BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang memiliki peranan penting dalam kehidupan, baik dalam bidang pendidikan formal maupun non formal. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal pada kenyataannya menunjukkan bahwa pelajaran matematika terdapat didalamnya, mulai dari pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini diharapkan agar pelajaran matematika yang diberikan di semua jenjang pendidikan sekolah mampu memberikan kontribusi berarti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan itu, matematika juga digunakan sebagai alat ukur menentukan kemajuan pendidikan di suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan TIMSS (The International Mathematics and Science Survey) yang secara berkala membandingkan dan mengukur kemajuan pendidikan matematika di beberapa negara. Belajar merupakan kegiatan pokok dalam proses kegiatan belajar mengajar. Setiap siswa sudah pasti melakukan proses belajar dimanapun ia berada tidak hanya di sekolah saja. Siswa sebagai individu yang unik tentunya memiliki karakternya masing-masing. Karena satu dengan yang lainnya mempunyai perbedaan dalam berbagai aspek, terutama dalam proses belajarnya. Salah satunya ialah perbedaan kemampuan untuk memahami, menyerap, dan mengolah informasi. Gaya belajar seseorang ialah kombinasi dari kemampuan-kemampuan tersebut (De Porter dan Hernacki, 2003). 1
Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas sensori, yaitu gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Gaya belajar visual adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan indera penglihatan. Gaya belajar auditori adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan indera pendengaran. Sedangkan gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan fisik sebagai alat belajar yang optimal. Pada kenyataannya semua siswa memiliki ketiga gaya belajar tersebut, tetapi siswa biasanya lebih menonjol pada satu modalitas saja. Sejauh ini sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai gaya belajar menjadi salah satu solusi dalam perbaikan dalam proses belajar mengajar. Prashnig (1998) mengungkapkan bahwa pemikiran yang keliru mengenai belajar dan mengajar memiliki beberapa solusi diantaranya setiap orang seharusnya memiliki pengetahuan mengenai keberagaman gaya belajar, serta para pendidik harus siap menerapkan metode pengajaran yang berpusat pada siswa dan berusaha memenuhi kebutuhan siswa. Selain itu, orang tua harus memahami gaya belajar anak-anak mereka yang beraneka ragam, mendukung semaksimal mungkin kebutuhan belajar mereka yang sebenarnya, dan menciptakan suasana belajar yang nyaman di rumah. Pada jenjang pendidikan SMP kelas VIII salah satu materi yang dianggap sulit oleh kebanyakan siswa adalah aljabar, yang mencakup pemahaman tentang koefisien, variabel, grafik, dan sistem persamaan linier dua variabel. Terutama dalam memahami soal dan menentukan model matematika pada SPLDV. Hal itupun terjadi pada siswa di SMP Negeri 8 Purwokerto. Sistem persamaan linear 2
dua variabel merupakan salah satu pokok bahasan aljabar yang terbilang abstrak. Padahal dalam kenyataannya manusia sering mengalami suatu kegiatan aljabar diantaranya persamaan linear dua variabel dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam permasalahan yang berhubungan dengan perniagaan. Lima belas buah mangga dan dua belas buah jeruk harganya Rp34.650,00. Delapan buah mangga dan sepuluh buah jeruk harganya Rp22.800,00. Berapa harga satu buah mangga dan berapa harga satu buah jeruk? Saat akan mencari penyelesaian dari permasalahan ini digunakan perhitungan dengan konsep persamaan linear dua variabel. Terdapat empat metode penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel, yaitu metode substitusi, metode eliminasi, metode grafik, dan metode campuran. Siswa dengan gaya belajarnya masing-masing pasti memiliki perbedaan dalam menyelesaikan permasalahan dengan berbagai metode penyelesaian SPLDV. Selain itu, agar kebermaknaan dan keindahan dalam materi SPLDV terbentuk maka aspek pemecahan masalah terutama dari konteks yang ada di sekitar siswa perlu dijadikan sebagai acuan. Sehingga matematika tidak dianggap sebagai sesuatu yang membosankan dan menegangkan, melainkan menjadi pembelajaran yang menyenangkan. Kemampuan pemecahan masalah matematis juga merupakan salah satu kemampuan yang dituntut dalam pembelajaran matematika di sekolah. Sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) pada tahun 2000, standar matematika sekolah meliputi standar isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). 3
Standar proses diantaranya meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication), dan representasi (representation). Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan atau proses untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang diberikan menggunakan pemahaman, keterampilan, dan pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga pemecahan masalah matematis adalah suatu usaha untuk dapat menyelesaikan masalah matematika yang diberikan menggunakan pemahaman, keterampilan, dan pengetahuan yang dimilikinya. Polya (1973) menyatakan bahwa pemecahan masalah dalam matematika terdiri dari empat tahap pokok, yaitu: memahami masalah (understanding the problem), merencanakan penyelesaian (devising a plan), melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan memeriksa kembali (looking back). Kemampuan pemecahan masalah matematis setiap siswa pastilah berbedabeda, terutama jika dilihat dari jenis kelamin siswa, yakni laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender ini juga kemungkinan dapat mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah siswa, terlebih dengan adanya keanekaragaman gaya belajar. Pada kenyataannya siswa laki-laki biasanya lebih unggul dalam kemampuan pemecahan masalah matematis dibandingkan siswa perempuan yang melibatkan visual spasial. Hal ini senada dengan penelitian Soenarjadi (2013) bahwa secara umum profil pemecahan masalah geometri antara subjek kinestetik laki-laki (KL) dan subjek kinestetik perempuan (KP), menunjukkan perbedaan yaitu subjek kinestetik laki-laki (KL) lebih unggul dalam melakukan visual spasial dan subjek kinestetik perempuan lebih teliti, lebih cermat, dan lebih seksama. 4
Perbedaan gender dalam pemecahan masalah dikemukakan juga oleh Zhu (2007) bahwa siswa perempuan dan laki-laki memiliki prefensi yang berbeda dalam strategi pemecahan masalah. Perbedaan-perbedaan individual siswa yang telah dipaparkan sebelumnya menjadi suatu keunikan dalam proses pembelajaran. Maka peran utama guru ialah memahami kemampuan yang dimiliki siswa serta menghormati cara belajar individualnya. Hal ini ditujukan untuk membantu siswa berkembang menjadi diri mereka sendiri dalam mencapai hasil belajar yang maksimal. Berdasarkan uraian sebelumnya, pada penelitian ini akan menganalisis kemampuan pemecahan masalah matematis siswa ditinjau dari gaya belajar dan gender pada materi sistem persamaan linear dua variabel. B. Fokus Penelitian Karena keterbatasan peneliti, maka dalam penelitian ini akan meneliti bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematis siswa laki-laki dan perempuan pada materi sistem persamaan linear dua variabel untuk siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Purwokerto yang memiliki gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa laki-laki dan perempuan pada materi sistem persamaan linear dua variabel untuk 5
siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Purwokerto yang memiliki gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. D. Manfaat Hasil Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini ialah: 1. Manfaat Teoritis: Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan dan dapat digunakan sebagai kerangka acuan, bahan kajian, dan pengembangan penelitian bidang pendidikan matematika, khususnya gaya belajar dan gender serta kaitannya dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. 2. Manfaat Praktis: a. Bagi guru, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan pemecahan masalah matematis siswa ditinjau dari gaya belajar dan gender, serta sebagai bahan evaluasi untuk pembelajaran selanjutnya. b. Bagi sekolah, sebagai bahan acuan untuk memberikan bimbingan yang tepat terhadap siswa dalam pembelajaran matematika sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. c. Bagi peneliti, sebagai pembelajaran dan pengetahuan tentang bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematis siswa laki-laki dan perempuan dengan gaya belajar yang dimilikinya. 6