BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan Ibu dan Anak sebagai bagian dari tujuan MDG s dikarenakan masih tingginya Angka Kematian Bayi dan Anak yang merupakan indikator kesehatan umum dan kesejahteraan masyarakat. Anak-anak, terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah sebabnya, tujuan keempat MDG s adalah mengurangi jumlah kematian balita sebesar dua pertiganya antara tahun 1990 sampai dengan 2015 (Prasetyawati, 2012, hal.2). Laporan bersama oleh Dana Anak-anak PBB (UNICEF), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Bank Dunia ini mendapati pada tahun 2012 sekitar 6,6 juta anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun dibandingkan 12 juta anak yang meninggal pada tahun 1990. Laporan itu menyebut kemajuan dalam memangkas jumlah kematian anak ini luar biasa, namun masih belum cukup dikatakan. Sebagian besar kematian anak dapat dicegah, dan bahwa dengan menerapkan sejumlah langkah-langkah sederhana yang terjangkau, lebih banyak nyawa anak-anak bisa diselamatkan (http://www.voaindonesia.com). Angka tingkat kematian yang dirilis UNICEF menunjukkan bahwa secara global sekitar 2.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap hari akibat penyakit diare. Dari jumlah tersebut sebagian besar - atau sekitar 1.800 anak per hari - meninggal karena penyakit diare karena kurangnya air bersih, sanitasi dan kebersihan dasar (http://www.unicef.org). Semua angka kematian bayi dan anak hasil SDKI 2012 lebih rendah dari hasil SDKI 2007, angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. 1
2 Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus. Angka kematian bayi turun lebih lambat dalam tahun-tahun akhir, seperti yang biasa terjadi pada penduduk dengan angka kematian rendah. Angka kematian anak turun dari 44 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada SDKI 2007 menjadi 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada SDKI 2012 (SDKI, 2012) Penurunan AKB dan AKBA telah menujukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015, dimana penurunan yang sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal dan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa target MDG S dapat dicapai oleh Indonesia pada tahun 2015 nanti (Laporan Pencapaian MDG S di Indonesia, 2011, hal.6). Penyebab utama kematian balita di Indonesia adalah karena masalah pada neonatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah dan infeksi), pada balita, diare dan Pneumonia serta masalah gizi kurang dan gizi buruk. Insiden diare balita di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%) (tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (6,2%) (Riskesdas,2013) Angka kematian balita menggambarkan peluang untuk meninggal pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 diperoleh bahwa angka kematian balita (AKABA) di Sumatera Utara sebesar 54/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka rata-rata nasional pada tahun 2012 sebesar 43 per 1.000 kelahiran hidup. Angka nasional ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan AKABA pada tahun 2007
3 yang sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012). Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumo-nia. Juga didapatkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%)). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%). Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam waktu dua minggu sebelum survei, 3% lebih tinggi dari temuan SDKI 2002-2003 (11 persen). Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan dan umur 23-45 bulan. Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare banyak diderita oleh kelompok umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi. Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%) dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada balita di perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%). (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012, dari 559.011 perkiraan kasus diare yang ditemukan dan ditangani adalah sebanyak 216.175 atau 38,67%, sehingga angka kesakitan (IR) diare per 1.000 penduduk mencapai 16,36%. Capaian ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 yaitu 19,35% dan 2010 yaitu 18,73%. Pencapaian IR ini jauh di bawah target program
4 yaitu 220 per 1.000 penduduk, Dari 33 kabupaten/kota yang ada, penemuan dan penanganan kasus diare tertinggi di 3 (tiga) Kabupaten yang melebihi perkiraan kasus yaitu Samosir (18,33%), Nias Utara (17,66%) dan Karo (12,73). Penemuan dan penanganan kasus diare terendah di Kabupaten Sergei yaitu 0,52% dan Kabupaten Tapanuli Tengah yaitu 7,61% (profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riki Nur Pratama mengenai hubungan antara sanitasi lingkungan dan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di kelurahan Sumu Rejo Kecamatan gunung pati, Semarang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi tempat sampah, mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi anak dengan kejadian diare pada balita di kelurahan Sumu Rejo, Semarang (Nur pratama, 2013). Berdasarkan penelitian Ade Wulandari mengenai penanganan diare di rumah tangga merupakan upaya menekan angka kesakitan diare pada balita menyimpulkan bahwa hanya sebesar 35 % balita yang mengalami diare diberi oralit. Pada anak usia dibawah 2 tahun hanya 22 % yang diberi larutan gula garam. Data juga menunjukkan bahwa penatalaksanaan diare dengan cairan di rumah tangga mengalami penurunan dari 50 % pada tahun 2006 menjadi 27% pada tahun 2010. Beberapa masalah menyebabkan masaih belom optimalnya penggunaan oralit dan suplemen zinc ditingkat rumah tangga diantaranya keterjangkauan masyarakat terhadap oralit dan zinc yang masih sulit karena jarak untuk mencapai pelayanan kesehatan yang jauh sehingga tidak semua rumah memiliki persediaan oralit dan zinc (Wulandari, 2009 ). Berdasarkan data dari Puskesmas Teladan Tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah balita yang mengalami diare yakni sebanyak 822 orang dimana rinciannya yaitu, pada Bulan Januari sebanyak 79 orang,februari 62 orang,maret 87 orang,april
5 68 orang, Mei 106 orang, Juni 63 orang, Juli 68 orang, Agustus 56 orang, September 77 orang, oktober 38 orang, November 54 orang, dan Desember yaitu sebanyak 64 orang dan 2466 bungkus oralir serta 2445 Zinc sudah diberikan kepada balita penderita diare (Data Puskesmas Teladan, 2013). Karena itu, peran ibu dalam melakukan penatalaksanaan terhadap diare diperlukan suatu pengetahuan, karena pengetahuan merupakan salah satu komponen faktor predisposisi yang penting. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku tetapi mempunyai hubungan yang positif, yakni dengan peningkatan pengetahuan maka terjadinya perubahan perilaku akan cepat. Salah satu pengetahuan ibu yang sangat penting adalah bagaimana penanganan awal diare pada anak di rumah yaitu dengan mencegah dan mengatasi keadaan dehidrasi yang dapat mnyebabkan kematian balita (Notoatmodjo, 2007). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimanakah pengetahuan dan sikap ibu tentang kejadian diare pada balita di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap ibu tentang kejadian diare pada balita di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengetahuan ibu tentang kejadian diare pada balita di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014.
6 b. Untuk mengetahui sikap ibu tentang kejadian diare pada balita di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2014. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Bagi bidan dan pelayanan kebidanan Sebagai bahan masukan bagaimana tata laksana balita sakit dengan kasus diare serta sebagai sumber masukan dan informasi dalam memberikan asuhan pelayanan bayi dan balita di masyarakat 2. Bagi Responden Untuk menambah pengetahuan dan motivasi responden dalam upaya tata laksana balita diare di rumah 3. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Fakultas Keperawatan. 4. Bagi Peneliti Sebagai pengalaman peneliti dalam menerapkan mata kuliah metode penelitian serta menambah pengetahuan peneliti tentang diare. 5. Bagi Peneliti Selanjutnya Menambah wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam hal penelitian tentang mengetahui pengetahuan dan sikap ibu tentang kejadian diare pada balita