gagasan yang mendukung kapitalisme sekaligus mendeskreditkan setiap pemikiran yang berciri kerakyatan. CCF 2
mendorong paham bahwa yang namanya kemanusiaan dan seni itu bersifat universil, tak hendak memihak siapapun. Gagasan ini kemudian terumus dalam istilah humanisme universil. (Wijaya Herlambang, 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film. Jakarta: Marjin Kiri, hlm 8-9.) Pada satu sisi gagasan demikian terdengar bagus dan mulya. Pada sisi lain ide seperti itu juga secara halus mengajak supaya para pemikir, aktivis, dan seniman Indonesia tidak tertarik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat. Dalam kaitannya dengan kelompok komunis, CCF mendorong para pemikir, aktivis, dan seniman Indonesia yang telah berada di bawah pengaruhnya untuk menyebarkan sikap anti-komunis. Caranya antara lain dengan menyebarkan tuduhan bahwa komunisme itu jahat, curang, ateis dan sebagainya. * * * Prabowo dan Jokowi, apa bedanya? Wawancara dengan Wijaya Herlambang Jakarta-KoPi - Tensi politik menjelang pilpres 9 Juli 2014 semakin meningkat panas. Dua kubu yang memperebutkan kekuasaan terlihat saling menyerang dan menyudutkan lawan melalui pelbagai cara. Kubu Prabowo dan Jokowi pun saling klaim membawa program berbasis pada ekonomi kerakyatan. Setidaknya ini yang terlihat pada permukaan. Benarkah seperti itu? Atau sebenarnya ada hal lain yang tak terjangkau oleh mata awam. Wawancara ini bermaksud melihat ke dua capres tersebut dari sisi yang lebih esensi-substansial. Di sini, kita juga akan melihat apakah ide "Revolusi Mental" yang dicanangkan Jokowi sudah tepat. Untuk itu KoranOpini.com mewancarai seorang tokoh muda, Wijaya Herlambang. Seorang sejarawan dengan gelar Ph.D lulusan University of Queensland Australia. Disertasinya berbicara tentang kekerasan budaya dan dibukukan dengan judul "Kekerasan Budaya Pasca 1965". Semoga menjadi wacana yang bermanfaat. Ranang Aji SP (RASP): 3
Ada dua polar dalam peta politik Indonesia saat ini. Jokowi versus Prabowo. Apa yang anda pahami dari dua polar ini secara ideologis? Wijaya Herlmbang (WH ): Ya. Dalam setiap pertarungan perebutan kekuasaan politik tentu saja harus terjadi polarisasi kekuatan dan orientasi politik. Namun sepanjang yang saya pahami polarisasi itu hanya menyentuh wilayah persaingan untuk meraih kekuasaan saja bukan pada wilayah orientasi. Artinya polarisasi itu terasa sangat artifisial namun tidak esensial. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan ideologis yang jelas di antara keduanya. Memang, Jokowi menawarkan beberapa konsep yang pernah diperkenalkan oleh Presiden Sukarno, seperti konsep Trisakti misalnya, atau Revolusi Mental, namun sejauh ini konsep tersebut masih terbatas pada retorika politik saja, jadi, tidak menyentuh wilayah ideologis ajaran Presiden Sukarno. Sementara Prabowo, lebih artifisial lagi: dia hanya berdandan dan bergaya ala Sukarno saja. RASP: Apakah anda sepakat bahwa dua kubu ini adalah kesinambungan politik Orde Baru? WH: Jika kita bicara praktik politik jawabnya: tidak. Tapi jika bicara pada esensi jawabnya: Iya. Maksudnya begini, praktik politik Orde Baru sagat bersifat totalitarian dan otoritarian. Semua dikendalikan secara terpusat oleh oligarki dan kroni Cendana. Sementara, setelah reformasi, praktik politik seperti itu sudah tidak terjadi. Sebaliknya, kekuasaan dan kekuatan pheriperal kelas borjuis menjadi semakin dominan dan saling bersaing untuk meraih hegemoni walaupun hegemoni itu sendiri belum tercapai. Maka polarisasi itu jangan dipahami hanya dalam batas dua kekuatan yang kini direpresentasikan dalam figur Jokowi vs Prabowo, namun jauh lebih kompleks dari itu. Di belakang kedua figur yang sedang bersaing itu terdapat banyak sekali kepentingan, baik yang sama, berbeda, atau bahkan bertentangan, yang kelak bukan saja menimbulkan friksi namun juga akan mempertontonkan kepada rakyat bahwa mereka terjerumus ke dalam pertarungan di wilayah pragmatis. Artinya pertarungan kekuatan dan kekuasaan pheriperal (yang seolah-olah terbelah menjadi dua kubu) itu akan terfokus, utamanya, pada agenda-agenda ekonomi-politik jangka pendek dari masing-masing kepentingan yang kini berada di belakang kedua figur 4
capres itu. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kerangka ideologis dan orientasi politik yang membedakan secara tegas di antara keduanya, seperti saya katakan tadi. Nah, praktik politik seperti ini menjelaskan kepada kita bahwa, secara esensial, pertarungan kedua kekuatan (yang minus kerangka ideologis yang jelas) itu, membuat kita mengerti bahwa baik kubu Jokowi maupun Prabowo tidak berbeda dari kerangka ideologis yang dibangun dan diwariskan oleh rezim Orde Baru. RASP : Saya kesulitan melihat dan memisahkan dua tokoh ini bukan dari perpanjangan sejarah politik Orde Baru. Anda bisa menjelaskan bagaimana ke dua kekuatan politik secara historigarfis? WH : Ya begitulah. Yang Anda lihat itu sebenarnya adalah tidak adanya ideologi alternatif yang ditawarkan oleh kedua figur itu. Bukan praktik politiknya. Praktik politiknya tetap berorientasi pragmatis jangka pendek. Dan praktik politik itu boleh saja hiruk-pikuk karena opini massa digiring ke sudut tertentu, terutama oleh media massa, untuk melihat perbedaan-perbadaan yang hanya bersifat artifisial. Dengan kata lain, kita dijejali oleh apa yang disebut oleh kaum posmo sebagai hiper-realitas atau simularka-simularka belaka, atau meminjam istilah Chomsky necessary illusions : yaitu ilusi-ilusi tentang gagasan-gagasan besar yang diperlukan untuk melegitimasi dan memelihara sistem ekonomi-politik yang sudah terbangun. Secara esensial, kita hidup di alam ultra-kapitalistik (sebagian menyebut post-capitalism) yang sangat menindas. Nah hiper-realitas itu atau simularka atau necessary illusions merupakan unsur penting dalam melanggengkan kekuatan dan kekuasaan yang bersifat ultra-kapitalistik itu. Dalam konteks Indonesia, pasca peristiwa G30S 1965, rezim Orde Baru berhasil gemilang dalam membangun dan memelihara landasan ideologis yang berorientasi pada pembangunan ekonomi-politik kapitalistik yang berbuntut pada penghancuran PKI dan penggulingan Presiden Sukarno dari tampuk kekuasaan. Sejak itu pula konsep kemandirian dan cita-cita Revolusi 45 yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dijungkir-balikkan: dari anti-penghisapan menjadi pro-penghisapan, oleh dan terhadap kekuatan kapital. Apakah warisan ideologis itu sekarang sudah berubah? Belum kan? Apakah figur-figur capres itu menawarkan kerangka ideologis yang berbeda dari warisan ideologis Orde Baru yang kapitalistik itu? Tidak kan? 5
Di sinilah bedanya antara Presiden Sukarno dan kedua capres yang sedang bertarung itu.._,_. 6