BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Teori Konstruktivis. Dalam jurnal yang ditulis oleh Emel Ultanir berjudul An Epistemological Glance At The Constructivist Approach: Constructivist Learning In Dewey, Piaget, And Montessori mengungkapkan konsep konstruktivisme adalah teori pengetahuan dan pembelajaran di mana individu menghasilkan atau pengetahuan sendiri, membangun pengetahuan dalam proses mengatasi masalah. 1 Guba (1990: 25) menyatakan Ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori. Basis untuk menemukan sesuatu benar-benar ada dan benar-benar berkerja adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti realitas ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Lebih lanjut Guba (1990: 25) mengemukakan Kaum konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. 1 Emel Ultanir. Epistemological Glance At The Constructivist Approach: Constructivist Learning In Dewey, Piaget, And Montessori. journal of International Journal Of Instruction, vol 5, july. 2012 56
57 Jika realitas hanya dapat dilihat melalui jendela teori, maka itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstuksian dimungkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya diteliti dengan pandangan (jendela/kaca mata) yang berdasarkan nilai. Dalam jurnal yang ditulis oleh Noella Mackenzie and Sally Knipe berjudul Research Dilemmas: Paradigms, methods and methodology mengungkapkan konstruktivis cenderung mengandalkan "pandangan peserta situasi yang sedang dipelajari" (Creswell, 2003) dan mengakui dampak pada penelitian latar belakang dan pengalaman mereka sendiri. 2 Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba (1990: 26) ialah Pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah. Artinya, bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap, tetapi selalu berkembang terus. Berdasarkan beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil 2 Noella Mackenzie and Sally Knipe. Research Dilemmas: Paradigms, methods and methodology. journal of Issue In Educational Research, vol 6, 2016
58 konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes dengan ungkapan yang terkenal: karena aku berpikir maka aku ada. Hal ini dikarenakan adanya sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan. melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari indra (mata, telinga, hidung, peraba dan pengecap/lidah). Untuk mencapai sesuatu yang pasti, menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descrates dimulai dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berpikir, ini ada pada kesadaran, dan dipihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant. Menurut Kant bahwa ilmu pegetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
59 Lebih lanjut Guba (1990: 27) mengemukakan system keyakinan dasar pada peneliti konstruktivitas, sebagai berikut. Asumsi ontology ialah realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara social dan pengalaman, local dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakan. Asumsi epistemology ialah peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harfiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peniliti dan yang diteliti. Asumsi metodologi ialah hermeneutic-dialektik-konstruksi individual, dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutic dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara subtansial disepakati. 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotika. Semiotika adalah mengingat makna yang bersifat kualitatif, kegiatan penelitian kualitatif banyak mendeskripsikan bagaimana subjek dalam berinteraksi dengan sekelilingnya terkait dengan tema penelitian. Dengan begitu, segala aktivitas gerak, perilaku, sikap, ungkapan verbal dan non verbal menjadi fokus penelitian. Pada sisi ini pendekatan kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari penelitian kualitatif. 3 3 Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika. Yogyakarta : Jalasutra. 2003. Hal 36
60 Data penelitian kualitatif diperoleh dari apa yang diamati, didengar, dirasa, dan dipikirkan oleh peneliti. Informasi- \informasi itu terkait dengan fokus penelitiannya. 4 Metode semiotika bersifat kualitatif-interpretatif (interpretation), yaitu sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut. 5 Penelitian ini menggunakan metode semiotika Roland Barthes, dengan teori sistem pertandaan bertingkat yang disebut sistem denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (Yusita Kusumarni, 2006). Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna 4 Ibid. 84 5 Ibid. 99
61 konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka denotasi tersebut akan menjadi mitos. 3.3 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini yaitu gambar, video dan teks iklan 3 Indie+ versi eksmud. 3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer Penulis mengumpulkan data dengan Observasi, yaitu program iklan 3 Indie+ versi eksmud ditangkap (capture) lalu dianalisa berdasarkan teori semiotik Roland Barthes. Potongan-potongan adegan tersebut dianalisa dan dipilah oleh peneliti, kemudian melakukan analisis semiotik terhadap program tersebut. 3.4.2 Data Sekunder untuk memperkuat hasil analisis yang dikemukakan penelitian, maka peneliti menggunakan pula studi kepustakaan untuk melengkapi dan mempelancar proses penelitian, serta mendapatkan informasi dan literatur-literatur yang berhubungan dengan judul, dokumen-dokumen berupa buku-buku, informasi dari internet serta karya tulisan yang memungkinkan data penulisan.
62 3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes yang difokuskan pada iklan 3 Indie+. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan tahap pertama yaitu menguraikan makna denotasi identifikasi dan klasifikasi terhadap tanda-tanda yang terdapat pada objek audio (verbal) dan visual (non verbal). Selanjutnya peneliti melakukan pemaknaan pada tingkat konotasi merupakan nilai yang bermain dibalik sistem tanda tingkat pertama atau denotasi yang oleh Barthes dikatakan sebagai mitos. Dengan demikian penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan murah namun juga melihat simbol dan melacak komodifikasi yang ada pada tayangan.